LAMARAN YANG TERTOLAK
“Yumna,” teriak ayah dengan wajah memerah. Aku menelan ludahku dengan sangat kasar. Bukan Cuma kali ini ayah mengamuk. Hampir setiap proses pelamaran pasti ayah mengamuk. Wajah jika orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya. Namun versi terbaik untukku dan juga untuk ayah pastilah berbeda. Aku bukan perempuan sempurna, itu yang kadang ayah lupa tentangku. Sedangkan aku selalu terkurung pada masa lalu yang aku sembunyikan. Masa lalu yang aku kuur dalam-dalam dan tidak pernah erniat untuk mengenangnya kembali. Bagiku tidak ada pelajaran yang bisa aku ambil di masa lalu.
Aku menarik nafas berat. Menatap satu persatu orang-orang yang memandangku dengan tatapan benci. Di mata mereka aku pasti terkesan sombong. Memiliki wajah cantik, harta dan juga pekerjaan yang mapan. Mungkin menurut mereka, itulah alasanku menolak lamaran tersebut.
“Jangan jadi pemilih,’ kata perempuan bersanggul dengan kebaya biru yang belakangan aku ketahui bahwa itu ibu Andre lelaki yang melamarku. “Ini kesempatan terakhirmu. Semua teman seusiamu sudah menikah bahkan mereka sudah sibuk memikirkan mengenai sekolah anak mereka. Tidak sepertimu yang masih meributkan pernikahan,” lanjut perempuan itu.
“Bagaimana dengan putra anda?” tanyaku dengan dagu terangkat. Aku menyesali sikapku tetapi aku juga tidak ingin diremehkan hanya karena aku belum menikah.
“Dia seorang duda. Istrinya meninggal setelah melahirkan,” jawab perempuan itu dengan bangga.
“what?” teriakku dengan mata melotot dan mulut mengangga. Apa ini tidak salah? Apakah menurut mereka aku sudah terlalu putus asa sehingga menerima lamaran siapa saja yang datang?
“Tidak. Aku tidak mau,” teriakku lalu meninggalkan ruang tamu. Aku berbalik sekejap. Kembali mengedarkan pandangan pada orang-orang yang hadir. Ayah sudah berdiri dan dengan wajah marah ingin menerkamku, untung ibu saat itu berusaha untuk tenangkan ayah.
“Sok cantik.”
“Pemilih.”
“Jadi perawan tua baru tahu rasa,” begitulah kira-kira kata-kata pedas yang mereka katakan tentangku. Dan aku hanya bisa menghembuskan nafas berat mendengarnya. Aku lalu berbalik masuk ke kamarku kemudian menghempaskan pintu kamar dengan saangat kasar. Aku bersandar di pintu kamarku. Lalu tanpa aku sadari air mata mengalir di pelupuk mataku. Aku sudah lelah bertopeng menjadi orang yang sangat kuat dan hebat. Di depan orang-orang aku terlihat sangat sombong namun itu hanya untuk menutupi kekuranganku. Aku pun ingin seperti yang lain, menyempurnakan hidupku dengan pernikahan tetapi tidak mudah bagiku untuk melangkah memasuki gerbang pernikahan. Harus ada yang aku lewati, seperti bara api yang siap membakarku hidup-hidup. Jika aku tidak bisa melompati bara api itu maka seumur hidup aku harus berjalan diatas bara api, menghadapi pernikahanku yang mungkin lebih buruk dari neraka. Namun jika aku bisa melompat, seperti kaset cd yang bisa dipercepat tanpa harus melewati bara api itu, maka aku yakin, aku akan bisa hidup bahagia dan menikmati pernikahanku seperti surga dunia.
