“Saya membutuhkan keringanan meski dia salah, kondisi mentalnya sangat kacau sejak dia masih muda, dia juga pernah berada di rumah sakit jiwa, sampai saat ini dia berada di bawah pengawasan dokter.""Kita lihat saja nanti hasilnya," jawab Aaron, polisi yang menangani kasus Giselle.Xavier tersenyum simpul. "Saya juga tidak membela tindakan isteri saya. Namun, saya percaya dengan isteri saya, dia melakukan ini semua pasti saat dia sedang berada dalam keadaan yang tidak begitu sadar. Saya harap Anda bisa melihat Giselle yang tidak pernah memiliki catatan buruk apapun selama ini, dan bahkan meski kini Giselle harus penjara, saya sangat berharap jika Gisella berada dipenjara khusus,” ucap Xavier terdengar memelas.Aaron terdiam mendengarkan ucapan Xavier, mereka memperhatikan gerak-gerik Gisella yang memang menunjukan tanda-tanda berbeda saat menjalani interogasi.“Apa saya boleh masuk? Saya dokter pribadinya, mungkin nyonya Giselle akan melakukan sesuatu jika kondisi pikirannya sedang ti
“Tuan Muda, Anda baik-baik saja?” tanya Mia memperhatikan kerisauan Hayes usai mendapatkan barang bukti dari Tesa.Hayes melepaskan satu kancing teratas kemejanya, hari ini terlalu banyak hal yang terjadi dan membuat terus menerus kecewa. “Apa kau melihatku seperti baik-baik saja?” tanya balik Hayes.“Saya harus meminta penangkapan pada nona Bella juga?”Langkah kaki Hayes memelan, pria itu mulai digelayuti kebimbangan. Apakah Hayes perlu melaporkan Bella? Tetapi dia sahabatnya, sulit bagi Hayes untuk melakukan tindakan tegas padanya.“Simpan barang bukti itu, kita membutuhkannya suatu saat nanti,” jawab Hayes tidak memberikan jawaban dari apa yang Mia tanyakan.“Saya mengerti,” jawab Mia seraya merongoh handponenya untuk menerima panggilan yang masuk.Langkah Hayes perlahan terhenti, tanpa sengaja dia berpapasan dengan Xavier yang tengah membawa Giselle untuk pulang. Xavier berhasil membawa Giselle keluar sementara waktu dengan alasan kondisi kesehatan mentalnya.Rahang Hayes mengetat
Bella bergerak gelisah melihat handponenya beberapa kali, kabar Tesa yang masih ditahan dan tidak dapat keluar dengan jaminan membuat Bella khawatir jika Tesa akan membuka mulut, memberitahu Hayes apa yang sebenarnya terjadi.Bella sudah cukup mengeluarkan mengeluarkan banyak uang untuk Giselle agar dia tidak ikut terseret jika dipenjara, tidak mungkin Bella mengeluarkan uang lagi untuk membantu Tesa.Beruntung saja tadi malam Ivana menghubungi Bella dan meminta bantuannya, mungkin ini akan menjadi jalan untuk Bella menyelamatkan diri.“Mau pergi kemana kau?” Tanya Stefany memperhatikan keterburu-buruan Bella yang lagi-lagi meninggalkan sarapannya.Gerak-gerik Bella kian mencurigakan dalam beberapa hari terakhir, Stefany takut putrinya melakukan tindakan yang tidak sepantasnya. Sudah cukup dulu Bella membuat masalah, Stefany tidak ingin Bella mengulanginy lagi.“Aku memiliki janji dengan temanku dan harus berangkat sekarang,” dusta Bella dengan sempurna.Bella harus ke rumah Hayes pag
“Kau membelanya? Apakah kemampuan menggodanya seperti pelacur sudah berhasil mempengaruhimu?”Alice berhenti menelan buburnya, matanya terpejam erat merasakan sakit yang begitu kuat masuk ke dalam hatinya.“Ibu!” Hayes berhenti bersuara begitu sadar dia sudah meninggikan suaranya.Pupil mata Ivana bergetar. “Kau berani berteriak padaku demi perempuan itu?”Hayes menggeleng tidak membenarkan. “Berhentilah berbicara sesuatu yang tidak perlu, aku tidak ingin Ibu minum obat lagi karena tidak bisa mengendalikan pikiran.”Bibir Ivana gemetar dengan tangan terkepal di atas meja. “Jika kau peduli padaku, lebih baik kau diam Hayes. Kau sudah tahu kan Damian tidak mencintaiku meski kami sudah menikah puluhan tahun, apakah sekarang kau juga akan membela anak wanita itu dan meninggalkan aku?” lirih Ivana bertanya.Kening Hayes mengerut samar, bertanya-tanya dari mana Ivana tahu? Apakah selama ini Ivana selalu memata-matainya dan Damian?“Berhenti mengungkitnya di tempat seperti ini,” jawab Hayes
