Anna menatap pintu kamar Dominic dengan rasa cemas. Dominic terlihat tidak baik-baik saja, bahkan pria itu masuk dan meninggalkan makan malamnya begitu saja. Beberapa hari bekerja bersama Dominic, Anna hapal betul jika pria itu tidak pernah melewatkan jam makannya sekali pun. Selelah apa pun, Dominic selalu menghabiskan makanan yang dimasak Anna dengan lahap. Meskipun terkadang pria itu masih sering mencela apa yang Anna masak. "Anna!" panggil Austin. "Kau melamun?" Pria itu terlihat sedikit khawatir. Tidak biasanya Anna mengabaikan panggilannya sejak tadi. Anna tersentak. Dia tersenyum tipis dan mengabaikan perasaan khawatirnya kepada Dominic. "Eh, tidak. Oh, ya, kalian makan malam dulu sebelum pulang. Aku sudah memasak untuk empat porsi."Harry mengangguk pelan setelah menatap pintu kamar Dominic sekilas. "Ya, kurasa tidak masalah jika kita makan malam dulu. Ayo, Austin!"Austin berjalan mengikuti Harry. Dia juga sama dengan Harry, rasanya begitu prihatin melihat hidup Dominic y
Sementara itu, di dalam kamar Dominic berusaha keras memejamkan matanya dan berusaha menutup telinga dari semua pembicaraan di luar sana. Dia mendengar dengan jelas apa saja yang Harry dan Austin bicarakan. Austin benar. Hampir seumur hidupnya, Dominic merasa jika dia hanyalah boneka keluarga Williams saja. “Hah, apa wajahku terlihat menyedihkan hingga mereka masih mengasihaniku seperti itu?” Dominic tersenyum getir. Pria itu menatap butiran salju yang turun di luar melalui kaca jendela. Indah. Dulu dia selalu merasa senang jika libur musim dingin tiba. Dominic bisa menghabiskan masa liburannya dengan bermain ski dan membuat boneka salju. Namun, sejak ibunya melarang dan membuat Dominic terus belajar tanpa kenal waktu, Dominic tidak suka musim dingin, dan musim lainnya. Menurutnya semua musim itu saja tidak ada bedanya. “Mereka sudah pulang?” Dominic menajamkan pendengarnya, dan dia tidak salah setelah mendengar suara pintu tertutup. Harry dan Austin sudah pulang, dan mungki
Anna terpaku mendengar permintaan Dominic yang terdengar aneh. "Kau mengatakan apa tadi, Dom?"Dominic langsung menghentakkan tangan Anna yang tidak dia lepaskan sejak tadi. Pria itu terlihat gugup sebentar, sebelum kembali menghembuskan napas dengan kasar. Kenapa dia bisa berkata seperti itu tadi? Dominic benar-benar tidak habis pikir pada dirinya sendiri. "Dominic!""Tidak. Sudah sana, kau pulang saja! Aku hanya sedang berbaik hati padamu saja tadi, tapi sekarang aku cabut kembali perkataanku. Sepertinya kau salah paham dengan maksudnya," tutur Dominic dengan wajah kesal. Dia berusaha untuk tidak menatap Anna. "Dasar tidak jelas!" "Hei, apa katamu?" Dominic melotot tidak percaya mendengar perkataan Anna yang berani sekali. "Kau berani sekali, ya! Aku menyuruhmu tetap tinggal karena aku kasihan padamu. Kau lihat diluar sana!" Dominic menunjuk ke arah jendela kaca di dalam kamarnya, "kau tidak lihat jika di luar salju turun dengan lebat? Cih, dasar tidak tau diri!"Bukannya menja
