Percuma rasanya memberi penjelasan dan pengertian kepada Kai, anak itu kembali merajuk. Dia tak mau makan dan minum apapun saat Hana menawarkan.
"Aku ingin Papa, Ma. Kenapa akhir-akhir ini Papa sangat sibuk?"Di situ, ada Arsenio yang memang kebetulan sedang revisit pasien di kamar tersebut. Dia bisa menangkap kekecewaan di wajah pasien yang sudah mulai membaik kesehatannya. Namun, tidak dengan hati yang ada di rongga dada tersebut. Organ itu seolah patah."Dengarkan Mama. Papa melakukan ini karena memang tugas papa bekerja mencari nafkah. Demi mencari uang untuk sekolah Kai. Untuk biaya kehidupan kita, biaya jalan-jalan kita ke theme park atau waterpark nanti. Nah, jika urusan papa selesai dan Kai sudah sembuh, kita bisa berlibur bersama lagi."Kai mengangguk meski hatinya menolak untuk memaklumi pekerjaan si papa. Dia hampir kehabisan tolaransi untuk berada di posisi yang harus terus mengerti. Dia hanya ingin keluarga utuh yang bahagia. Di manaTidak ingin menerka yang akan membuatnya penasaran, jari itu menari lincah di layar dan mendapatkan deretan angka yang berarti identitas si pengirim belum tersimpan di kontak teleponnya. Nomor itu ada di barisan pertama di aplikasi hijau tersebut. Tidak ada gambar di sampingnya juga. Ya, benar-benar asing. Siapa?Hanya ada sebuah foto tanpa ada pesan tulisan apa pun yang tertangkap di layar. Sebuah gambar yang menunjukkan sepasang insan. Laki-laki dan perempuan sedang duduk di sebuah rumah makan, bisa jadi restoran atau kafe. Hana mengambil kesimpulan itu lantaran terlihat di sekitar ada meja dan kursi yang banyak. Di atas meja juga ada piring dan gelas. Itu tak begitu penting, tetapi ada sesuatu yang janggal di gambar tersebut. Sosok pria yang duduk menyamping itu mirip suaminya. Jambang tipis, setengah hidung dan mata kanan itu milik papa Kai. Jari Hana menekan memperbesar foto itu untuk memastikan terkaannya. Yes, itu memang Mahendra.Jari Hana memperk
"Dia tetap melakukan perjalanan ke Bali. Pertemuan dengan General Manager Hotel di sana untuk melanjutkan kontrak kerjasama. Lumayan proyek kali ini, Han. Cuma aku cancel ikut bersama karena tidak bisa meninggalkan mama.""Oh, kalau gitu. Ayo, kita lihat kondisi Tante dulu."Hana menahan pertanyaan selanjutnya karena kesehatan mamanya lebih penting saat itu. Dia pun mengikuti langkah Aldo dari belakang. Dia dan orangtua Aldo tidak begitu dekat, hanya baru beberapa kali bertemu. Yang Hana tahu, mamanya sudah menderita penyakit diabetes selama lima tahun lalu.***Sore hari setelah selesai urusannya dengan dokter yang menangani mamanya, Aldo datang ke ruang perawatan Kai. Dengan menenteng mainan Lego, pria berkeriting itu melempar senyuman kepada Kai yang juga menampilkan gigi seputih kapas kepadanya."Gimana kabar Jagoan Om?""Baik, Om."Tangan mungil itu sudah tak sabar meraih kotak persegi yang disodorkan. Entah sudah berapa banyak kotak koleksi mai
"Btw, kamu dapat foto itu dari siapa? Hendra yang mengirimkan ke kamu? Eh, tapi dia nggak mungkin lakuin itu."Pertanyaan yang dijawab sendiri membuat Aldo menggaruk kepala berhias rambut keriting kemudian dia tertawa garing. Tak lama, pria itu membenarkan posisi duduknya dan mengulurkan tangan."Coba aku lihat lagi fotonya, Han."Dengan ragu bercampur rasa penasaran lebih mendominasi, Hana menyerahkan ponsel ke tangan yang terulur. Jari kokoh itu mengusap hingga layar menyala. Mengecek foto dari aplikasi, Aldo memicingkan mata mempertajam penglihatannya. Iya, itu Mahendra dan Nadhira. Tidak ada efek editan karena di sana juga tidak ada adegan yang janggal. Mereka duduk di meja persegi dan sepertinya sedang menikmati makan siang."Tidak ada yang salah dengan ini, kan, Han?" Mata Aldo berpindah memindai wajah Hana yang sedari tadi menatapnya terlebih dahulu."Hubungan mereka murni hanya antar supplier dan klien. Aku bisa jamin itu. Lantara
