Bibir mereka beradu seirama, lidah yang saling membelit, mengisap dan mengabsen satu persatu detail mulut masing-masing. Semakin dalam dan melibatkan gairah. Suara cecapan itu memang keras, tapi mereka yakin tidak akan sampai membangunkan Miko di sebelah mereka. Tangan Saga sudah menyusup ke dalam piyama Lian, tapi ia merasa tidak leluasa dan tidak adil ketika kaosnya saja sudah dilepaskan. Maka, Saga menghentikan ciuman mereka dan memundurkan badan untuk membuka kancing piyama Lian. Seperti biasanya, Lian tidak pernah memakai bra saat akan tidur, jadi Saga tidak perlu repot-repot membuka kaitannya. Saga menciumi aatu gundukan itu, mengulumnya dan menggigit sesekali. Tangan satunya aktif menangkup payudara Lian yang lain, memainkan dan memelintir atasnya dengan gerakan fluktuatif. Ketika Saga melakukannya terlalu keras, Lian akan melengkungkan dadanya ke atas dan kaki-kakinya bergerak tidak karuan.Lian mendesah tertahan, menggigit bibirnya sendiri keras-keras. Ia menarik kepala Saga
04.00Pagi terlalu pagi dan Miko sudah berhasil membangunkan dua orang dewasa di samping kanan dan kirinya. Ia sudah seperti gangsing dan berceloteh keras-keras. Lian dan Saga terpaksa membuka matanya. "Miko, kamu sudah bangun?" Lian menegakkan tubuhnya dan bersandar di kepala ranjang. Ia menarik Miko mendekat dan menciumnya dengan gemas. Tangan Lian meneluk tubuh mungil itu tanpa perlawanan.Tangan Saga juga terulur untuk menyentuh kaki Miko dan mengusapnya lembut."Mimimi ... Mimimi ... " ocehnya.Sejak Miko di sini, Lian sudah mulai paham sedikit demi sedikit apa yang Miko mau. Ia pun melirik ke arah Saga dan mengodenya untuk membuatkan susu.Dengan wajah pura-pura sedih, Saga bangkit dari tidurnya dan melesat ke dapur. "Mimimi ... ""Sebentar ya, susunya baru dibuatkan uncle.""Cucucu ... Cucucu ... " Miko mulai memperlihatkan wajah kesalnya karena meminta susu.Lian pun bangkit dan menggendong Miko keluar kamar. Ia mencarikan mainan Miko sambil menunggu susunya selesai dibuat.
Selesai sudah tugas Saga dan Lian menjadi babysitter Miko.Lian meregangkan otot-ototnya di dalam mobil setelah dari pagi buta sampai siang mengurus Miko dengan segala tingkah ajaibnya. Ya, memang ia tidak sendirian. Tentu Saga menjadi uncle yang juga siaga mengurus Miko. "Kerjasama yang baik sayang," ucap Saga sambil menepuk puncak kepala Lian dengan bangga."Lain kali kalau Anggi menitipkan Miko, harusnya kita tidak perlu keberatan lagi kan Mas? Kasihan juga jadi Anggi. Fadil kalau sakit manjanya minta ampun, mana adik dan orangtua Fadil sibuk terus dan terkesan tidak peduli. Lihat kan Mas, wajah Anggi terlihat menua sekarang?""Jadi solusinya dia harus punya babysitter atau perawatan wajah?" Lian memutar kedua bola matanya. "Aku serius Mas. Kenapa kamu selalu merespon dengan bercanda terus?"Saga tertawa. "Iya iya maaf sayang. Tapi menurut pandanganku, Anggi tahu apa yang dia mau dan lakukan. Apa yang kita lihat di luar belu
