Di hotel bintang lima, Keluarga Williams yang terkenal di New York tengah mengadakan pesta pernikahan untuk putra bungsu mereka.
Tamu undangan yang datang pun begitu banyak.Umumnya, mereka dari kalangan pengusaha.Selain memberi selamat pada pengantin, mereka punya tujuan lain di sini, yakni mendekati Dominic–kakak dari pengantin laki-laki yang juga anak sulung dari keluarga Williams.Dalam hati, mereka berharap jika putri mereka dapat menjadi pasangan pria berkepala empat yang terkenal bertangan emas di dunia bisnis itu.Sayangnya, Dominic justru tampak bosan dan duduk bersama sang sahabat di sudut ruangan.“Memangnya, kau tidak ingin memilih salah satu dari mereka, Dom? Banyak wanita cantik dan seksi di sini.”“Shut up!” Dominic menatap Harry dengan kesal.Tring!Suara ponselnya tiba-tiba berdering.Namun, melirik kontak yang menghubunginya, Dominic mengabaikannya.“Ibumu menghubungimu sejak tadi. Siapa tahu penting, jawab saja!” ucap Harry yang tampak mencari seseorang.Dominic hanya mengendikan bahu, malas. Dia tahu Ibunya pasti ingin menjodohkannya dengan anak perempuan temannya.“Siapa yang kau cari? Tunanganmu?” tanya Dominic untuk mengalihkan perhatian Harry darinya.“Tidak. Dia sudah pulang tadi.”“Lalu?”“Siapa lagi kalau bukan Casanova kita dari Vermont.” Harry menatap Dominic dengan senyum geli saat membayangkan teman mereka yang satu itu, “si Austin!”Tring!Bunyi ponsel Dominic kembali terdengar.Kali ini, dia benar-benar tidak tahan lagi dengan suara bising dari ponselnya. Ibunya itu benar-benar keras kepala dan pantang menyerah.Jadi, dia pun merapikan setelan jas yang dikenakan lalu meneguk anggur di dalam gelasnya hingga kandas.“Mau menemui ibumu?”Dominic mengangguk. “Dia benar-benar berisik.”Harry mengibaskan tangan tanda meminta Dominic untuk segera pergi.Pria itu pun segera mencari tempat sepi untuk menjawab panggilan ibunya.“Kau di mana?” ucap sang Ibu tanpa basa-basi.“Aku bersama Harry.”“Cepat kemari! Keluarga Brown ingin memperkenalkan putri bungsu mereka. Dia cantik. Kau pasti akan suka.”Mata Dominic menelisik setiap sudut ruangan, dan, ya, dia berhasil menemukan ibunya.Wanita itu memang tampak sedang bersama dengan Keluarga Brown. Keluarga konglomerat yang sudah lama menginginkan perjodohan di antara mereka.Padahal, bulan lalu, Brown sudah memperkenalkan putri keduanya. Kini, putri bungsunya?Dominic benar-benar tidak habis pikir.“Aku tidak berminat,” jawab pria itu pada akhirnya.“Dom!” seru ibunya dengan suara tertahan. “Dia wanita yang cantik dan terpelajar. Setidaknya temui dan berkenalan dulu. Hargai mereka.”“Baiklah. Akan kutemui jika sempat.”Dominic langsung menutup panggilannya secara sepihak.Pria itu lantas tertawa miris setelah mengingat kembali aksi ibunya selama lima tahun terakhir.Nyonya Williams itu benar-benar gencar mencarikannya “wanita dari keluarga kaya” untuk dinikahi.“Padahal, mereka juga yang membuatku bekerja keras di perusahaan, hingga lupa waktu,” lirih Dominic mengepalkan tangan menahan emosi.Tanpa basa-basi, pria itu pun berjalan dengan langkah cepat menuju keluar hotel.Dia sudah memutuskan untuk tidak menemui ibunya ataupun keluarga Brown.Hanya saja, baru beberapa langkah ….“Dom!”Nama pria itu dipanggil!“Damn it!” Dominic sontak mengumpat pelan kala mendapati ibunya dengan seorang gadis muda, yang dia yakini adalah putri bungsu keluarga Brown.“Kau mencari Mama, ‘kan?” tanya Elena dengan alis terangkat sembari menghampiri pria itu, “kenalkan. Dia Sarah. Gadis yang Mama katakan tadi.”