Lututku bergetar, seakan tidak mampu menahan berat badanku. Perlahan tubuhku ambruk diatas karpet merah kamarku. Aku tergugu. Menangis tanpa suara begitu sangat berat bagiku. Menyembunyikan dari semua orang akan rasa sakitku. Tampak baik-baik saja bahkan terkesan sombong di depan orang lain. Aku lupa menjadi diriku sendiri. Aku lupa menjadi orang baik. Aku hanya tahu melindungi diriku sendiri meski di mata orang itu sebuah keburukan. Hanya aku yang tahu rasa ini. Hanya aku yang paham bagaimana bisa bersikap seperti ini. Karena hanya aku yang mengalaminya sedangkan mereka hanya bisa menilai aku dari luarnya saja._..._
Aku mengaduk-aduk isi piringku. Di depanku sudah duduk paman saudara ayahku. Sedangkan yang lainnya duduk di ruang keluarga yang tidak jauh dari ruang makan seakan siap mencuri dengar pembicaraan kami tanpa mau ikut berkomentar. Ayah sendiri terlihat sangat gelisah namun aku bisa memastikan ayah kali ini tidak akan ikut campur.
“Makanlah nak,” kata Paman Umar. Aku hanya memandangnya sebentar lalu kembali menatap piringku sambil terus mengaduknya.
“Apabila seseorang yang kalian ridhai agamanya dan akhlaknya datang kepada kalian untuk melamar (wanita kalian). Maka hendaknya kalian menikahan orang tersebut (dengan wanita kalian). Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan menjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar hadis riwayat Tirmidzi,” jelas Pamar Umar padaku.
“Apakah paman sudah tahu seperti apa agama orang-orang yang datang melamarku?” tanyaku lembut.
“Dia selalu membantah,” teriak ayah dengan berdiri dari duduknya. Ibu mendekati ayah, menenangkannya dengan mengelus lembut pundak ayah hingga ayah kembali duduk. Paman tidak bisa berbuat banyak, selain karena ayah itu kakanya, juga karena menurutnya ayah yang lebih pantas menasehatiku ketimbang yang lain. Paman akan turun tangan saat ayah sendiri memintanya.
“Kau bukan gadis seperti itu Yumna,” kata paman lembut. Namun aku tahu bahwa paman ingin menegaskan sesuatu hingga menyebut namaku.
“Hanya untuk urusan pernikahan saja, Yumna akan membantah paman. Selama ini Yumna selalu menuruti keinginan ayah. Bahkan kuliah dan kerja sesuai dengan keinginan ayah,” tuturku dengan manik yang tidak bisa aku bendung. Aku melirik sekilas ke arah ayah, dia terlihat merasa bersalah, gelisah dan tertunduk. Aku tidak pernah bermaksud untuk mempermalukan ayah. Hanya saja aku butuh membela diri.
“Pernikahan bukanlah sebuah permainan. Apalagi dengan apa yang pernah menimpaku. Jadi wajar jika aku menyeleksi,” kataku. Paman mengangguk setuju.
“Tapi pilihlah ketika lelaki itu sudah bagus agamnya,” kata Pamanku.
“Bukankah selama ini yang datang melamar adalah teman-temanku di bangku SMU dan perguruan tinggi? Orang-orang yang paman dan lainnya tidak tahu agamanya,” kataku.
“Kalau begitu akan aku pilihkan lelaki yang baik untukmu,” kata Ayah. Aku hanya terdiam. Menarik nafas berat. Semua orang menatapku, memintaku untuk segera menjawab. Aku tersenyum melihat wajah deg-degan mereka. Aku tidak pernah menyangka hanya untuk urusan pribadiku mereka rela berpusing-pusing memikirkannya. Baru aku sadari bahwa mereka sangat menyayangiku. Inginkan yang terbaik untukku. Tiba-tiba air mataku tidak bisa aku bendung lagi. Aku teriak menangis membuat semua orang tercengang. Untuk pertama kalinya aku merasa mereka sangat mencintaiku. Tidak ada yang berbisik, apalagi melangkah maju untuk menenangkanku. Ibu malah tersenyum melihat tingkahku. Usiaku sudah 30 tahun tetapi aku masih seperti anak-anak yang menangis meraung kala apa yang diinginkannya tidak dipenuhi oleh orang tuanya.
