"Itu jadwalmu!"
Bersamaan dengan itu, Dominic mengirimkan dokumen p*f kepada Anna."Ya, Sir," balas Anna lalu membuka pesan yang dikirim Dominic dan mulai membacanya dengan saksama.Di sana tertulis jelas semua aturan-aturan yang harus dia patuhi. Mulai dari memasak tiga kali sehari, dengan berbagai macam menu yang berbeda-beda. Apa saja yang biasanya Dominic makan atau tidak, dan kebiasaan Dominic yang sudah tercatat rapi.“Kau sudah mengerti, ‘kan?” tanya Dominic setelah melihat bagaimana ekspresi wajah Anna.Anna menghela napas dengan sedikit kasar. “Ya, aku mengerti.”“Satu lagi. Jangan memanggilku dengan panggilan Sir. Aku tidak suka.”“Lalu?”“Terserah padamu!”Anna mencoba menenangkan dirinya sendiri. Belum apa-apa Dominic sudah mulai menguji kesabarannya.“Sekarang kau ikut aku!” Dominic langsung berdiri dan berjalan meninggalkan restoran.“Kita akan ke mana, Sir? Eh, maaf, maksudku, Tuan.” Anna menggaruk kepalanya yang terasa gatal. Dia terlihat bingung.Hal itu jelas membuat Anna tidak bisa berkonsentrasi, hingga tanpa sengaja ....Brug!Dominic menghentikan langkahnya begitu saja dan membuat Anna menabrak punggung pria itu."Kenapa kau senang sekali menabrakku?" ketus Dominic dengan tatapan tajam."Maaf, kau berhenti tiba-tiba, Tuan." Kali ini Anna mengaku jika dia yang salah. Dia tidak bisa fokus tadi."Kau menyalahkan aku lagi?" Dominic berbalik, dan menatap Anna dalam jarak dekat. Gadis itu hanya setinggi pundaknya saja."Tidak. Kali ini memang aku yang salah." Anna menahan napas dalam-dalam. Posisi mereka terlalu dekat, dan membuat Anna tidak bisa berkutik sedikit pun."Tatap lawan bicaramu!"Anna memberanikan diri mendongakkan wajahnya, dan menatap Dominic."Ah, kenapa jantungku berdetak kencang?" maki Anna pada dirinya sendiri.Dominic terdiam sesaat. Setelah itu dia mencoba mendorong Anna untuk sedikit menjauh dari dirinya.Dominic tidak suka!“Satu hal lagi, kau bukan pembantuku. Kenapa memanggilku dengan sebutan tuan?" keluh Dominic kesal.“Lalu apa?” Anna benar-benar putus asa. Masalah panggilan saja tidak ada habisnya.Dominic terdiam sesaat. “Dom saja! Kita terdengar seperti seumuran. Seperti kau memanggil Austin tanpa embel-embel tuan atau yang lainnya,” ujar Dominic, seolah mengingatkan Anna pada perkataan gadis itu beberapa bulan lalu.Dia langsung pergi setelah mengatakan hal itu.Ini adalah salah satu hal yang ingin dia tekankan kepada Anna. Bahwa usianya belum tua seperti yang selalu gadis itu katakan!"Dom?" ujar Anna. Lidah gadis itu terasa kaku. Lalu beberapa saat kemudian dia tertawa hambar, setelah menyadari jika Dominic sudah berjalan jauh. "Dia benar-benar tidak tahu diri atau bagaimana? Aku memanggilnya begitu karena dia memang lebih tua, bukan?""Anna, aku masih mendengarmu!" teriak Dominic di depan pintu mobil. Matanya sudah menatap Anna dengan tajam. "Cepat, atau kau ingin kehilangan pekerjaanmu?""Ya, Tuan. Maaf." Anna berlari kecil menyusul Dominic.Sepertinya, mulai saat ini dia juga harus berlatih berlari agar lebih gesit. Dominic benar-benar tidak akan suka jika dia bergerak lamban sedikit saja."Kau punya SIM, kan?" tanya Dominic. Namun, belum sempat Anna menjawab pria itu sudah lebih dulu melemparkan kunci mobilnya kepada Anna. "Bawa mobilnya!""Ah, ya, baiklah!" Anna menerima kunci itu dengan sedikit gugup."Menyetirlah dengan benar. Aku tidak mau jatuh ke jurang-jurang curam itu. Mereka semua masih membutuhkan tanda tanganku untuk mencairkan uang!" tegas Dominic. Pria itu menyandarkan tubuhnya, lalu melipatkan kedua tangan di depan dada dengan mata terpejam."Ya, ya, baiklah." Anna mendengkus kesal. "Dasar pria tua cerewet!"