"Kan Abang sutradaranya!" ujar telak Angel sembari memakai sabuk pengamannya. Nizam melajukan mobilnya cepat sekali menuju ke arah hotel di mana mereka menginap dan ini adalah malam terakhir mereka di sana. "Cepat, turun! Aku besok jemput kamu dan siapkan semua pakaianku!" titah Nizam sembari menoleh ke arah Angel. "Abang, tidak mau tidur di sini?" tanya Angel dengan segera membuka pintu mobil. Sebelum benar-benar ke luar Angel menoleh pada Nizam. "Jadi karena pernikahan kita hanya sebatas bersandiwara artinya aku bisa berhubungan dengan siapa saja 'kan?" Penuturan Angel membuat Nizam tertawa keras. "You are free with anyone!" pungkas Nizam sambil kembali melajukan mobilnya. Kamu bebas dengan siapa pun, kata-kata menyakitkan dari seseorang yang dianggap suami. Itu sudah mengartikan kalau dirinya tidak lagi berharga di matanya. Jalan pelan dari halaman hotel kemudian masuk ke dalam lobi. Matanya tertuju pada kursi di tengah-tengah lobi yang kosong. Napasnya dikeluarkan. Jiwanya hampa
"W*'alaikumsalam, Zeira." Suara angkuh kini agak berbeda di pendengaran wanita yang sedang memegang bubur ayam ini. "Ada apa?" jawab Zeira dingin. "Maafkan Nizam dan keluargaku, ya. Kamu jangan do'akan Nizam dan kami keburukan." Sahutan dari Azyumardi yang menelpon Zeira. -Flashback on- Sepeninggalnya Angel serta Nizam dari pesta barbeque menyisakan tanda tanya bagi Aldert juga Aminah yang menangkap prilaku Nizam agak berbeda. Terlebih lagi seolah sedang menguliti matrealistisnya dengan menyindirnya. Aminah berbisik pada Azyumardi, "Nizam berubah. Dia agak aneh!" Aldert yang bertepatan sedang berjalan di depannya secara spontan berdiri persis di depan Aminah. "Minta maaflah sama mantan menantu, Ibu. Sepertinya hukum karma sangat cepat datangnya." Ujar Aldert agak berdesis persis di wajah Aminah. Aminah menatap wajah Aldert dengan mengernyit. Sedangkan Azyumardi langsung menarik Aldert agak kasar agar sedikit menjauh dari ibunya. "Anda, ini lebih dewasa dari saya, jadi seharusnya ta
-Sukabumi - Dua anggota kepolisian Andi dan Yudistira berjalan santai dengan berpura-pura sedang menghirup udara segar perkampungan. Pak Adam selaku rukun tetangga yang sudah diberitahukan pun turut mendukungnya. "Tapi, masa iya Neng Zeira bisa diseperti itukan? Dia kan hanya perempuan biasa saja dan tak mungkin membahayakan siapa pun." Adam seolah tak percaya dengan penuturan kedua polisi yang memberi informasi bahwa sasaran penembakan padahal untuknya. "Ini sih menyangkut keluarga mantan suaminya sepertinya!" Adam menduga. Pasalnya, siapa yang lagi yang akan melakukan ini. Kedua polisi langsung mencecar pertanyaan pada Adam, "Sekaya itukah mantan mertuanya? Bagaimana mereka bisa bercerai?" Adam menarik napasnya panjang sebelum dia menjelaskan semuanya. Kemudian diajaknya kedua polisi itu duduk di pertigaan jalan yang merupakan jalan menuju antara rumah Zeira dan Arman. Di sana ada pos kamling di mana para anak-anak karang taruna serta ronda berkumpul. Adam duduk pada ban
"Siapa kamu?" Arman bertanya ke pada lelaki yang menyuruhnya menunggu, dengan saat bersamaan dia pun turun kembali dari motornya. "Kenalkan, saya Marwan ketua kepolisian Sukabumi kota. Dan saya ini yang menangani kejadian perkara penembakan di kedai dekat sawah." Ucapan tersebut sembari mengeluarkan surat tugas dan tanda pengenalnya. "Apa hubungannya dengan saya?" tanya Arman menggertak kasar. Andi menjawab lantang, "Puntung rokok yang sama dan kata-kata Dahlan; Jadi Ibu Itu Yang Tertembak? Adalah sudah cukup bukti kalian adalah pelakunya!" "Gua tak ada hubungannya dengan itu?" Arman menyangkal sembari cepat sekali kembali ke arah motornya bermaksud hendak melarikan diri. Dengan cepat Adam meraih lengan tangannya, "Kamu itu dari almarhum bapaknya Zeira hidup hingga sekarang tak ada habis-habisnya mendzoliminya. Dulu mau diambil haknya sekarang mau mengambil nyawanya? Bersengkokol dengan para konglomerat jahanam karena demi uang 'kan?" ucapan kasar Adam terdengar hampir berjarak 300
