"Mama." Hari minggu, masih pukul enam pagi dan Tasya sudah cantik dengan setelan merah muda dan rambut di kuncir kuda adalah pemandangan yang langka."Tumben anak Mama sudah cantik?" tanya Najwa heran."Ih, Mama. Tasya kan udah janjian sama om ganteng. Mama beneran nggak ikut?" Tasya duduk di samping ibunya, menerima segelas susu bikinan mbak Nia. Dafa memang membawa banyak perubahan baik pada Tasya, Tasya akan menuruti apa yang Dafa katakan. Seperti saat Tasya malas belajar ketika disuruh ibunya, ketika Dafa yang meminta ia akan menurut."Nggak bisa, Mama mau beresin kamar tamu. Minggu depan kakek sama nenek mau ke sini." Ayah dan ibu Najwa akan menginap minggu depan. "Sama mbak Nia nggak pa-pa kan?""Ya udah deh, Tasya juga kangen sama nenek sama kakek. Tasya mau dibikinin kue kayak yang dulu." Meski bukan cucu kandungnya tetapi ibu sambung Najwa begitu menyayangi Tasya."Mama mau dibeliin apa?" tanya Tasya setelah menghabiskan segelas susu coklat hangatnya."Cepet pulang nggak?" "
"ini tempat yang strategis, Bu. Beberapa tahun lagi tempat ini pasti akan sangat ramai," ucap Nadir pada Najwa saat menunjukkan lokasi yang akan dibangun resort oleh Yogi. "Pantainya mulai dikenal wisatawan, banyak juga yang dari luar kota sudah sampai sini," lanjutnya.Tanah ini lumayan luas dengan harga di bawah pasaran membuat Najwa menyetujui pembelian."Saya sedang butuh banyak uang untuk operasi anak saya, kalau Ibu sudah setuju dengan kesepakatan yang di sampaikan pak Nadir. Saya akan segera mengurus surat-suratnya," ucap pemilik tanah."Saya setuju, Pak. Untuk pembayaran saya minta nomer rekening Bapak, nanti saya transfer."Setelah disepakati harga pembelian, mereka membuat surat perjanjian dengan bubuhan tanda tangan masing-masing.Najwa berjalan mengitari pinggir pantai, kilas kejadian yang pernah terjadi bertahun lalu mulai membayang."Kamu mau nikah sama aku, Wa?" tanya seorang lelaki berkaos hitam. Tidak ada cincin, tidak ada bunga, hanya pertanyaan yang terucap karena s
"Anak yang mana?" ucap Najwa ketus."Anak yang ditemui Ferdi. Anak perempuan yang bersamamu itu. Apa benar dia anak Ferdi?" tanya wanita itu dengan bersemangat."Anak yang ditolak keberadaannya bahkan sebelum dia lahir itu? Anak dari wanita mandul yang diusir dari rumah saat memberitahu keberadaannya itu?" sindir Najwa."Maafkan Mama, Wa. Waktu itu Mama nggak tau kalau kamu serius. Mama kira kamu hanya mencari simpati. Maafkan Mama," ucap wanita itu mengiba."Anak yang saya kandung, saya lahirkan dan saya rawat sendiri tanpa dampingan suami itu adalah anak saya, hanya anak saya," tegas Najwa."Maafin Mama, Wa. Mama ingin bertemu cucu Mama. Izinkan Mama menemuinya." Wanita itu mulai menangis.Bukan iba yang Najwa rasakan, ia justru semakin muak dengan tingkah wanita di depannya ini. Kenapa mereka semua begitu berkeras untuk bertemu dengan anaknya, yang bahkan tidak di akui sebelum ia dilahirkan."Jangan merasa paling menderita, Bu. Selama lima tahun ini apa pernah sekali pun Ibu terpik