***Sky Crystal memang terletak jauh dari pemukiman.Jika ingin ke kota, mereka harus melewati medan yang curam. Melewati lembah-lembah pegunungan hijau yang cukup mengerikan, dan hutan maple yang lebat.Dan Anna sudah terbiasa dengan semua itu.Tapi, Dominic sepertinya tidak.Pria itu bahkan tertidur pulas di mobil.Jadi, Anna pun membangunkan Dominic ketika mereka sudah sampai di depan supermarket."Kau sudah baca list belanja tadi, bukan?" tanya Dominic sekali lagi.“Sudah, Tuan—Maaf, Dom.” Anna menepuk bibirnya sendiri ketika melihat tatapan tajam Dominic."Cepat turun! Aku tidak suka pegawai yang lelet." Dominic segera membuka pintu mobil dengan kasar.Brak!Anna mengelus dada.Hampir saja, dia membuat Dominic kembali marah.Tanpa basa-basi, Anna pun turun dari mobil dengan bibir yang terus merapalkan semua doa-doa, agar bisa menghadapi Dominic.Jika harus jujur, berada di dekat Dominic semakin lama membuat kesabarannya semakin menipis."Cepat!" teriak Dominic tidak sabar. "Dasar lamban!"Anna pun berlari.Begitu di dalam supermarket, Anna juga bergerak gesit.Diambilnya semua persediaan makanan sesuai dengan daftar yang sudah Dominic berikan.Cukup banyak yang mereka beli di hari pertama Dominic berada di Vermont. Mengantisipasi jika saja terjadi hujan salju yang cukup lebat nanti.Diam-diam, Anna menatap Dominic dengan sedikit rasa kagum.Ternyata pria itu masih punya sedikit kebaikan hati, dengan membantunya mendorong troli berisi banyak bahan makanan."Kenapa kau terus menatapku seperti itu? Kau baru sadar sekarang jika aku bukan pria tua?" tanya Dominic dengan sinis.Entahlah, dari sekian banyak perkataan Anna, hanya satu kalimat itu saja yang selalu Dominic ingat."Tidak, bukan seperti itu ...." Anna menghentikan ucapannya. Lidahnya masih kaku jika harus memanggil Dominic hanya dengan nama saja."Sudah, aku tidak peduli dengan alasanmu. Ini, kau dorong sendiri!" Dominic melepaskan troli yang dipegangnya, dan berjalan meninggalkan Anna begitu saja."Ah, aku benar-benar menyesal karena sudah memujinya tadi. Aku rasa dia benar-benar tidak memiliki sisi baik sama sekali."Anna memegang troli itu dan langsung berjalan ketika kembali mendengar suara Dominic.Tak butuh waktu lama, proses belanja keduanya pun selesai.Dengan black card ajaib milik pria itu, para pegawai supermarket juga melayani mereka dengan cekatan.Seumur-umur, Anna tak pernah merasakan itu meski sudah ribuan kali belanja di sana.Memang, uang benar-benar luar biasa, ya!"Cepat! Kita harus bergegas ke tempat tinggalku," perintah Dominic menyadarkan Anna dari lamunan."Hah?"Sembari memegang beberapa kantong belanja, Dominic menatap tajam Anna.Segera saja, perempuan itu menyadari kesalahannya.Dia pun menyusul Dominic menuju mobil bersama beberapa kantong yang tersisa dan bergerak menuju tempat tinggal pria itu... yang ternyata adalah Kabin terbesar di Sky Crystal.Letaknya langsung berhadapan dengan danau, dan cukup jauh dari kabin-kabin kayu yang lain.Anna bahkan tak pernah masuk ke sana!"Jadi, ini tempat tinggalnya?" batin Anna menatap bangunan kombinasi kayu dengan kaca yang terlihat begitu indah.Benar-benar menyatu dengan alam sekitar.Di sisi lain, Dominic hanya berdeham dan langsung masuk ketika pintu terbuka.Anna pun akhirnya ikut masuk. Namun, tatapan kagum tidak lepas sama sekali dari wajahnya."Wah, ini luar biasa! Selama tiga tahun bekerja di sini, aku sama sekali