“Halo, Dom. Aku senang bisa berkenalan denganmu.” Wanita berambut merah itu mengulurkan tangannya.Akan tetapi, Dominic mengacuhkannya dan tak menyambut uluran itu sama sekali.“Aku sudah bilang jika aku sibuk, bukan?” Dominic bertanya dengan suara rendah.Siapa pun yang mendengar pasti akan merasa ngeri, termasuk Elena dan Sarah.Hanya saja, sang ibu tak menyerah. “Dom, ini pernikahan Charles. Pernikahan adikmu. Jadi, jangan terlalu keras dengan dirimu sendiri,” ucapnya dengan selembut mungkin.Namun, Dominic justru menatap ibunya dingin. “Aku sudah muak dengan semua ini, Ma.“Jadi, tolong jangan memaksaku untuk melakukan hal yang tidak bisa kau bayangkan,” ucapnya lagi, lalu menoleh sekilas pada gadis di samping sang ibu, “Oh, iya. Senang berkenalan denganmu, Ms. Sarah, tapi kuharap kita tidak bertemu lagi!”Elena sontak terdiam setelah Dominic mengatakan ancaman seperti itu.Dia tidak bisa mempertaruhkan kehormatan keluarga Williams di depan publik.Jadi, wanita itu hanya bisa melihat sang putra berbalik dan berjalan menjauhi keduanya.***Sembari bersumpah serapah, Dominic tampak berjalan tanpa memperhatikan sekitar.Dia sungguh emosi kali ini.Brug!Seseorang tiba-tiba menabrak tubuhnya dan menumpahkan cairan berwarna ungu kehitaman di tubuhnya.Tentu saja, hal itu membuat Dominic menjadi tidak terkendali.“Apa kau tidak punya mata?” maki pria itu memperhatikan kemeja putih yang dikenakannya menjadi berwarna ungu.“Maaf, Sir. Aku tidak sengaja.” Seorang gadis menunduk, berusaha meminta maaf dengan tulus.Setelah itu, dia memberanikan diri menatap Dominic. “Aku akan mencuci pakaian Anda,” ucapnya agar tidak terjadi keributan.Sayangnya, lawannya kali ini sedang dalam keadaan tak baik. Dominic butuh sesuatu untuk melampiaskan kekesalannya sejak tadi.“Kau tau berapa harga setelan yang aku kenakan hari ini? Oh, Tuhan. Siapa yang mengundang gadis udik ini?” Dominic berteriak dengan wajah kesal.“Maaf, Sir, tapi—““Kau benar-benar tidak punya mata? Kau lihat pakaianku. Ini mahal dan kau tidak akan sanggup menggantinya,” makinya lagi.Gadis itu terlihat tidak terima setelah Dominic meneriakinya. “Maaf, Sir. Aku sudah bilang akan mencucinya, bukan? Kenapa Anda berteriak seperti ini?”“Kau berani berteriak kepadaku? Kau tidak tahu siapa aku?”Teriakan keduanya sontak menarik perhatian semua orang.Mata yang awalnya menatap pasangan pengantin di depan sana, kini beralih menatap pertengkaran Dominic dengan seorang gadis muda.“Siapa Anda? Aku tidak takut sama sekali. Aku memang salah, dan sudah meminta maaf. Seharusnya Anda tidak menghinaku seperti itu.” Gadis itu menunjuk wajah Dominic dengan ekspresi kesal.Dominic tertawa pelan—tersenyum mengejek menatap gadis muda itu. Selama ini tidak ada yang berani meneriakinya seperti itu.“Siapa yang mengundangmu kemari?” tanya Dominic kesal.“Kenapa? Memangnya kau siapa?” Gadis muda itu berkacak pinggang dengan senyum mengejek. Dia tidak terima harga dirinya direndahkan begitu saja.“Anna!”Gadis itu menoleh ketika mendengar Austin memanggil namanya, tetapi setelah itu dia kembali menatap Dominic dengan senyum permusuhan.“Anna, ada apa ini?” tanya Austin. Pria itu kemudian menatap Dominic dengan senyum hambar, ketika sadar jika Anna mendapatkan lawan yang tidak tepat.