“Kau membelanya? Apakah kemampuan menggodanya seperti pelacur sudah berhasil mempengaruhimu?”Alice berhenti menelan buburnya, matanya terpejam erat merasakan sakit yang begitu kuat masuk ke dalam hatinya.“Ibu!” Hayes berhenti bersuara begitu sadar dia sudah meninggikan suaranya.Pupil mata Ivana bergetar. “Kau berani berteriak padaku demi perempuan itu?”Hayes menggeleng tidak membenarkan. “Berhentilah berbicara sesuatu yang tidak perlu, aku tidak ingin Ibu minum obat lagi karena tidak bisa mengendalikan pikiran.”Bibir Ivana gemetar dengan tangan terkepal di atas meja. “Jika kau peduli padaku, lebih baik kau diam Hayes. Kau sudah tahu kan Damian tidak mencintaiku meski kami sudah menikah puluhan tahun, apakah sekarang kau juga akan membela anak wanita itu dan meninggalkan aku?” lirih Ivana bertanya.Kening Hayes mengerut samar, bertanya-tanya dari mana Ivana tahu? Apakah selama ini Ivana selalu memata-matainya dan Damian?“Berhenti mengungkitnya di tempat seperti ini,” jawab Hayes
”Alice,” sapa Safira dengan senyuman formalnya menyambut Alice yang baru datang untuk mengambil kostumnya.“Selamat pagi, Safira.” Alice balas menyapa.Senyuman formal Safira memudar dan perlahan hilang menyisakan kecanggungan, wanita itu menarik kursinya dan duduk. “Kemarilah dulu, ada yang perlu kita bicarakan.”Gerak-gerik Safira yang tidak biasa menyadarkan Alice jika telah terjadi sesuatu yang mungkin serius. Tanpa membuang waktu, Alice segera duduk berhadapan dengan Safira.“Kau ingin meminum sesuatu?” tanya Safira bergerak gelisah.Alice menggeleng, dia kian yakin jika akan terjadi sesuatu. “Tidak ada, jadi Anda ingin berbicara apa dengan saya?”Kedua tangan Safira saling bertautan di atas meja untuk menyalurkan kegelisahan, wanita itu sempat terdiam memikirkan kata-kata apa yang harus dia sampaikan kepada Alice.“Alice, aku sudah melihat wajahmu di koran dan beberapa flatporm. Apa benar kau menantu keluarga Borsman?” tanya Safira berhati-hati.Alice menelan salivanya dengan k
“Setelah ini, apakah kau akan pergi pulang?” tanya Theodor masih berdiri di tempat yang sama, berhadapan dengan Alice.Alice menghela napasanya dengan berat, gurat kesedihan samar terlihat di kilatan matanya meski bibirnya masih tersenyum. Alice sangat bingung harus melangkah kemana, jika semua orang sudah tahu siapa dirinya, orang-orang akan berpikir dua kali untuk menerimanya bekerja.“Aku akan pergi mencari pekerjaan baru, jika masih sulit mungkin aku akan pulang,” jawab Alice.Theodor bersedekap, kening pria itu menekuk menatap serius Alice. Theodor tidak begitu setuju dengan rencana Alice.Mental Alice sudah bermasalah sejak awal mereka bertemu, ditambah lagi kini dia terus menerus terkena masalah. Seperti sebuah bunga yang terkena hama, lalu diserang kemarau, dia membutuhkan air yang disegarkan.“Ini masih pagi, waktu masih panjang. Apakah ada suatu tempat yang ingin kau kunjungi?” tanya Theodor.Seketika wajah Alice mendongkak, pertanyaan sederhana Theodor mengingatkan dirinya
