"Aduh yang mau di jemput suami. Touch up dulu supaya cetar ya kan?" Hana sudah berdiri di ambang pintu toilet dengan kedua tangan terlipat di dada.
Lian melirik managernya itu melalui pantulan di kaca, tidak bereaksi apa-apa karena kini ia sedang memoleskan lipstiknya ke bibir."Saga sudah di depan itu. Pantas saja sejak tadi kamu mengingatkan aku terus soal rescedule jadwal sore ini, ternyata mau kencan.""No! Ini bukan kencan.""Oh ya? Aku tidak percaya."Lian membalik badannya setelah memasukkan lipstik itu ke dalam tasnya. Ia menatap Hana juga tidak percaya."Terserah, tapi harusnya kamu berterima kasih padaku karena itu artinya, kamu bisa pulang lebih awal kan? Syukur-syukur, kamu pakai waktunya untuk kencan atau menjajaki para lelaki dan pilih satu yang membuatmu cocok, lalu menikah."Hana terlihat memutar bola matanya, jengah. "Andai semudah itu, aku sudah melakukannya dari dulu, Lian.""Sebenarnya memanDengan wajah datarnya, Lian membuka pintu mobil Saga dan keluar dari sana. Ia berjalan menjauh dari mobil itu.Sementara Saga, harus menyesali sikapnya yang membuat Lian jadi seperti ini. Harusnya ia bicara baik-baik dan tidak memaksa Lian keluar dari rumah itu. Atau minimal, Saga menurut saja dulu untuk berkonsultasi dengan seorang psikolog pernikahan kenalan Lian itu. Lagipula tidak ada yang harus ia takutkan. Ia tidak memiliki trauma apapun, apalagi soal anak kecil. Segini teririskah egonya, sampai harus kembali membuar Lian marah?Kini ia menghela napas kasar dan menyugar rambutnya untuk kesekian kali. Ia keluar dari mobilnya dan mengejar Lian yang sudah sampai pinggir jalan."Lian ... " panggil Saga dengan pelan.Ia tidak mau menjadi tontonan orang-orang karena bertengkar dengan seorang perempuan di pinggir jalan begini. Namun, belum sampai ia ke tempat Lian, istrinya itu sudah menyetop taksi dan masuk. Saga mendengus. Ia berlari kembali ke mobilnya dan mengejar taksi tersebut. S
Ada banyak hal yang terjadi di kehidupan Lian, terutama selama proses menggapai mimpinya menjadi model. Tentu tidak semua hal terasa menyenangkan. Ada hal diluar kendalinya yang tidak mampu ia kontrol. Kesedihan, kekecewaan, penantian, perlakuan orang terhadapnya dan banyak hal lagi. Lian mencoba memahami itu sebagai bagian dari proses sakitnya hingga ia bisa menjadi seperti sekarang. Kecuali satu hal ini; pria hidung belang.Di industri model, banyak sekali pria-pria dengan berbagai macam tipe. Apalagi, model kebanyakan adalah perempuan dan di sanalah sarang lelaki bejat dan hidung belang meloloskan ego dan nafsunya secara terang-terangan ataupun terselubung. Hampir setiap hari, Lian melihat para model diperlakukan kurang menyenangkan oleh pria-pria yang mengaku berpengaruh besar terhadap kemajuan karir mereka. Fakta soal diajak check in di hotel, dijadikan sugar baby atau rela menjadi istri kedua, tentu saja adalah makanan sehari-hari di telinga Lian. Tidak satu dua juga
"Bercanda kan Hana? Mengapa aku tidak perlu berangkat kerja hari ini? Setahuku akau masih ada jadwal foto costum untuk butiknya Ovi Margareta kan?" Satu tangan Lian berkacak pinggang di depan cermin walk in closet. Pagi-pagi ia sudah mandi dan berniat mencari baju untuk pergi bekerja, lalu mendapat telepon dari Hana bahwa ia tidak ada jadwal hari ini alias libur. Dimana-mana, hari libur adalah hari yang paling dinantikan, tapi berbeda dengan Lian. Ia merasa harus berkesibukan hari ini setelah apa yang terjadi kemarin sore; pertengkarannya dengan Saga yang sampai hari ini tidak ada tanda-tanda membaik, misinya yang gagal untuk membawa Saga ke psikolog pernikahan sekaligus kesialannya bertemu supir taksi nakal.Ia harus menyalurkan energinya untuk bekerja daripada di rumah dan tidak melakukan apa-apa. Apalagi, sepertinya Saga juga libur hari ini. Terlihat lelaki itu masih bergelung di atas ranjang dengan selimut menutupi separuh tubuhnya."Lian, kamu tidak bisa memforsir diri begitu. Ad