“Dia meneriakku. Mengataiku udik. Memangnya, dia pikir dia siapa?”Dominic memerhatikan Austin. Dia tak menyangka gadis di depannya ini mengenal sang sahabat. “Kau kemari bersamanya?”Austin mengangguk. Dia tampak menyenggol bahu Anna, dengan wajah khawatir. “An, cepat minta maaf!”“Tidak mau!” tolak Anna keras.Melihat itu, Dominic jelas tampak geram. Kenapa hari ini semua orang membuatnya marah?“Kau….”“Dom, maafkan dia–“ “Austin, cepat bawa gadis udik ini pergi dari sini!” potong Dominic sebelum Austin dapat menyelesaikan ucapannya. Pria itu bahkan sudah melonggarkan dasinya yang terasa begitu mencekik. “Hei, aku bukan gadis udik. Enak saja. Dasar pria tua!” Anna melangkah maju mendekati Dominic. Gadis itu juga menunjuk wajah Dominic dengan muka memerah. “Kau bilang apa? Pria tua?” “Anna, hentikan!” Austin menarik tangan Anna yang terus saja berjalan mendekati Dominic. Namun, gadis itu tak peduli. “Ya. Kau memang pria tua. Pantas saja kau sangat pemarah!” Dominic mengusap rambutnya dengan kasar, setelah itu dia membuka dasinya. Wajah pria itu benar-benar merah, menandakan bagaimana emosinya Dominic saat ini. “Pria tua?” Dominic menatap wajah gadis bernama Anna itu dengan teliti. “Austin, kau benar-benar membawa gadis ini kemari?” “Dom, akan kujelaskan nanti. Sekarang tenangkan dirimu.” Austin masih mencoba melerai pertengkaran Dominic dan Anna. “Dom, ayo! Semua orang suda
Dominic tertawa hambar mendengar pertanyaan Harry. “Aku bisa cari sendiri jika aku mau.""Hanya saja, apa kau lihat aku seperti pria tua, Harry?” tanya Dominic yang memang terlalu sensitif jika membahas usia. Melihat Harry menggeleng cepat, Dominic menghembuskan napasnya dengan kasar. “Tepat sekali! Memang gadis itu yang tidak punya mata! Apa dia tidak bisa membedakan pria tua dengan pria matang?" “Ya, kau memang pria matang. Dia tidak bisa menyadari itu.” Harry tertawa dengan terpaksa. Untungnya, Dominic tidak menyadarinya. Pria itu pun meletakkan botol anggur yang dia bawa dari dapur. “Aku tidak habis pikir, di mana Austin menemukan gadis seperti itu. Kau lihat tingkahnya tadi, Harry? Dia menarik kemejaku seperti preman. Oh, Tuhan, kau harus segera menghubungi Austin dan memintanya menjauhi gadis preman itu,” ujar Dominic dengan wajah bergidik ngeri. Selain tidak memiliki penglihatan yang bagus, ternyata gadis itu juga preman. Dominic ingat bagaimana dia diperlakukan dengan kasa
“Maaf, Tuan. Tapi, saya tidak bisa,” ucap Anna pada akhirnya.Dia tidak mungkin mengundurkan diri begitu saja. Sky Crystal sudah seperti rumah bagi Anna. “Kenapa?” Dominic melipatkan kedua tangannya di depan dada. “Kau tahu 'kan Sky Crystal milikku.” “Maaf, Sir. Aku butuh pekerjaan ini.” “Kalau begitu, kau bisa mulai bekerja besok di rumahku selama satu minggu.” Dominic tersenyum miring.Anna hanya bisa menggaruk kepalanya yang terasa tidak gatal. Baru sebentar saja, ia ingin mencekik pria tua ini. Apalagi, jika harus bekerja selama satu minggu dengannya? “Baiklah. Karena 7 hari sepertinya tak cukup, aku memerintahkanmu untuk menjadi koki pribadiku selama tiga puluh hari,” ucap Dominic mendadak.“Apa?!”Dominic menahan tawa melihat kepanikan di wajah perempuan itu. Entah mengapa, sejak melihat Anna tadi, dendamnya tiba-tiba membara lagi. Dan, tiba-tiba saja ide konyol itu muncul. Rasanya tak masalah menambah waktunya untuk tinggal di Vermont bila dirinya bisa membalaskan denda
