Dominic berusaha mengendalikan keterkejutan dalam dirinya. Dia tidak tahu sejauh itu, tetapi dia tidak mau menyakiti Anna lebih dalam lagi jika dirinya terlihat cukup terkejut dengan fakta yang baru saja didengar. "Aku tidak peduli kau mau mengatakan apa. Selagi aku masih berbaik hati, silakan segera pergi dari sini. Tinggalkan Sky Crystal sekarang juga!""Memangnya kau siapa ingin mengusirku dari tempat ini? Aku sedang berlibur di sini?" cibir Frank tidak tahu diri. "Aku Dominic Leonardo Williams. Kau ingin tau siapa aku dan kenapa aku bisa mengusirmu dari Sky Crystal?" tanya Dominic dengan angkuh. Tanpa menunggu jawaban Frank dia kembali melanjutkan perkataannya, "aku pemilik tempat ini. Jadi, aku bebas mengusir sampah apa pun yang berada di tempatku!"Deg! Frank terdiam, dan mencoba mencari celah kebohongan di wajah Dominic. Namun, gaya arogan pria itu benar-benar membuat Frank percaya jika Dominic benar-benar pemilik resort ini. "Brengsek!" maki Frank setelah mengetahui siapa
"Kita pulang ke kabinku!" Dominic menarik tangan Anna tanpa menunggu persetujuannya. Wajah Dominic masih terlihat tenang, tetapi tidak dengan Anna. Sejak Dominic mengatakan jika masa lalunya tidak penting, gadis itu hanya bisa berdiam diri. Dominic mematahkan semua pemikirannya tentang manusia khususnya seorang pria. Dia pikir, setelah Frank memberitahu Dominic tentang masa lalunya, pria itu akan menatap Anna dengan jijik. Namun, hal itu sama sekali tidak terjadi. Bahkan Dominic juga tidak bertanya, apakah yang Frank katakan itu benar atau tidak. Pria itu justru membawanya, menenangkan dirinya, dan memegang tangannya dengan lembut. "Anna!""Eh ...." Anna terkejut saat mendengar Dominic sedikit berteriak. "Kau memanggilku?""Tidak hanya memanggil. Aku banyak berbicara sejak tadi. Kenapa sekarang kau jadi pendiam?" tanya Dominic. Dia berhenti dan menatap Anna dengan lekat tanpa melepaskan pegangan tangannya. "Sorry, aku tidak dengar. Jadi, kau bicara apa tadi?""Kau ingin pulang k
"Anna, pipimu kenapa?" tanya Austin langsung ketika melihat Anna datang membawa coklat panas. Kulit putih Anna membuat lebam di pipinya terlihat jelas. "Hei, Dom! Katamu Anna baik-baik saja?" Austin menatap Dominic dengan raut curiga. "Kau tidak melakukan—“ "Tidak, Austin," jawab Anna cepat. Gadis itu ikut duduk setelah meletakkan cangkir cokelat panas milik mereka. "Aku terjatuh di dalam hutan tadi. Kepalaku terkena akar pohon.""Kau yakin?" tanya Austin sekali lagi. Dia jelas terlihat khawatir. "Dominic tidak menamparmu, kan?"Anna menatap Dominic sekilas, kemudian gadis itu menggeleng cepat dan tertawa cukup keras. "Tidak. Jika dia berani melakukan itu, aku sudah pasti akan membalasnya."Austin menghela napas lega setelah mendengar itu. Namun, berbeda dengan Harry. Pria itu masih menatap Dominic yang terlihat begitu tenang. "Kau yakin dia terjatuh, Dom?" tanya Emily kali ini. "Maksudku, lebam di pipinya seperti bekas tamparan.""Jadi, kau ingin jawaban seperti apa?" Dominic bert
