"Hei, kau kenapa?" Dominic membalikkan tubuh Anna, dan menyentuh pundak gadis itu ketika mereka sudah berada di luar supermarket. Wajah Anna benar-benar kelihatan pucat, dengan tatapan matanya yang terlihat kosong. "Anna!" panggil Dominic dengan cukup kuat. Dia mengguncang bahu gadis itu hingga tersadar. "Lepas." Anna menurunkan tangan Dominic, kemudian berjalan tanpa arah meninggalkan pria itu begitu saja. Gadis itu berjalan dengan langkah terseok-seok. Kakinya benar-benar tidak berdaya, tetapi dia tidak bisa berdiam diri saja di depan Dominic. Anna tidak mau Dominic mengasihaninya nanti. Sementara itu, Dominic terlihat tidak mengerti sama sekali dengan sikap Anna. Sebenarnya apa yang sudah terjadi dengan gadis itu? "Anna!" teriak Dominic. Dia berlari menyusul Anna. Sepertinya gadis itu tidak baik-baik saja. Anna menekan dadanya yang terasa sakit. Napasnya terasa sesak hingga dia kesulitan bernapas. Gadis itu terus berjalan menjauhi Dominic. Dia tidak ingin Dominic melihatnya
Dominic benar-benar terkejut ketika melihat kondisi Anna. Gadis itu berbaring meringkuk di lantai toilet, dengan wajah pucat seperti tidak dialiri darah lagi. "Anna, kau kenapa?" tanya Dominic. Dia berjongkok dan menepuk pipi Anna yang sudah terasa dingin. Dominic terlihat panik. Pria itu segera memeriksa tubuh Anna, dan betapa terkejutnya dia ketika mendapati luka goresan di sepanjang tangan gadis itu. "Oh, shit! Kau mau coba bunuh diri?" Mata Dominic jelas memancarkan kekhawatiran, meski mulutnya terus saja mengumpat. Dia segera merogoh ponsel di dalam sakunya, dan menghubungi ambulans. Tidak butuh waktu lama, ambulans datang dan langsung membawa Anna ke rumah sakit. Dominic menginjak pedal gas mobilnya dengan kencang. Dia berusaha mengejar ambulans yang membawa Anna di depan sana. Berbagai macam jenis pertanyaan muncul di dalam benaknya. Kenapa Anna melakukan ini? Sosok Anna yang ceria, dan cerewet membuat Dominic sama sekali tidak mengerti, mengapa gadis itu bisa melakukan
"Aku ingin pulang!" Anna berusaha turun dari ranjang. Dia tidak sanggup melihat kemarahan yang terpancar jelas di wajah Dominic. "Kau tidak boleh pergi!" Dominic menyentuh bahu Anna, dan menyuruhnya untuk kembali duduk. "Dokter belum memperbolehkannya.""Aku baik-baik saja, Dom." Anna tersenyum tipis. Dia mencoba membuat Dominic lupa dengan pembahasan tadi. Anna tidak terlalu menyukainya. Dia tidak suka jika Dominic mengorek semua tentang kehidupannya yang menyedihkan. Anna tidak mau dikasihi dengan cara seperti itu. "Kau belum menjawab pertanyaanku tadi.""Aku tidak ingin melakukan apa pun," jawab Anna pada akhirnya. Suaranya terdengar lirih. "Jadi, kau ingin hidup seperti ini--""Aku baik-baik saja." Anna mendongakkan kepalanya, dan tersenyum lembut kepada Dominic. Tangannya menyentuh lengan pria itu. Dia berusaha menenangkan amarah Dominic yang sedang menggebu. Dan, sebenarnya Anna tidak tahu mengapa Dominic bisa semarah itu. Apa mungkin karena Anna hampir mati tadi? Ya, jela