"Itu jadwalmu!" Bersamaan dengan itu, Dominic mengirimkan dokumen p*f kepada Anna."Ya, Sir," balas Anna lalu membuka pesan yang dikirim Dominic dan mulai membacanya dengan saksama. Di sana tertulis jelas semua aturan-aturan yang harus dia patuhi. Mulai dari memasak tiga kali sehari, dengan berbagai macam menu yang berbeda-beda. Apa saja yang biasanya Dominic makan atau tidak, dan kebiasaan Dominic yang sudah tercatat rapi. “Kau sudah mengerti, ‘kan?” tanya Dominic setelah melihat bagaimana ekspresi wajah Anna. Anna menghela napas dengan sedikit kasar. “Ya, aku mengerti.” “Satu lagi. Jangan memanggilku dengan panggilan Sir. Aku tidak suka.” “Lalu?” “Terserah padamu!” Anna mencoba menenangkan dirinya sendiri. Belum apa-apa Dominic sudah mulai menguji kesabarannya. “Sekarang kau ikut aku!” Dominic langsung berdiri dan berjalan meninggalkan restoran. “Kita akan ke mana, Sir? Eh, maaf, maksudku, Tuan.” Anna menggaruk kepalanya yang terasa gatal. Dia terlihat bingung. Hal itu jel
"Apa?" pekik Anna menahan kesal."Kau lebih menakutkan dibandingkan serigala liar di luar sana!" Dominic menekankan setiap kata yang diucapkan. "Kau!" Anna menjatuhkan kantung belanja, dan menunjuk wajah Dominic dengan ekspresi kesal. "Kau menyamakan aku dengan serigala liar?""Aku tidak ada mengatakan hal seperti itu," ucap Dominic. "Kau sendiri yang mengatakannya," tambahnya lagi sembari melepas mantel dan menutup pintu kabin. "Arghh!" Anna menghentakkan kaki, kesal. Dominic benar-benar kurang ajar! "Kau sudah mulai berani, ya?" tegur pria itu mendadak."Hah?""Kau lupa isi surat perjanjian kita?" tanya Dominic dengan angkuh. "Kau harus patuh padaku. Di sini aku juga tetap menggajimu. Jadi, jangan berbuat seenaknya!" Pria itu lalu berjalan meninggalkan Anna begitu saja. "Dasar brengsek!""Anna, kau memakiku lagi!" peringatnya."Aku tidak peduli!" "Baiklah." Dominic memutar tubuhnya dan menatap Anna dengan tajam. "Silakan pergi dari tempat tinggalku! Dan jangan lupa bayar dend
Sayangnya, wajah Anna justru terlihat gembira. "Wah, kau memujiku?" Melihat itu, Dominic menggeleng cepat. Pria itu segera mengalihkan tatapannya dari senyum Anna. Berbahaya! Gadis itu benar-benar berbahaya untuk Dominic. "Sudah kubilang, bukan? Kau pasti akan suka dengan masakanku." "Diam! Kau terlalu berisik." Dominic kembali ke sifat semula. "Aku sama sekali tidak memujimu. Kenapa kau berlebihan sekali?" Anna mengulum senyum mendengar perkataan Dominic. Dia tahu jika pria itu gengsi. Malu untuk mengakui kemampuan Anna. "Jangan tersenyum seperti itu!" gertak Dominic lagi. Pria itu segera menghabiskan makanannya dengan lahap. "Sekarang kau boleh pulang.""Baiklah." Anna masih menahan senyumnya, dan berjalan meninggalkan Dominic. Melihat Anna yang sudah menjauh, Dominic menghela napas dengan kasar. "Sialan! Jika seperti ini, aku tidak punya alasan untuk memecatnya nanti."Anna berhenti ketika mendengar suara lirih Dominic. Jadi, Dominic benar-benar berniat ingin memecatnya. "Ah
Suasana seketika tegang. "Bercyanda!" Austin tiba-tiba tertawa membuat kedua perempuan itu mengulas senyum. Ketiganya lantas melanjutkan pembicaraan mereka. ***"Hah..." Anna menghela napas panjang mengingat kejadian kemarin.Meski malas, dia akhirnya tetap ke tempat Dominic pagi-pagi sekali. Anna sengaja datang lebih awal untuk membuatkan sarapan, lalu setelah itu dirinya akan kembali ke restoran.Dengan kode pintu yang sudah diberikan sebelumnya, Anna pun masuk. Untuk sarapan, dia hanya akan menyiapkan roti lapis dengan secangkir kopi tanpa gula, sesuai dengan apa yang Dominic pinta. Hanya saja, ketika Anna sudah selesai dengan pekerjaannya, Dominic muncul dari luar pintu. "Kau sudah datang?" tanyanya sesekali menyeka keringat. Anna terdiam. Pria itu sepertinya habis berolahraga. Setelan training yang dikenakan sudah menjelaskan semuanya. "Iya. Aku sudah membuat sarapan juga untukmu," ucap Anna segera mengambil mantel dan ingin bergegas keluar. "Tunggu!" Dominic mencekal ta