”Alice,” sapa Safira dengan senyuman formalnya menyambut Alice yang baru datang untuk mengambil kostumnya.“Selamat pagi, Safira.” Alice balas menyapa.Senyuman formal Safira memudar dan perlahan hilang menyisakan kecanggungan, wanita itu menarik kursinya dan duduk. “Kemarilah dulu, ada yang perlu kita bicarakan.”Gerak-gerik Safira yang tidak biasa menyadarkan Alice jika telah terjadi sesuatu yang mungkin serius. Tanpa membuang waktu, Alice segera duduk berhadapan dengan Safira.“Kau ingin meminum sesuatu?” tanya Safira bergerak gelisah.Alice menggeleng, dia kian yakin jika akan terjadi sesuatu. “Tidak ada, jadi Anda ingin berbicara apa dengan saya?”Kedua tangan Safira saling bertautan di atas meja untuk menyalurkan kegelisahan, wanita itu sempat terdiam memikirkan kata-kata apa yang harus dia sampaikan kepada Alice.“Alice, aku sudah melihat wajahmu di koran dan beberapa flatporm. Apa benar kau menantu keluarga Borsman?” tanya Safira berhati-hati.Alice menelan salivanya dengan k
“Setelah ini, apakah kau akan pergi pulang?” tanya Theodor masih berdiri di tempat yang sama, berhadapan dengan Alice.Alice menghela napasanya dengan berat, gurat kesedihan samar terlihat di kilatan matanya meski bibirnya masih tersenyum. Alice sangat bingung harus melangkah kemana, jika semua orang sudah tahu siapa dirinya, orang-orang akan berpikir dua kali untuk menerimanya bekerja.“Aku akan pergi mencari pekerjaan baru, jika masih sulit mungkin aku akan pulang,” jawab Alice.Theodor bersedekap, kening pria itu menekuk menatap serius Alice. Theodor tidak begitu setuju dengan rencana Alice.Mental Alice sudah bermasalah sejak awal mereka bertemu, ditambah lagi kini dia terus menerus terkena masalah. Seperti sebuah bunga yang terkena hama, lalu diserang kemarau, dia membutuhkan air yang disegarkan.“Ini masih pagi, waktu masih panjang. Apakah ada suatu tempat yang ingin kau kunjungi?” tanya Theodor.Seketika wajah Alice mendongkak, pertanyaan sederhana Theodor mengingatkan dirinya
Angin yang kencang bisa terdengar dengan jelas ketika kaca jendela diturunkan, tubuh Alice menegak memandangi sesuatu yang tidak pernah sekalipun dia lihat dalam hidupnya.Semua yang dia lihat begitu mirip dengan sebuah lukisan.Pohon-pohon tembuh di pesisir, hijaunya rumput di atas tebing, saling berlawanan dengan warna biru lautan dan putihnya pasir. Langit yang bersih seakan menjadi garis ujung lautan.Alice tidak dapat berkedip, gadis itu terkesiap memandangi luasnya keberadaan air yang jauh lebih besar dari pandangan matanya.Tanpa sadar Alice mengusap lengannya merasakan seluruh permukaan kulitnya meremang. Semua yang Alice pandang ternyata jauh lebih hebat dari apa yang dipikirkan selama ini. Jantung Alice berdebar-debar seakan tengah jatuh cinta dengan semua yang tengah dilihatnya.Theodor menepikan mobilnya di ujung jalan bebatuan.“Ayo keluar,” suara Theodor yang memanggil menyentak lamunan Alice.Alice terperangah, dia terlalu fokus melihat sesuatu yang ada di hadapannya
FlashbackHari itu hujan deras turun tanpa henti sejak pagi hingga menjelang sore, musim gugur yang datang benar-benar berhasil membasahi seluruh permukaan yang ada.Dari celah teralis besi, air turun masuk ke dalam bak air terjun.Alice berdiri sudah cukup lama di sudut ruangan, kakinya tampak gemetar dan wajahnya pucat pasi karena kedinginan. Air sudah masuk hampir sampai melewati mata kaki Alice.Meski teralis itu sempat ditahan dengan kayu agar air tidak masuk, namun tetap saja derasnya permukaan diluar berakhir di ke tempat tinggalnya.Alice sudah lelah mengambil air di dalam ruangan sempit itu dengan ember, alih-alih membaik, air hujan yang masuk kian banyak karena hujan semakin deras.Tidak ada tanda-tanda hujan akan mereda, sementara volume air akan semakin naik seiring dengan berjalannya waktu.Bibir Alice menekan gemetar kedinginan, gadis itu memandangi lemari butut tanpa pintu, di atasnya ada beberapa pakaian dia simpan untuk diselamatkan.“Aku tidak tahan,” bisik Alice den