Seperti apa yang sudah dibicarakan, Damian benar-benar menyewa satu restaurant hanya untuk memberikan Alice dan Hayes ruang. Tidak ada yang memahami alasan Damian melakukan ini semua, namun Hayes curiga bila Damian sedang berusaha membuat Damian dan Alice semakin dekat.Hayes rasa, apa yang Damian lakukan sangat sia-sia dan membuang waktu. Sampai kapanpun Hayes tidak akan pernah mau memiliki kedekatan apalagi melewati batas hubungan kontrak dengan Alice.Semua yang Hayes lakukan saat ini semata-mata untuk membuat Damian percaya bahwa rencana yang dibuatnya terlihat berhasil.Nuansa restaurant romantis, ada banyak lilin yang menyala, dan alunan musik lembut terdengar, bahkan ada sebuah cello yang disiapkan untuk nanti seseorang bermain musik.Di sebuah meja makan yang besar, kini Alice dan Hayes duduk saling berhadapan. Keduanya selalu kaku dan mencolok akan perbedaan yang membuat beberapa siapapun orang yang melihat tidak dapat menahan kerutan dikening mereka seakan ada sesuatu yang s
“Bukan. Dia temanku, kami sedang menunggu teman yang lainnya, mereka sedikit terlambat.”“Benarkah?” tanya Irene tidak yakin, mustahil jika suasana restaurant yang didekorasi secara romantis digunakan untuk pertemuan makan malam teman, disisi lain, lebih mustahil lagi jika perempuan yang duduk di depan Hayes adalah isterinya.“Benar,” jawab Alice tidak mempedulikan ekspresi terkejut Hayes atas dirinya yang angkat bicara. “Saya temannya Hayes,” tekan Alice lagi.“Irene,” sapa Irene mengulurkan tangannya pada Alice, mengajak berkenalan.Masih dengan senyuman yang tetap Alice pertahankan, gadis itu menerima uluran tangan Irene. “Alice.”Kelegaan di mata Irene menghilang, wanita itu menyadari jika perempuan yang bersalaman dengannya adalah isteri Hayes. Jangan kira Irene tidak tahu, nama Alice sudah cukup banyak dibicarakan banyak orang akhir-akhir ini.Lantas mengapa Hayes berbohong?Dengan cepat Irene menarik tangannya dan kembali melihat Hayes. “Bagaimana kabarmu Hayes?” tanya Irene pel
Gemercik suara air di kolam terdengar, Alice berdiri di sisi pagar jembatan kayu, memperhatikan ikan-ikan yang berenang muncul dipermukaan.Sudah lima menit Alice berdiri di sana, menikmati ketenangan yang dicari.Terkadang, dalam beberapa moment, Alice sering kali menyesal karena berpikir dua bulan menjadi isteri Hayes Borsman adalah hal yang mudah. Ternyata lebih sulit dari apa yang dipikirkan.Baru sepuluh hari Alice menyandang status sebagai isteri Hayes Borsman, setiap waktu yang dia lewati sangat sulit, semakin dekat Alice dengan waktu dua bulan pernikahannya, Alice semakin takut bahwa dia masih berdiri sendirian.Alice melihat ke arah jendela, samar dia melihat Hayes yang masih duduk ditempatnya begitupula dengan Irene yang masih bermain cello.Betapa cantiknya perempuan itu, kehadirannya membuat Alice malu menampakan diri. “Semua perempuan yang dikenali Hayes sangat sempurna, dia pasti sangat tersiksa begitu harus bersanding denganku,” bisik Alice penuh rasa bersalah.Suara c
“Kalian berdua terlihat cukup dekat,” komentar Hayes memperhatikan kepergian Alice yang sudah masuk ke dalam restaurant.Theodor mengedikan bahunya dan tersenyum. “Ya, sepertinya begitu,” jawab Theodor tidak menyangkal.“Kenapa kau mau dekat dengannya?” tanya Hayes lagi.“Aku tidak memiliki alasan apapun, dia gadis yang cukup menyenangkan,” jawab Theodor dengan tenang, tidak terpengaruh dengan tatapan mengintimidasi Hayes.“Apa yang menyenangkan darinya?”Sejenak Theodor terdiam, mendengar nada mengintrogasi Hayes. “Selain polos, bukankah dia gadis yang cukup cantik?” Theodor balik bertanya. Tangan Hayes mengepal, keberanian Theodor yang blak-blakan membuatnya sedikit kesal. Kilatan kemarahan terlihat di matanya, “Apa kau lupa, perempuan yang sedang kau puji itu isteri temanmu?” tanya Hayes penuh tekanan.Masih dengan sikapnya yang penuh ketenangan Theodor menjawab. “Aku tidak akan melupakan fakta itu.”“Masuklah,” jawab Hayes dengan perasaan yang masih dilanda kegusaran. Hayes ingi
