Dominic menendang ban mobil di depannya dengan kuat. Pikiran pria itu sudah kacau balau. Bagaimana bisa disalahkan atas kelalaian yang dilakukan Charles? "Dom.""Kau dengar tadi, Harry? Mereka menyalahkanku, padahal jelas-jelas aku tidak ada di tempat kejadian. Aku bersamamu di Vermont!""Tenangkan dirimu, Dom." Harry menepuk punggung Dominic dari belakang. Berusaha menenangkan amarah temannya itu. "Aku tidak tahu apa-apa, Harry. Apa salahnya jika Charles juga berkerja di perusahaan? Dia juga sama denganku, sama-sama putra keluarga Williams. Lalu kenapa hanya aku yang boleh berkerja tanpa kenal lelah. Kenapa dia bisa bebas dan menikmati segalanya begitu saja?"Adam ingin menyela, tetapi Harry mencegahnya dan meminta asisten Dominic itu untuk segera pergi. "Mari kita duduk dan bicara dengan kepala dingin!" ajak Harry. Namun, Dominic menepis tangan Harry dan duduk di dekat mobil dengan rasa frustrasi dan putus asa. "Aku tidak melakukan apa pun."Harry mengangguk. Dia akhirnya ikut
Dominic berjalan turun setelah pelayan mengetuk pintu kamarnya tadi, dan memberitahu jika ayahnya sudah pulang. Dominic memilih melewati sang ibu dan Jeniffer yang sedang duduk di meja makan begitu saja. Dia tidak ada urusan dengan mereka berdua, dan lagi pula ini masih terlalu pagi untuk berdebat. Pria itu melangkahkan kakinya menuju ruang kerja Hamilton, dan mengetuk pintu ruangan tersebut setelah berada di depannya. Tok Tok"Masuk!"Setelah mendapatkan izin, Dominic segera masuk dan duduk di kursi di depan ayahnya. "Pelayan bilang kau mencari Papa tadi malam.""Ya," jawab Dominic singkat. Dia duduk sambil menopang kaki dan mengambil majalah bisnis dari meja ayahnya.Sudut bibir Dominic terangkat setelah dia melihat foto dirinya di dalam majalah. Hal itu jelas menjadi kebanggaan tersendiri untuk Dominic, di saat pikirannya sedang tidak karuan seperti ini. "Papa juga ingin bicara denganmu."Dominic mendongakkan kepalanya dan melihat Hamilton dengan tanda tanya. "Kau bicara saja
Dominic memainkan jari-jemarinya, dan sesekali mengetuk-ngetuk ranjang pasien dengan perasaan bosan. Setelah pergi dari rumah pagi tadi, Dominic datang ke rumah sakit untuk menemui Charles. Meskipun hubungannya dengan sang ibu sedang memanas, tetapi Dominic tidak bisa lupa jika Charles adalah adiknya. Saudara yang dia punya satu-satunya. "Kau belum mau bangun?" tanya Dominic dengan suara pelan. Sudah hampir tiga hari, Charles belum membuka matanya. Dokter bilang tidak ada luka serius yang terjadi pada pria itu, tetapi Dominic tidak tahu mengapa sampai detik ini Charles belum bangun juga. "Kau harus bangun, Charles. Kau harus menggantikan aku di perusahaan." Tatapan mata Dominic terlihat datar. Tidak ada pergerakan sama sekali. Charles benar-benar terlihat seperti orang yang tertidur lelap. Sama seperti puluhan tahun silam, saat pria itu mengalami kecelakaan di usia sepuluh tahun. "Ck, kenapa kau selalu menyusahkan aku? Cepat bangun, dan kau harus mulai bekerja mulai saat ini. B