Satu jam pertama bersama Miko.Belum apa-apa, Lian dan Saga sudah kuwalahan mengikuti pergerakan aktif Miko. Sebenarnya Anggi memberikan makan Miko apa sampai-sampai jadi super aktif begini? Tidak mungkin kan diberi bayam kalengan seperti popeye?Bayi delapan bulan ini kesana kemari merangkak, meraba dan mencari pegangan apapun untuk bisa berdiri. Bibirnya juga tidak bisa diam dan mengoceh tidak jelas. Kadang mengikuti Lian atau Saga bicara. Tak jarang Lian memekik saat tangan mungil itu memegang sesuatu yang tidak seharusnya dijadikan mainan seperti kabel, hiasan berbahan kaca di samping TV, saklar yang dipasang pendek di dinding dan lain sebagainya.Sementara Saga juga tak kalah sibuknya menyingkirkan rak kaca ringan yang terpajang di ruang tengah. Mengepel lantai saat Miko menumpahkan kuah makannya yang dibawakan Anggi. Pokoknya keduanya sangat sibuk dan tidak berhenti menggeram karena kelakuan bocah ini. Rumah mereka memang bukan rumah yang r
Tiga jam bersama MikoRasa lelah membuat Lian dan Saga sedikit menutup mata. Mereka kira, Miko akan tertidur setelah minum susu. Namun ternyata, botol itu terlempar di wajah Saga dan membuatnya terbangun dari tidur ayamnya. Ia kaget dan meringis karena hidungnya sakit terkena botol. Bocah gembul ini bukannya terlelap, ia justru senyum-senyum dan mulai memutar tubuhnya dan bergerak-gerak."Astaga ... " Saga menepuk jidatnya. "Kenapa tidak tidur Miko? Uncle lelah sekali. Itu lihat, aunty saja sudah memejamkan matanya. Kamu juga harus bobok ya." Saga membantu Miko untuk berbaring kembali.Namun, dasar bocah ini memang aktif. Minum susu seolah menjadi penambah energinya, Miko pun kembali tengkurap dan merangkak maju mundur.Melihat Saga terduduk lemas, Miko justru tertawa girang sekali. Saga memancing lagi dengan tertidur dengan dramatis dan lagi-lagi ia tertawa kencang sambil menggerakkan kaki tangannya antusias. Padahal Saga tidak sedang beniat menggoda atau menghibur Miko. Receh sekali
Lian memandangi wajah mungil dengan pipi gembul dan sisa biskuit di sekitar bibir dan wajahnya itu. Setelah drama minum susu dan pup, akhirnya Miko tidur juga sambil menonton kartun.Miko tidur di pangkuan Lian dengan tepukan-tepukan ringan tangan Lian di bokong anak itu. Seolah itu adalah penghantar lelap yang baik. Saga masih di sebelahnya, ia juga sama terdiamnya melihat Miko yang terlelap begini. Kadang sesekali Saga juga ikut mengusap kepala Miko."Kalau tidur begini, dia tidak seperti bocah paling aktif sedunia," ujar Saga."Sepertinya semua bocah juga seperti ini. Tapi herannya Anggi tidak pernah mengeluh. Padahal dia tidak punya nanny di rumah. Sering ditinggal Fadil kerja dan mengurus rumah sendirian.""Mungkin karena Anggi pernah kehilangan anaknya dua kali. Maka dengan dia enjoy, tulus dan tidak mengeluh merawat Miko, itu sebagai bentuk rasa syukurnya setelah badai menerpanya dan kini punya anak ini."Lian menipiskan bibirnya. "Mungkin." Anggi memang pernah kehilangan ana
Lian ikut tidur siang bersama Miko. Setelah sekian lama, akhirnya ia bisa kembali merasakan yang namanya tidur siang. Hal yang sangat mahal mustahil dengan kegiatan dan kesibukan pekerjaannya selama ini. Mentok, ia hanya bisa tidur siang di kantor atau studio, itupun hanya bersandar di kursi atau bean bag yang ada di ruang fitting.Siapa sangka tidurnya pun kali ini sangat nyenyak sekali. Ia bahkan tidak tahu sudah berapa lama tertidur. Lalu tahu-tahu, ia merasakan tepukan ringan di bahunya.Matanya membuka, ia mengumpulkan nyawa dan merasakan badannya jadi terasa lebih relaksdan lentur. Ini tidur berkualitas yang tidak pernah Lian dapatkan beberapa tahun terkahir dan kini ia mendapatkannya. Anehnya, ini terjadi saat ia sedang lelah-lelahnya mengurus satu keponakannya. "Lian," panggil Saga saat Lian sudah membuka matanya dan meluruskan tubuhnya.Lian menoleh ke sampingnya dan Miko tidak ada di sana. Matanya mencari-cari bocah gembul itu. Ia pun bingung lalu menatap Saga penuh tanya.
