Suasana menjadi hening seketika. Menyadari hal itu, Dominic langsung tertawa pelan. Dia senang melihat wajah Anna yang terlihat seperti orang bingung. "Bercyanda!""Dasar Brengsek!" maki Anna. Tidak lama setelah itu, dia juga ikut tertawa bersama Dominic. Malam ini mereka menghabiskan makan malam dengan damai di tengah badai musim dingin. ***"Ini. Aku rasa hanya pakaian ini yang bisa kau pakai." Dominic menyerahkan sepasang sweater lengan panjang dengan celana training. Anna menerima sepasang pakaian itu dengan senyum simpul. Setelah itu dia langsung berdiri. "Thanks, Dom. Besok jika badai sudah berhenti aku akan pulang dan mencucinya."Dominic mengangguk. Pria itu kemudian berjalan mengambil karpet tebal untuk bawa di depan perapian. "Kau tidur di kamarku saja malam ini.""Tidak usah. Aku akan tidur di sini saja," tolak Anna tidak enak. Dia sudah meminjam pakaian pria itu dan tidak enak rasanya jika akan meminjam kamarnya juga. "Ya, sudah. Kalau begitu kita akan tidur bersama d
Anna menatap Dominic tanpa suara. Bibirnya ingin menolak, tetapi tidak dia tidak bisa. Apalagi saat melihat wajah lelah Dominic. "Kemari."Dominic menyambut uluran tangan Anna dengan senyum tipis. Pria itu merengkuh tubuh Anna, dan meletakkan kepalanya di bahu gadis itu. Dominic suka berada dalam dalam pelukan Anna. Aroma tubuh gadis itu membuat Dominic merasa tenang. Sementara itu, Anna menepuk kepala Dominic dengan lembut. Dia mengusap rambut ikal Dominic dengan pelan. Anna tahu jika jiwa Dominic sedang tidak baik-baik saja. Terlepas dari semua obrolan mereka tadi, pria itu sudah menyimpan rasa lelah yang berusaha disembunyikan. "Anna, aku suka aroma tubuhmu," lirih Dominic. Pria itu melepaskan dekapannya dan menatap mata biru Anna lamat-lamat. Anna hanya mengangguk dengan senyuman tulus. Dia tidak tahu mengapa menyukai perlakuan Dominic. Dia juga suka ketika Dominic memeluknya dengan hangat. "Aku juga suka dengan senyummu.""Sungguh? Kupikir kau tidak serius lagi kali ini, Do
"Apa katamu, Dam?""Charles mengalami kecelakaan, Dom. Kau harus segera kembali ke New York. Keadaan Nyonya Elena sangat kacau sekarang."Dominic langsung berdiri dan berjalan menjauhi Anna. Pria itu terlihat sedikit kaget dan bingung untuk sesaat. Dia tidak sedang bermimpi, kan? "Bagaimana keadaannya sekarang?" tanya Dominic. Pria itu berdiri di dekat sofa dengan khawatir. "Tidak baik. Setelah ini akan kupesankan tiket untuk kau dan Harry.""Aku tidak bisa langsung pulang sekarang. Di sini sedang terjadi badai salju sejak kemarin, dan mungkin saja penerbangan ditutup sementara.""Kau jangan mencoba berbohong lagi, Dom!" gerutu Adam. "Aku sudah mencari tahu di Spanyol tidak ada badai apa pun.""Aku tidak pernah pergi ke sana. Aku berada di Vermont.""Tapi, kau dan Harry kompak mengatakan jika kalian liburan ke Spanyol!""Aku mengatakan hal itu agar kau tidak datang menyusulku kemari," jawab Dominic jujur. "Dasar brengsek!" maki Adam. Sepertinya pria itu sangat kesal dengan Dominic.