"Jeniffer?" Jeniffer membenarkan rambutnya yang tergerai di depan wajahnya, dan menatap Dominic dengan angkuh. "Kudengar Charles sudah sadar. Ternyata kau ada di sini juga."Dominic hanya menganggukkan kepalanya. Setelah itu dia berniat untuk segera pergi karena Dominic merasa sedikit risih dengan tatapan Jeniffer. Apalagi wanita itu datang sendiri. Tidak seperti biasanya yang selalu mengekor ke mana pun Elena pergi. "Terima kasih karena kau sudah mengundurkan diri dari perusahaan," ucap Jeniffer saat Dominic hendak pergi. Dominic menghentikan langkah kakinya, tetapi dia tidak menoleh sama sekali. "Apa maksudmu.""Jujur saja awalnya aku kesal karena kau tiba-tiba saja pergi, dan mengganggu waktu liburan kami. Namun, setelah beberapa hari melihat Charles bekerja di perusahaan aku menjadi sedikit bangga. Akhirnya aku menikahi orang yang berguna."Dominic membalikkan tubuhnya dan menatap Jeniffer dengan mata melotot. "Kau bilang apa barusan?""Siapa pun orangnya pasti akan menganggap
Setelah cukup lama terdiam, Dominic tertawa dengan terpaksa mendengar pertanyaan Harry. Kemudian, setelah Harry hanya diam saja, Dominic langsung menghentikan tawanya, dan menatap temannya itu dengan sedikit gugup. "Pertanyaanmu aneh!""Apanya yang aneh? Aku bertanya seperti itu karena tatapan matamu tidak bisa berbohong setiap kali bertemu dengan gadis itu."Dominic menggaruk kepalanya yang terasa gatal tiba-tiba. Ah, apa dia sejelas itu? "A-aku tidak mungkin menyukainya, kan? Kau tau kami tidak cocok dari awal, Harry."Harry menatap Dominic dengan lekat, dan dia langsung tahu jika pria itu berbohong. Dominic adalah orang yang buruk dalam hal berbohong!"Kau yakin?""Iya, tentu saja," jawab Dominic dengan susah payah. "Ya, kuharap kau tidak berbohong. Kau masih ingat obrolan kita saat kalian pertama kali bertemu, kan?""Apa?""Kau tidak mungkin jatuh cinta dengan gadis urakan seperti Anna, Dom. Kau yang mengatakannya sendiri," tukas Harry tegas. Namun, dia dalam hatinya dia ingin
Austin membiarkan ponsel Anna berbunyi, dengan perasaan yang masih sedikit kaget. Bahkan dia berkali-kali memastikan jika ponsel yang sedang berbunyi dan menampilkan nama Dominic itu adalah ponsel miliknya, bukan punya Anna. Namun, apa yang Austin lihat adalah kenyatannya. Ponsel Anna yang berbunyi dan menampilkan nama sahabatnya—Dominic. "Austin, siapa yang menelpon? Kau belum menjawabnya?" tanya Anna dengan sedikit berteriak dari dapur. "Oh, ya. Akan kujawab sekarang," jawab Austin. Austin menjawab panggilan yang berasal dari Dominic dengan perasaan waswas. Entah mengapa hatinya menjadi tidak enak. Untuk apa Dominic menghubungi Anna malam-malam seperti ini?"Halo." Suara berat milik Dominic terdengar begitu Austin menjawab pangggilan pria itu. "Kenapa lama sekali menjawab panggilanku. Kau sedang di mana?""Halo, Dom."Sesaat tidak ada suara setelah Austin menjawab. "Austin?" tanya Dominic dari seberang sana. Dia hapal betul dengan siapa dirinya berbicara sekarang. "Ya.""Di m
Dominic mengenakan mantelnya, dan keluar dari apartemen, setelah berkali-kali mencoba untuk tidur tetapi tidak bisa. Pikiran pria tersebut terus saja berkelana, memikirkan Anna yang sedang bersama Austin di Vermont, dan apa saja yang mungkin Austin lakukan pada Anna. Meskipun tidak mungkin, tetap saja pikiran Dominic tidak bisa berhenti memikirkan hal tersebut. Jadi, malam ini dia memutuskan keluar untuk mencari udara segar. Dominic mengendarai mobilnya mengelilingi kota, tanpa arah tujuan yang jelas. Namun, entah bagaimana, setelah berkeliling cukup lama di tengah udara dingin, dia justru berakhir di depan rumah sakit tempat Charles dirawat. Padahal tadi pagi dia sudah mengunjungi adiknya itu. Dominic menghela napas panjang, dan berniat meninggalkan area rumah sakit. Namun, sebelum Dominic menginjak kembali pedal gasnya, dia menoleh ketika mendengar suara kaca jendelanya diketuk dari luar. Tok Tok! Dominic membuka pintu mobil dan keluar setelah tahu siapa orang yang sudah menge