Anggi menelepon dan mengabarkan hal yang membuat Saga dan Lian prihatin. Fadil terkena usus buntu dan harus tindakam operasi kecil malam ini juga. Kemungkinan, Miko akan menginap di rumah ini sampai besok, sampai Anggi sudah menyelesaikan urusannya di rumah sakit dan Fadil bisa lebih baik kesehatannya.Lian dan Saga mengerti dan tentu tidak keberatan —di depan Anggi— untuk mengurus Miko sementara. Walau nyatanya, mengurus Miko sama lelahnya dengan membersihkan rumah dari ujung depan hingga belakang. Mereka tahu keadaan tidak memungkinkan dan mereka jelas tidak tega dengan Anggi yang sudah kerepotan di sana. Maka, dengan lapang hati, Saga dan Lian mendedikasikan diri sebagai baby sitter Miko seharian ini, dengan tulus ikhlas dan tanpa mengharap imbalan.Berbeda dari tadi pagi hingga siang yang dihiasi adu mulut dan perdebatan, kini Saga dan Lian sudah mulai bisa berkomunikasi untuk bekerja sama mengurus bocah gembul ini. Dan sesuai perkataan Anggi, jika Miko tidak dijemput sampai pukul
Sudah terlalu lama Lian berjibaku dengan pikirannya sendiri. Dengan asumsi bahwa setelah Fahri kembali dari menuntut ilmu di luar negeri, lelaki itu tidak akan mengenali Lian lagi. Terbukti, waktu itu Lian diam-diam datang ke rumah Fahri saat lelaki ia sedang liburan dan pulang ke tanah air. Fahri sedang sangat buru-buru memasuki mobilnya. Fahri semakin menawan dengan setelan jas mahalnya. Dari sana, Lian bisa menyadari bahwa ia masih belum bisa bersanding dengan Fahri. Meski perasaannya mungkin tidak berubah, kenyataan menyentaknya untuk berhenti. Berhenti mengharapkan diri kembali pada Fahri dan berhenti berharap. Maka, ia pun pergi dari kompleks rumah itu setelah melihat mobil Fahri menghilang di belokan gang. Ia merasa menjadi manusia yang paling putus asa, saat itu. Ia menaiki bis untuk kembali ke kost-kostannya yang masih empat kali empat itu. Namun, justru takdir mempertemukannya dengan Saga.Seolah alam semesta tidak bekerja sendiri, ada andil takdir juga, ia dan Saga akhirnya
Selayaknya pagi adalah waktu yang tepat untuk mengawali hari, pertengkaran mereka di malam hari selalu teredam di waktu pagi. Mereka akan baikan dengan sendirinya di pagi hari. Namun kali ini, tidak. Semalam, Saga dengan kemauannya sendiri tidur di sofa ruang tengah setelah mengisolasi diri di ruang kerjanya. Lian juga tidak berinisiatif untuk menawarkan Saga tidur di kamar. Ia hanya membawakan selimut ketika malam telah larut dan Saga sudah terlelap. "Aku berangkat," pamit Saga kepada Lian di ambang pintu kaca pembatas antara ruang tengah dan dapur. Lelaki itu bahkan tidak repot-repot menghampiri dan memberikan kecupan hangat kepada Lian. Jangankan itu, menoleh barang sejenak saja tidak. Saga melenggang pergi menuju carport."Mas ... " Lian menyusul Saga ke carport dan memberikan satu kotak makan. "Aku mungkin tidak bisa ke kantor kamu membawakan makan siang. Hana sudah mengatur kembali jadwal kerjaku. Jadi, bawa ini untuk makan siang."Tanpa berkata apa-apa, Saga meraih kotak maka