Duduk di bawah lantai tanpa beralas di dalam jeruji besi. Perasaan Arman sangat kacau, istrinya sudah sangat jelas akan menggugat cerai. Karena keluarganya memang tak pernah mendukungnya. Pasalnya, menyadari bahwa dia seorang pemalas dan tepatnya tidak bertanggung jawab. Deruan napas berat pun menyertai sesalannya. Tak mengapa, kesalahan meski diperbaiki kemudian minta maaf. Itu pun kalau dimaafkan, kalau tidak adalah sebuah resiko yang harus diterima dari kesalahan. *** -Flashback on- Dahlan langsung melajukan motornya bermaksud untuk mengembalikannya kepada warga. Sesampainya di sana, dia pun mendapati si pemilik motor ada di sana, "Eh, kamu tuh, ya. Katanya mau dua jam saja. Ini malah semalaman dan lebih." Sindir pemilik motor. Dahlan pun langsung menghampiri dan memberikan uang tambahan pada pemilik motor sembari minta maaf juga beralasan, "Iya, Pak. Sayanya kebablasan ngobrolnya dan ketiduran." Karena uang tambahannya banyak menjadikan pemilik motor tidak berbicara apa-apa. D
Tangan Zulkarnain memutar-mutar stir yang ada di depannya. Pandangan masih pada kaca spion tengah. Saat bersamaan mata Zeira pun tertuju ke sana. "Apa hanya karena ingin dilindungi Zeira memilih Abang? Tak adakah perasaan suka atau sayang pada Abang?" Perkataan itu seolah tuntutan dari Zulkarnain. "Biarlah perasaan itu Zeira ungkapkan setelah menikah nanti. Dan, Zeira pun menanyakan hal yang sama." Romantisme itu tertutur di depan Jubaedah. Seolah itu adalah caranya untuk mencegah perbuatan tak diinginkan sebelum menikah. Lagi-lagi mereka saling terpaut pandangannya satu sama lain dalam kaca spion. Tak adakah dalam diri Zeira perasaan trauma pada apa yang telah terjadi. Menikah, kemudian ditinggal pergi serta dahsyatnya dikhianati. Entah ada atau tidaknya trauma. Jelasnya, Zeira hanya ingin hari-harinya kembali penuh warna. Didukung, ada yang membuatnya tersenyum juga ada rasa merindukan serta dirindukan. Jubaedah tersenyum tipis melihat pada pandangan yang bersinar putih layaknya
"Ya, kita ke Jakarta!" ucap Nizam tegas. Kemudian langsung dijawab oleh Mbak penjual tiketing. "Ke Jakarta tak ada hari ini, ada juga lusa. Mau menunggu?" Menjadi kesempatan buat Angel untuk menolak. "Kalau kamu mau menemui anakmu, pergilah. Aku tak ingin ikut. Tiket ini tetap akan aku pakai untuk berlibur sendiri." Setelah itu Angel pun langsung menarik kopernya dan berjalan ke arah imigrasi tanpa menoleh ke arah suami yang telah direbut paksa olehnya serta keluarganya. Begitu sampai di depan counter imigrasi Angel menoleh sejenak ke belakang. Jikalah laki-laki sebagai ayah bayi di dalam perutnya mengikuti atau masih ada di sana. 'Dia memang tak ada keinginan untuk menjadi suamiku.' Desisan tak tahu diri dari wanita yang tidak memiliki perasaan serta empati pada sesama gender. Kendati baru dirasakan sekarang betapa sakit memaksa seseorang untuk mencintainya. Terlebih lagi sedang hamil karena keinginan dirinya juga saran dari ibu mertua, Aminah. Dan, dia tidak ada. "Yah, Nizam tidak
"Sayang?" jawab Nain dan terdapati oleh Zeira sedang memegang kakinya karena tertimpa kursi yang tak sengaja terdorong Anita. Posisinya mereka, Nain sedang jongkok sedangkan Anita berdiri di depannya. Nampak sepintas sedang melakukan tak senonoh. Tetapi cepat sekali Zulkarnain menoleh ke arah Zeira yang terpaku dengan memasang wajah masam. Anita melirik ke arah Zeira, "Oh ini Bang janda yang Abang ceritakan?" tanyanya tak tanggung-tanggung menyebut marital status Zeira. Zulkarnain tidak menjawabnya, dia langsung mendekat sambil agak pincang karena jempolnya tertindih. "Sayang...." Sapaan itu membuat Zeira mengulas senyuman tipis. "Iya, saya Janda beranak satu, Mbak? Ayo silahkan dimakan makanannya selagi hangat." Ucapan percaya diri sembari menoleh ke arah Anita. Nampan pun di taruh di atas meja tamu. Setelah itu, cepat sekali Zeira memeriksa jempol Zulkarnain. Dia langsung jongkok, tangannya mengelus ibu jari Zulkarnain. "Abang ini sedang apa sih?" tanyanya pelan. "Tadi Anita mau