belum pernah masuk ke sini. Pantas saja, Austin tidak pernah menyewakan kabin kayu yang ini," batin Anna, lalu tertawa renyah.Selama ini Austin bersikeras untuk tidak menyewakan tempat ini, dan sekarang barulah Anna tahu alasannya.Tanpa disadari, Dominic melihat itu dan menatap Anna dengan sinis.Baginya, Anna benar-benar terlihat seperti gadis udik sekarang."Jadi, apa alasanmu memilih tempat tinggal di ujung danau ini?" tanya Anna tiba-tiba, "kau tidak takut jika ada serigala liar datang?" tanya Anna tiba-tiba."Tidak!" jawab Dominic cepat, "Dibanding serigala, kurasa lebih menakutkan jika bertemu dengan gadis segila dirimu."Mata Anna membulat. "Apa?!""Apa?" pekik Anna menahan kesal."Kau lebih menakutkan dibandingkan serigala liar di luar sana!" Dominic menekankan setiap kata yang diucapkan. "Kau!" Anna menjatuhkan kantung belanja, dan menunjuk wajah Dominic dengan ekspresi kesal. "Kau menyamakan aku dengan serigala liar?""Aku tidak ada mengatakan hal seperti itu," ucap Dominic. "Kau sendiri yang mengatakannya," tambahnya lagi sembari melepas mantel dan menutup pintu kabin. "Arghh!" Anna menghentakkan kaki, kesal. Dominic benar-benar kurang ajar! "Kau sudah mulai berani, ya?" tegur pria itu mendadak."Hah?""Kau lupa isi surat perjanjian kita?" tanya Dominic dengan angkuh. "Kau harus patuh padaku. Di sini aku juga tetap menggajimu. Jadi, jangan berbuat seenaknya!" Pria itu lalu berjalan meninggalkan Anna begitu saja. "Dasar brengsek!""Anna, kau memakiku lagi!" peringatnya."Aku tidak peduli!" "Baiklah." Dominic memutar tubuhnya dan menatap Anna dengan tajam. "Silakan pergi dari tempat tinggalku! Dan jangan lupa bayar dend
Sayangnya, wajah Anna justru terlihat gembira. "Wah, kau memujiku?" Melihat itu, Dominic menggeleng cepat. Pria itu segera mengalihkan tatapannya dari senyum Anna. Berbahaya! Gadis itu benar-benar berbahaya untuk Dominic. "Sudah kubilang, bukan? Kau pasti akan suka dengan masakanku." "Diam! Kau terlalu berisik." Dominic kembali ke sifat semula. "Aku sama sekali tidak memujimu. Kenapa kau berlebihan sekali?" Anna mengulum senyum mendengar perkataan Dominic. Dia tahu jika pria itu gengsi. Malu untuk mengakui kemampuan Anna. "Jangan tersenyum seperti itu!" gertak Dominic lagi. Pria itu segera menghabiskan makanannya dengan lahap. "Sekarang kau boleh pulang.""Baiklah." Anna masih menahan senyumnya, dan berjalan meninggalkan Dominic. Melihat Anna yang sudah menjauh, Dominic menghela napas dengan kasar. "Sialan! Jika seperti ini, aku tidak punya alasan untuk memecatnya nanti."Anna berhenti ketika mendengar suara lirih Dominic. Jadi, Dominic benar-benar berniat ingin memecatnya. "Ah
Suasana seketika tegang. "Bercyanda!" Austin tiba-tiba tertawa membuat kedua perempuan itu mengulas senyum. Ketiganya lantas melanjutkan pembicaraan mereka. ***"Hah..." Anna menghela napas panjang mengingat kejadian kemarin.Meski malas, dia akhirnya tetap ke tempat Dominic pagi-pagi sekali. Anna sengaja datang lebih awal untuk membuatkan sarapan, lalu setelah itu dirinya akan kembali ke restoran.Dengan kode pintu yang sudah diberikan sebelumnya, Anna pun masuk. Untuk sarapan, dia hanya akan menyiapkan roti lapis dengan secangkir kopi tanpa gula, sesuai dengan apa yang Dominic pinta. Hanya saja, ketika Anna sudah selesai dengan pekerjaannya, Dominic muncul dari luar pintu. "Kau sudah datang?" tanyanya sesekali menyeka keringat. Anna terdiam. Pria itu sepertinya habis berolahraga. Setelan training yang dikenakan sudah menjelaskan semuanya. "Iya. Aku sudah membuat sarapan juga untukmu," ucap Anna segera mengambil mantel dan ingin bergegas keluar. "Tunggu!" Dominic mencekal ta