Dominic bangun lebih dulu pagi ini. Dia berjalan keluar dan melihat Anna yang sedang meringkuk di atas sofa. Gadis itu tidak pulang semalam. Dominic berjongkok di depan perapian lalu menambahkan potongan kayu bakar. Sesekali matanya melihat Anna yang masih tertidur lelap. Bibirnya tersungging saat dia mengingat kemarahan Anna malam tadi. *"Dominic!" Dominic bergeming. Pria itu hanya tersenyum kecil sembari memasukkan mangkuk berisi sup ke dalam microwave. "Dominic! Kau tidak punya telinga, ya?" bentak Anna. Wajah gadis itu memerah seperti tomat rebus dengan napas terengah-engah. "Kau! Beraninya kau melakukan itu padaku!"Dominic membalikkan tubuhnya dan kini fokus dengan Anna, sambil melipatkan kedua tangannya di depan dada. "Itu hadiahku karena sudah menang dalam pertandingan tadi siang.""Hadiah?" Anna membelalakkan matanya. Lalu gadis itu tertawa dengan terpaksa mendengarkan alasan Dominic yang tidak masuk akal. "Oke, aku terima jika kau menganggap dirimu menang tadi, tapi p
"Daniella!""Anna." Daniella berlari menghampiri Anna yang berdiri di depan pintu dapur, lalu memeluknya dengan erat. "Oh, sayangku. Aku rindu padamu," ungkap Anna sembari memeluk Daniella dengan erat. "Aku juga, Anna. Ah, sepertinya kita sudah lama tidak bertemu."Anna mengangguk dengan sikap manjanya. "Iya, bagaimana kabarmu di sini?""Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja."Setelah menyapa beberapa koki lain di restoran, Anna dan Daniella pamit pergi sebentar untuk melepas kerinduan mereka. "Kau tidak bekerja hari ini?" tanya Daniella. Mereka berjalan menyusuri kawasan resort di dekat danau. Anna menggeleng pelan. Dia kembali teringat dengan sikap dingin Dominic pagi tadi. Daniella menyenggol bahu Anna pelan ketika menyadari jika gadis itu melamun. "Kau sedang tidak sehat?""Eh, tidak." Anna menggeleng kuat. Dia tidak mau Daniella sampai salah paham. "Lalu kenapa melamun? Kau ada masalah? Tuan Dominic menyusahkanmu, ya?""Tidak-tidak. Dia sangat baik padaku.""Lalu?"Ann
London, tiga tahun lalu. "Ayo, cepat!" "Mama mau membawaku ke mana?" Anna berusaha melepaskan cengkeraman tangan Carolina. "Sudah cepat! Kau selalu saja banyak bertanya.""Ma—“Anna tidak jadi melanjutkan ucapannya saat mereka sampai di depan rumah besar di pinggiran kota. Wajahnya mendadak berubah risau dan takut. Untuk apa ibunya membawa Anna ke tempat seperti ini? "Masuk!""Tidak. Kenapa kita harus masuk ke tempat seperti ini? Mama tau 'kan ini rumah Nyonya Clark. Dia—“"Kenapa kau selalu berisik? Aku tau tempat apa ini dan aku kenal Nyonya Clark. Kau pikir selama ini kau hidup dari mana? Aku mendapatkan banyak uang karena bekerja dengan Nyonya Clark. Sekarang, sudah saatnya kau ...." Carolina menatap Anna dari atas sampai bawah. Setelah itu dia kembali menarik anak gadisnya. Anna menggeleng kuat. Dia sudah tahu apa yang ada di dalam kepala ibunya sekarang. Namun, semuanya sudah terlambat, di depan rumah Nyonya Clark, Carolina terus memaksa Anna untuk masuk tanpa peduli deng
Musim dingin di Vermont. "Dia pria yang membantumu, bukan?" tanya Frank sekali lagi. Anna bergeming. Gadis itu terpaku sesaat dan ingat bagaimana dia berusaha kabur dari rumah Nyonya Clark tiga tahun lalu. "Dia terlihat seperti orang kaya, pantas saja kau mau ikut dengannya. Ternyata kau cukup pintar, Nak.""Stop!" teriak Anna. Wajahnya memerah karena menahan amarah sejak tadi. "Jangan bicara apa pun lagi, atau aku akan melupakan semua ikatan di antara kita."Senyum di bibir Frank luntur. "Kau mau melupakan ikatan darah di antara kita setelah semua kesusahan yang sudah kau tinggalkan?""Aku tidak peduli!" bentak Anna lagi. "Kalian yang menjualku kepada wanita tua itu. Aku berhak menentukan hidupku mau seperti apa."Frank menjadi hilang arah setelah mendengar perkataan Anna. Pria paru baya itu kembali mencengkeram tangan Anna dengan kencang, lalu menyentuh dagu putrinya dengan wajah penuh kebencian. "Kau semakin mirip dengan Carolina. Suka melawan!""Kalian yang membuatku seperti i