Tidak hanya Dominic, Anna, Austin, dan Emily juga sama terkejutnya saat mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Harry. "Harry, maksudmu apa?" tanya Emily bingung. Gadis itu terlihat sangat penasaran. Sementara itu, Dominic terlihat menelan ludahnya dengan susah payah setelah melihat senyum penuh arti di wajah Harry. Harry memang teman yang paling peka. "Dominic menyukai siapa dan apa?" Kali ini Austin yang berbicara. Anna hanya diam dan melihat Dominic dan Harry secara bergantian. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya Harry bicarakan, tetapi Anna yakin Dominic tahu maksudnya. "Dia sepertinya sedang mengigau!" sanggah Dominic. Pria itu tertawa hambar, dan langsung diam ketika semua tatapan orang-orang tertuju padanya. "Honey!" "Dominic suka dengan pasta yang Anna masak tadi. Benar, bukan?"Dominic mendesah kasar lalu mengangguk lemah. "Ya, sekarang masakannya sudah jauh lebih baik."Mendengar hal itu, Austin dan Emily hanya mengangguk saja. Mereka percaya begitu saja. Akan teta
"Austin, apa Anna baik-baik saja?" tanya Daniella ketika melihat Austin masuk. "Kau di sini?""Jawab aku, Anna tidak mengalami masalah yang serius, kan? Dia pergi cukup lama dengan pria asing itu."Austin menoleh sebentar ke arah Daniella, lalu membuka mantel dan menggantungkannya di balik pintu. Setelah itu dia berjalan menghampiri Daniella yang berdiri dengan wajah resah di depan perapian. "Austin!""Tidak. Dia baik-baik saja, hanya saja pipinya sedikit lebam karena terjatuh di hutan tadi."Daniella terlihat menghembuskan napasnya. Raut wajah gadis itu terlihat kembali normal. "Kenapa kau datang ke rumahku? Aku tidak ada mengundangmu, bukan?" tanya Austin. Pria itu kemudian berjalan menuju dapur, tanpa menunggu jawaban Daniella. Daniella mengikuti langkah kaki Austin, dan tanpa aba-aba dia memeluk tubuh Austin dari belakang. Menyandarkan kepalanya pada punggung lebar milik pria itu. "Aku tidak bisa tidur. Aku terus memikirkan tentang Anna. Lagi pula kau yang melarangku ikut tad
Anna menatap angin yang bertiup kencang melalui jendela kaca di kabin milik Dominic. Sejak semalam dia tidak pulang karena badai salju yang kembali terjadi. Badai kali ini cukup besar hingga membuat Anna tidak berani keluar sama sekali. Sesekali mata gadis itu melirik ke arah Dominic yang sedang duduk di sofa dengan santai. Pria itu terlihat sangat fokus dengan laptopnya dengan sesekali terlihat mengerutkan kening. "Sudah hampir dua minggu di sini. Kau belum bosan?" Anna bertanya tanpa menoleh sama sekali. Dia memegang cangkir berisi coklat panas sejak pagi tadi. "Kontrak kita satu bulan. Jadi, aku tidak akan pulang sebelum itu.""Kau tidak rindu rumah, atau keluargamu. Aku lihat ibumu sering menelpon.""Ya, dia menghubungiku hanya untuk memaksaku pulang saja."Anna menoleh dan melihat Dominic yang masih terlihat tenang. "Hubungan kalian terlihat cukup baik," tukas Anna. Ada sedikit nada kecemburuan dalam perkataan gadis itu. Dia tidak pernah dihubungi oleh ibunya. Meski ibunya ti
"Harry!""Ya, Sayang." Harry menoleh dan menatap Emily dengan lembut. Gadis itu masih bergelung di bawah selimut. "Kau kenal Anna dari mana?""Anna?"Emily mengangguk cepat. Dia segera duduk dan menanti jawaban Harry. "Kenapa? Kau cemburu lagi, ya? Ingat, Emily, aku hanya mengenal Anna begitu saja, tidak lebih.""Tidak, bukan seperti itu." Emily melambaikan tangannya dan meminta Harry untuk duduk di sampingnya. Harry menuruti permintaan Emily tanpa banyak tanya. Dia tidak mau merusak mood pacarnya di pagi hari. "Lalu?" tanya Harry tidak mengerti. "Kelihatannya Anna gadis yang baik, ya. Dia bekerja di sini?"Harry hanya mengangguk. Pria itu memilih untuk fokus menatap Emily, sembari menciumi rambutnya. "Katanya kau mau bercerita kenapa Dominic bisa bertemu dengan gadis itu. Cepat ceritakan sekarang!""Sudahlah. Jangan ingin mencari tahu kehidupan mereka.""Tapi, aku penasaran."Harry menghembuskan napasnya dengan kasar saat melihat senyum penuh harap di mata Emily. "Jangan memak