Pagi ini cuaca sedikit cerah setelah hampir semalaman Vermont di landa hujan salju. Salju-salju di sepanjang jalanan juga sudah tebal. Anna bangun dengan tubuh terasa lebih segar. Malam tadi dia bisa tidur dengan nyenyak, mungkin saja karena pengaruh obat yang diberikan oleh dokter. Gadis itu bangun dengan perasaan senang, dan segera bergegas ke kabin Dominic. Anna harus melupakan kejadian kemarin. Dia sudah bersusah payah menjalani hidup dengan baik sampai sejauh ini, maka Anna tidak akan membiarkan kehadiran Frank mengubah semuanya. Ceklek!Anna membuka pintu kabin Dominic dan segera masuk. Udara dingin di luar hampir membuatnya membeku, dan dia merasa hangat ketika sudah masuk ke dalam kabin. "Dom!" panggil Anna. Suasana kabin sangat sepi. Hanya ada api menyala di perapian dengan tumpukan kayu yang masih terlihat baru. Anna berjalan menuju dapur dan berusaha mencari keberadaan Dominic, tetapi sepertinya Dominic tidak ada di kabin. Sebenarnya pria itu pergi ke mana? Saat An
"Kalian di sini?" Dominic menghembuskan napasnya dengan gusar ketika melihat Anna sedang berdiri di depannya, dengan senyum lebar. Sepertinya gadis itu masih belum mau menyerah tentang permainan ski yang selalu dia bicarakan. "Anna, kau ada di sini? Ada apa?" cecar Austin ketika melihat Anna. Sebelumnya, Anna tidak mengabari jika akan kemari. "Dom, kau belum bilang pada mereka?"Harry dan Austin kompak menaikkan alis mereka dengan heran. Apa yang belum Dominic beritahu kepada mereka? "Kau saja yang beritahu, 'kan kau juga sudah ada di sini." Dominic segera pergi meninggalkan Anna bersama dengan kedua temannya. Mendadak dia merasa malas. "Apa? Apa yang kalian bicarakan?""Iya, kalian merencanakan sesuatu?" Harry ikut bertanya. Anna menatap kepergian Dominic dengan sedikit dongkol. Mood pria itu benar-benar tidak bisa diprediksi. Kadang menyenangkan, dan kadang menyebalkan seperti sekarang. "Anna!" panggil Austin ketika melihat gadis itu diam saja. "Cepat katakan, ada apa?""Ah,
"Kau yakin akan bermain ski lagi?" Austin bertanya-tanya dengan wajah heran, setelah mendengar dengan telinganya sendiri bahwa Dominic akan ikut dengan mereka. Dominic mengangguk tanpa keraguan sama sekali. "Sepertinya tubuhku butuh olahraga berat."Anna terlihat girang. Setelah itu, mereka berempat segera pergi dari sana dan mengunjungi arena permainan ski di ujung pegunungan. Di sini lah mereka berada, di salah satu punggung pegunungan yang memiliki lembah tidak terlalu curam. Saat mereka melihat ke bawah hanya tampak hitam pinus dan cemara, selain itu kabin-kabin Sky Crystal juga terlihat cukup jelas dari atas sini. Mereka berempat setuju untuk memilih lereng gunung yang tidak terlalu terjal, dan cukup kosong dari para pengunjung lain. Mengingat jika ini adalah kali pertama Dominic kembali bermain ski setelah bertahun-tahun. "Jadi apa peraturan dalam permainan kita?" tanya Dominic dengan semangat. Matanya berbinar menggambarkan gairah yang menggebu-gebu. Akhirnya setelah be
Anna menatap langit di atasnya yang mulai menggelap, mungkin karena pepohonan di sekitar mereka yang cukup lebat, atau bisa jadi karena langit yang kembali mendung. Harry dan Austin belum kembali. Begitu pula dengan Dominic yang belum sadarkan diri. Anna berusaha untuk tidak terlihat panik. Namun, tetap saja dia tidak bisa membohongi dirinya sendiri yang hampir menangis karena rasa bersalah. "Pastikan Dominic tetap hangat!" perkataan Harry kembali terngiang, dan membuat Anna bergegas duduk di samping Dominic. Anna menyentuh pipi Dominic yang sudah sangat dingin. Suhu udara di Vermont sudah turun drastis, disertai dengan hujan salju yang kembali turun. "Dom, kau benar-benar membuatku takut," bisik Anna dengan bibir bergetar. Jauh di lubuk hatinya, dia takut Dominic akan mengalami masalah serius. Dia takut Dominic tidak akan membuka matanya lagi. Akan tetapi, Anna cepat-cepat mengenyahkan pikiran buruknya itu. Dia harus bisa tegar untuk bisa membantu Dominic. Untuk itu, Anna harus