"Semua yang ada di kepalamu isinya hanya kamu meragukanku, Lian."Saga lantas meraih laptopnya dan membawanya ke ruang kerja. Sebelum mencapai ambang pintu, Saga menoleh lagi dan berkata sesuatu yang membuat Lian semakin tercengang dan bingung."Segera selesaikan urusan masa lalumu," ujar Saga dengan nada paling dingin yang pernah Lian dengar, membuatnya bergidik.Lelaki itu menutup kasar pintunya tanpa sedikitpun memikirkan perasaan Lian. Ya, apa yang harus dipikirkan setelah kekacauan yang Lian buat sendiri?Kulu berlari menghampiri Lian, naik di atas sofa seolah tahu bahwa pemiliknya kini sedang tidak baik-baik saja. Kulu seolah ingin menghibur Lian dengan mengibaskan ekor berbulu lebatnya dengan gemas. Maka, Lian meraih Kulu dan mendekapnya dengan erat. "Kulu ... " Satu butir air mata jatuh melalui pipinya. "I'm so stupid!"Pukul dua siang, Saga belum juga keluar dari ruang kerjanya. Sementara Lian sudah bersiap akan ke rumah sakit untuk mengecek kakinya dan melepas perban yang ma
Lian membuka matanya dengan berat. Ia sudah berada di kamar dan cahaya matahari yang menembus vitrase, lembut menyerbunya. Satu kerjapan, dua kerjapan dan Lian merasa mual. Ia pun menyibak selimut dengan kasar dan berlari ke kamar mandi.Lian menundukkan kepalanya di wastafel dan memuntahkan isi perutnya akibat mabuk semalam. Astaga! Apa yang ia perbuat semalam sampai ia lupa semuanya dan jadi seperti ini? Sudah sekian lama ia tidak mabuk. Rupanya saat kembali mabuk, justru rasanya sekacau ini. Tenggorokannya kering dan napasnya memburu.Ia mendongak, melihat pantulan dirinya di kaca atas wastafel setelah mengusap wajahnya dengan air. Satu kata; berantakan. Rambutnya mencuat kemana-mana. Matanya memerah dan oh shit! Ia hanya mengenakan piyama tipis tanpa terkancing semua.Pasti semalam adalah situasi bencana.Kepalanya pening dan ia menunduk dalam untuk menetralkannya. Lalu, ia mencoba mengingat dengan detail apa yang terjadi hingga tidak sadarkan diri dan bangun di siang bolong begi
"Kalau begitu, kita menikah muda. Aku janji akan membahagiakanmu. Aku janji tidak akan ada yang berani mengusikmu. Kamu begini pasti terpengaruh dengan orang-orang di sekitarku bukan? Sehingga kamu bisa berpikir begini? Lianda, please! Kita sama-sama sudah dewasa dan tahu apa yang kita rasakan satu sama lain."Lian marah dengan perkataan Fahri yang seenaknya itu. Ia menghembuskan napasnya dengan kasar. Lalu memalingkan wajah ke lain arah. Ia tidak mampu lagi membendung air matanya."Jika semudah itu, mungkin aku tidak akan banyak berpikir Fahri. Justru kita sudah sama-sama dewasa, kita harusnya tahu bahwa realita ini ada. Kamu terlalu baik untukku, dan aku terlalu buruk untukmu.""Tidak ada yang bilang begitu, Anda!" Suara Fahri meninggi."Aku yang bilang. Aku yang merasakan bahwa ketimpangan ini sangat amat menyiksaku selama ini dan aku sadar, bahwa hubungan ini tidak akan sehat. Please ... " Mohonnya dengan mata yang sudah sepenuhnya basah dan menatap Fahri dengan sayu.Saat itu pul
Flashback On—Sore itu, Lian menangis di sudut kamar kosnya. Kamar yang menjadi saksi bisu, bagaimana perjuangannya masuk ke dunia modeling, bagaimana kerasnya persaingan dan industri, serta bagaimana ia mengetahui karakter orang-orang yang sesungguhnya. Semua perasaan sudah ia lalui dan lampiaskan di kamar yang hanya berukuran empat kali empat meter ini. Kebahagiaan, kehilangan, kesedihan, kekecewaan dan sebagainya.Di ruangan gelap itu, Ia menekuk kedua kaki dan menenggelamkan kepala di sana. Udara malam membelai gorden transparan dan menyalurkan energi dingin d setiap inci tubuh Lian. Saat ini, perasaannya teramat sedih, hancur, marah dan ... patah hati. Baru saja, ada seorang yang mengatakan sesuatu yang menyakitkan hatinya. Orang itu mengatakan bahwa Lian tidak memiliki kepantasan sedikitpun. Lian adalah model rendahan dan tidak punya value. Dan juga orang itu mengatakan, Lian tidak punya apa-apa. Lian hanya seonggok manusia yang tidak terlihat dan t