"Kau terlihat cantik jika sedang diam."Anna langsung mendorong tubuh Dominic cukup kuat hingga pria itu sedikit terkejut. "Kenapa kau mendorongku dengan kasar begitu?" gerutu Dominic. Pria itu hampir saja terjatuh dari sofa. "Maaf, tapi kau yang membuatku terkejut, Dom.""Memangnya aku hantu!" keluh Dominic. Sorot teduh dari matanya kini berganti dengan ekspresi kesal. Anna menggeleng cepat. Gadis itu segera berdiri dengan wajah gugup dan berniat kembali pergi, tetapi .... "Kau mau ke mana?" tanya Dominic yang langsung membuat Anna berhenti. "Ke-ke belakang.""Kau ingin menghindar dariku?" tanya Dominic lagi. "Tidak, Dom. Aku memang ingin ke belakang saja.""Jelas-jelas kau sedang berusaha menjauh dariku. Memangnya aku melakukan apa?" tanya Dominic bingung. Dia tidak melakukan apa pun yang buruk, lalu kenapa Anna terlihat begitu gugup dan sangat kaget? Anna mengigit bibirnya. Rasanya dia mengatakan pada Dominic jika dia cukup terkejut dengan perkataan pria itu. Dominic baru
Dua Tahun Kemudian. Rumah Dominic terasa ramai sekarang karena anak laki-laki mereka tumbuh menjadi anak yang aktif. Leo, seperti itu mereka semua memanggil nama anak laki-laki yang lahir di musim dingin itu. Leo sangat pintar di usianya yang menginjak dua tahun. Tak jarang, Anna dan Dominic dibuat kewalahan dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh Leo. Seperti sekarang, anak itu sedang menanyakan banyak hal kepada ibunya. Tentang mengapa daun-daun pepohonan bisa jatuh di musim gugur, atau tentang bagaimana hewan-hewan liar itu bisa ada, dan mengapa mereka harus menjauhinya. "Mama, aku ingin bersama papa," celoteh Leo yang sudah bosan bertanya tentang banyak hal. "Iya, Sayang. Sebentar lagi papa pulang. Sekarang makan dulu." Leo menggeleng. Dia kembali berlari saat Anna hendak menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Kalau sudah seperti ini, Anna hanya bisa menghembuskan napas dengan kuat. Dia harus banyak bersabar menghadapi kelakuan Leo yang semakin hari se
"Namanya?" Anna menganggukkan kepala dengan senyum lebar. Lalu dia kembali mengusap tangan lembut milik bayi mereka. Ah, ternyata makhluk sebesar ini yang tumbuh di dalam perutnya selama ini. "Bagaimana dengan Mark?" "Mark?" "Iya. Kau tau arti dari nama Mark, Sayang?" Anna sontak menggeleng. "Mark berarti dewa perang. Aku memberinya nama Mark dengan harapan agar nantinya dia sekuat dewa perang." Senyum lebar tersungging di bibir Anna ketika mendengar nama anaknya. "Aku suka itu. Tambahkan nama belakangmu kalau begitu, Dom. Agar dia menjadi pria sekuat dirimu." Dominic setuju. Pria itu mencium kembali pipi bayinya yang terasa begitu halus. "Hai, Nak. Sekarang namamu Mark Leonardo Williams. Aku harap kau bisa tumbuh menjadi pria hebat di masa depan nanti." *** Kabar bahagia terdengar di seluruh penjuru kota New York saat kelahiran cucu pertama keluarga Williams diumumkan. Nama Dominic dan Anna langsung menjadi tren pencarian di internet yang paling banyak dicari