"Sakit pada anak jangan dianggap sepele. Kamu aja yang tak tahu bagaimana rasanya muntah, mual lalu yang di bawah juga ikutan keluar. Kamu kurang pengetahuan ilmu kesehatan kayaknya. Kebanyakan lihatnya online shop. Muntaber itu sungguh berbahaya dan harus segera dibawa ke rumah sakit jika anaknya sudah lemas. Makanya kamu harus cepat-cepat punya anak, jadi kamu bisa tahu bagaimana perasaan khawatir itu jika anakmu sakit."Jawaban jitu, tetapi bukan Hana yang berucap. Mommy, tentu saja. Hana mana berani menyahuti dengan kalimat lantang yang langsung membuat wajah itu bertekuk sedemikian rupa. Langkahnya diseret keluar rumah, entah mau ke mana, Mommy tak bertanya. Terserah saja, hari pekan memang dia tak perlu ke kantor. Radit yang ada bersama Clarissa sempat berpamitan sebelum keluar lalu menyusul istrinya."Jangan diambil hati ucapan adik iparmu."Ucapan Mommy mendapatkan anggukan dan senyuman tipis dari Hana. Baru kali ini, Hana tinggal bersama saudara i
"Apakah mual muntahnya parah?"Mahendra memeluk dari belakang, melingkari perut Hana. Entah mengapa hari ini, Mahendra menyelesaikan aktifitas mandi hanya dalam waktu sepuluh menit. Biasanya pria bertubuh 175 centi itu akan menghabiskan setengah jam berendam di bath up untuk membuang rasa penat. Mahendra mencium bahu lalu hidungnya beralih ke leher Hana yang berdiri di depan meja hias. Entah apa yang dilakukan wanitanya di depan cermin, sang suami tak peduli. Dia hanya ingin bermanja sore itu."Kai? Dia better sekarang. Maka dari itu, dia diperbolehkan pulang sama Kak Arsen."Terdengar desahan pelan setelah mendengar nama itu, Mahendra membalikkan tubuh Hana. Mesti dia sudah mendapatkan wanita itu sepenuhnya, masih ada rasa tak suka jika Hana terus berhubungan dengan dokter tersebut."Mas bukan bertanya tentang Kai. Kalau soal itu, Mas sudah tahu kalau Kai pasti cepat sembuh. Mas tanya apa bayi ini rewel hingga membuat mamanya mengalami
Tidak menemukan jawaban, Hana menganjur napas dalam. Lagi, Mahendra membungkus kedua pipi dan menempelkan hidung mereka kemudian mengecup kening Hana untuk menunjukkan cinta yang penuh ketulusan."Yuk, kita ke bawah. Mungkin Mommy sudah nunggu kita di meja makan," ajak Mahendra mendapatkan anggukan si istri.Lalu, mereka keluar sambil bergandengan tangan. Langit senja sudah mulai terlihat dari balik jendela. Sebentar lagi adzan magrib akan terdengar.Di sisi lain, Hana merutuki diri dan merasa bersalah sebab tadi sempat menduga hal negatif terhadap suami. Masa iya, menebak kedua benda itu milik wanita lain. Astaga, kenapa Hana menjadi parno begini? Apa ini akibat keseringan membaca novel bergenre rumah tangga? Suami selingkuh atau Madu dari mertua? Apa mungkin itu efek dari hormon ibu hamil?"Astaga, Mas. Maafkan aku telah suudzon kepadamu."Hana berucap dalam hati. Dia tak mau membicarakan apa yang tengah mengganggu benaknya tadi. Yang a
"Halah, ngapain juga repot-repot beli hadiah mahal seperti itu, Mommy. Hanya ulang tahun pernikahan jagung juga. Entah kita nggak tahu ke depannya, apakah hubungan mereka masih berstatus pasangan suami istri. Sepertinya Mommy dan Daddy terlalu menghamburkan uang membeli kado untuk ...."Decakan keras Mommy menghentikan kalimat yang belum sempat dituntaskan Clarisa. Semua mata di meja utama beralih padanya dengan tatapan berbeda. Mommy, Daddy dan Mahendra penuh mengintimidasi. Hana memberi tatapan datar bercampur kasihan. Kai dan pengasuhnya terlihat masa bodoh."Stop, Risa. Jika kamu masih ngedumel, silakan tinggalkan tempat ini.""Jadi, Mommy mengusir aku?""Bukan mengusir, hanya tidak ingin satu meja dengan orang yang akan merusak hari bahagia keluarga. Ucapanmu bisa bikin malu kamu sendiri, tahu?"Nada pelan tetapi penuh penekanan itu mampu membungkam Clarisa yang memasang wajah kesal. Dia melempar tatapan sinis sebelum melanjutkan keg
"Mas, hari ini jadwal aku kontrol, kamu bisa, kan, temani aku?"Dari tadi malam, Hana mencoba menahan kesal. Pertanyaan yang tersimpan di dalam benak masih dalam keadaan rapi. Bagaimana bisa kalung yang diberikan Mahendra sama dengan benda yang bergantung di leher Nadhira? Hana belum sempat membicarakannya lantaran tadi malam Mahendra tampak sibuk menjamu para tamu yang hadir. Bahkan, nasi dan lauk yang disiapkan Hana untuknya hanya termakan sedikit. Sementara saat sampai di rumah, Hana ketiduran ketika menunggu Mahendra yang mandi.Kini, dia mencari waktu yang tepat untuk membahas hal itu. Namun menurutnya, pagi ini rasanya kurang pas melakukanya karena dia melihat Mahendra tergesa-gesa karena bangun kesiangan. "Coba nanti aku cek jadwalku, ya. Irma belum memberitahu aku. Setelah sampai ke kantor, aku segera menghubungi kamu, gimana?"Setelah selesai memakai kemeja, Mahendra menuju ke meja rias. Tangan itu cekatan mengambil gel dan mengoleskan k