"Apa?" Dominic cukup terkejut dengan ajakan Anna. "Kau mengajakku keluar?" Apalagi dengan nada lembut dari suaranya. "Iya. Kurasa selain lidahmu yang tidak bisa berfungsi dengan baik, telingamu juga sama!" cibir Anna. Dia sedikit menyesal sudah berbicara dengan lembut tadi. "Oh, astaga!" Dominic menunjuk wajah Anna dengan kesal. Bahkan wajahnya juga sudah memerah karena menahan marah. "Jadi, kau mau ikut tidak?""Ya, ya, baiklah jika kau memaksa!" "Aku sama sekali tidak memaksamu, Dom," ujar Anna dengan suara rendah, tetapi tegas. "Ya, terserah padamu. Ayo, cepat!" Dominic segera menutup laptop dan berjalan menuju pintu untuk mengambil mantel. "Cih, dasar! Katanya tidak mau," gerutu Anna dengan berjalan menyusul Dominic. "Cepat, atau aku akan berubah pikiran. Kapan lagi kau bisa mengajak dan berjalan-jalan dengan orang sibuk sepertiku?"Anna tertawa dengan terpaksa mendengar kesombongan Dominic yang tiada habisnya. "Dasar besar kepala!"***Anna sama sekali tidak berhenti berbi
Dua Tahun Kemudian. Rumah Dominic terasa ramai sekarang karena anak laki-laki mereka tumbuh menjadi anak yang aktif. Leo, seperti itu mereka semua memanggil nama anak laki-laki yang lahir di musim dingin itu. Leo sangat pintar di usianya yang menginjak dua tahun. Tak jarang, Anna dan Dominic dibuat kewalahan dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh Leo. Seperti sekarang, anak itu sedang menanyakan banyak hal kepada ibunya. Tentang mengapa daun-daun pepohonan bisa jatuh di musim gugur, atau tentang bagaimana hewan-hewan liar itu bisa ada, dan mengapa mereka harus menjauhinya. "Mama, aku ingin bersama papa," celoteh Leo yang sudah bosan bertanya tentang banyak hal. "Iya, Sayang. Sebentar lagi papa pulang. Sekarang makan dulu." Leo menggeleng. Dia kembali berlari saat Anna hendak menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Kalau sudah seperti ini, Anna hanya bisa menghembuskan napas dengan kuat. Dia harus banyak bersabar menghadapi kelakuan Leo yang semakin hari se
"Namanya?" Anna menganggukkan kepala dengan senyum lebar. Lalu dia kembali mengusap tangan lembut milik bayi mereka. Ah, ternyata makhluk sebesar ini yang tumbuh di dalam perutnya selama ini. "Bagaimana dengan Mark?" "Mark?" "Iya. Kau tau arti dari nama Mark, Sayang?" Anna sontak menggeleng. "Mark berarti dewa perang. Aku memberinya nama Mark dengan harapan agar nantinya dia sekuat dewa perang." Senyum lebar tersungging di bibir Anna ketika mendengar nama anaknya. "Aku suka itu. Tambahkan nama belakangmu kalau begitu, Dom. Agar dia menjadi pria sekuat dirimu." Dominic setuju. Pria itu mencium kembali pipi bayinya yang terasa begitu halus. "Hai, Nak. Sekarang namamu Mark Leonardo Williams. Aku harap kau bisa tumbuh menjadi pria hebat di masa depan nanti." *** Kabar bahagia terdengar di seluruh penjuru kota New York saat kelahiran cucu pertama keluarga Williams diumumkan. Nama Dominic dan Anna langsung menjadi tren pencarian di internet yang paling banyak dicari