Anna segera melepaskan tangan Dominic. Setelah itu, dia memakai sweater milik pria itu, dan berlari masuk ke dalam kamar tanpa menjawab pertanyaan Dominic. Dominic menatap kepergian Anna dengan nanar. Pria itu mengepalkan tangannya dengan kuat lalu meninju lantai dengan keras. Dia ingin marah saat melihat semua bekas luka di tubuh Anna. Sumpah demi apa pun, jika benar yang melakukan itu adalah Frank—ayah Anna sendiri, Dominic berjanji tidak akan mengampuni pria tua itu. ***Pagi ini cuaca mulai membaik. Badai salju yang menerpa Vermont selama dua hari sudah berhenti dan membuat tumpukan salju semakin tebal. Dominic bangun karena suara deringan ponselnya. Mata pria itu menyipit dan langsung mengangkat setelah melihat nama Harry. "Dom, aku dengar Charles mengalami kecelakaan. Adam sudah menghubungiku tadi.""Ya, kau bisa cari tahu apakah akan ada penerbangan hari ini? Kita harus kembali sekarang.""Aku akan meminta bantuan Austin. Kau bisa bersiap-siap saja, Dom. Setelah ini, kami
"Segera kabari aku setelah kau sampai di New York." Austin memeluk dan menepuk punggung Dominic pelan. Dominic mengangguk. Setelah itu dia beralih pada Anna yang berdiri di sisi Austin. "Aku pergi.""Jaga diri baik-baik, Dom."Dominic hanya mengiyakan tanpa bicara. Dia menatap Anna dengan perasaan resah. Dominic tidak ingin pergi dan meninggalkan Anna sebenarnya. Dia masih ingin bersama dengan gadis itu, tetapi dia juga khawatir dengan kondisi Charles sekarang. "Ayo, Dom!" ajak Harry. Sebelumnya dia sudah berpamitan pada Austin dan juga Anna. "Ah, iya. Sampai jumpa lagi." Dominic melambaikan tangannya kemudian berbalik, meninggalkan Anna begitu saja. Jika saja tidak ada Austin dan Harry di sana, dia mungkin sudah memeluk dan memberikan perpisahan yang tak akan bisa Anna lupakan. Anna melambaikan tangannya dengan tersenyum tipis. Matanya masih melihat Dominic yang juga terlihat enggan pergi. Setelah Dominic benar-benar tidak terlihat, terdengar helaan napas panjang dari gadis itu
Dominic menendang ban mobil di depannya dengan kuat. Pikiran pria itu sudah kacau balau. Bagaimana bisa disalahkan atas kelalaian yang dilakukan Charles? "Dom.""Kau dengar tadi, Harry? Mereka menyalahkanku, padahal jelas-jelas aku tidak ada di tempat kejadian. Aku bersamamu di Vermont!""Tenangkan dirimu, Dom." Harry menepuk punggung Dominic dari belakang. Berusaha menenangkan amarah temannya itu. "Aku tidak tahu apa-apa, Harry. Apa salahnya jika Charles juga berkerja di perusahaan? Dia juga sama denganku, sama-sama putra keluarga Williams. Lalu kenapa hanya aku yang boleh berkerja tanpa kenal lelah. Kenapa dia bisa bebas dan menikmati segalanya begitu saja?"Adam ingin menyela, tetapi Harry mencegahnya dan meminta asisten Dominic itu untuk segera pergi. "Mari kita duduk dan bicara dengan kepala dingin!" ajak Harry. Namun, Dominic menepis tangan Harry dan duduk di dekat mobil dengan rasa frustrasi dan putus asa. "Aku tidak melakukan apa pun."Harry mengangguk. Dia akhirnya ikut