"Akan aku beri tutorial cara memblokir nomornya."Saga yakin Lian sudah tahu bagaimana cara memblokir nomor di aplikasi chat ini. Namun, Saga gemas saja ketika Lian menganggap ini hanya pesan iseng semata dan ia tidak langsung bilang saat Saga bertanya. Jelas ini bukan iseng, tapi niat. Mantan kurang ajar Lian itu benar-benar tidak punya muka atau bagaimana? Mau meminta maaf dan bertemu dengan mereka? Saga tersulut emosi, tapi ia tahan-tahan.Saga mendekatkan ponselnya ke depan Lian dan menekan nomor itu lalu memblokirnya secara terang-terangan. Lian bergeming dan melihat suaminya mengendalikan ponselnya.Sampai mereka selesai makan dan perjalanan menuju kantor Lian, Saga terlihat jadi pendiam. Padahal bukan maksud Lian mau menyimpan pesan itu atau menuruti apa yang ada di pesan itu. Mungkin tidak akan pernah lagi ia mau bertemu dengan Fahri. Akan tetapi, disituasi tadi, ia mau menjaga perasaan Saga dengan tidak langsung bilang jika itu pesan dari Fahri. Lian hanya tidak mau mencari ma
Suasana rumah Ine dan Rio sangat ramai. Ada keluarga besar, kerabat dekat dan sahabat Ine dan Rio. Siang ini mereka mengadakan syukuran untuk kelahiran putra kecil mereka. Semalam, setelah pulang kerja dan mampir ke apartemen Hana untuk menitip barang, Lian dan Saga menyempatkan diri untuk mencari kado untuk Ine dan anaknya.Sayangnya, siang ini Lian hanya datang sendiri tanpa Saga. Suaminya itu harus berangkat kerja dan pasti pekerjaannya menumpuk di kantor karena kemarin ijin tidak masuk demi mengantarkan Miko dan dirinya ke tempat Cika.Lian memberikan kadonya untuk Ine dan memeluknya, mengucapkan selamat meski sudah pernah di rumah sakit waktu itu."Saga kerja ya?" Dengan ekspresi sok sedih, Lian menganggukkan kepalanya. "Sofi juga datang sendirian itu. Andri pasti juga sama sibuknya dengan Saga, mengingat mereka kan satu kantor.""Ya, pasti. Eh iya, mana adik bayi?" tanya Lian yang celingukan mencari keberadaan si bayi itu."Itu, sedang digendong omanya," jawab Ine sambil menunj
Sudah sejak pagi, Lian duduk di depan kaca dengan lampu-lampu Led menyilaukan mata dan make up artist serta hairdo yang sedang sibuk menangani dirinya. Keramaian orang-orang memenuhi segala ruangan, tidak terkecuali ruangannya. Hana sejak tadi juga mondar-mandir kesana-kemari, mengkoordinir dan mengurus ini dan itu. Pokoknya sangat hectic dan super sibuk. Tak jarang teriakan yang memekakkan telinga membuat Lian menghela napas juga. Kadang kesabaran orang di sini sangat setipis tisu, itupun di bagi dua. Kalau tidak punya kesabaran tinggi, mungkin bisa terkena gejala struk tiba-tiba.Orang-orang membicarakan ini dan itu, mulai dari hal remeh-temeh, edukasi sampai hal paling gelap sekalipun. Positifnya, orang-orang yang bekerja sama dengannya, terutama di ruangan ini, adalah orang yang seru. Mereka suka bercanda dan mudah membuat Lian tertawa. Pokoknya ia tidak akan cepat tua. Namun khusus hari ini, sepertinya orang-orang sedang serius dan mengurangi bercanda.Ya bagaimana? Ini acara be
Tiba-tiba ia sudah berada di backstage, di ruangannya. Rasa sakit di kakinya semakin menjadi dan ia hanya bisa menunduk dalam, mengerang untuk menahan rasa sakit itu saat dia dibaringkan di sofa. Keringat dingin bercucuran di keningnya.Seseorang melepaskan heels tingginya dan menyingkirkan tangan Lian dari pergelangan kaki itu. Hana berceloteh khawatir, begitupun Boni, dan yang lainnya. Itu suara-suara yang masuk ke telinganya, tapi Lian jelas tidak fokus oleh itu.Lalu, saat ia mendongak dan membuka matanya, rupanya yang sejak tadi menggendongnya, melepaskan heelsnya adalah Saga. Memang bau parfum dan rasa gendongannya tidak asing. Wajah lelaki itu memerah dan tatapannya khawatir bukan kepalang menatap Lian.Setelahnya, Saga mundur sejenak dan mempersilakan seorang tenaga medis perempuan untuk menangani Lian. Saga meremas pundak Lian, memberikan ketenangan. Namun, bukannya Lian tenang, ia justru semakin gelisah. Lupakan dulu soal penyebab ia bisa tidak fokus dan terjatuh. Yang ia p