Anna dan Dominic menerima kabar bahagia atas kelahiran putra pertama Austin dan Daniella. Mereka turut berbahagia melihat bagaimana senangnya Austin saat menceritakan proses kelahiran bayi mereka. Anna yang sejak tadi memeluk Dominic pun, tidak pernah sama sekali berhenti tersenyum melihat kebahagiaan di wajah Daniella dan Austin. Mereka langsung melakukan panggilan video begitu mendapat kabar jika Daniella sudah melahirkan. "Ah, rasanya aku ingin terbang ke New York sekarang juga." Anna terlihat gemas melihat pipi merah milik putra Daniella. "Prediksi kelahiranmu kapan, An?" tanya Daniella dengan membersihkan Felix yang baru saja selesai dimandikan. "Bulan depan, tapi aku tidak yakin juga setelah mendengar jika kau melahirkan lebih cepat dari perkiraan." "Semoga semuanya lancar," harap Daniella. "Silakan bicara dengan Austin dulu. Felix sepertinya sudah sangat lapar." Anna mengangguk mengerti. Dia segera memberikan ponsel Dominic kepada pemiliknya, dan membiarkan D
Austin bangun tergopoh-gopoh begitu Daniella membangunkannya tengah malam begini. Yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah saat melihat Daniella merintih kesakitan dengan memegang perutnya. "Daniella, apa kau akan melahirkan?" tanya Austin gugup. Dia terlihat lebih gugup daripada wanita yang akan melahirkan. "Aku tidak tau. Perutku sakit sekali, Austin," rintih Daniella tidak tahan lagi. Sebenarnya dia sudah merasakan sakit perut dari sore tadi. Hanya saja, Daniella memilih untuk diam, dan tidak mengatakan apa pun karena berpikir jika ini hanya sakit perut biasa. Sampai saat mereka akan tidur lagi, Daniella semakin merasa tidak nyaman karena kram di perutnya tak kunjung mereda. "Kita ke rumah sakit sekarang." "Telepon mama dulu, Austin. Sepertinya aku hanya sakit perut biasa saja." Namun, hal yang terjadi justru sebaliknya. Wajah Daniella tampak pucat dengan keringat deras yang membasahi kening. "Oke, sebentar. Aku telepon mama dulu kalau begitu," ucap Austin y
Musim gugur telah berlalu, dengan angin yang perlahan semakin terasa dingin. Hari ini, setelah sekian lama menunggu, salju pertama di tahun ini kembali turun. Dari balik kaca-kaca rumah, Anna menatap ke arah luar melihat salju yang mulai berjatuhan. Gadis itu tersenyum simpul. "Hari ini salju turun. Kau pasti sangat bahagia, kan, Sayang?" Tiba-tiba saja Dominic datang dan memeluk Anna dengan lembut. Anna hanya mengukir senyum dengan kepala mengangguk. "Musim dingin tahun ini sangat berbeda, Dom." "Apa yang berbeda?" Anna melepaskan tangan Dominic, kemudian berbalik hingga mereka saling berhadapan sekarang. "Keberadaanmu yang membuat beda." Dominic memegang pinggang Anna, dengan tersenyum lebar. Pria itu merunduk, lalu mengecup bibir istrinya cukup lama. "Kau tau, musim dingin tahun lalu dan tahun ini aku punya kebiasaan yang berbeda." Anna menaikkan sudut alisnya. "Kebiasaan yang berbeda? Apa contohnya?" "Ya, contohnya ... bercinta denganmu." Anna memukul dad
Daniella melompat kegirangan saat melihat Austin muncul dari pintu kedatangan. Dia memang sengaja menunggu di bandara saat suaminya itu mengatakan jika akan pulang hari ini. Sungguh, Daniella tidak dapat menahan diri lagi dengan berdiam diri di rumah saja, untuk menunggu Austin. Apalagi dia masih sedih karena Anna sudah pindah ke Vermont kemarin. "Honey, aku sangat merindukanmu." Austin langsung memeluk istrinya dengan erat. Kalau saja dia tidak ingat perut Daniella yang buncit, mungkin Austin tidak akan melepaskan istrinya sekarang. "Aku juga sangat merindukanmu." Austin melepaskan pelukannya dan langsung berjongkok di hadapan perut Daniella. Salah satu yang menjadi kebiasaannya sekarang adalah menyapa bayinya yang masih di dalam perut. "Halo, Sayang. Bagaimana kabarmu di dalam sana?" tanya Austin dengan mengusap perut Daniella. Sesekali dia menciumnya dengan gemas, hingga membuat Daniella tertawa karena geli. "Sudah, Austin. Sebaiknya kita pulang saja sekarang. Aku