Dominic berusaha mengendalikan keterkejutan dalam dirinya. Dia tidak tahu sejauh itu, tetapi dia tidak mau menyakiti Anna lebih dalam lagi jika dirinya terlihat cukup terkejut dengan fakta yang baru saja didengar. "Aku tidak peduli kau mau mengatakan apa. Selagi aku masih berbaik hati, silakan segera pergi dari sini. Tinggalkan Sky Crystal sekarang juga!""Memangnya kau siapa ingin mengusirku dari tempat ini? Aku sedang berlibur di sini?" cibir Frank tidak tahu diri. "Aku Dominic Leonardo Williams. Kau ingin tau siapa aku dan kenapa aku bisa mengusirmu dari Sky Crystal?" tanya Dominic dengan angkuh. Tanpa menunggu jawaban Frank dia kembali melanjutkan perkataannya, "aku pemilik tempat ini. Jadi, aku bebas mengusir sampah apa pun yang berada di tempatku!"Deg! Frank terdiam, dan mencoba mencari celah kebohongan di wajah Dominic. Namun, gaya arogan pria itu benar-benar membuat Frank percaya jika Dominic benar-benar pemilik resort ini. "Brengsek!" maki Frank setelah mengetahui siapa
Dua Tahun Kemudian. Rumah Dominic terasa ramai sekarang karena anak laki-laki mereka tumbuh menjadi anak yang aktif. Leo, seperti itu mereka semua memanggil nama anak laki-laki yang lahir di musim dingin itu. Leo sangat pintar di usianya yang menginjak dua tahun. Tak jarang, Anna dan Dominic dibuat kewalahan dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh Leo. Seperti sekarang, anak itu sedang menanyakan banyak hal kepada ibunya. Tentang mengapa daun-daun pepohonan bisa jatuh di musim gugur, atau tentang bagaimana hewan-hewan liar itu bisa ada, dan mengapa mereka harus menjauhinya. "Mama, aku ingin bersama papa," celoteh Leo yang sudah bosan bertanya tentang banyak hal. "Iya, Sayang. Sebentar lagi papa pulang. Sekarang makan dulu." Leo menggeleng. Dia kembali berlari saat Anna hendak menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Kalau sudah seperti ini, Anna hanya bisa menghembuskan napas dengan kuat. Dia harus banyak bersabar menghadapi kelakuan Leo yang semakin hari se
"Namanya?" Anna menganggukkan kepala dengan senyum lebar. Lalu dia kembali mengusap tangan lembut milik bayi mereka. Ah, ternyata makhluk sebesar ini yang tumbuh di dalam perutnya selama ini. "Bagaimana dengan Mark?" "Mark?" "Iya. Kau tau arti dari nama Mark, Sayang?" Anna sontak menggeleng. "Mark berarti dewa perang. Aku memberinya nama Mark dengan harapan agar nantinya dia sekuat dewa perang." Senyum lebar tersungging di bibir Anna ketika mendengar nama anaknya. "Aku suka itu. Tambahkan nama belakangmu kalau begitu, Dom. Agar dia menjadi pria sekuat dirimu." Dominic setuju. Pria itu mencium kembali pipi bayinya yang terasa begitu halus. "Hai, Nak. Sekarang namamu Mark Leonardo Williams. Aku harap kau bisa tumbuh menjadi pria hebat di masa depan nanti." *** Kabar bahagia terdengar di seluruh penjuru kota New York saat kelahiran cucu pertama keluarga Williams diumumkan. Nama Dominic dan Anna langsung menjadi tren pencarian di internet yang paling banyak dicari