Anna dan Dominic menerima kabar bahagia atas kelahiran putra pertama Austin dan Daniella. Mereka turut berbahagia melihat bagaimana senangnya Austin saat menceritakan proses kelahiran bayi mereka. Anna yang sejak tadi memeluk Dominic pun, tidak pernah sama sekali berhenti tersenyum melihat kebahagiaan di wajah Daniella dan Austin. Mereka langsung melakukan panggilan video begitu mendapat kabar jika Daniella sudah melahirkan. "Ah, rasanya aku ingin terbang ke New York sekarang juga." Anna terlihat gemas melihat pipi merah milik putra Daniella. "Prediksi kelahiranmu kapan, An?" tanya Daniella dengan membersihkan Felix yang baru saja selesai dimandikan. "Bulan depan, tapi aku tidak yakin juga setelah mendengar jika kau melahirkan lebih cepat dari perkiraan." "Semoga semuanya lancar," harap Daniella. "Silakan bicara dengan Austin dulu. Felix sepertinya sudah sangat lapar." Anna mengangguk mengerti. Dia segera memberikan ponsel Dominic kepada pemiliknya, dan membiarkan D
Austin bangun tergopoh-gopoh begitu Daniella membangunkannya tengah malam begini. Yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah saat melihat Daniella merintih kesakitan dengan memegang perutnya. "Daniella, apa kau akan melahirkan?" tanya Austin gugup. Dia terlihat lebih gugup daripada wanita yang akan melahirkan. "Aku tidak tau. Perutku sakit sekali, Austin," rintih Daniella tidak tahan lagi. Sebenarnya dia sudah merasakan sakit perut dari sore tadi. Hanya saja, Daniella memilih untuk diam, dan tidak mengatakan apa pun karena berpikir jika ini hanya sakit perut biasa. Sampai saat mereka akan tidur lagi, Daniella semakin merasa tidak nyaman karena kram di perutnya tak kunjung mereda. "Kita ke rumah sakit sekarang." "Telepon mama dulu, Austin. Sepertinya aku hanya sakit perut biasa saja." Namun, hal yang terjadi justru sebaliknya. Wajah Daniella tampak pucat dengan keringat deras yang membasahi kening. "Oke, sebentar. Aku telepon mama dulu kalau begitu," ucap Austin y
Musim gugur telah berlalu, dengan angin yang perlahan semakin terasa dingin. Hari ini, setelah sekian lama menunggu, salju pertama di tahun ini kembali turun. Dari balik kaca-kaca rumah, Anna menatap ke arah luar melihat salju yang mulai berjatuhan. Gadis itu tersenyum simpul. "Hari ini salju turun. Kau pasti sangat bahagia, kan, Sayang?" Tiba-tiba saja Dominic datang dan memeluk Anna dengan lembut. Anna hanya mengukir senyum dengan kepala mengangguk. "Musim dingin tahun ini sangat berbeda, Dom." "Apa yang berbeda?" Anna melepaskan tangan Dominic, kemudian berbalik hingga mereka saling berhadapan sekarang. "Keberadaanmu yang membuat beda." Dominic memegang pinggang Anna, dengan tersenyum lebar. Pria itu merunduk, lalu mengecup bibir istrinya cukup lama. "Kau tau, musim dingin tahun lalu dan tahun ini aku punya kebiasaan yang berbeda." Anna menaikkan sudut alisnya. "Kebiasaan yang berbeda? Apa contohnya?" "Ya, contohnya ... bercinta denganmu." Anna memukul dad
Daniella melompat kegirangan saat melihat Austin muncul dari pintu kedatangan. Dia memang sengaja menunggu di bandara saat suaminya itu mengatakan jika akan pulang hari ini. Sungguh, Daniella tidak dapat menahan diri lagi dengan berdiam diri di rumah saja, untuk menunggu Austin. Apalagi dia masih sedih karena Anna sudah pindah ke Vermont kemarin. "Honey, aku sangat merindukanmu." Austin langsung memeluk istrinya dengan erat. Kalau saja dia tidak ingat perut Daniella yang buncit, mungkin Austin tidak akan melepaskan istrinya sekarang. "Aku juga sangat merindukanmu." Austin melepaskan pelukannya dan langsung berjongkok di hadapan perut Daniella. Salah satu yang menjadi kebiasaannya sekarang adalah menyapa bayinya yang masih di dalam perut. "Halo, Sayang. Bagaimana kabarmu di dalam sana?" tanya Austin dengan mengusap perut Daniella. Sesekali dia menciumnya dengan gemas, hingga membuat Daniella tertawa karena geli. "Sudah, Austin. Sebaiknya kita pulang saja sekarang. Aku