Satu minggu sudah berlalu dari kejadian di ruangan Najwa waktu itu hingga kini hidupnya kembali damai, tiada gangguan dari dua orang itu.Setiap akhir pekan Dafa selalu mengajak Tasya bersepeda keliling komplek, seperti pagi ini. Yang berbeda dari minggu biasanya adalah keikut sertaan Najwa."Mama mau makan apa?" tanya Tasya saat mereka baru saja memarkir sepeda di sekitar taman."Tasya pengennya apa? Mama ngikut aja," jawab Najwa."Tasya mau makan batagor, sama mau es kelapa," jelas Tasya.Di sekitar taman memang berjajar penjual aneka makanan, tak ayal banyak sekali orang berkumpul untuk olahraga atau sekedar mencari makanan."Om pesenin dulu ya," ujar Dafa pada Tasya, ia lalu beralih pada Najwa. "Mbak mau batagor juga?" tanya Dafa."Boleh deh, minumnya teh anget aja," jawab Najwa.Dafa mengangguk lalu menghampiri lapak pedagang sementara Tasya dan Najwa mencari tempat duduk yang masih kosong.Tidak lama Dafa sudah menyusul Najwa dan Tasya, ia duduk di samping Tasya dan berhadapan d
"Aku panggil Tasya dulu." Najwa tidak menanggapi godaan temannya itu."Bian udah kenalan sama Om ganteng? Tadi Tasya habis sepedaan bertiga loh, seru banget pokoknya." Tasya yang kini sudah bersama Bian, begitu antusias menceritakan pengalamannya bersama Dafa. Bian hanya mengangguk mengiyakan.Setelah mengobrol akhirnya Tania pamit membawa Bian dan Tasya pergi berenang. Najwa tidak bisa ikut karena hari ini ayah dan ibunya akan datang."Titip Tasya ya, nanti kalau ada apa-apa kabarin," ucap Najwa."Siap. Jangan lupa nanti cerita soal dia, aku penasaran loh," ucap Tania. Tania bisa melihat kalau Dafa memang tertarik pada Najwa."Apaan sih, udah sana berangkat," usir Najwa."Om ganteng sama Mama dulu ya, Tasya mau renang sama Bian dulu," pamit Tasya."Siap, Tasya harus nurut sama tante Tania ya." "Nanti Tasya kabarin kalau udah pulang. Om ganteng nanti main kesini lagi ya," pinta Tasya. Ia sebenarnya masih ingin bersama om gantengnya, namun karena sudah berjanji berenang bersama Bian m
"Tadi gimana perjalanannya, lancar?" tanya Najwa pada ayah, ibu juga adiknya. Mereka baru saja tiba setelah tiga jam perjalanan dari rumahnya."Alhamdulillah, lancar Macet pas di jembatan baru tapi nggak lama," jawab Bari."Tasya mana?" tanya Rahma, istri Bari. Meski ibu tiri tapi Rahma menyayangi Najwa selayaknya ibu kandung, karena rumah yang jauh membuat mereka jarang bertemu."Masih tidur, habis pulang renang. Paling bentar lagi bangun." Najwa mempersilakan tamunya masuk. "Makan siang dulu aja ya? Tadi Mbok Sani udah masak kesukaan Ayah sama Ibu." Najwa mengajak mereka menuju ruang makan."Kesukaan aku nggak ada, Mbak?" tanya Sandi, adik tiri Najwa. Meski bukan saudara kandung, tetapi mereka cukup dekat."Kamu, kan, pemakan segala. Jadi semua pasti kamu suka," ucap Rahma."Bener banget, tukang ngabisin makan kalau lagi ngumpul." Najwa menimpali."Kan sayang kalau makanan dibuang, mending disempurnakan." Jawaban pria berusia dua puluh lima tahun itu membuat semua tertawa. Ia memang
"Kok Tasya tega, sih? Om nangis, loh, nanti." Sandi pura-pura menangis."Abisnya Om jahat, nggak pernah main ke sini lagi. Terus Tasya cari Om ganteng baru, deh."Sandi tidak bisa menahan tawa karena kelucuan Tasya, ia memang begitu dekat dengan keponakannya itu. Dulu saat masih awal-awal kuliah ia sering bermain ke rumah Najwa, karena jarak tempat ia kuliah dan rumah Najwa cukup dekat. Tapi setelah ia kuliah sambi bekerja ia jadi jarang kesini. Apalagi sekarang ia sudah pulang ke rumah orang tuanya dan bekerja di sana jadi semakin jauh jarak mereka."Sekarang Om Sandi, kan, udah kerja. Katanya Tasya mau punya tante kayak tantenya Bian. Kalau Om nggak kerja nanti nggak ada tante yang mau, gimana?" terang Sandi, ia berbicara seolah lawannya orang dewasa."Kamu, tuh, jelasinnya kayak sama Ibu aja, Tasya mana ngerti kamu ngomong gitu," tegur Rahma."Ngerti lah, Buk, Tasya, kan, anak pinter," jawab Sandi."Ponakan Om Sandi gitu, lho," ucap Tasya dan Sandi kompak. Najwa dan Rahma tertawa