"Apa?" Dominic cukup terkejut dengan ajakan Anna. "Kau mengajakku keluar?" Apalagi dengan nada lembut dari suaranya. "Iya. Kurasa selain lidahmu yang tidak bisa berfungsi dengan baik, telingamu juga sama!" cibir Anna. Dia sedikit menyesal sudah berbicara dengan lembut tadi. "Oh, astaga!" Dominic menunjuk wajah Anna dengan kesal. Bahkan wajahnya juga sudah memerah karena menahan marah. "Jadi, kau mau ikut tidak?""Ya, ya, baiklah jika kau memaksa!" "Aku sama sekali tidak memaksamu, Dom," ujar Anna dengan suara rendah, tetapi tegas. "Ya, terserah padamu. Ayo, cepat!" Dominic segera menutup laptop dan berjalan menuju pintu untuk mengambil mantel. "Cih, dasar! Katanya tidak mau," gerutu Anna dengan berjalan menyusul Dominic. "Cepat, atau aku akan berubah pikiran. Kapan lagi kau bisa mengajak dan berjalan-jalan dengan orang sibuk sepertiku?"Anna tertawa dengan terpaksa mendengar kesombongan Dominic yang tiada habisnya. "Dasar besar kepala!"***Anna sama sekali tidak berhenti berbi
Setelah berbincang dengan Harry tadi, Anna lebih memilih fokus untuk memasak agar semua pekerjaannya cepat selesai dan dia bisa segera pulang untuk beristirahat.Hari ini dia benar-benar lelah. Sepertinya, menghadapi Dominic akan membutuhkan tenaga ekstra. Di sisi lain, Dominic dan Harry juga terlihat tidak peduli dengan apa yang Anna lakukan. Kedua pria itu hanya duduk dengan meminum anggur untuk menghangatkan tubuh. "Tadi, mamamu menelponku." Harry tiba-tiba saja berbicara setelah mereka cukup lama diam. "Kau mengatakan jika aku bersamamu di Vermont?""Tentu saja, tidak. Aku bilang jika kita sedang berlibur ke Spanyol." Harry tertawa pelan. Dia sudah terlatih untuk berbohong kepada orang tua Dominic. "Bagus jika seperti itu.""Jadi, kau benar-benar serius akan tinggal di Vermont selama satu bulan?" tanya Harry sekali lagi. Sebenarnya dia berdoa di dalam hati agar Dominic mengubah keputusannya. Dominic tidak langsung menjawab. Pria itu justru menatap Anna yang sedang memasak di
Anna berjalan menuju rumahnya dengan perasaan hampa. Ah, ternyata Austin sama saja! Semua pria pada dasarnya sama saja. Mereka tidak akan puas dengan satu wanita. "Kenapa aku kecewa?" tanya Anna pada dirinya sendiri. "Aku sudah sering mendengar hal seperti itu. Aku juga sudah tahu jika pria memang seperti itu, bukan?"Pria ada makhluk paling egois yang pernah Anna temukan. Sosok manusia yang pernah membuat Anna patah hati. Bahkan lebih dari itu. "Anna, kau harus kuat! Selama ini, kau sudah bertahan dengan hebat. Jangan pedulikan apa pun lagi, cukup dirimu sendiri saja," ucapnya pada diri sendiri, dengan helaan napas panjang. ***Salju pertama di tahun ini mulai turun. Anna menatap butiran putih halus yang turun, dari balik jendela kamar. Indah tetapi tidak dengan suasananya. Muram, dan Anna sama sekali tidak suka! Musim dingin ini, Anna memilih untuk tidak mengambil jatah liburnya. Dia akan bekerja bersama dengan Dominic sampai pria itu kembali ke New York. Ya, setidaknya itu l
