"Mengundurkan diri?" Dominic menggeleng cepat. "Hei, kau tau konsekuensinya jika mundur dari kontrak bukan?" Anna terdiam. Denda lima kali lipat itu terasa seperti batu yang tiba-tiba saja menghantam tubuhnya, tetapi bekerja dengan Dominic lebih melelahkan lagi. Dominic tersenyum penuh kemenangan ketika menyadari wajah Anna yang berubah pias. 'Kau pasti akan menarik ucapanmu. Kau tidak memiliki uang sebanyak itu, An,' harap Dominic di dalam hati. "Aku tau!" jawab Anna dengan tegas. "Akan aku usahakan denda itu lunas sebelum kau kembali ke New York." Anna bergegas berjalan meninggalkan dapur. Dominic tercengang dengan jawaban Anna. Jadi, Anna benar-benar serius ingin mengakhiri kontrak kerja mereka? Tidak bisa!Dominic tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Dia belum puas membalaskan dendamnya. "Tunggu, kau mau ke mana?"Anna tidak menjawab. Gadis itu sibuk memakai sepatu boots dan juga mantelnya. Dia sudah jengah dengan sikap Dominic yang selalu berlebihan. "Anna, di luar sedan
Brak! Dominic tersentak kaget ketika Anna menutup pintu kamarnya dengan sangat kuat. Sepertinya, gadis itu benar-benar marah atas sikap Dominic tadi, atau dia sengaja melakukan ini agar Dominic bisa bersikap sedikit baik "Ah, sialan!" Dominic memaki pelan. Pria itu berjalan pelan menjauh dari kamar Anna. Apa dia akan menyerah seperti ini saja? "Jika aku lepaskan dia sekarang, aku tidak akan bisa membalaskan rasa sakit hatiku," gerutu Dominic. Pria itu kembali duduk di depan perapian. Jika kontrak mereka putus sekarang, itu artinya Dominic tidak memiliki alasan untuk tinggal di Vermont lebih lama. "Argh!" Dominic terlihat kesal. Dia masih ingin menghabiskan waktunya di Vermont. Dominic belum ingin bertemu dengan ibunya dalam waktu dekat. Tidak ada pilihan lain, Dominic harus bisa membuat Anna mengubah keputusannya. Maka pria itu pun sudah bulat dengan tekadnya. "Baiklah, Dom. Malam ini tubuhmu tidak akan tidur di ranjang yang luas. Besok kau harus bisa membujuk gadis itu untuk
Dominic berpura-pura tidak mendengar, ketika Anna mengatakan jika dia ingin membatalkan keputusannya. Pria itu berjalan dengan angkuh setelah memakai sepatu boots dan berniat untuk segera pulang. "Dom!""Apa?""Oke, baiklah. Aku berubah pikiran." Anna menghela napas dengan panjang. Sepertinya dia memang tidak akan bisa melepaskan diri dari Dominic dengan mudah. Sudut bibir Dominic tertarik sedikit. Dia tersenyum penuh kemenangan. Lihat, uang bisa melakukan apa pun, bahkan mengubah keputusan gadis teguh seperti Anna. "Kau yakin? Ini kesempatan terakhirmu. Setelah kau kembali lagi, maka kau tidak bisa mundur sesuka hati." Anna mengangguk dengan sedikit ragu. "Tapi dengan satu syarat.""Em, tidak ada syarat apa pun!" tegas Dominic. "Dom, hanya satu saja. Aku tidak akan meminta apa pun darimu, atau membantah perintahmu setelah ini."Dominic coba menimbang permintaan Anna. Ah, rasanya tidak masalah. Toh, dia memang butuh Anna sebagai koki pribadinya. "Baiklah. Apa syaratnya?" "Jang