"Ada tamu kok nggak disuruh masuk," ujar Bari. "Silahkan masuk, Pak. Maaf ini tadi habis makan bakso.""Terimakasih, Pak.""Buatin minum, Wa.""Nggak usah repot-repot, Pak. Sebenarnya tadi cuma mau ketemu Tasya. Maaf ganggu acara kumpulnya." Dafa duduk, Tasya langsung duduk di pangkuan Dafa. Melihat kedekatan Dafa dan cucunya membuat Bari senang."Temannya Najwa?" tebak Bari. Ia memang belum tahu cerita tentang Dafa."Kebetulan saya adik dari temannya Mas Yogi, dan rumah orang tua saya berada di dekat sini. Saya juga pernah menyewa Resortnya Mbak Najwa," jelas Dafa.Mereka mengobrol sembari menunggu Najwa membuat minuman. Rahma memilih duduk di ruang tengah sementara Sandi memilih menyusul sang kakak di dapur."Mbak ada hubungan apa sama Pak Dafa?" cecar Sandi tanpa basa-basi."Hubungan apaan, sih? Kamu, tuh, yang ada hubungan sama dia," jawab Najwa."Ya jelas kalau itu, dia, kan, Bos aku. Mbak beneran, lho, aku tanya. Di kantor dia itu terkenal baik tapi dingin sama cewek-cewek. Ko
Tasya dan Bian menoleh, ternyata Dafa sudah berdiri di ambang pintu."Om." Bian mendekat, ia lalu mencium tangan Dafa."Baru nyampek, Pa," jawab Tasya seraya mendekati papanya."Mau masuk dulu?" tawar Dafa.Sebenarnya Bian tidak enak hati untuk menolak, tetapi ia harus segera pulang. Besok pagi sekali dia harus kembali ke kota sebelah untuk mengumpulkan rupiah."Lain kali aja, Om. Ditungguin mama," tolak Bian. "Kalau gitu Bian pulang, ya, Om. Salam buat mama Najwa sama Davin."Bian berjalan keluar gerbang, Dafa mengikuti untuk menutup gerbangnya. "Udah makan?" tanya Dafa seraya merangkul pundak anaknya, lalu mereka masuk bersama."Udah," jawab Tasya. "Mama sama Davin mana?" Dilihatnya tidak ada orang selain Dafa."Davin lagi ke rumah temennya. Kalau mama ada di kamar. Mau dipanggilin?"Tasya menggeleng. "Papa kalau udah capek istirahat aja, Tasya mau ke atas," ujar Tasya. Ia kini berjalan meninggalkan Dafa."Sya."Tasya berhenti saat papanya memanggil. Lama Tasya memperhatikan papany
"Kapan nih, nikah? Tante udah nggak sabar lihat kalian di pelaminan," tanya Rania. Kini acara susah selesai. Selain keluarga inti Bian, tinggal Tasya dan Rania beserta keluarganya.Mereka tengah berkumpul di ruang tengah. Saat ini Tania sedang berganti baju, tinggallah Rania dan Tasya di sana."Doakan saja, Tante," jawab Tasya. Semua masih rencana, tidak baik untuk diutarakan."Anak Tante sebenarnya juga udah waktunya nikah, tapi sampai sekarang anteng-anteng aja. Nggak tau maunya yang kayak gimana," ujar Rania. Usia anak sulungnya selisih tujuh tahun dari Bian dan Tasya. Harusnya Revan sudah menikah dan Rania susah menimang cucu. Tapi apalah daya, anaknya masih betah sendiri hingga usia tiga puluhan."Mungkin memang belum ketemu jodohnya, Tante," jawab Tasya. Tidak mungkin ia mengatakan karena anak Rania itu memang sombong, jadi susah mendapatkan pasangan. Pasti Rania akan marah padanya."Mbak Tasya, mau minta foto." Radea, anak kedua Rania datang menghampiri."Boleh," jawab Tasya.