“aaaaaa” teriakku terus menangis. Ku biarkan air mata yang terus menetes mengalir membuat aliran deras di pipiku. Pamanpun terlihat tersenyum saat sekali-kali aku membuka mata memperhatikan orang di sekitarku.
Sudah lima belas menit aku menangis meraung. Kini yang tersisa hanyalah isakan tangis dan bahuku yang sesekali terangkat karena sisa tangis itu. Kemudian tiba-tiba ruang keluarga jadi heboh dengan tawa orang-orang yang sayang padaku.
“Pilihkan yang terbaik untukku,” kataku malu kemudian bangkit dari dudukku. Dengan tawa yang aku sembunyikan aku berlari masuk ke kamarku. Masih bisa aku dengar tawa mereka dari balik pintu kamarku. Aku menjatuhkan tubuhku di atas tempat tidur, menelungkuh ke kasur menyembunyikan wajahku yang malu dengan tingkahku sendiri.
Dan disinilah aku. Mematut diri di depan cermin. Memakai lipglos untuk melembatkan bibirku. Menatap ulang jilbab hijau muda dengan lapisan brokat. Serta memutar badanku memperhatikan gamis dengan warna senada dengan jilbabku. Sekali lagi aku menatap wajahku. Aku sedikit tersenyum mendapati tidak ada kerutan disana. Tetap terlihat awet muda seperti gadis belia karena alasan ini pula aku tidak terlalu takut jika belum menikah. Toh aku masih terlihat sangat muda.“Sudah nak, kamu itu sudah cantik,” kata ibu memeluk pundakku dari belakang. Aku hanya tersenyum meski tahu kalau seorang ibu selalu menganggap anaknya sangat cantik. Aku berbalik kemudian memeluk ibu. ada sedikit debaran dibalik dadaku. Kali ini aku berharap bisa menikah. Kali ini aku yakin orang tuaku dan orang-orang yang sayang padaku sudah menyingkirkan bara api yang selama ini menghadang di depan mataku.“Begini saja. Sebentar bu. Aku butuh ketenangan,”kataku saat ibu ingin melerai pe
Aku berdiri di dermaga sambil menatap jauh ke laut. Sudah lama tempat pariwisata ini tutup sejak pergantian kepala daerah. Sangat sayang menurutku meski begitu masih banyak pengunjung yang datang meski tempat ini sudah tidak terawat. Dermaga ini menjadi tempat bersandarnya kapal-kapal kecil yang akan mengantarkan ke pulau seberang. Masih dipakai oleh penduduk seberang yang ingin ke kota.Aku lalu menatap langit yang berwarna biru bersih dari awan, menutup mataku demi merasakan angin laut yang menjamah tubuhku. Aku tersenyum bahagia.“Woi,” teriakkan Julian menghancurkan semuanya. Aku membuka mataku dan menatap tajam ke arah Julian yang sedang cengegesan dan tertawa di dekatku.“Assalamu alaikum,” bisik Julian.“Walaikum salam,” jawabku.“Jangan membatalkan pernikahan hanya karena aku masih muda,” kata Julian seakan membaca pikiranku. “Aku tahu itu alasanmu untuk mengajakku bertemu sebelum orang
“Saya terima nikah dan kawinnya Yumna binti Abidin dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai,” lafads ijab qabul Julian begitu mantap dan tegas.“Sah...” teriak semua orang yang hadir di resepsi pernikahan kami. Aku mencium punggung tangan Julian. Dia tersenyum manis. Memebelai lembut ujung jilbabku kemudian mencium keningku. Semua teriak. Julian dan aku tertawa malu malu. Kemudian kami berpindah ke pelaminan.Julian duduk tepat di sampingku, terkadang mencungkil kakiku dengan kakinya, aku menatapnya tajam dan dia mengalihkan tatapannya. Julian merapatkan tubuhnya ke arahku membuatku menarik diri memberikan jarak pada kami. dia terus mendekat hingga aku hampir terjatuh, Julian dengan cekatan menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Lagi-lagi gemuruh tawa memenuhi gedung pernikahan kami. aku menggeleng tidak percaya dengan tingkah Julian. Aku mendorong tubuhnya. Perlahan tubuhku terangkat dan kembali duduk.“Aku suamimu, aka