Austin menyambut kedatangan Dominic dengan senang hati. Dia sengaja melakukan semua itu, sebelum kembali ke pulang ke New York. Setelah semua urusan di Sky Crystal hari ini selesai, Austin mungkin akan langsung pulang. Dia sudah tidak tahan lagi ingin bertemu dengan Daniella, setelah lebih dari satu bulan ini lebih sering menghabiskan waktunya untuk pulang pergi Vermont dan New York. "Hai, Dom. Bagaimana dengan perjalanan kalian?" Austin langsung memeluk Dominic begitu pria itu tiba. Lalu menyapa Anna yang terlihat cukup kelelahan. "Ah, kau pasti sangat kelelahan, Anna." "Hum, sedikit," jawab Anna dengan senyum tipis. "Ini perjalanan panjang setelah kehamilannya. Dia pasti sangat kelelahan, apalagi perutnya sudah semakin membesar." Austin mengerti dengan apa yang Dominic keluhkan. "Itulah sebabnya aku melarang Daniella ketika dia merengek minta ikut. Kalau begitu, ayo. Sebentar lagi hari akan gelap." Dominic dan Anna mengikuti Austin yang berjalan lebih dulu menuju mob
Dominic membawa Anna ke rumah keluarganya. Setelah rapat pagi tadi, baik Elena maupun Hamilton meminta Dominic untuk datang dan menjelaskan segalanya. Saat Dominic memberitahu Anna, awalnya dia terkejut dengan keputusan Dominic yang bahkan selama ini tidak pernah dibicarakan. Namun, Anna tidak punya pilihan lain selain menuruti apa yang sudah Dominic putuskan. Hidup di mana pun, Anna bersedia asal tetap bersama Dominic. "Kita bicara setelah makan," ujar Hamilton setelah Dominic dan istrinya tiba. Sekarang mereka duduk bersama di ruang tamu, tetapi dengan cepat Dominic menolaknya. "Bisa kita bicara sekarang saja?" Hamilton berdeham. Dia sudah mengira Dominic akan melakukan hal ini, tetapi tidak pernah berpikir jika waktunya akan secepat ini. "Kenapa tiba-tiba seperti ini? Seharusnya kita membicarakan semua ini dari jauh-jauh hari." Hamilton hanya bisa menghela napas panjang. Dia tidak tahu harus dengan cara apa lagi agar Dominic membatalkan keputusannya. "Aku jug
"Williams Group?" Anna menganggukkan kepalanya. Dia tahu sebesar apa tanggung jawab Dominic terhadap Williams Group. Untuk memutuskan tinggal di Sky Crystal selamanya, itu pasti bukan perkara mudah. Dominic tersenyum tipis, tanpa ingin menjawab rasa penasaran Anna. Pria itu justru mengusap rambut istrinya seraya berkata, "Besok kau akan tau semuanya, Sayang." *** Adam dibuat kelimpungan pagi ini karena Dominic meminta diadakannya rapat dengan para pemegang saham secara mendadak. Dia tidak tahu apa yang Dominic ingin sampaikan sampai harus mengadakan rapat mendadak seperti ini. Seluruh pemegang saham Williams Group diwajibkan hadir. Ada Hamilton, Elena, Charles, dan beberapa orang lain yang tampak duduk di ruang rapat menunggu Dominic, selaku pemegang saham tertinggi sekaligus pemimpin di Williams Group saat ini. Berbagai gonjang-ganjing mulai terdengar di setiap sudut perusahaan karena rapat mendadak yang tiba-tiba saja Dominic lakukan. Semua spekulasi muncul,