"Kalian sedang bicara sesuatu yang serius?" Anna bertanya setelah mendengarkan percakapan ketiga pria yang tidak menyadari kedatangannya sejak tadi. "Eh, kau sudah datang?" Dominic bertanya heran. Dia sama sekali tidak dengar saat Anna masuk. Begitu juga dengan Harry dan Austin. Sepertinya mereka benar-benar khusyuk hingga tidak mendengar apa pun. Anna mengangguk dengan tersenyum kecil. "Akan kubuatkan sarapan. Tunggu sebentar."Setelah itu, Anna segera berlalu menuju dapur. Sedikit pikirannya tentang Dominic berubah. Apalagi saat mendengar jika pria itu akan menggunakan uang pribadinya untuk tetap menjaga Sky Crystal. Dominic ternyata tidak seburuk itu. Dominic, Harry, dan Austin kembali melanjutkan perbincangan mereka. Banyak yang harus mereka bahas dengan teliti kali ini. Sebelum ini, Dominic selalu bersikap apatis jika Austin melaporkan tentang keadaan resort. Namun, setelah beberapa hari tinggal dan melihat bagaimana orang-orang di Sky Crystal bekerja dengan setulus hati, p
"Aku ingin mandi dulu. Kau bisa periksa isi kulkas apa saja yang sudah habis," ungkap Dominic tiba-tiba. Pria itu segera berdiri, lantas pergi begitu saja meninggalkan Anna yang masih duduk dengan tatapan heran. Brak! Dominic menutup pintu kamarnya cukup kencang. Pria itu mengusap keringat yang membasahi tengkuk kepalanya. "Shit! Sialan!" Pria itu segera masuk ke dalam kamar mandi, dan melepaskan pakaiannya tanpa sisa. Entah mengapa sejak memperhatikan Anna tadi, melihat bagaimana gadis itu berpikir, hasratnya tiba-tiba saja membuncah. Suara air dingin mengguyur kepala Dominic terdengar cukup keras. Kabin ini tidak memiliki pengedap suara karena letaknya yang saling berjauhan satu sama lain. Dominic terus membasahi kepalanya sendiri tanpa peduli dengan tubuhnya sendiri yang menggigil kedinginan. Dia benar-benar gila karena mandi dengan air dingin, di musim dingin seperti ini. "Enyahkan pikiran kotormu itu, Dom! Ingat, dia gadis yang sudah menjatuhkan harga dirimu."Dominic teru
“Anna, kau mulai berani padaku, ya?” hardik Dominic dengan wajah kesal. Pria itu berusaha mengejar Anna yang terus berlari, dengan berjalan cukup cepat. Namun, Anna benar-benar lihai, gadis itu terus berlari sembari tertawa mengejek Dominic. Dominic tidak tahan lagi. Saat Anna lengah, pria itu segera mencekal tangan gadis itu dengan senyum penuh kemenangan. “Ah, kena kau!” “Baiklah. Sekarang lepaskan aku.” Anna berusaha melepaskan tangan Dominic, tetapi sepertinya pria itu sama sekali tidak mau. “Lepas, Dom!” “Tidak,” tolak Dominic dengan senyum mengejek. Dia segera menarik Anna dan menjatuhkannya di sofa. “Duduk!”Anna menuruti perintah Dominic. Melihat bagaimana kekesalan di wajahnya, Anna menjadi sedikit menyesal. Seharusnya dia tidak bermain-main bersama pria tua seperti Dominic. Dominic sama sekali tidak menyenangkan! Dominic berkacak pinggang dengan mata yang tidak lepas dari Anna. Uh, sungguh, gadis itu seperti anak-anak. Dia pikir Dominic bisa diajak bercanda dan berl
Pagi ini Dominic benar-benar tidak melupakan perkataannya. Dia membuat Anna membayar atas semua sikapnya malam tadi. Dominic tidak senang ketika Anna memanggilnya dengan sebutan Sir. Usianya tidak berbeda jauh dengan Austin dan juga Harry. Lantas mengapa dia merasa terlihat lebih tua dengan panggilan itu? “Setelah membuat sarapan, kau bersihkan kabin ini!” titah Dominic. Pria itu sama sekali tidak menatap dan duduk membelakangi Anna. Matanya hanya fokus pada tablet yang melampirkan laporan dari Adam. Sikapnya juga lebih dingin dari biasanya. “Tapi, itu bukan pekerjaanku,” tolak Anna. Dari awal pekerjaannya hanya memasak dan belanja saja. “Itu hukumanmu! Jangan membantahku lagi, atau aku akan menambah hukumanmu menjadi dua kali lipat." Anna menghentakkan kakinya dengan kesal. Rasanya dia ingin mencabik-cabik wajah Dominic sekarang juga. “Kau memakiku?” Dominic berbalik dengan tatapan datar. “Tidak!” “Aku bisa merasakannya. Setelah membersihkan kabin, kau temani aku belanja unt