Dilihat dari hasil Rontgen, dokter bilang kaki Lian ada sedikit goresan pada tulangnya. Hanya sedikit dan berbentuk garis kecil di gambar tersebut. Lian dan Saga menyimak dengan seksama.Alhasil, kaki Lian akan di gips dan diminta untuk tidak melakukan aktifitas berat dulu."Kamu harus fokus penyembuhan dulu jika memang modeling adalah pekerjaanmu.""Kira-kira berapa lama Dok penyembuhannya sampai benar-benar sembuh total?" tanya Saga mewakili Lian yang sejak tadi sepertinya enggan banyak bicara."Rata-rata tiga sampai enam bulan. Tapi tergantung tingkat keparahannya."Lian membuka bibirnya dan melebarkan matanya tidak percaya. Bulanan? Bagaimana dengan segala aktivitasnya? Pekerjaannya? Memang ia bisa berdiam diri terus selama itu?"Kalau ini mungkin beberapa minggu saja. Saya sarankan makan makanan yang banyak mengandung vitamin D untuk proses penyembuhannya lebih cepat. Tidak apa-apa, jangan terlalu sedih. Mungkin setelah mera
Sudah terlalu lama Lian berjibaku dengan pikirannya sendiri. Dengan asumsi bahwa setelah Fahri kembali dari menuntut ilmu di luar negeri, lelaki itu tidak akan mengenali Lian lagi. Terbukti, waktu itu Lian diam-diam datang ke rumah Fahri saat lelaki ia sedang liburan dan pulang ke tanah air. Fahri sedang sangat buru-buru memasuki mobilnya. Fahri semakin menawan dengan setelan jas mahalnya. Dari sana, Lian bisa menyadari bahwa ia masih belum bisa bersanding dengan Fahri. Meski perasaannya mungkin tidak berubah, kenyataan menyentaknya untuk berhenti. Berhenti mengharapkan diri kembali pada Fahri dan berhenti berharap. Maka, ia pun pergi dari kompleks rumah itu setelah melihat mobil Fahri menghilang di belokan gang. Ia merasa menjadi manusia yang paling putus asa, saat itu. Ia menaiki bis untuk kembali ke kost-kostannya yang masih empat kali empat itu. Namun, justru takdir mempertemukannya dengan Saga.Seolah alam semesta tidak bekerja sendiri, ada andil takdir juga, ia dan Saga akhirnya
Selayaknya pagi adalah waktu yang tepat untuk mengawali hari, pertengkaran mereka di malam hari selalu teredam di waktu pagi. Mereka akan baikan dengan sendirinya di pagi hari. Namun kali ini, tidak. Semalam, Saga dengan kemauannya sendiri tidur di sofa ruang tengah setelah mengisolasi diri di ruang kerjanya. Lian juga tidak berinisiatif untuk menawarkan Saga tidur di kamar. Ia hanya membawakan selimut ketika malam telah larut dan Saga sudah terlelap. "Aku berangkat," pamit Saga kepada Lian di ambang pintu kaca pembatas antara ruang tengah dan dapur. Lelaki itu bahkan tidak repot-repot menghampiri dan memberikan kecupan hangat kepada Lian. Jangankan itu, menoleh barang sejenak saja tidak. Saga melenggang pergi menuju carport."Mas ... " Lian menyusul Saga ke carport dan memberikan satu kotak makan. "Aku mungkin tidak bisa ke kantor kamu membawakan makan siang. Hana sudah mengatur kembali jadwal kerjaku. Jadi, bawa ini untuk makan siang."Tanpa berkata apa-apa, Saga meraih kotak maka