Sementara itu, di dalam ruangan VVIP tempat Charles dirawat, pria itu sedang makan dengan lahap sembari disuapi oleh Jeniffer. "Kau bertemu dengan Dominic tadi pagi, Jen?"Jeniffer hanya mengangguk dengan senyum tipis. Dia enggan membahas tentang Dominic dengan Charles, yang ada hanya akan berujung perbedaan pendapat, dan berakhir dengan pertengkaran. "Kalian bicara sesuatu, atau kau tau apa terjadi di rumah?""Maksudmu kejadian apa?" tanya Jeniffer yang langsung berhenti menyuapi Charles. Dia menatap suaminya dengan penuh tanda tanya. "Dia datang dan berbicara melantur. Katanya dia akan pergi dari perusahaan, dan memintaku untuk menggantikan dirinya. Dominic bertengkar lagi dengan mama?" tanya Charles yang masih penasaran. "Ya, ada sedikit pertengkaran di rumah," jawab Jeniffer dengan jujur. "Kau bilang pada mama jika aku pusing dan minum sebelum kecelakaan?" Charles menatap Jeniffer dengan lekat. Mencoba memahami mengapa istrinya melakukan hal tersebut. "Ya.""Kenapa kau melak
Dua Tahun Kemudian. Rumah Dominic terasa ramai sekarang karena anak laki-laki mereka tumbuh menjadi anak yang aktif. Leo, seperti itu mereka semua memanggil nama anak laki-laki yang lahir di musim dingin itu. Leo sangat pintar di usianya yang menginjak dua tahun. Tak jarang, Anna dan Dominic dibuat kewalahan dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh Leo. Seperti sekarang, anak itu sedang menanyakan banyak hal kepada ibunya. Tentang mengapa daun-daun pepohonan bisa jatuh di musim gugur, atau tentang bagaimana hewan-hewan liar itu bisa ada, dan mengapa mereka harus menjauhinya. "Mama, aku ingin bersama papa," celoteh Leo yang sudah bosan bertanya tentang banyak hal. "Iya, Sayang. Sebentar lagi papa pulang. Sekarang makan dulu." Leo menggeleng. Dia kembali berlari saat Anna hendak menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Kalau sudah seperti ini, Anna hanya bisa menghembuskan napas dengan kuat. Dia harus banyak bersabar menghadapi kelakuan Leo yang semakin hari se
"Namanya?" Anna menganggukkan kepala dengan senyum lebar. Lalu dia kembali mengusap tangan lembut milik bayi mereka. Ah, ternyata makhluk sebesar ini yang tumbuh di dalam perutnya selama ini. "Bagaimana dengan Mark?" "Mark?" "Iya. Kau tau arti dari nama Mark, Sayang?" Anna sontak menggeleng. "Mark berarti dewa perang. Aku memberinya nama Mark dengan harapan agar nantinya dia sekuat dewa perang." Senyum lebar tersungging di bibir Anna ketika mendengar nama anaknya. "Aku suka itu. Tambahkan nama belakangmu kalau begitu, Dom. Agar dia menjadi pria sekuat dirimu." Dominic setuju. Pria itu mencium kembali pipi bayinya yang terasa begitu halus. "Hai, Nak. Sekarang namamu Mark Leonardo Williams. Aku harap kau bisa tumbuh menjadi pria hebat di masa depan nanti." *** Kabar bahagia terdengar di seluruh penjuru kota New York saat kelahiran cucu pertama keluarga Williams diumumkan. Nama Dominic dan Anna langsung menjadi tren pencarian di internet yang paling banyak dicari