Austin menyambut kedatangan Dominic dengan senang hati. Dia sengaja melakukan semua itu, sebelum kembali ke pulang ke New York. Setelah semua urusan di Sky Crystal hari ini selesai, Austin mungkin akan langsung pulang. Dia sudah tidak tahan lagi ingin bertemu dengan Daniella, setelah lebih dari satu bulan ini lebih sering menghabiskan waktunya untuk pulang pergi Vermont dan New York. "Hai, Dom. Bagaimana dengan perjalanan kalian?" Austin langsung memeluk Dominic begitu pria itu tiba. Lalu menyapa Anna yang terlihat cukup kelelahan. "Ah, kau pasti sangat kelelahan, Anna." "Hum, sedikit," jawab Anna dengan senyum tipis. "Ini perjalanan panjang setelah kehamilannya. Dia pasti sangat kelelahan, apalagi perutnya sudah semakin membesar." Austin mengerti dengan apa yang Dominic keluhkan. "Itulah sebabnya aku melarang Daniella ketika dia merengek minta ikut. Kalau begitu, ayo. Sebentar lagi hari akan gelap." Dominic dan Anna mengikuti Austin yang berjalan lebih dulu menuju mob
Dominic membawa Anna ke rumah keluarganya. Setelah rapat pagi tadi, baik Elena maupun Hamilton meminta Dominic untuk datang dan menjelaskan segalanya. Saat Dominic memberitahu Anna, awalnya dia terkejut dengan keputusan Dominic yang bahkan selama ini tidak pernah dibicarakan. Namun, Anna tidak punya pilihan lain selain menuruti apa yang sudah Dominic putuskan. Hidup di mana pun, Anna bersedia asal tetap bersama Dominic. "Kita bicara setelah makan," ujar Hamilton setelah Dominic dan istrinya tiba. Sekarang mereka duduk bersama di ruang tamu, tetapi dengan cepat Dominic menolaknya. "Bisa kita bicara sekarang saja?" Hamilton berdeham. Dia sudah mengira Dominic akan melakukan hal ini, tetapi tidak pernah berpikir jika waktunya akan secepat ini. "Kenapa tiba-tiba seperti ini? Seharusnya kita membicarakan semua ini dari jauh-jauh hari." Hamilton hanya bisa menghela napas panjang. Dia tidak tahu harus dengan cara apa lagi agar Dominic membatalkan keputusannya. "Aku jug
"Williams Group?" Anna menganggukkan kepalanya. Dia tahu sebesar apa tanggung jawab Dominic terhadap Williams Group. Untuk memutuskan tinggal di Sky Crystal selamanya, itu pasti bukan perkara mudah. Dominic tersenyum tipis, tanpa ingin menjawab rasa penasaran Anna. Pria itu justru mengusap rambut istrinya seraya berkata, "Besok kau akan tau semuanya, Sayang." *** Adam dibuat kelimpungan pagi ini karena Dominic meminta diadakannya rapat dengan para pemegang saham secara mendadak. Dia tidak tahu apa yang Dominic ingin sampaikan sampai harus mengadakan rapat mendadak seperti ini. Seluruh pemegang saham Williams Group diwajibkan hadir. Ada Hamilton, Elena, Charles, dan beberapa orang lain yang tampak duduk di ruang rapat menunggu Dominic, selaku pemegang saham tertinggi sekaligus pemimpin di Williams Group saat ini. Berbagai gonjang-ganjing mulai terdengar di setiap sudut perusahaan karena rapat mendadak yang tiba-tiba saja Dominic lakukan. Semua spekulasi muncul,