"Hei, kau kenapa?" Dominic membalikkan tubuh Anna, dan menyentuh pundak gadis itu ketika mereka sudah berada di luar supermarket. Wajah Anna benar-benar kelihatan pucat, dengan tatapan matanya yang terlihat kosong. "Anna!" panggil Dominic dengan cukup kuat. Dia mengguncang bahu gadis itu hingga tersadar. "Lepas." Anna menurunkan tangan Dominic, kemudian berjalan tanpa arah meninggalkan pria itu begitu saja. Gadis itu berjalan dengan langkah terseok-seok. Kakinya benar-benar tidak berdaya, tetapi dia tidak bisa berdiam diri saja di depan Dominic. Anna tidak mau Dominic mengasihaninya nanti. Sementara itu, Dominic terlihat tidak mengerti sama sekali dengan sikap Anna. Sebenarnya apa yang sudah terjadi dengan gadis itu? "Anna!" teriak Dominic. Dia berlari menyusul Anna. Sepertinya gadis itu tidak baik-baik saja. Anna menekan dadanya yang terasa sakit. Napasnya terasa sesak hingga dia kesulitan bernapas. Gadis itu terus berjalan menjauhi Dominic. Dia tidak ingin Dominic melihatnya
Dua Tahun Kemudian. Rumah Dominic terasa ramai sekarang karena anak laki-laki mereka tumbuh menjadi anak yang aktif. Leo, seperti itu mereka semua memanggil nama anak laki-laki yang lahir di musim dingin itu. Leo sangat pintar di usianya yang menginjak dua tahun. Tak jarang, Anna dan Dominic dibuat kewalahan dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh Leo. Seperti sekarang, anak itu sedang menanyakan banyak hal kepada ibunya. Tentang mengapa daun-daun pepohonan bisa jatuh di musim gugur, atau tentang bagaimana hewan-hewan liar itu bisa ada, dan mengapa mereka harus menjauhinya. "Mama, aku ingin bersama papa," celoteh Leo yang sudah bosan bertanya tentang banyak hal. "Iya, Sayang. Sebentar lagi papa pulang. Sekarang makan dulu." Leo menggeleng. Dia kembali berlari saat Anna hendak menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Kalau sudah seperti ini, Anna hanya bisa menghembuskan napas dengan kuat. Dia harus banyak bersabar menghadapi kelakuan Leo yang semakin hari se
"Namanya?" Anna menganggukkan kepala dengan senyum lebar. Lalu dia kembali mengusap tangan lembut milik bayi mereka. Ah, ternyata makhluk sebesar ini yang tumbuh di dalam perutnya selama ini. "Bagaimana dengan Mark?" "Mark?" "Iya. Kau tau arti dari nama Mark, Sayang?" Anna sontak menggeleng. "Mark berarti dewa perang. Aku memberinya nama Mark dengan harapan agar nantinya dia sekuat dewa perang." Senyum lebar tersungging di bibir Anna ketika mendengar nama anaknya. "Aku suka itu. Tambahkan nama belakangmu kalau begitu, Dom. Agar dia menjadi pria sekuat dirimu." Dominic setuju. Pria itu mencium kembali pipi bayinya yang terasa begitu halus. "Hai, Nak. Sekarang namamu Mark Leonardo Williams. Aku harap kau bisa tumbuh menjadi pria hebat di masa depan nanti." *** Kabar bahagia terdengar di seluruh penjuru kota New York saat kelahiran cucu pertama keluarga Williams diumumkan. Nama Dominic dan Anna langsung menjadi tren pencarian di internet yang paling banyak dicari