"Ma, aku mau berangkat dulu, ya," pamit Tasya pada ibunya.Tidak terasa waktu berjalan dengan cepat. Tasya kini sudah beranjak dewasa. Ia bahkan sudah menjalin kasih dengan Bian, sahabat yang dipuja Tasya sejak kecil."Iya, salam buat mama Tania, ya."Najwa masih sibuk di dapur untuk membuat makan siang. Dafa masih bekerja, sementara Davin belum pulang dari sekolah."Siap, Mamaku yang paling cantik."Tasya mencium pipi mamanya, setelah itu Bian bersalaman dengan Najwa untuk berpamitan."Bian pergi dulu, ya, Ma. Nanti Tasyanya Bian anterin agak malam. Setelah acara selesai," ujar Bian pada Najwa."Iya, Sayang. Mama nitip Tasya. Nanti kalau rewel kamu jewer aja.""Ih, Mama. Tasya udah gede, ya. Nggak ada rewel-rewel segala," protes Tasya yang membuat Najwa dan Bian tertawa.Tasya dan Bian menaiki mobil. Mereka akan pergi ke rumah Bian untuk menghadiri acara keluarga. Sudah beberapa kali Tasya menghadiri acara keluarga di rumah Bian, begitu pun dengan Bian yang juga sering ikut saat ada
Tidak terasa waktu berjalan dengan cepat. Kedekatan antara Ferdi dan Rina akhirnya berakhir ke pelaminan.Saat ini Najwa dan Dafa tengah mempersiapkan perjalanan menuju rumah Ferdi, sementara Tasya sudah di sana sejak beberapa hari yang lalu."Udah masuk semua?" tanya Dafa. Sedari tadi ia sudah memasukkan beberapa tas ke dalam bagasi mobil."Udah kayaknya," jawab Najwa seraya melihat barang-barang yang sudah masuk.Rencananya Najwa dan Dafa akan menginap selama dua hari, sementara Tasya akan menginap selama satu minggu."Aku ganti baju dulu, Davin masih tidur di kamar bawah," ujar Najwa seraya meninggalkan Dafa yang tengah memanasi mobil.Najwa tidak langsung memakai baju untuk acara, tetapi ia memakai baju biasa dulu. Mengingat perjalanan dari rumahnya menuju rumah Ferdi cukup jauh.Mereka berangkat setelah semua sudah siap. Davin masih terlelap saat mereka memulai perjalanan.Sesampainya di rumah Ferdi, suasana sudah sangat meriah. Pesta akan dilaksanakan di rumah Ferdi saja karena
"Rudi yang bilang, Ma?" tanya Dafa pada ibunya Nila. Mereka sudah sangat akrab dari Dafa kecil, jadilah Dafa memanggilnya mama juga."Iya," jawab Lastri. "Mama mau minta maaf atas nama Nila dan Rudi. Selama ini mereka sudah nyakitin kamu. Mama masih punya banyak uang untuk membayarnya dan itu juga bukan tanggung jawabmu," lanjut Lastri.Sejahat apa pun Nila dan Rudi, Dafa tetap menyayangi Lastri. Baginya, Lastri tetaplah ibu yang baik."Dafa emang pengen ngasih, tapi bukan paksaan dari Rudi juga. Ini murni keinginan Dafa. Mama terima, semoga bisa membantu." Dafa menyerahkan amplop pada Lastri. Sebelum ini, ia sudah berbicara pada istrinya dan mereka sepakat untuk memberi sumbangan."Jangan, Nak. Mama nggak mau bebanin kamu," tolak Lastri seraya mengembalikan amplop itu pada Dafa."Dafa ikhlas, Ma. Nggak banyak, tapi semoga bisa bermanfaat. Terima ya, Ma." Akhirnya Lastri mengalah. Ia menerima uang pemberian dari Dafa seraya mengucap terimakasih.Hingga sore Dafa dan Najwa masih berad