Sekarang situasi menjadi canggung, setelah Dominic memarahi Anna tanpa sebab. Mereka berdua duduk seperti orang asing di depan televisi. Dominic yang terlihat sibuk dengan laptopnya. Begitu juga dengan Anna yang sibuk mengganti saluran televisi, meski dia tidak tahu sedang menonton apa. "Hah!" Anna menghela napas panjang. Dia tidak suka dengan sikap Dominic yang acuh tak acuh setelah membuatnya ketakutan tadi. "Kau tidak ingin meminta maaf atas tindakan kasarmu tadi?"Dominic menoleh sekilas, lalu kembali menatap layar laptop. Pekerjaannya sudah menumpuk, dan Dominic tidak punya waktu untuk kembali ribut dengan Anna. "Buatkan aku coklat panas lagi!"Anna melotot tidak percaya mendengar perintah Dominic. Jadi, pria itu benar-benar tidak berniat meminta maaf. Baiklah. Dia berjanji akan membalas perbuatan Dominic tadi."Ya, ada lagi?""Aku butuh camilan." Tangan Dominic berhenti mengetik, dan berpikir sejenak. "Kau punya apa di kulkas?""Tidak ada!" jawab Anna cepat. Dia tidak akan
"Mengundurkan diri?" Dominic menggeleng cepat. "Hei, kau tau konsekuensinya jika mundur dari kontrak bukan?" Anna terdiam. Denda lima kali lipat itu terasa seperti batu yang tiba-tiba saja menghantam tubuhnya, tetapi bekerja dengan Dominic lebih melelahkan lagi. Dominic tersenyum penuh kemenangan ketika menyadari wajah Anna yang berubah pias. 'Kau pasti akan menarik ucapanmu. Kau tidak memiliki uang sebanyak itu, An,' harap Dominic di dalam hati. "Aku tau!" jawab Anna dengan tegas. "Akan aku usahakan denda itu lunas sebelum kau kembali ke New York." Anna bergegas berjalan meninggalkan dapur. Dominic tercengang dengan jawaban Anna. Jadi, Anna benar-benar serius ingin mengakhiri kontrak kerja mereka? Tidak bisa!Dominic tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Dia belum puas membalaskan dendamnya. "Tunggu, kau mau ke mana?"Anna tidak menjawab. Gadis itu sibuk memakai sepatu boots dan juga mantelnya. Dia sudah jengah dengan sikap Dominic yang selalu berlebihan. "Anna, di luar sedan
Dua Tahun Kemudian. Rumah Dominic terasa ramai sekarang karena anak laki-laki mereka tumbuh menjadi anak yang aktif. Leo, seperti itu mereka semua memanggil nama anak laki-laki yang lahir di musim dingin itu. Leo sangat pintar di usianya yang menginjak dua tahun. Tak jarang, Anna dan Dominic dibuat kewalahan dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh Leo. Seperti sekarang, anak itu sedang menanyakan banyak hal kepada ibunya. Tentang mengapa daun-daun pepohonan bisa jatuh di musim gugur, atau tentang bagaimana hewan-hewan liar itu bisa ada, dan mengapa mereka harus menjauhinya. "Mama, aku ingin bersama papa," celoteh Leo yang sudah bosan bertanya tentang banyak hal. "Iya, Sayang. Sebentar lagi papa pulang. Sekarang makan dulu." Leo menggeleng. Dia kembali berlari saat Anna hendak menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Kalau sudah seperti ini, Anna hanya bisa menghembuskan napas dengan kuat. Dia harus banyak bersabar menghadapi kelakuan Leo yang semakin hari se
"Namanya?" Anna menganggukkan kepala dengan senyum lebar. Lalu dia kembali mengusap tangan lembut milik bayi mereka. Ah, ternyata makhluk sebesar ini yang tumbuh di dalam perutnya selama ini. "Bagaimana dengan Mark?" "Mark?" "Iya. Kau tau arti dari nama Mark, Sayang?" Anna sontak menggeleng. "Mark berarti dewa perang. Aku memberinya nama Mark dengan harapan agar nantinya dia sekuat dewa perang." Senyum lebar tersungging di bibir Anna ketika mendengar nama anaknya. "Aku suka itu. Tambahkan nama belakangmu kalau begitu, Dom. Agar dia menjadi pria sekuat dirimu." Dominic setuju. Pria itu mencium kembali pipi bayinya yang terasa begitu halus. "Hai, Nak. Sekarang namamu Mark Leonardo Williams. Aku harap kau bisa tumbuh menjadi pria hebat di masa depan nanti." *** Kabar bahagia terdengar di seluruh penjuru kota New York saat kelahiran cucu pertama keluarga Williams diumumkan. Nama Dominic dan Anna langsung menjadi tren pencarian di internet yang paling banyak dicari