Harry membantu menyangga tubuh besar Dominic ketika mereka berjalan memasuki kabin. Dominic bersikeras ingin pulang dan tidak mau dirawat di rumah sakit. Setelah dokter memastikan jika tidak ada cedera serius di kaki dan kepala Dominic, Harry akhirnya menuruti kemauan sahabatnya itu untuk segera pulang. "Huh, tubuhmu berat sekali, Dom," keluh Harry. Namun, Dominic hanya diam saja. Dia sama sekali tidak berniat menjawab perkataan Harry. "Mari aku bantu." Austin membantu Dominic duduk di atas sofa, lalu setelah itu terdengar helaan napas panjang dari Harry. "Oke, thanks." Dominic sesekali mengernyit ketika pergelangan kakinya masih terasa sedikit sakit, dan hal itu tidak luput dari pandangan Anna. Untung saja tidak ada luka serius, dan hanya memar sedikit sehingga dia tidak harus dirawat. Dominic tidak terlalu suka dengan bau rumah sakit. "Akan kubuatkan coklat hangat sebentar," ujar Anna setelah memastikan Dominic duduk. Dia segera bergegas ke dapur untuk membuat minuman untuk me
Dua Tahun Kemudian. Rumah Dominic terasa ramai sekarang karena anak laki-laki mereka tumbuh menjadi anak yang aktif. Leo, seperti itu mereka semua memanggil nama anak laki-laki yang lahir di musim dingin itu. Leo sangat pintar di usianya yang menginjak dua tahun. Tak jarang, Anna dan Dominic dibuat kewalahan dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh Leo. Seperti sekarang, anak itu sedang menanyakan banyak hal kepada ibunya. Tentang mengapa daun-daun pepohonan bisa jatuh di musim gugur, atau tentang bagaimana hewan-hewan liar itu bisa ada, dan mengapa mereka harus menjauhinya. "Mama, aku ingin bersama papa," celoteh Leo yang sudah bosan bertanya tentang banyak hal. "Iya, Sayang. Sebentar lagi papa pulang. Sekarang makan dulu." Leo menggeleng. Dia kembali berlari saat Anna hendak menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Kalau sudah seperti ini, Anna hanya bisa menghembuskan napas dengan kuat. Dia harus banyak bersabar menghadapi kelakuan Leo yang semakin hari se
"Namanya?" Anna menganggukkan kepala dengan senyum lebar. Lalu dia kembali mengusap tangan lembut milik bayi mereka. Ah, ternyata makhluk sebesar ini yang tumbuh di dalam perutnya selama ini. "Bagaimana dengan Mark?" "Mark?" "Iya. Kau tau arti dari nama Mark, Sayang?" Anna sontak menggeleng. "Mark berarti dewa perang. Aku memberinya nama Mark dengan harapan agar nantinya dia sekuat dewa perang." Senyum lebar tersungging di bibir Anna ketika mendengar nama anaknya. "Aku suka itu. Tambahkan nama belakangmu kalau begitu, Dom. Agar dia menjadi pria sekuat dirimu." Dominic setuju. Pria itu mencium kembali pipi bayinya yang terasa begitu halus. "Hai, Nak. Sekarang namamu Mark Leonardo Williams. Aku harap kau bisa tumbuh menjadi pria hebat di masa depan nanti." *** Kabar bahagia terdengar di seluruh penjuru kota New York saat kelahiran cucu pertama keluarga Williams diumumkan. Nama Dominic dan Anna langsung menjadi tren pencarian di internet yang paling banyak dicari