"Ada apa?" Najwa bertanya saat dilihatnya suaminya hanya diam seraya menatap ponsel yang menyala."Lihat ini." Dafa memberikan ponselnya pada Najwa.Najwa menggelengkan kepalanya. Merasa heran karena masih ada orang yang tidak tahu malu macam Rudi."Kamu nggak perlu menanggapinya. Ini bukan tanggung jawabmu, Mas."Najwa menyerahkan kembali ponsel Dafa, ia lalu meraih Davin untuk memandikan anak itu.Dafa memilih memblokir nomor Rudi. Ia tidak ingin rasa sakit hati mempengaruhi kehidupan rumah tangganya. Rudi sudah sangat dewasa untuk mengatasi masalahnya sendiri."Aku mau beli nasi goreng dulu, ya," pamit Dafa."Iya," jawab Najwa dari kejauhan. Ia sudah bersiap untuk melepas baju Davin.Davin sudah wangi dan tampan. Rambutnya yang lebat dibelah pinggir. Pipi besarnya membuat siapa pun pasti gemas saat melihat Davin.Davin kini sudah kembali bermain, sementara Najwa mengambil piring untuk menikmati nasi goreng yang dibeli Dafa."Mama tadi kirim pesan," ujar Dafa seraya menyuap nasi gore
"lucu kamu, Rud." Hanya itu komentar Dafa. "Maafkan atas semua kesalahanku dulu, Daf. Aku tau kamu masih marah, tapi tolong pikirkan nasib anak kecil yang tengah kritis."Andai tidak kritis, pasti Rudi tidak akan datang menemui Dafa."Aku serius, Daf. Saat ini anak aku di rumah sakit sama ibunya. Anakku butuh donor darah karen dia sudah kehabisan banyak darah," ungkap Rudi.Dafa tidak habis pikir kenapa dulu ia bisa bersahabat dengan orang-orang yang tidak punya hati."Cari saja orang lain, itu bukan urusanku."Secara tiba-tiba Rudi merosot, ia kini sudah bersimpuh memohon pada Dafa. "Kali ini saja, aku mohon bantuin aku. Cuma kamu satu-satunya harapanku, Daf."Dafa memalingkan wajahnya. Satu sisi ia tidak tega dengan anak itu, tapi di sisi lain ia juga amat membenci orang tuanya."Pergi kamu!" usir Dafa."Kamu mau bantu kan, Daf?" Rudi masih saja memohon."Lihat nanti," ujar Dafa seraya beranjak dari tempatnya duduk. "Pergi dari sini kalau mau aku bantu," lanjut Dafa.Wajah Rudi kin
Dafa hanya membunyikan klakson sebagai tanda pada orang yang ada di dalam untuk membukakan pintu. Ia tidak sedikit pun berniat untuk turun dari mobil menemui Rudi.Najwa turun terlebih dahulu setelah mobil berhenti di halaman rumah mereka, sementara Dafa masih terdiam di tempatnya."Sayang, aku bawa Davin masuk dulu. Abis ini aku ke sini lagi," ujar Najwa. Ia sangat mengerti kegelisahan yang dirasakan suaminya. "Kalau kamu belum siap ketemu, tunggu aku aja," lanjutnya lalu meninggalkan Dafa untuk membawa Davin ke kamarnya."Pak, ada tamu yang ingin bertemu," ujar Seto setelah mengetuk pintu mobil majikannya itu.Dafa menghela napas kasar. Semua sudah berlalu, Dafa memang harus berdamai dengan masa lalu."Suruh dia masuk, Pak," putus Dafa. Ia turun dari mobil. Berjalan dengan gontai ke dalam rumah.Dafa terus berjalan hingga ia sampai di dapur. Dafa mengisi gelas kosong dengan air dingin. Berharap isi kepalanya juga ikut dingin."Tenang. Semua masalah pasti bisa kamu atasi. Ada aku di
"Lho, ada tamu ternyata."Najwa dan Dafa menoleh saat ada seseorang yang datang ke rumah Ferdi. Ternyata itu adalah Rina, ibu dari Sena."Ini ibunya Sena?" Najwa segera berdiri untuk menghampiri Rina.Rina menerima uluran tangan Najwa. "Iya, Mbak. Saya Rina.""Saya Najwa, ibunya Tasya," ujar Najwa memperkenalkan diri. Beberapa kali hanya mengetahui dari cerita anaknya, akhirnya kini Najwa bisa berkenalan secara langsung.Cantik, adalah kesan pertama yang Najwa lihat dari Rina. Orangnya juga ramah dan supel. "Saya kira tadi Tasya dijemput papanya seperti biasa, ternyata dianterin sekeluarga ke sini. Akhirnya bisa ketemu juga ya, Mbak."Rina kini ikut duduk di ruang tamu Ferdi, bercengkrama dengan keluarga Najwa."Tasya itu anaknya ceria banget, jadinya Sena kebawa suasana. Biasanya dia pendiam kalau pas sendiri. Makanya saya senang kalau Tasya pas nginep sini," ujar Rina berterus terang.Sena sudah berusia delapan tahun saat orang tuanya bercerai, jadi wajar kalau ia mengalami dampak