Angin yang kencang bisa terdengar dengan jelas ketika kaca jendela diturunkan, tubuh Alice menegak memandangi sesuatu yang tidak pernah sekalipun dia lihat dalam hidupnya.Semua yang dia lihat begitu mirip dengan sebuah lukisan.Pohon-pohon tembuh di pesisir, hijaunya rumput di atas tebing, saling berlawanan dengan warna biru lautan dan putihnya pasir. Langit yang bersih seakan menjadi garis ujung lautan.Alice tidak dapat berkedip, gadis itu terkesiap memandangi luasnya keberadaan air yang jauh lebih besar dari pandangan matanya.Tanpa sadar Alice mengusap lengannya merasakan seluruh permukaan kulitnya meremang. Semua yang Alice pandang ternyata jauh lebih hebat dari apa yang dipikirkan selama ini. Jantung Alice berdebar-debar seakan tengah jatuh cinta dengan semua yang tengah dilihatnya.Theodor menepikan mobilnya di ujung jalan bebatuan.“Ayo keluar,” suara Theodor yang memanggil menyentak lamunan Alice.Alice terperangah, dia terlalu fokus melihat sesuatu yang ada di hadapannya
FlashbackHari itu hujan deras turun tanpa henti sejak pagi hingga menjelang sore, musim gugur yang datang benar-benar berhasil membasahi seluruh permukaan yang ada.Dari celah teralis besi, air turun masuk ke dalam bak air terjun.Alice berdiri sudah cukup lama di sudut ruangan, kakinya tampak gemetar dan wajahnya pucat pasi karena kedinginan. Air sudah masuk hampir sampai melewati mata kaki Alice.Meski teralis itu sempat ditahan dengan kayu agar air tidak masuk, namun tetap saja derasnya permukaan diluar berakhir di ke tempat tinggalnya.Alice sudah lelah mengambil air di dalam ruangan sempit itu dengan ember, alih-alih membaik, air hujan yang masuk kian banyak karena hujan semakin deras.Tidak ada tanda-tanda hujan akan mereda, sementara volume air akan semakin naik seiring dengan berjalannya waktu.Bibir Alice menekan gemetar kedinginan, gadis itu memandangi lemari butut tanpa pintu, di atasnya ada beberapa pakaian dia simpan untuk diselamatkan.“Aku tidak tahan,” bisik Alice den
“Apa yang membawa Anda datang ke sini?” tanya seorang pria berbadan besar dengan wajah yang dipuhi bekas luka tebasan dipermukaan kulitnya.Ivana menghela napasnya dengan berat, dia pergi sejauh ini untuk menemui seseorang, dan kini ketika mereka bertemu, Ivana sedikit ragu dengan keputusannya. “Nyonya Ivana,” panggil Justin.“Aku memiliki pekerjaan untukmu,” jawab Ivana terdengar tenang meski tubuhnya dipenuhi oleh ketegangan.Justin bersedekap, pria itu tersenyum simpul. “Katakan saja pekerjaannya apa.”Ivana terdiam dalam waktu yang lama, keraguan dan ketakutan menjadi satu, menahan Ivana untuk berbicara. Pikiran dan perasaan Ivana sedang sangat tidak tentram semenjak diganggu Giselle di butik, Ivana menjadi sulit tidur dan histeris tidak terkendali.Datangnya Giselle menjadi momok besar dalam rumah tangganya.Selama Giselle masih hidup, bahkan meski jika dia berada di balik jeruji penjara, Ivana tidak akan pernah bisa melanjutkan hidupnya dengan tenang jika Giselle masih ada di m
Hayes kembali lebih cepat, kejadian hari ini membuat perasaannya tidak nyaman. Meski Hayes sangat menantikan jika seluruh asset dan statusnya sebagai pewaris segera diumumkan secara resmi, entah mengapa kini dia tidak begitu senang.Justru, keputusan Damian yang memberikan beberapa asset lebih cepat dari perjanjian justru menimbulkan banyak pertanyaan-pertanyaan di kepala Hayes.Ada apa dengan Damian? Apakah telah terjadi sesuatu padanya?Hayes mengambil handponenya dari saku jass, dia memutuskan menghubungi salah satu assistant Damian yang berada di kantor pusat.“Selamat sore Bety, ini aku, Hayes,” sapa Hayes begitu teleponnya tersambung.“Selamat sore, Tuan Muda, ada yang bisa saya bantu?”Langkah Hayes terhenti di sebuah taman. “Aku ingin tahu, kemana aku harus menghubungi ayahku di Thailand.”“Tuan Damian pergi sendiri tanpa ditemani salah satu sekretaris di sini, kami juga kesulitan menghubunginya.”Kening Hayes mengerut samar, jawaban tidak biasa Bety kian menimbulkan rasa pena