Anna dan Dominic menerima kabar bahagia atas kelahiran putra pertama Austin dan Daniella. Mereka turut berbahagia melihat bagaimana senangnya Austin saat menceritakan proses kelahiran bayi mereka. Anna yang sejak tadi memeluk Dominic pun, tidak pernah sama sekali berhenti tersenyum melihat kebahagiaan di wajah Daniella dan Austin. Mereka langsung melakukan panggilan video begitu mendapat kabar jika Daniella sudah melahirkan. "Ah, rasanya aku ingin terbang ke New York sekarang juga." Anna terlihat gemas melihat pipi merah milik putra Daniella. "Prediksi kelahiranmu kapan, An?" tanya Daniella dengan membersihkan Felix yang baru saja selesai dimandikan. "Bulan depan, tapi aku tidak yakin juga setelah mendengar jika kau melahirkan lebih cepat dari perkiraan." "Semoga semuanya lancar," harap Daniella. "Silakan bicara dengan Austin dulu. Felix sepertinya sudah sangat lapar." Anna mengangguk mengerti. Dia segera memberikan ponsel Dominic kepada pemiliknya, dan membiarkan D
Austin bangun tergopoh-gopoh begitu Daniella membangunkannya tengah malam begini. Yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah saat melihat Daniella merintih kesakitan dengan memegang perutnya. "Daniella, apa kau akan melahirkan?" tanya Austin gugup. Dia terlihat lebih gugup daripada wanita yang akan melahirkan. "Aku tidak tau. Perutku sakit sekali, Austin," rintih Daniella tidak tahan lagi. Sebenarnya dia sudah merasakan sakit perut dari sore tadi. Hanya saja, Daniella memilih untuk diam, dan tidak mengatakan apa pun karena berpikir jika ini hanya sakit perut biasa. Sampai saat mereka akan tidur lagi, Daniella semakin merasa tidak nyaman karena kram di perutnya tak kunjung mereda. "Kita ke rumah sakit sekarang." "Telepon mama dulu, Austin. Sepertinya aku hanya sakit perut biasa saja." Namun, hal yang terjadi justru sebaliknya. Wajah Daniella tampak pucat dengan keringat deras yang membasahi kening. "Oke, sebentar. Aku telepon mama dulu kalau begitu," ucap Austin y
Musim gugur telah berlalu, dengan angin yang perlahan semakin terasa dingin. Hari ini, setelah sekian lama menunggu, salju pertama di tahun ini kembali turun. Dari balik kaca-kaca rumah, Anna menatap ke arah luar melihat salju yang mulai berjatuhan. Gadis itu tersenyum simpul. "Hari ini salju turun. Kau pasti sangat bahagia, kan, Sayang?" Tiba-tiba saja Dominic datang dan memeluk Anna dengan lembut. Anna hanya mengukir senyum dengan kepala mengangguk. "Musim dingin tahun ini sangat berbeda, Dom." "Apa yang berbeda?" Anna melepaskan tangan Dominic, kemudian berbalik hingga mereka saling berhadapan sekarang. "Keberadaanmu yang membuat beda." Dominic memegang pinggang Anna, dengan tersenyum lebar. Pria itu merunduk, lalu mengecup bibir istrinya cukup lama. "Kau tau, musim dingin tahun lalu dan tahun ini aku punya kebiasaan yang berbeda." Anna menaikkan sudut alisnya. "Kebiasaan yang berbeda? Apa contohnya?" "Ya, contohnya ... bercinta denganmu." Anna memukul dad
Daniella melompat kegirangan saat melihat Austin muncul dari pintu kedatangan. Dia memang sengaja menunggu di bandara saat suaminya itu mengatakan jika akan pulang hari ini. Sungguh, Daniella tidak dapat menahan diri lagi dengan berdiam diri di rumah saja, untuk menunggu Austin. Apalagi dia masih sedih karena Anna sudah pindah ke Vermont kemarin. "Honey, aku sangat merindukanmu." Austin langsung memeluk istrinya dengan erat. Kalau saja dia tidak ingat perut Daniella yang buncit, mungkin Austin tidak akan melepaskan istrinya sekarang. "Aku juga sangat merindukanmu." Austin melepaskan pelukannya dan langsung berjongkok di hadapan perut Daniella. Salah satu yang menjadi kebiasaannya sekarang adalah menyapa bayinya yang masih di dalam perut. "Halo, Sayang. Bagaimana kabarmu di dalam sana?" tanya Austin dengan mengusap perut Daniella. Sesekali dia menciumnya dengan gemas, hingga membuat Daniella tertawa karena geli. "Sudah, Austin. Sebaiknya kita pulang saja sekarang. Aku