Gemercik suara hujan terdengar di kesunyian, Alice bergerak gelisah dalam tidurnya, wajahnya terlihat pucat berpeluh keringat dingin. Suara napas Alice terdengar tidak beraturan mengeluarkan erangan kecilnya yang tersiksa.Alice tenggelam begitu jauh dalam mimpi buruk, tersesat di hutan yang luas seorang diri, pohon-pohon yang tumbuh besar menjulang tinggi menghalangi cahaya matahari masuk.Kaki Alice bergerak, melangkah tanpa arah, tercekik oleh ketakutan.Alice tersentak, terbangun dengan cepat begitu dia bisa lepas dari mimpinya.Suara napas kasar Alice kian terdengar, gadis itu mengusap tenggorokannya yang sakit dan perlahan duduk. Pandangan Alice mengedar dengan waspada, melihat keluar jendela jika kini tengah hujan deras.Pantas saja..Alice selalu tidak bisa tidur jika mendengar suara hujan yang turun, kebiasaan itu telah terjadi sejak lama.Dulu Alice akan berdiri sepanjang waktu di ruang bawah tanah bila hujan deras turun, Alice akan memandangi jendela kecil berteralis besi,
Tangan Hayes menekan lantai, tubuhnya membungkuk tanpa terduga pria itu mengecup bibir Alice.Darah di nadi Alice membeku, pupil matanya melebar, diam terpaku tidak mampu bergerak sedikitpun begitu merasakan bibir lembut Hayes menempel padanya dalam beberapa detik.Hayes mengerjap seakan terkejut dengan apa yang telah dilakukan dirinya sendiri, perlahan pria itu mundur menjauh dengan degup jantung yang berdebar tidak beraturan.Hayes membuang mukanya, diam-diam pria itu memaki dirinya sendiri yang sudah bertindak bodoh sampai tidak mengerti mengapa melakukan ini semua pada Alice.Hayes berdeham memecah keheningan, dengan gugup pria itu berkata, “Kau lihat barusan? Aku juga bisa menciummu meski aku membencimu, ciuman tidak hanya bisa dilakukan oleh orang yang saling mencintai saja,” ujarnya terdengar lantang.Alice tercengang, ucapan Hayes menohok hatinya dalam-dalam. Itu adalah ciuman pertamanya, sesuatu yang sangat berharga dan sangat berarti untuk seseorang yang tidak pernah tahu ar
Perjalanan pulang ke rumah membawa banyak kehampaan, Alice memandangi setiap bangunan yang dilewatinya, memperhatikan kesibukan orang-orang berjalan lalu lalang.“Philip, apa yang sedang terjadi di sana?” tanya Alice menunjuk sebuah gedung berasitektur cantik dan mencolok tengah ramai dikunjungi banyak orang, gedung itu berdiri di tengah lapangan hijau yang luas sehingga setiap sudutnya dapat dilihat.“Itu adalah gedung opera, disana selalu ada banyak pertunjukan seni.”Gedung opera? Alice teringat dengan ucapan Theodor jika dia bermain musik di tempat itu.“Apakah saya bisa masuk ke dalam?” tanya Alice berhati-hati.Tanpa membuang waktu Philip langsung menepikan mobilnya, pria itu melihat ke belakang dengan senyuman lebarnya tampak senang bukan main karena ini untuk pertama kalinya dia mendengar Alice menginginkan sesuatu.“Anda ingin masuk ke sana dan menonton pertunjukannya?” tanya Philip.Dengan malu Alice mengangguk. “Jika itu diperbolehkan, tetapi saya tidak bisa melakukan apapu
Alice duduk di sebuah kursi yang sudah disediakan, gadis itu berada di barisan yang cukup depan sehingga bisa melihat panggung lebih dekat. pandangan Alice mengedar, melihat seberapa banyaknya penonton yang memenuni seluruh ruangan.Jantung Alice berdebar, adrenalin terbakar oleh kesenangan yang tidak pernah dia rasakan dalam hidupnya. Dia tidak sabar, ingin melihat dan mendengarkan apa yang sebenarnya akan suguhkan di atas panggung.Alice menarik napasnya dalam-dalam, melihat satu persatu orang mulai masuk dan memenuhi panggung besar, berdiri di depan alat musik mereka masing-masing.Pandangan Alice langsung tertuju kepada Theodor, pria itu berdiri di depan pianonya dan membungkuk memberi hormat. Pria itu terlihat berbeda, dia terlihat lebih dingin dan tidak tersentuh seakan jiwanya langsung langsung menyatu dengan panggung dan tidak dapat diganggu siapapun.Gemuruh tepuk tangan terdengar dalam beberapa detik begitu konduktor datang, lalu berganti dengan sunyi yang senyap.Suara lem