"Semua yang ada di kepalamu isinya hanya kamu meragukanku, Lian."Saga lantas meraih laptopnya dan membawanya ke ruang kerja. Sebelum mencapai ambang pintu, Saga menoleh lagi dan berkata sesuatu yang membuat Lian semakin tercengang dan bingung."Segera selesaikan urusan masa lalumu," ujar Saga dengan nada paling dingin yang pernah Lian dengar, membuatnya bergidik.Lelaki itu menutup kasar pintunya tanpa sedikitpun memikirkan perasaan Lian. Ya, apa yang harus dipikirkan setelah kekacauan yang Lian buat sendiri?Kulu berlari menghampiri Lian, naik di atas sofa seolah tahu bahwa pemiliknya kini sedang tidak baik-baik saja. Kulu seolah ingin menghibur Lian dengan mengibaskan ekor berbulu lebatnya dengan gemas. Maka, Lian meraih Kulu dan mendekapnya dengan erat. "Kulu ... " Satu butir air mata jatuh melalui pipinya. "I'm so stupid!"Pukul dua siang, Saga belum juga keluar dari ruang kerjanya. Sementara Lian sudah bersiap akan ke rumah sakit untuk mengecek kakinya dan melepas perban yang ma
Lian membuka matanya dengan berat. Ia sudah berada di kamar dan cahaya matahari yang menembus vitrase, lembut menyerbunya. Satu kerjapan, dua kerjapan dan Lian merasa mual. Ia pun menyibak selimut dengan kasar dan berlari ke kamar mandi.Lian menundukkan kepalanya di wastafel dan memuntahkan isi perutnya akibat mabuk semalam. Astaga! Apa yang ia perbuat semalam sampai ia lupa semuanya dan jadi seperti ini? Sudah sekian lama ia tidak mabuk. Rupanya saat kembali mabuk, justru rasanya sekacau ini. Tenggorokannya kering dan napasnya memburu.Ia mendongak, melihat pantulan dirinya di kaca atas wastafel setelah mengusap wajahnya dengan air. Satu kata; berantakan. Rambutnya mencuat kemana-mana. Matanya memerah dan oh shit! Ia hanya mengenakan piyama tipis tanpa terkancing semua.Pasti semalam adalah situasi bencana.Kepalanya pening dan ia menunduk dalam untuk menetralkannya. Lalu, ia mencoba mengingat dengan detail apa yang terjadi hingga tidak sadarkan diri dan bangun di siang bolong begi
"Kalau begitu, kita menikah muda. Aku janji akan membahagiakanmu. Aku janji tidak akan ada yang berani mengusikmu. Kamu begini pasti terpengaruh dengan orang-orang di sekitarku bukan? Sehingga kamu bisa berpikir begini? Lianda, please! Kita sama-sama sudah dewasa dan tahu apa yang kita rasakan satu sama lain."Lian marah dengan perkataan Fahri yang seenaknya itu. Ia menghembuskan napasnya dengan kasar. Lalu memalingkan wajah ke lain arah. Ia tidak mampu lagi membendung air matanya."Jika semudah itu, mungkin aku tidak akan banyak berpikir Fahri. Justru kita sudah sama-sama dewasa, kita harusnya tahu bahwa realita ini ada. Kamu terlalu baik untukku, dan aku terlalu buruk untukmu.""Tidak ada yang bilang begitu, Anda!" Suara Fahri meninggi."Aku yang bilang. Aku yang merasakan bahwa ketimpangan ini sangat amat menyiksaku selama ini dan aku sadar, bahwa hubungan ini tidak akan sehat. Please ... " Mohonnya dengan mata yang sudah sepenuhnya basah dan menatap Fahri dengan sayu.Saat itu pul
Flashback On—Sore itu, Lian menangis di sudut kamar kosnya. Kamar yang menjadi saksi bisu, bagaimana perjuangannya masuk ke dunia modeling, bagaimana kerasnya persaingan dan industri, serta bagaimana ia mengetahui karakter orang-orang yang sesungguhnya. Semua perasaan sudah ia lalui dan lampiaskan di kamar yang hanya berukuran empat kali empat meter ini. Kebahagiaan, kehilangan, kesedihan, kekecewaan dan sebagainya.Di ruangan gelap itu, Ia menekuk kedua kaki dan menenggelamkan kepala di sana. Udara malam membelai gorden transparan dan menyalurkan energi dingin d setiap inci tubuh Lian. Saat ini, perasaannya teramat sedih, hancur, marah dan ... patah hati. Baru saja, ada seorang yang mengatakan sesuatu yang menyakitkan hatinya. Orang itu mengatakan bahwa Lian tidak memiliki kepantasan sedikitpun. Lian adalah model rendahan dan tidak punya value. Dan juga orang itu mengatakan, Lian tidak punya apa-apa. Lian hanya seonggok manusia yang tidak terlihat dan t