Dominic berjalan turun setelah pelayan mengetuk pintu kamarnya tadi, dan memberitahu jika ayahnya sudah pulang. Dominic memilih melewati sang ibu dan Jeniffer yang sedang duduk di meja makan begitu saja. Dia tidak ada urusan dengan mereka berdua, dan lagi pula ini masih terlalu pagi untuk berdebat. Pria itu melangkahkan kakinya menuju ruang kerja Hamilton, dan mengetuk pintu ruangan tersebut setelah berada di depannya. Tok Tok"Masuk!"Setelah mendapatkan izin, Dominic segera masuk dan duduk di kursi di depan ayahnya. "Pelayan bilang kau mencari Papa tadi malam.""Ya," jawab Dominic singkat. Dia duduk sambil menopang kaki dan mengambil majalah bisnis dari meja ayahnya.Sudut bibir Dominic terangkat setelah dia melihat foto dirinya di dalam majalah. Hal itu jelas menjadi kebanggaan tersendiri untuk Dominic, di saat pikirannya sedang tidak karuan seperti ini. "Papa juga ingin bicara denganmu."Dominic mendongakkan kepalanya dan melihat Hamilton dengan tanda tanya. "Kau bicara saja
Dominic memainkan jari-jemarinya, dan sesekali mengetuk-ngetuk ranjang pasien dengan perasaan bosan. Setelah pergi dari rumah pagi tadi, Dominic datang ke rumah sakit untuk menemui Charles. Meskipun hubungannya dengan sang ibu sedang memanas, tetapi Dominic tidak bisa lupa jika Charles adalah adiknya. Saudara yang dia punya satu-satunya. "Kau belum mau bangun?" tanya Dominic dengan suara pelan. Sudah hampir tiga hari, Charles belum membuka matanya. Dokter bilang tidak ada luka serius yang terjadi pada pria itu, tetapi Dominic tidak tahu mengapa sampai detik ini Charles belum bangun juga. "Kau harus bangun, Charles. Kau harus menggantikan aku di perusahaan." Tatapan mata Dominic terlihat datar. Tidak ada pergerakan sama sekali. Charles benar-benar terlihat seperti orang yang tertidur lelap. Sama seperti puluhan tahun silam, saat pria itu mengalami kecelakaan di usia sepuluh tahun. "Ck, kenapa kau selalu menyusahkan aku? Cepat bangun, dan kau harus mulai bekerja mulai saat ini. B
Dua Tahun Kemudian. Rumah Dominic terasa ramai sekarang karena anak laki-laki mereka tumbuh menjadi anak yang aktif. Leo, seperti itu mereka semua memanggil nama anak laki-laki yang lahir di musim dingin itu. Leo sangat pintar di usianya yang menginjak dua tahun. Tak jarang, Anna dan Dominic dibuat kewalahan dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh Leo. Seperti sekarang, anak itu sedang menanyakan banyak hal kepada ibunya. Tentang mengapa daun-daun pepohonan bisa jatuh di musim gugur, atau tentang bagaimana hewan-hewan liar itu bisa ada, dan mengapa mereka harus menjauhinya. "Mama, aku ingin bersama papa," celoteh Leo yang sudah bosan bertanya tentang banyak hal. "Iya, Sayang. Sebentar lagi papa pulang. Sekarang makan dulu." Leo menggeleng. Dia kembali berlari saat Anna hendak menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Kalau sudah seperti ini, Anna hanya bisa menghembuskan napas dengan kuat. Dia harus banyak bersabar menghadapi kelakuan Leo yang semakin hari se
"Namanya?" Anna menganggukkan kepala dengan senyum lebar. Lalu dia kembali mengusap tangan lembut milik bayi mereka. Ah, ternyata makhluk sebesar ini yang tumbuh di dalam perutnya selama ini. "Bagaimana dengan Mark?" "Mark?" "Iya. Kau tau arti dari nama Mark, Sayang?" Anna sontak menggeleng. "Mark berarti dewa perang. Aku memberinya nama Mark dengan harapan agar nantinya dia sekuat dewa perang." Senyum lebar tersungging di bibir Anna ketika mendengar nama anaknya. "Aku suka itu. Tambahkan nama belakangmu kalau begitu, Dom. Agar dia menjadi pria sekuat dirimu." Dominic setuju. Pria itu mencium kembali pipi bayinya yang terasa begitu halus. "Hai, Nak. Sekarang namamu Mark Leonardo Williams. Aku harap kau bisa tumbuh menjadi pria hebat di masa depan nanti." *** Kabar bahagia terdengar di seluruh penjuru kota New York saat kelahiran cucu pertama keluarga Williams diumumkan. Nama Dominic dan Anna langsung menjadi tren pencarian di internet yang paling banyak dicari