Anna dan Dominic menerima kabar bahagia atas kelahiran putra pertama Austin dan Daniella. Mereka turut berbahagia melihat bagaimana senangnya Austin saat menceritakan proses kelahiran bayi mereka. Anna yang sejak tadi memeluk Dominic pun, tidak pernah sama sekali berhenti tersenyum melihat kebahagiaan di wajah Daniella dan Austin. Mereka langsung melakukan panggilan video begitu mendapat kabar jika Daniella sudah melahirkan. "Ah, rasanya aku ingin terbang ke New York sekarang juga." Anna terlihat gemas melihat pipi merah milik putra Daniella. "Prediksi kelahiranmu kapan, An?" tanya Daniella dengan membersihkan Felix yang baru saja selesai dimandikan. "Bulan depan, tapi aku tidak yakin juga setelah mendengar jika kau melahirkan lebih cepat dari perkiraan." "Semoga semuanya lancar," harap Daniella. "Silakan bicara dengan Austin dulu. Felix sepertinya sudah sangat lapar." Anna mengangguk mengerti. Dia segera memberikan ponsel Dominic kepada pemiliknya, dan membiarkan D
Austin bangun tergopoh-gopoh begitu Daniella membangunkannya tengah malam begini. Yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah saat melihat Daniella merintih kesakitan dengan memegang perutnya. "Daniella, apa kau akan melahirkan?" tanya Austin gugup. Dia terlihat lebih gugup daripada wanita yang akan melahirkan. "Aku tidak tau. Perutku sakit sekali, Austin," rintih Daniella tidak tahan lagi. Sebenarnya dia sudah merasakan sakit perut dari sore tadi. Hanya saja, Daniella memilih untuk diam, dan tidak mengatakan apa pun karena berpikir jika ini hanya sakit perut biasa. Sampai saat mereka akan tidur lagi, Daniella semakin merasa tidak nyaman karena kram di perutnya tak kunjung mereda. "Kita ke rumah sakit sekarang." "Telepon mama dulu, Austin. Sepertinya aku hanya sakit perut biasa saja." Namun, hal yang terjadi justru sebaliknya. Wajah Daniella tampak pucat dengan keringat deras yang membasahi kening. "Oke, sebentar. Aku telepon mama dulu kalau begitu," ucap Austin y
Musim gugur telah berlalu, dengan angin yang perlahan semakin terasa dingin. Hari ini, setelah sekian lama menunggu, salju pertama di tahun ini kembali turun. Dari balik kaca-kaca rumah, Anna menatap ke arah luar melihat salju yang mulai berjatuhan. Gadis itu tersenyum simpul. "Hari ini salju turun. Kau pasti sangat bahagia, kan, Sayang?" Tiba-tiba saja Dominic datang dan memeluk Anna dengan lembut. Anna hanya mengukir senyum dengan kepala mengangguk. "Musim dingin tahun ini sangat berbeda, Dom." "Apa yang berbeda?" Anna melepaskan tangan Dominic, kemudian berbalik hingga mereka saling berhadapan sekarang. "Keberadaanmu yang membuat beda." Dominic memegang pinggang Anna, dengan tersenyum lebar. Pria itu merunduk, lalu mengecup bibir istrinya cukup lama. "Kau tau, musim dingin tahun lalu dan tahun ini aku punya kebiasaan yang berbeda." Anna menaikkan sudut alisnya. "Kebiasaan yang berbeda? Apa contohnya?" "Ya, contohnya ... bercinta denganmu." Anna memukul dad
Daniella melompat kegirangan saat melihat Austin muncul dari pintu kedatangan. Dia memang sengaja menunggu di bandara saat suaminya itu mengatakan jika akan pulang hari ini. Sungguh, Daniella tidak dapat menahan diri lagi dengan berdiam diri di rumah saja, untuk menunggu Austin. Apalagi dia masih sedih karena Anna sudah pindah ke Vermont kemarin. "Honey, aku sangat merindukanmu." Austin langsung memeluk istrinya dengan erat. Kalau saja dia tidak ingat perut Daniella yang buncit, mungkin Austin tidak akan melepaskan istrinya sekarang. "Aku juga sangat merindukanmu." Austin melepaskan pelukannya dan langsung berjongkok di hadapan perut Daniella. Salah satu yang menjadi kebiasaannya sekarang adalah menyapa bayinya yang masih di dalam perut. "Halo, Sayang. Bagaimana kabarmu di dalam sana?" tanya Austin dengan mengusap perut Daniella. Sesekali dia menciumnya dengan gemas, hingga membuat Daniella tertawa karena geli. "Sudah, Austin. Sebaiknya kita pulang saja sekarang. Aku