Austin menyambut kedatangan Dominic dengan senang hati. Dia sengaja melakukan semua itu, sebelum kembali ke pulang ke New York. Setelah semua urusan di Sky Crystal hari ini selesai, Austin mungkin akan langsung pulang. Dia sudah tidak tahan lagi ingin bertemu dengan Daniella, setelah lebih dari satu bulan ini lebih sering menghabiskan waktunya untuk pulang pergi Vermont dan New York. "Hai, Dom. Bagaimana dengan perjalanan kalian?" Austin langsung memeluk Dominic begitu pria itu tiba. Lalu menyapa Anna yang terlihat cukup kelelahan. "Ah, kau pasti sangat kelelahan, Anna." "Hum, sedikit," jawab Anna dengan senyum tipis. "Ini perjalanan panjang setelah kehamilannya. Dia pasti sangat kelelahan, apalagi perutnya sudah semakin membesar." Austin mengerti dengan apa yang Dominic keluhkan. "Itulah sebabnya aku melarang Daniella ketika dia merengek minta ikut. Kalau begitu, ayo. Sebentar lagi hari akan gelap." Dominic dan Anna mengikuti Austin yang berjalan lebih dulu menuju mob
Dominic membawa Anna ke rumah keluarganya. Setelah rapat pagi tadi, baik Elena maupun Hamilton meminta Dominic untuk datang dan menjelaskan segalanya. Saat Dominic memberitahu Anna, awalnya dia terkejut dengan keputusan Dominic yang bahkan selama ini tidak pernah dibicarakan. Namun, Anna tidak punya pilihan lain selain menuruti apa yang sudah Dominic putuskan. Hidup di mana pun, Anna bersedia asal tetap bersama Dominic. "Kita bicara setelah makan," ujar Hamilton setelah Dominic dan istrinya tiba. Sekarang mereka duduk bersama di ruang tamu, tetapi dengan cepat Dominic menolaknya. "Bisa kita bicara sekarang saja?" Hamilton berdeham. Dia sudah mengira Dominic akan melakukan hal ini, tetapi tidak pernah berpikir jika waktunya akan secepat ini. "Kenapa tiba-tiba seperti ini? Seharusnya kita membicarakan semua ini dari jauh-jauh hari." Hamilton hanya bisa menghela napas panjang. Dia tidak tahu harus dengan cara apa lagi agar Dominic membatalkan keputusannya. "Aku jug
"Williams Group?" Anna menganggukkan kepalanya. Dia tahu sebesar apa tanggung jawab Dominic terhadap Williams Group. Untuk memutuskan tinggal di Sky Crystal selamanya, itu pasti bukan perkara mudah. Dominic tersenyum tipis, tanpa ingin menjawab rasa penasaran Anna. Pria itu justru mengusap rambut istrinya seraya berkata, "Besok kau akan tau semuanya, Sayang." *** Adam dibuat kelimpungan pagi ini karena Dominic meminta diadakannya rapat dengan para pemegang saham secara mendadak. Dia tidak tahu apa yang Dominic ingin sampaikan sampai harus mengadakan rapat mendadak seperti ini. Seluruh pemegang saham Williams Group diwajibkan hadir. Ada Hamilton, Elena, Charles, dan beberapa orang lain yang tampak duduk di ruang rapat menunggu Dominic, selaku pemegang saham tertinggi sekaligus pemimpin di Williams Group saat ini. Berbagai gonjang-ganjing mulai terdengar di setiap sudut perusahaan karena rapat mendadak yang tiba-tiba saja Dominic lakukan. Semua spekulasi muncul,