Anna dan Dominic menerima kabar bahagia atas kelahiran putra pertama Austin dan Daniella. Mereka turut berbahagia melihat bagaimana senangnya Austin saat menceritakan proses kelahiran bayi mereka. Anna yang sejak tadi memeluk Dominic pun, tidak pernah sama sekali berhenti tersenyum melihat kebahagiaan di wajah Daniella dan Austin. Mereka langsung melakukan panggilan video begitu mendapat kabar jika Daniella sudah melahirkan. "Ah, rasanya aku ingin terbang ke New York sekarang juga." Anna terlihat gemas melihat pipi merah milik putra Daniella. "Prediksi kelahiranmu kapan, An?" tanya Daniella dengan membersihkan Felix yang baru saja selesai dimandikan. "Bulan depan, tapi aku tidak yakin juga setelah mendengar jika kau melahirkan lebih cepat dari perkiraan." "Semoga semuanya lancar," harap Daniella. "Silakan bicara dengan Austin dulu. Felix sepertinya sudah sangat lapar." Anna mengangguk mengerti. Dia segera memberikan ponsel Dominic kepada pemiliknya, dan membiarkan D
Austin bangun tergopoh-gopoh begitu Daniella membangunkannya tengah malam begini. Yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah saat melihat Daniella merintih kesakitan dengan memegang perutnya. "Daniella, apa kau akan melahirkan?" tanya Austin gugup. Dia terlihat lebih gugup daripada wanita yang akan melahirkan. "Aku tidak tau. Perutku sakit sekali, Austin," rintih Daniella tidak tahan lagi. Sebenarnya dia sudah merasakan sakit perut dari sore tadi. Hanya saja, Daniella memilih untuk diam, dan tidak mengatakan apa pun karena berpikir jika ini hanya sakit perut biasa. Sampai saat mereka akan tidur lagi, Daniella semakin merasa tidak nyaman karena kram di perutnya tak kunjung mereda. "Kita ke rumah sakit sekarang." "Telepon mama dulu, Austin. Sepertinya aku hanya sakit perut biasa saja." Namun, hal yang terjadi justru sebaliknya. Wajah Daniella tampak pucat dengan keringat deras yang membasahi kening. "Oke, sebentar. Aku telepon mama dulu kalau begitu," ucap Austin y
Musim gugur telah berlalu, dengan angin yang perlahan semakin terasa dingin. Hari ini, setelah sekian lama menunggu, salju pertama di tahun ini kembali turun. Dari balik kaca-kaca rumah, Anna menatap ke arah luar melihat salju yang mulai berjatuhan. Gadis itu tersenyum simpul. "Hari ini salju turun. Kau pasti sangat bahagia, kan, Sayang?" Tiba-tiba saja Dominic datang dan memeluk Anna dengan lembut. Anna hanya mengukir senyum dengan kepala mengangguk. "Musim dingin tahun ini sangat berbeda, Dom." "Apa yang berbeda?" Anna melepaskan tangan Dominic, kemudian berbalik hingga mereka saling berhadapan sekarang. "Keberadaanmu yang membuat beda." Dominic memegang pinggang Anna, dengan tersenyum lebar. Pria itu merunduk, lalu mengecup bibir istrinya cukup lama. "Kau tau, musim dingin tahun lalu dan tahun ini aku punya kebiasaan yang berbeda." Anna menaikkan sudut alisnya. "Kebiasaan yang berbeda? Apa contohnya?" "Ya, contohnya ... bercinta denganmu." Anna memukul dad