Anna dan Dominic menerima kabar bahagia atas kelahiran putra pertama Austin dan Daniella. Mereka turut berbahagia melihat bagaimana senangnya Austin saat menceritakan proses kelahiran bayi mereka. Anna yang sejak tadi memeluk Dominic pun, tidak pernah sama sekali berhenti tersenyum melihat kebahagiaan di wajah Daniella dan Austin. Mereka langsung melakukan panggilan video begitu mendapat kabar jika Daniella sudah melahirkan. "Ah, rasanya aku ingin terbang ke New York sekarang juga." Anna terlihat gemas melihat pipi merah milik putra Daniella. "Prediksi kelahiranmu kapan, An?" tanya Daniella dengan membersihkan Felix yang baru saja selesai dimandikan. "Bulan depan, tapi aku tidak yakin juga setelah mendengar jika kau melahirkan lebih cepat dari perkiraan." "Semoga semuanya lancar," harap Daniella. "Silakan bicara dengan Austin dulu. Felix sepertinya sudah sangat lapar." Anna mengangguk mengerti. Dia segera memberikan ponsel Dominic kepada pemiliknya, dan membiarkan D
Austin bangun tergopoh-gopoh begitu Daniella membangunkannya tengah malam begini. Yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah saat melihat Daniella merintih kesakitan dengan memegang perutnya. "Daniella, apa kau akan melahirkan?" tanya Austin gugup. Dia terlihat lebih gugup daripada wanita yang akan melahirkan. "Aku tidak tau. Perutku sakit sekali, Austin," rintih Daniella tidak tahan lagi. Sebenarnya dia sudah merasakan sakit perut dari sore tadi. Hanya saja, Daniella memilih untuk diam, dan tidak mengatakan apa pun karena berpikir jika ini hanya sakit perut biasa. Sampai saat mereka akan tidur lagi, Daniella semakin merasa tidak nyaman karena kram di perutnya tak kunjung mereda. "Kita ke rumah sakit sekarang." "Telepon mama dulu, Austin. Sepertinya aku hanya sakit perut biasa saja." Namun, hal yang terjadi justru sebaliknya. Wajah Daniella tampak pucat dengan keringat deras yang membasahi kening. "Oke, sebentar. Aku telepon mama dulu kalau begitu," ucap Austin y
Musim gugur telah berlalu, dengan angin yang perlahan semakin terasa dingin. Hari ini, setelah sekian lama menunggu, salju pertama di tahun ini kembali turun. Dari balik kaca-kaca rumah, Anna menatap ke arah luar melihat salju yang mulai berjatuhan. Gadis itu tersenyum simpul. "Hari ini salju turun. Kau pasti sangat bahagia, kan, Sayang?" Tiba-tiba saja Dominic datang dan memeluk Anna dengan lembut. Anna hanya mengukir senyum dengan kepala mengangguk. "Musim dingin tahun ini sangat berbeda, Dom." "Apa yang berbeda?" Anna melepaskan tangan Dominic, kemudian berbalik hingga mereka saling berhadapan sekarang. "Keberadaanmu yang membuat beda." Dominic memegang pinggang Anna, dengan tersenyum lebar. Pria itu merunduk, lalu mengecup bibir istrinya cukup lama. "Kau tau, musim dingin tahun lalu dan tahun ini aku punya kebiasaan yang berbeda." Anna menaikkan sudut alisnya. "Kebiasaan yang berbeda? Apa contohnya?" "Ya, contohnya ... bercinta denganmu." Anna memukul dad
Daniella melompat kegirangan saat melihat Austin muncul dari pintu kedatangan. Dia memang sengaja menunggu di bandara saat suaminya itu mengatakan jika akan pulang hari ini. Sungguh, Daniella tidak dapat menahan diri lagi dengan berdiam diri di rumah saja, untuk menunggu Austin. Apalagi dia masih sedih karena Anna sudah pindah ke Vermont kemarin. "Honey, aku sangat merindukanmu." Austin langsung memeluk istrinya dengan erat. Kalau saja dia tidak ingat perut Daniella yang buncit, mungkin Austin tidak akan melepaskan istrinya sekarang. "Aku juga sangat merindukanmu." Austin melepaskan pelukannya dan langsung berjongkok di hadapan perut Daniella. Salah satu yang menjadi kebiasaannya sekarang adalah menyapa bayinya yang masih di dalam perut. "Halo, Sayang. Bagaimana kabarmu di dalam sana?" tanya Austin dengan mengusap perut Daniella. Sesekali dia menciumnya dengan gemas, hingga membuat Daniella tertawa karena geli. "Sudah, Austin. Sebaiknya kita pulang saja sekarang. Aku