Anna dan Dominic menerima kabar bahagia atas kelahiran putra pertama Austin dan Daniella. Mereka turut berbahagia melihat bagaimana senangnya Austin saat menceritakan proses kelahiran bayi mereka. Anna yang sejak tadi memeluk Dominic pun, tidak pernah sama sekali berhenti tersenyum melihat kebahagiaan di wajah Daniella dan Austin. Mereka langsung melakukan panggilan video begitu mendapat kabar jika Daniella sudah melahirkan. "Ah, rasanya aku ingin terbang ke New York sekarang juga." Anna terlihat gemas melihat pipi merah milik putra Daniella. "Prediksi kelahiranmu kapan, An?" tanya Daniella dengan membersihkan Felix yang baru saja selesai dimandikan. "Bulan depan, tapi aku tidak yakin juga setelah mendengar jika kau melahirkan lebih cepat dari perkiraan." "Semoga semuanya lancar," harap Daniella. "Silakan bicara dengan Austin dulu. Felix sepertinya sudah sangat lapar." Anna mengangguk mengerti. Dia segera memberikan ponsel Dominic kepada pemiliknya, dan membiarkan D
Austin bangun tergopoh-gopoh begitu Daniella membangunkannya tengah malam begini. Yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah saat melihat Daniella merintih kesakitan dengan memegang perutnya. "Daniella, apa kau akan melahirkan?" tanya Austin gugup. Dia terlihat lebih gugup daripada wanita yang akan melahirkan. "Aku tidak tau. Perutku sakit sekali, Austin," rintih Daniella tidak tahan lagi. Sebenarnya dia sudah merasakan sakit perut dari sore tadi. Hanya saja, Daniella memilih untuk diam, dan tidak mengatakan apa pun karena berpikir jika ini hanya sakit perut biasa. Sampai saat mereka akan tidur lagi, Daniella semakin merasa tidak nyaman karena kram di perutnya tak kunjung mereda. "Kita ke rumah sakit sekarang." "Telepon mama dulu, Austin. Sepertinya aku hanya sakit perut biasa saja." Namun, hal yang terjadi justru sebaliknya. Wajah Daniella tampak pucat dengan keringat deras yang membasahi kening. "Oke, sebentar. Aku telepon mama dulu kalau begitu," ucap Austin y
Musim gugur telah berlalu, dengan angin yang perlahan semakin terasa dingin. Hari ini, setelah sekian lama menunggu, salju pertama di tahun ini kembali turun. Dari balik kaca-kaca rumah, Anna menatap ke arah luar melihat salju yang mulai berjatuhan. Gadis itu tersenyum simpul. "Hari ini salju turun. Kau pasti sangat bahagia, kan, Sayang?" Tiba-tiba saja Dominic datang dan memeluk Anna dengan lembut. Anna hanya mengukir senyum dengan kepala mengangguk. "Musim dingin tahun ini sangat berbeda, Dom." "Apa yang berbeda?" Anna melepaskan tangan Dominic, kemudian berbalik hingga mereka saling berhadapan sekarang. "Keberadaanmu yang membuat beda." Dominic memegang pinggang Anna, dengan tersenyum lebar. Pria itu merunduk, lalu mengecup bibir istrinya cukup lama. "Kau tau, musim dingin tahun lalu dan tahun ini aku punya kebiasaan yang berbeda." Anna menaikkan sudut alisnya. "Kebiasaan yang berbeda? Apa contohnya?" "Ya, contohnya ... bercinta denganmu." Anna memukul dad