Mobil Theodor menepi di depan pintu gerbang kediaman keluarga Borsman. Alice melepas sabuk pengamannya, sesaat dia melirik Theodor yang melihat ke samping luar, sebuah senyuman yang dia sembunyikan dapat Alice lihat di bayangan jendela.Alice ikut tersenyum, teringat Theodor mengajarkannya menulis dan membaca di atas pasir, lalu ombak menyapunya, membawa Alice berlari menjauh sebelum air membasahi kakinya.Betapa menyenangkan hari ini, membangun banyak harapan yang lebih baik untuk hari esok.“Terima kasih untuk hari ini, itu sangat menyenangkan,” ucap Alice memecah keheningan.“Aku juga senang,” jawab Theodor menggantung, melihat ke arah Alice dengan senyuman yang tertahan. Alice terdiam, ada sesuatu yang menahannya untuk tidak segera keluar, tetapi tidak ada hal yang harus dibicarakan lagi karena sepanjang jalan pulang mereka sudah saling bercerita sampai membuat lidah kering.“Sampai jumpa,” pamit Alice sebelum memutuskan pergi keluar, gadis itu melambaikannya tangannya sebagai
Satu menit..Dua menit..Tiga menit telah berlalu, masih tidak ada yang berbicara di antara mereka berdua, keduanya terjebak dalam diam, memandangi lautan yang terlihat lebih tenang dari biasanya.Tangan Alice terkepal meremas permukaan pakaiannya, jika tidak ada yang memulai pembicaraan, Alice akan terjebak lebih lama disini.Beberapa kali Alice menarik napasnya untuk mengumpulkan sebuah keberanian untuk memulai percakapan. “Bagaimana kabar Anda?” tanya Alice.Claud menggenggam kuat ujung tongkatnya, wajahnya bergerak ke sisi untuk melihat keberadaan Alice, bola mata Claud bergerak turun melirik perut Alice yang cukup besar meski usia kandungannya masih muda. Tubuh Alice yang pulih masih cukup terlihat sangat kecil, pasti akan sulit untuknya bergerak saat usia kandungannya mulai menginjak lima bulan.“Berapa usiamu?” Claud balik bertanya.Pandangan mereka saling bertemu, Alice tenggelam dalam sorot mata Claud Borsman yang pekat. Alice sudah terbiasa hidup dikelilingi orang-orang yan
Tangisan Eniko kian kencang, hatinya terguncang hebat oleh kata-kata yang tidak pernah sekalipun dia harapkan akan terucap dari mulut Theodor. Hidup Eniko berubah hanya dalam semalam, hatinya hancur seolah dunia disekitarnya runtuh tinggal debu. Eniko tidak pernah seputus asa ini dalam hidupnya hingga dia tidak dapat melihat masa depan lagi.Eniko malu bila terus egois mengikuti kata hatinya untuk tetap mengejar Theodor. Pria itu pantas mendapatkan wanita yang sebanding dengannya, Eniko tidak ingin keberadaannya membuat Theodor malu.“Menangislah sampai semua sesak didadamu berkurang,” nasihat Theodor terdengar sedikit canggung. Ini untuk pertama kalinya dia melihat Eniko menangis, memeluknya lebih dulu dan ini untuk pertama kalinya.Menyadari situasi yang kini tengah tidak begitu baik, perawat yang mengurus Eniko memilih mundur secara perlahan dan pergi meninggalkan ruangan untuk memberi mereka waktu luang.Ruangan itu kini hanya terdengar tangisan dan pelukan hangat Theodor yang sec