Anna dan Dominic menerima kabar bahagia atas kelahiran putra pertama Austin dan Daniella. Mereka turut berbahagia melihat bagaimana senangnya Austin saat menceritakan proses kelahiran bayi mereka. Anna yang sejak tadi memeluk Dominic pun, tidak pernah sama sekali berhenti tersenyum melihat kebahagiaan di wajah Daniella dan Austin. Mereka langsung melakukan panggilan video begitu mendapat kabar jika Daniella sudah melahirkan. "Ah, rasanya aku ingin terbang ke New York sekarang juga." Anna terlihat gemas melihat pipi merah milik putra Daniella. "Prediksi kelahiranmu kapan, An?" tanya Daniella dengan membersihkan Felix yang baru saja selesai dimandikan. "Bulan depan, tapi aku tidak yakin juga setelah mendengar jika kau melahirkan lebih cepat dari perkiraan." "Semoga semuanya lancar," harap Daniella. "Silakan bicara dengan Austin dulu. Felix sepertinya sudah sangat lapar." Anna mengangguk mengerti. Dia segera memberikan ponsel Dominic kepada pemiliknya, dan membiarkan D
Austin bangun tergopoh-gopoh begitu Daniella membangunkannya tengah malam begini. Yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah saat melihat Daniella merintih kesakitan dengan memegang perutnya. "Daniella, apa kau akan melahirkan?" tanya Austin gugup. Dia terlihat lebih gugup daripada wanita yang akan melahirkan. "Aku tidak tau. Perutku sakit sekali, Austin," rintih Daniella tidak tahan lagi. Sebenarnya dia sudah merasakan sakit perut dari sore tadi. Hanya saja, Daniella memilih untuk diam, dan tidak mengatakan apa pun karena berpikir jika ini hanya sakit perut biasa. Sampai saat mereka akan tidur lagi, Daniella semakin merasa tidak nyaman karena kram di perutnya tak kunjung mereda. "Kita ke rumah sakit sekarang." "Telepon mama dulu, Austin. Sepertinya aku hanya sakit perut biasa saja." Namun, hal yang terjadi justru sebaliknya. Wajah Daniella tampak pucat dengan keringat deras yang membasahi kening. "Oke, sebentar. Aku telepon mama dulu kalau begitu," ucap Austin y
Musim gugur telah berlalu, dengan angin yang perlahan semakin terasa dingin. Hari ini, setelah sekian lama menunggu, salju pertama di tahun ini kembali turun. Dari balik kaca-kaca rumah, Anna menatap ke arah luar melihat salju yang mulai berjatuhan. Gadis itu tersenyum simpul. "Hari ini salju turun. Kau pasti sangat bahagia, kan, Sayang?" Tiba-tiba saja Dominic datang dan memeluk Anna dengan lembut. Anna hanya mengukir senyum dengan kepala mengangguk. "Musim dingin tahun ini sangat berbeda, Dom." "Apa yang berbeda?" Anna melepaskan tangan Dominic, kemudian berbalik hingga mereka saling berhadapan sekarang. "Keberadaanmu yang membuat beda." Dominic memegang pinggang Anna, dengan tersenyum lebar. Pria itu merunduk, lalu mengecup bibir istrinya cukup lama. "Kau tau, musim dingin tahun lalu dan tahun ini aku punya kebiasaan yang berbeda." Anna menaikkan sudut alisnya. "Kebiasaan yang berbeda? Apa contohnya?" "Ya, contohnya ... bercinta denganmu." Anna memukul dad
Daniella melompat kegirangan saat melihat Austin muncul dari pintu kedatangan. Dia memang sengaja menunggu di bandara saat suaminya itu mengatakan jika akan pulang hari ini. Sungguh, Daniella tidak dapat menahan diri lagi dengan berdiam diri di rumah saja, untuk menunggu Austin. Apalagi dia masih sedih karena Anna sudah pindah ke Vermont kemarin. "Honey, aku sangat merindukanmu." Austin langsung memeluk istrinya dengan erat. Kalau saja dia tidak ingat perut Daniella yang buncit, mungkin Austin tidak akan melepaskan istrinya sekarang. "Aku juga sangat merindukanmu." Austin melepaskan pelukannya dan langsung berjongkok di hadapan perut Daniella. Salah satu yang menjadi kebiasaannya sekarang adalah menyapa bayinya yang masih di dalam perut. "Halo, Sayang. Bagaimana kabarmu di dalam sana?" tanya Austin dengan mengusap perut Daniella. Sesekali dia menciumnya dengan gemas, hingga membuat Daniella tertawa karena geli. "Sudah, Austin. Sebaiknya kita pulang saja sekarang. Aku