Lian rasa, hidup memang selalu penuh kejutan. Jika tidak, maka hidup hanya akan menjadi putih dan abu-abu saja. Monoton. Namun, kejutan kali ini sangat tidak lucu dan juga tidak akan berwarna apapun baginya. Justru aura galaplah yang akan menyelimutinya.Bagaimana mungkin ia bertemu lelaki ini lagi? Harusnya Lian sudah bisa memprediksi bahwa yang akan bertemu dengan Ine dan membahas soal rumah baru, tentulah Fahri. Karena Lian ingat bahwa yang dimau oleh Ine adalah real estate milik Fahri ini. Namun, ia tidak menyangka bahwa yang terjun langsung menemui klien adalah Fahri sendiri. Apa sesenggang itu, sampai harus menemui Ine langsung? Memangnya tidak punya karyawan? Perusahannya kan besar dan karyawannya mungkin lebih dari seratus orang.Oh no! Ini kacau!Ia menundukkan kepala dan menutup matanya. Lalu sedetik kemudian, ia mendongak dan menyunggingkan senyum tipis."Pak Fahri, kenal dengan Lian?" tanya Ine yang kini menatap Lian dan Fahr
Hari berikutnya dan seterusnya Lian datang ke kantor Saga lagi membawa makan siang. Lian jadi lebih sering memperhatikan Saga dari hal kecil ke yang besar sekalipun. Seperti tadi pagi, Lian memasangkan dasi untuk sang suami, menyeterika baju dan membantu Saga menyisir rambut. Hal yang jarang atau bahkan tidak pernah Lian lakukan karena menganggap Saga bisa melakukannya sendiri. Agaknya memang ia selama ini kurang memperhatikan suaminya. Pekerjaan selalu menyita waktunya dari pagi ketemu pagi lagi. Hingga hal-hal kecil seperti itu tidak terjamah oleh Lian."Enak?" tanya Lian yang tersenyum karena Saga selalu lahap setiap kali ia memasak untuknya."Selalu enak," kata Saga di tengah kunyahannya."Ck! Lelaki memang murahan kalau soal makanan enak."Tawa Saga berderai. "Aku pikir, setelah kamu berhenti jadi model, kamu punya peluang untuk membuka restoran dengan menu seperti ini, Lian.""Itu berlebihan, Mas. Review-mu saja tidak objektif, bagaimana bisa aku percaya diri soal masakanku?""N
Saga mengamati Lian yang sedang membereskan sampah makannya. Ia menatap perempuan itu tidak percaya. Sikap Lian aneh sekali hari ini. Ia tiba-tiba datang ke kantor —yang biasanya tidak pernah— membawakan makan siang. Lalu, Saga dibuat seperti orang yang dicurigai macam-macam. Kadang Lian menyunggingkan senyum manis, tapi juga kadang senyumnya mengandung makna lain. Tipis-tipis, tapi Saga bisa melihat ada hawa kesal yang Lian bawa ke sini. Entah itu untuk hal apa."Biar aku saja yang buang." Saga meraih sampah paperbag itu dari tangan Lian dan membuangnya di tempat sampah.Mata Lian tidak lepas melihat setiap gerakan suaminya. Susunan kata di kepalanya sudah sedemikian rapi dan siap untuk ia lontarkan.Namun, sebuah ketukan pintu terdengar dan menampilkan salah satu karyawan lelaki. Lian tahu lelaki itu berada di bagian perbendaharaan. Saga menerima beberapa dokumen dari lelaki itu dan menumpuknya di atas meja."Itu semua kerjaan kamu Mas