Austin menyambut kedatangan Dominic dengan senang hati. Dia sengaja melakukan semua itu, sebelum kembali ke pulang ke New York. Setelah semua urusan di Sky Crystal hari ini selesai, Austin mungkin akan langsung pulang. Dia sudah tidak tahan lagi ingin bertemu dengan Daniella, setelah lebih dari satu bulan ini lebih sering menghabiskan waktunya untuk pulang pergi Vermont dan New York. "Hai, Dom. Bagaimana dengan perjalanan kalian?" Austin langsung memeluk Dominic begitu pria itu tiba. Lalu menyapa Anna yang terlihat cukup kelelahan. "Ah, kau pasti sangat kelelahan, Anna." "Hum, sedikit," jawab Anna dengan senyum tipis. "Ini perjalanan panjang setelah kehamilannya. Dia pasti sangat kelelahan, apalagi perutnya sudah semakin membesar." Austin mengerti dengan apa yang Dominic keluhkan. "Itulah sebabnya aku melarang Daniella ketika dia merengek minta ikut. Kalau begitu, ayo. Sebentar lagi hari akan gelap." Dominic dan Anna mengikuti Austin yang berjalan lebih dulu menuju mob
Dominic membawa Anna ke rumah keluarganya. Setelah rapat pagi tadi, baik Elena maupun Hamilton meminta Dominic untuk datang dan menjelaskan segalanya. Saat Dominic memberitahu Anna, awalnya dia terkejut dengan keputusan Dominic yang bahkan selama ini tidak pernah dibicarakan. Namun, Anna tidak punya pilihan lain selain menuruti apa yang sudah Dominic putuskan. Hidup di mana pun, Anna bersedia asal tetap bersama Dominic. "Kita bicara setelah makan," ujar Hamilton setelah Dominic dan istrinya tiba. Sekarang mereka duduk bersama di ruang tamu, tetapi dengan cepat Dominic menolaknya. "Bisa kita bicara sekarang saja?" Hamilton berdeham. Dia sudah mengira Dominic akan melakukan hal ini, tetapi tidak pernah berpikir jika waktunya akan secepat ini. "Kenapa tiba-tiba seperti ini? Seharusnya kita membicarakan semua ini dari jauh-jauh hari." Hamilton hanya bisa menghela napas panjang. Dia tidak tahu harus dengan cara apa lagi agar Dominic membatalkan keputusannya. "Aku jug
"Williams Group?" Anna menganggukkan kepalanya. Dia tahu sebesar apa tanggung jawab Dominic terhadap Williams Group. Untuk memutuskan tinggal di Sky Crystal selamanya, itu pasti bukan perkara mudah. Dominic tersenyum tipis, tanpa ingin menjawab rasa penasaran Anna. Pria itu justru mengusap rambut istrinya seraya berkata, "Besok kau akan tau semuanya, Sayang." *** Adam dibuat kelimpungan pagi ini karena Dominic meminta diadakannya rapat dengan para pemegang saham secara mendadak. Dia tidak tahu apa yang Dominic ingin sampaikan sampai harus mengadakan rapat mendadak seperti ini. Seluruh pemegang saham Williams Group diwajibkan hadir. Ada Hamilton, Elena, Charles, dan beberapa orang lain yang tampak duduk di ruang rapat menunggu Dominic, selaku pemegang saham tertinggi sekaligus pemimpin di Williams Group saat ini. Berbagai gonjang-ganjing mulai terdengar di setiap sudut perusahaan karena rapat mendadak yang tiba-tiba saja Dominic lakukan. Semua spekulasi muncul,