Theodor mengusapkan telapak tangannya pada sisi celana, menyingkirkan keringat dingin yang mengganggunya. Dia gugup tanpa asalan, beberapa kali dia harus menarik napasnya agar mendapatkan sedikit ketenangan sebelum mengetuk pintu dan memberanikan diri untuk masuk ke dalam ruangan tempat Eniko dirawat.Dua langkah Theodor memasuki ruangan, pandangan Theodor langsung tertuju pada Eniko yang tengah duduk di ranjangnya, wanita itu memandangi jendela di depannya.Theodor melangkah dengan hati-hati sampai pada akhirnya Eniko menengok ke arahnya dan mereka terjebak dalam diam saling memandang satu sama lainnya.Napas Theodor tertahan di dada, melihat sisi wajah Eniko yang bengkak dan memiliki lebam cukup pekat hingga menghabiskan separuh wajah cantiknya, tangannya tepasang infusan dan dia mengenakan pakaian pasien.Mungkin butuh waktu beberapa hari agar lebam itu menghilang dari wajahnya.Dengan langkah yang berat Theodor mendekat dan berdiri di sisi Eniko yang tidak dapat mengalihkan pandan
“Mengapa Ayah membawanya kesini? Ayah tahu kan jika aku sangat membencinya.”“Aku juga tidak memiliki alasan apapun untuk dikatakan,” jawab Damian pelan.Damian tidak mengerti dengan alasan Claud yang mau datang menemui Alice, tidak seperti biasanya dia tertarik pada hal yang tidak menguntungkan. Anehnya, ada sesuatu yang tidak biasa dari Claud Borsman tunjukan, sepanjang perjalanan menuju Emilia Island, Claud hanya menanyakan kesehatan Hayes dan Alice, dia tidak membahas bisnis apapun.Hayes menghisap rokoknya, kepulan asap terlihat bergerak keluar dari mulutnya. Suasana hati Hayes telah dirusak oleh keberadaan Claud Borsman. “Jangan pernah coba-coba untuk mendamaikan aku dengannya, sekeras apapun Ayah berusaha, itu tidak akan berhasil,” peringat Hayes.“Aku tidak akan pernah memaksamu untuk memaafkan kesalahannya Hayes,” jawab Damian dengan nada menggantung. Dalam satu tarikan napas panjangnya Damian kembali berkata, “Hayes, selama ini, sebelum kau mengetahui kebenaran siapa diri
Wajah Claud Borsman berubah pucat, terkejut oleh sesuatu pertanyaan yang tidak pernah dia sangka. Claud Borsman terdiam membungkam kehilangan kata-kata untuk menjawab.Terlahir dari kelas bangsawan membuat Claud Borsman tebiasa dilayani dalam setiap hal, terbiasa menerima rasa hormat dari orang lain yang membangun jiwa angkuh di dalam dirinya.Keangkuhan itu membuat Claud Borsman tidak pernah meminta maaf dan bebas bertindak semaunya tanpa peduli itu benar atau salah, Claud Borsman tumbuh tanpa rasa penyesalan disetiap tindakan yang diambilnya karena dia menganggap setiap manusia yang terlibat dalam hidupnya sebatas objek sesaat.Claud Borsman sendiri tidak pernah tersinggung dengan kritikan tajam siapapun, dia terus berjalan di jalan yang menurutnya benar tidak peduli dengan halangan siapapun, karena siapapun yang berani menghalangi jalannya, Claud Borsman akan menyingkirkannya.Sekarang Hayes menutut maaf darinya?Apakah Claud Borsman bisa melakukannya? Apakah permintaan maaf akan s
“Sepertinya paman Damian sudah datang,” gumam Athur melihat sebuah mobil khusus telah terparkir di depan salah satu parkiran khusus resort.Athur menepikan mobilnya ke sisi. “Aku harus pergi memeriksa restaurant dulu.”Alice mengangguk dengan senyuman, gadis itu bergeser dan melangkah keluar ketika pintu disisinya sudah dibukakan oleh Hayes. Sementara Athur memutar balik mobilnya dan pergi meninggalkan tempat.Alice dan Hayes memasuki resort, sempat Hayes menanyakan kedatangan Damian dan menanyakan keberadaannya saat ini kepada seseorang yang menyambut.Resort yang dibangun sekitar satu tahun lalu itu akan segera diresmikan dalam waktu dekat karena pembangunan yang masih berjalan membutuhkan waktu satu tahun lagi.Jarang sekali mereka datang ke tempat ini meski sudah beberapa kamar yang tersedia, Alice dan Hayes lebih suka menghabiskan waktu mereka berdua di paviliun menjalani kehidupan yang sederhana. Hayes sesekali datang ke tempat ini untuk melakukan pertemuan dengan beberapa rekan