Daniella melompat kegirangan saat melihat Austin muncul dari pintu kedatangan. Dia memang sengaja menunggu di bandara saat suaminya itu mengatakan jika akan pulang hari ini. Sungguh, Daniella tidak dapat menahan diri lagi dengan berdiam diri di rumah saja, untuk menunggu Austin. Apalagi dia masih sedih karena Anna sudah pindah ke Vermont kemarin. "Honey, aku sangat merindukanmu." Austin langsung memeluk istrinya dengan erat. Kalau saja dia tidak ingat perut Daniella yang buncit, mungkin Austin tidak akan melepaskan istrinya sekarang. "Aku juga sangat merindukanmu." Austin melepaskan pelukannya dan langsung berjongkok di hadapan perut Daniella. Salah satu yang menjadi kebiasaannya sekarang adalah menyapa bayinya yang masih di dalam perut. "Halo, Sayang. Bagaimana kabarmu di dalam sana?" tanya Austin dengan mengusap perut Daniella. Sesekali dia menciumnya dengan gemas, hingga membuat Daniella tertawa karena geli. "Sudah, Austin. Sebaiknya kita pulang saja sekarang. Aku
Austin menyambut kedatangan Dominic dengan senang hati. Dia sengaja melakukan semua itu, sebelum kembali ke pulang ke New York. Setelah semua urusan di Sky Crystal hari ini selesai, Austin mungkin akan langsung pulang. Dia sudah tidak tahan lagi ingin bertemu dengan Daniella, setelah lebih dari satu bulan ini lebih sering menghabiskan waktunya untuk pulang pergi Vermont dan New York. "Hai, Dom. Bagaimana dengan perjalanan kalian?" Austin langsung memeluk Dominic begitu pria itu tiba. Lalu menyapa Anna yang terlihat cukup kelelahan. "Ah, kau pasti sangat kelelahan, Anna." "Hum, sedikit," jawab Anna dengan senyum tipis. "Ini perjalanan panjang setelah kehamilannya. Dia pasti sangat kelelahan, apalagi perutnya sudah semakin membesar." Austin mengerti dengan apa yang Dominic keluhkan. "Itulah sebabnya aku melarang Daniella ketika dia merengek minta ikut. Kalau begitu, ayo. Sebentar lagi hari akan gelap." Dominic dan Anna mengikuti Austin yang berjalan lebih dulu menuju mob
Dominic membawa Anna ke rumah keluarganya. Setelah rapat pagi tadi, baik Elena maupun Hamilton meminta Dominic untuk datang dan menjelaskan segalanya. Saat Dominic memberitahu Anna, awalnya dia terkejut dengan keputusan Dominic yang bahkan selama ini tidak pernah dibicarakan. Namun, Anna tidak punya pilihan lain selain menuruti apa yang sudah Dominic putuskan. Hidup di mana pun, Anna bersedia asal tetap bersama Dominic. "Kita bicara setelah makan," ujar Hamilton setelah Dominic dan istrinya tiba. Sekarang mereka duduk bersama di ruang tamu, tetapi dengan cepat Dominic menolaknya. "Bisa kita bicara sekarang saja?" Hamilton berdeham. Dia sudah mengira Dominic akan melakukan hal ini, tetapi tidak pernah berpikir jika waktunya akan secepat ini. "Kenapa tiba-tiba seperti ini? Seharusnya kita membicarakan semua ini dari jauh-jauh hari." Hamilton hanya bisa menghela napas panjang. Dia tidak tahu harus dengan cara apa lagi agar Dominic membatalkan keputusannya. "Aku jug
"Williams Group?" Anna menganggukkan kepalanya. Dia tahu sebesar apa tanggung jawab Dominic terhadap Williams Group. Untuk memutuskan tinggal di Sky Crystal selamanya, itu pasti bukan perkara mudah. Dominic tersenyum tipis, tanpa ingin menjawab rasa penasaran Anna. Pria itu justru mengusap rambut istrinya seraya berkata, "Besok kau akan tau semuanya, Sayang." *** Adam dibuat kelimpungan pagi ini karena Dominic meminta diadakannya rapat dengan para pemegang saham secara mendadak. Dia tidak tahu apa yang Dominic ingin sampaikan sampai harus mengadakan rapat mendadak seperti ini. Seluruh pemegang saham Williams Group diwajibkan hadir. Ada Hamilton, Elena, Charles, dan beberapa orang lain yang tampak duduk di ruang rapat menunggu Dominic, selaku pemegang saham tertinggi sekaligus pemimpin di Williams Group saat ini. Berbagai gonjang-ganjing mulai terdengar di setiap sudut perusahaan karena rapat mendadak yang tiba-tiba saja Dominic lakukan. Semua spekulasi muncul,