Daniella melompat kegirangan saat melihat Austin muncul dari pintu kedatangan. Dia memang sengaja menunggu di bandara saat suaminya itu mengatakan jika akan pulang hari ini. Sungguh, Daniella tidak dapat menahan diri lagi dengan berdiam diri di rumah saja, untuk menunggu Austin. Apalagi dia masih sedih karena Anna sudah pindah ke Vermont kemarin. "Honey, aku sangat merindukanmu." Austin langsung memeluk istrinya dengan erat. Kalau saja dia tidak ingat perut Daniella yang buncit, mungkin Austin tidak akan melepaskan istrinya sekarang. "Aku juga sangat merindukanmu." Austin melepaskan pelukannya dan langsung berjongkok di hadapan perut Daniella. Salah satu yang menjadi kebiasaannya sekarang adalah menyapa bayinya yang masih di dalam perut. "Halo, Sayang. Bagaimana kabarmu di dalam sana?" tanya Austin dengan mengusap perut Daniella. Sesekali dia menciumnya dengan gemas, hingga membuat Daniella tertawa karena geli. "Sudah, Austin. Sebaiknya kita pulang saja sekarang. Aku
Austin menyambut kedatangan Dominic dengan senang hati. Dia sengaja melakukan semua itu, sebelum kembali ke pulang ke New York. Setelah semua urusan di Sky Crystal hari ini selesai, Austin mungkin akan langsung pulang. Dia sudah tidak tahan lagi ingin bertemu dengan Daniella, setelah lebih dari satu bulan ini lebih sering menghabiskan waktunya untuk pulang pergi Vermont dan New York. "Hai, Dom. Bagaimana dengan perjalanan kalian?" Austin langsung memeluk Dominic begitu pria itu tiba. Lalu menyapa Anna yang terlihat cukup kelelahan. "Ah, kau pasti sangat kelelahan, Anna." "Hum, sedikit," jawab Anna dengan senyum tipis. "Ini perjalanan panjang setelah kehamilannya. Dia pasti sangat kelelahan, apalagi perutnya sudah semakin membesar." Austin mengerti dengan apa yang Dominic keluhkan. "Itulah sebabnya aku melarang Daniella ketika dia merengek minta ikut. Kalau begitu, ayo. Sebentar lagi hari akan gelap." Dominic dan Anna mengikuti Austin yang berjalan lebih dulu menuju mob
Dominic membawa Anna ke rumah keluarganya. Setelah rapat pagi tadi, baik Elena maupun Hamilton meminta Dominic untuk datang dan menjelaskan segalanya. Saat Dominic memberitahu Anna, awalnya dia terkejut dengan keputusan Dominic yang bahkan selama ini tidak pernah dibicarakan. Namun, Anna tidak punya pilihan lain selain menuruti apa yang sudah Dominic putuskan. Hidup di mana pun, Anna bersedia asal tetap bersama Dominic. "Kita bicara setelah makan," ujar Hamilton setelah Dominic dan istrinya tiba. Sekarang mereka duduk bersama di ruang tamu, tetapi dengan cepat Dominic menolaknya. "Bisa kita bicara sekarang saja?" Hamilton berdeham. Dia sudah mengira Dominic akan melakukan hal ini, tetapi tidak pernah berpikir jika waktunya akan secepat ini. "Kenapa tiba-tiba seperti ini? Seharusnya kita membicarakan semua ini dari jauh-jauh hari." Hamilton hanya bisa menghela napas panjang. Dia tidak tahu harus dengan cara apa lagi agar Dominic membatalkan keputusannya. "Aku jug
"Williams Group?" Anna menganggukkan kepalanya. Dia tahu sebesar apa tanggung jawab Dominic terhadap Williams Group. Untuk memutuskan tinggal di Sky Crystal selamanya, itu pasti bukan perkara mudah. Dominic tersenyum tipis, tanpa ingin menjawab rasa penasaran Anna. Pria itu justru mengusap rambut istrinya seraya berkata, "Besok kau akan tau semuanya, Sayang." *** Adam dibuat kelimpungan pagi ini karena Dominic meminta diadakannya rapat dengan para pemegang saham secara mendadak. Dia tidak tahu apa yang Dominic ingin sampaikan sampai harus mengadakan rapat mendadak seperti ini. Seluruh pemegang saham Williams Group diwajibkan hadir. Ada Hamilton, Elena, Charles, dan beberapa orang lain yang tampak duduk di ruang rapat menunggu Dominic, selaku pemegang saham tertinggi sekaligus pemimpin di Williams Group saat ini. Berbagai gonjang-ganjing mulai terdengar di setiap sudut perusahaan karena rapat mendadak yang tiba-tiba saja Dominic lakukan. Semua spekulasi muncul,