Gelombang ombak menari-nari dibawah langit sore yang cerah, permukaan laut terlihat indah dilukis bayangan cahaya matahari sore, sapuan angin membelai pipi, suara burung terdengar bernyanyi di udara dan bibir pantai.Bayangan lumba-lumba yang tengah berenang terlihat dibawah permukaan air, suaranya terdengar di antara gemuruh air, mereka berenang dengan cepat dan sesekali melompat, cipratan air menyentuh ujung permukaan yachts.Alice beranjak dari duduknya dan mendekat pagar untuk melihat mereka lebih dekat. Alice tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca, pemandangan indah ini masih terasa seperti mimpi untuk Alice meski dia sudah tinggal di Emilia Island lebih dari setengah tahun lamanya.Pulau ini sangat indah seperti negeri dongeng, terkadang keindahannya seperti sesuatu yang mustahil benar-benar ada di dunia nyata.Emilia Island dimiliki seorang salah satu miliarder negeri ini sekaligus salah satu anggota kerajaan, orang itu bernama Julian Giedon, dulu pulau ini hutan belantara sel
“Pak Damian,” panggil Duma memasuki ruangan Damian dan mendapatinya tengah berkutat dengan setumpuk pekerjaan yang harus dikerjakan besok akan diselesaikan hari ini juga.Damian tidak sabar ingin pergi ke Emilia Island dan berkumpul dengan keluarganya untuk merayakan kabar cucu kembarnya yang kini masih berada dalam kandungan Alice.Damian berencana untuk pergi meninggalkan kantor pusat selama dua hari dan menghabiskan waktunya bersama Alice juga Hayes.Damian tidak ingin kehilangan setiap moment perkembangan cucunya yang sangan dia nantikan.Usia Damian sudah menginjak enam puluh tahun, dan meski dia sudah menikah, namun Damian tidak pernah sekalipun mengalami fase dimana dia mendampingi seseorang yang mengandung hingga melahirkan dan merawatnya sampai tumbuh besar.Meski Damian menikahi Ivana dan menjadi ayah untuk Hayes, namun itu dilakukan sejak Hayes akan memasuki bangku taman kanak-kanak.Itupun, butuh proses yang sangat lama bagi Damian bisa menyayangi Hayes setelah dia tahu Ha
Seikat bunga mawar kuning berada dalam genggaman, Theodor berdiri dalam ketegangan menatap dua pintu besar di hadapannya yang terjaga oleh dua orang tentara.Kapan terakhir kali Theodor datang ke rumah Eniko? Sepertinya saat dia masih berada di bangku sekolah dasar. Saat itu Theodor menghadiri pesta ulang tahun Eniko yang ke lima, sejak malam pesta ulang tahun itu, Theodor tidak pernah lagi mau datang ke rumah Eniko karena sebuah alasan yang kuat. Theodor masih ingat ada sebuah kejadian memalukan yang dia alami ditengah pesta karena Eniko. Eniko mengajaknya pergi berdansa, karena Theodor mengantuk dan menolak keinginannya, Eniko menggigit pipinya sampai Theodor menangis hingga menjadi tontonan banyak orang.Bila ingat-ingat lagi, Theodor tidak memiliki kenangan baik setiap kali bersma Eniko. Eniko selalu saja menciptakan warna kacau dalam hidup Theodor.Sangat menyebalkannya lagi Theodor tidak bisa berbicara kasar ataupun melakukan sedikit kekerasaan karena Eniko seorang perempuan.