Austin menyambut kedatangan Dominic dengan senang hati. Dia sengaja melakukan semua itu, sebelum kembali ke pulang ke New York. Setelah semua urusan di Sky Crystal hari ini selesai, Austin mungkin akan langsung pulang. Dia sudah tidak tahan lagi ingin bertemu dengan Daniella, setelah lebih dari satu bulan ini lebih sering menghabiskan waktunya untuk pulang pergi Vermont dan New York. "Hai, Dom. Bagaimana dengan perjalanan kalian?" Austin langsung memeluk Dominic begitu pria itu tiba. Lalu menyapa Anna yang terlihat cukup kelelahan. "Ah, kau pasti sangat kelelahan, Anna." "Hum, sedikit," jawab Anna dengan senyum tipis. "Ini perjalanan panjang setelah kehamilannya. Dia pasti sangat kelelahan, apalagi perutnya sudah semakin membesar." Austin mengerti dengan apa yang Dominic keluhkan. "Itulah sebabnya aku melarang Daniella ketika dia merengek minta ikut. Kalau begitu, ayo. Sebentar lagi hari akan gelap." Dominic dan Anna mengikuti Austin yang berjalan lebih dulu menuju mob
Dominic membawa Anna ke rumah keluarganya. Setelah rapat pagi tadi, baik Elena maupun Hamilton meminta Dominic untuk datang dan menjelaskan segalanya. Saat Dominic memberitahu Anna, awalnya dia terkejut dengan keputusan Dominic yang bahkan selama ini tidak pernah dibicarakan. Namun, Anna tidak punya pilihan lain selain menuruti apa yang sudah Dominic putuskan. Hidup di mana pun, Anna bersedia asal tetap bersama Dominic. "Kita bicara setelah makan," ujar Hamilton setelah Dominic dan istrinya tiba. Sekarang mereka duduk bersama di ruang tamu, tetapi dengan cepat Dominic menolaknya. "Bisa kita bicara sekarang saja?" Hamilton berdeham. Dia sudah mengira Dominic akan melakukan hal ini, tetapi tidak pernah berpikir jika waktunya akan secepat ini. "Kenapa tiba-tiba seperti ini? Seharusnya kita membicarakan semua ini dari jauh-jauh hari." Hamilton hanya bisa menghela napas panjang. Dia tidak tahu harus dengan cara apa lagi agar Dominic membatalkan keputusannya. "Aku jug
"Williams Group?" Anna menganggukkan kepalanya. Dia tahu sebesar apa tanggung jawab Dominic terhadap Williams Group. Untuk memutuskan tinggal di Sky Crystal selamanya, itu pasti bukan perkara mudah. Dominic tersenyum tipis, tanpa ingin menjawab rasa penasaran Anna. Pria itu justru mengusap rambut istrinya seraya berkata, "Besok kau akan tau semuanya, Sayang." *** Adam dibuat kelimpungan pagi ini karena Dominic meminta diadakannya rapat dengan para pemegang saham secara mendadak. Dia tidak tahu apa yang Dominic ingin sampaikan sampai harus mengadakan rapat mendadak seperti ini. Seluruh pemegang saham Williams Group diwajibkan hadir. Ada Hamilton, Elena, Charles, dan beberapa orang lain yang tampak duduk di ruang rapat menunggu Dominic, selaku pemegang saham tertinggi sekaligus pemimpin di Williams Group saat ini. Berbagai gonjang-ganjing mulai terdengar di setiap sudut perusahaan karena rapat mendadak yang tiba-tiba saja Dominic lakukan. Semua spekulasi muncul,