Lian rasa, hidup memang selalu penuh kejutan. Jika tidak, maka hidup hanya akan menjadi putih dan abu-abu saja. Monoton. Namun, kejutan kali ini sangat tidak lucu dan juga tidak akan berwarna apapun baginya. Justru aura galaplah yang akan menyelimutinya.Bagaimana mungkin ia bertemu lelaki ini lagi? Harusnya Lian sudah bisa memprediksi bahwa yang akan bertemu dengan Ine dan membahas soal rumah baru, tentulah Fahri. Karena Lian ingat bahwa yang dimau oleh Ine adalah real estate milik Fahri ini. Namun, ia tidak menyangka bahwa yang terjun langsung menemui klien adalah Fahri sendiri. Apa sesenggang itu, sampai harus menemui Ine langsung? Memangnya tidak punya karyawan? Perusahannya kan besar dan karyawannya mungkin lebih dari seratus orang.Oh no! Ini kacau!Ia menundukkan kepala dan menutup matanya. Lalu sedetik kemudian, ia mendongak dan menyunggingkan senyum tipis."Pak Fahri, kenal dengan Lian?" tanya Ine yang kini menatap Lian dan Fahr
Hari berikutnya dan seterusnya Lian datang ke kantor Saga lagi membawa makan siang. Lian jadi lebih sering memperhatikan Saga dari hal kecil ke yang besar sekalipun. Seperti tadi pagi, Lian memasangkan dasi untuk sang suami, menyeterika baju dan membantu Saga menyisir rambut. Hal yang jarang atau bahkan tidak pernah Lian lakukan karena menganggap Saga bisa melakukannya sendiri. Agaknya memang ia selama ini kurang memperhatikan suaminya. Pekerjaan selalu menyita waktunya dari pagi ketemu pagi lagi. Hingga hal-hal kecil seperti itu tidak terjamah oleh Lian."Enak?" tanya Lian yang tersenyum karena Saga selalu lahap setiap kali ia memasak untuknya."Selalu enak," kata Saga di tengah kunyahannya."Ck! Lelaki memang murahan kalau soal makanan enak."Tawa Saga berderai. "Aku pikir, setelah kamu berhenti jadi model, kamu punya peluang untuk membuka restoran dengan menu seperti ini, Lian.""Itu berlebihan, Mas. Review-mu saja tidak objektif, bagaimana bisa aku percaya diri soal masakanku?""N
Saga mengamati Lian yang sedang membereskan sampah makannya. Ia menatap perempuan itu tidak percaya. Sikap Lian aneh sekali hari ini. Ia tiba-tiba datang ke kantor —yang biasanya tidak pernah— membawakan makan siang. Lalu, Saga dibuat seperti orang yang dicurigai macam-macam. Kadang Lian menyunggingkan senyum manis, tapi juga kadang senyumnya mengandung makna lain. Tipis-tipis, tapi Saga bisa melihat ada hawa kesal yang Lian bawa ke sini. Entah itu untuk hal apa."Biar aku saja yang buang." Saga meraih sampah paperbag itu dari tangan Lian dan membuangnya di tempat sampah.Mata Lian tidak lepas melihat setiap gerakan suaminya. Susunan kata di kepalanya sudah sedemikian rapi dan siap untuk ia lontarkan.Namun, sebuah ketukan pintu terdengar dan menampilkan salah satu karyawan lelaki. Lian tahu lelaki itu berada di bagian perbendaharaan. Saga menerima beberapa dokumen dari lelaki itu dan menumpuknya di atas meja."Itu semua kerjaan kamu Mas