Austin menyambut kedatangan Dominic dengan senang hati. Dia sengaja melakukan semua itu, sebelum kembali ke pulang ke New York. Setelah semua urusan di Sky Crystal hari ini selesai, Austin mungkin akan langsung pulang. Dia sudah tidak tahan lagi ingin bertemu dengan Daniella, setelah lebih dari satu bulan ini lebih sering menghabiskan waktunya untuk pulang pergi Vermont dan New York. "Hai, Dom. Bagaimana dengan perjalanan kalian?" Austin langsung memeluk Dominic begitu pria itu tiba. Lalu menyapa Anna yang terlihat cukup kelelahan. "Ah, kau pasti sangat kelelahan, Anna." "Hum, sedikit," jawab Anna dengan senyum tipis. "Ini perjalanan panjang setelah kehamilannya. Dia pasti sangat kelelahan, apalagi perutnya sudah semakin membesar." Austin mengerti dengan apa yang Dominic keluhkan. "Itulah sebabnya aku melarang Daniella ketika dia merengek minta ikut. Kalau begitu, ayo. Sebentar lagi hari akan gelap." Dominic dan Anna mengikuti Austin yang berjalan lebih dulu menuju mob
Dominic membawa Anna ke rumah keluarganya. Setelah rapat pagi tadi, baik Elena maupun Hamilton meminta Dominic untuk datang dan menjelaskan segalanya. Saat Dominic memberitahu Anna, awalnya dia terkejut dengan keputusan Dominic yang bahkan selama ini tidak pernah dibicarakan. Namun, Anna tidak punya pilihan lain selain menuruti apa yang sudah Dominic putuskan. Hidup di mana pun, Anna bersedia asal tetap bersama Dominic. "Kita bicara setelah makan," ujar Hamilton setelah Dominic dan istrinya tiba. Sekarang mereka duduk bersama di ruang tamu, tetapi dengan cepat Dominic menolaknya. "Bisa kita bicara sekarang saja?" Hamilton berdeham. Dia sudah mengira Dominic akan melakukan hal ini, tetapi tidak pernah berpikir jika waktunya akan secepat ini. "Kenapa tiba-tiba seperti ini? Seharusnya kita membicarakan semua ini dari jauh-jauh hari." Hamilton hanya bisa menghela napas panjang. Dia tidak tahu harus dengan cara apa lagi agar Dominic membatalkan keputusannya. "Aku jug
"Williams Group?" Anna menganggukkan kepalanya. Dia tahu sebesar apa tanggung jawab Dominic terhadap Williams Group. Untuk memutuskan tinggal di Sky Crystal selamanya, itu pasti bukan perkara mudah. Dominic tersenyum tipis, tanpa ingin menjawab rasa penasaran Anna. Pria itu justru mengusap rambut istrinya seraya berkata, "Besok kau akan tau semuanya, Sayang." *** Adam dibuat kelimpungan pagi ini karena Dominic meminta diadakannya rapat dengan para pemegang saham secara mendadak. Dia tidak tahu apa yang Dominic ingin sampaikan sampai harus mengadakan rapat mendadak seperti ini. Seluruh pemegang saham Williams Group diwajibkan hadir. Ada Hamilton, Elena, Charles, dan beberapa orang lain yang tampak duduk di ruang rapat menunggu Dominic, selaku pemegang saham tertinggi sekaligus pemimpin di Williams Group saat ini. Berbagai gonjang-ganjing mulai terdengar di setiap sudut perusahaan karena rapat mendadak yang tiba-tiba saja Dominic lakukan. Semua spekulasi muncul,