“Dia Masih muda. Masih labil. Aku harus pahami keadaannya. Aku juga pernah ada di posisinya,” kataku pada diri sendiri. Aku menatap pantulan wajahku di cermin, baju pengantinku kini sudah berganti dengan baju piyama lengan panjang yang berbahan dasar kaos. Dari dalam cermin aku bisa melihat wajah Julian yang sedang membuka pintu kamar. Dia juga sudah berganti pakaian. Dengan senyum aneh dia berjalan ke arahku. Menatap mataku lewat pantulan cermin. Julian semakin mendekat dan aku tidak punya niat untuk berbalik meski hanya sekedar untuk menatapnya.Julian meletakkan dagunya di pundakku. Aku bergerak untuk menggesernya namun dengan sigap dia menahan tubuhku. Aku hanya mendesah kesal.“Kamu sudah mengirim surat pengunduran dirimu?” rungut Julian. Aku menggeleng lalu pura-pura sibuk menghapus make up dengan alkohol di wajahku.“Kenapa?” tanya Julian masih dengan gaya manjanya.“Karena aku tidak perlu mengundurkan diri
Aku membuka pintu rumah dengan kasar. Tanpa membuka sepatu aku langsung masuk ke kamar bersiap untuk mengemasi barang-barangku. Lalu tiba-tiba aku sadar bahwa semalam aku datang bahkan tanpa membawa barang apapun. Julian begitu sempurna menyiapkan segalanya. Aku bahkan bermimpi kehidupan rumah tanggaku akan terus sempurna. Nyatanya di hari pertama pernikahan aku bahkan harus bersiap menyandang status janda.Aku menarik nafas berat kemudian menjatuhkan bokongku di atas tempat tidur. Mengusap kasar rambutku ke belakang. Pandanganku menatap ke lantai hingga aku tersentak menemukan langkah seseorang yang semakin mendekat. Aku mendongak menatap Julian yang marah. Aku memalingkan wajahku.“Perpisahan bukanlah sebuah penyelesaian,” bentak Julian.“Kau pikir lari dari masalah dan mengadu pada Mami adalah sebuah penyelesaian,” kataku dengan tawa sinisku yang membuat raut wajah Julian menahan marah.“Kau yang berbohong padaku,” b
Aku tergopoh-gopoh membawa barang belanjaanku. Meski swalayan hanya berjarak 100 meter tetapi aku takut saat sibuk bekerja sehingga tidak sempat untuk belanja. setidaknya barang dalam jinjinganku ini bisa mencukupi selama sebulan ke depan.Langkahku terhenti tepat di depan gerbang. Gelak tawa dari dalam rumah begitu menggema. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling rumah. Di garasi terparkir beberapa motor. Aku yakin Julian sedang mengajak temannya berkunjung ke rumah. Aku menarik nafas berat berusaha memaklumi sikapnya. Sedikit berfikir bijak bahwa dia bersedia melepas masa lajangnya di usia muda. Di usia dimana dia masih bisa menikmati kesendirianya.Aku melangkah masuk ke dalam rumah, melihat sepatu berserakah. Aku jongkok untuk menyusunnya di rak sepatu meski mereka hanya tamu dan mungkin sebentar lagi akan pulang.“Cari siapa tante?” tanya pemuda yang memakai sweeter hoodi berwarna kuning.“Siapa Doni?” ku lihat satu persatu
Mami Angel sedang bersantai di ruang nonton saat aku dan Julian masuk ke dalam rumah. Mami Angel sangat bahagia melihat kami berdua ada di rumahnya. Aku sedikit sedih jika mengingat kedatanganku untuk menghilangkan wajah bahagia di wajah Mami Angel.“Papi kemana Mami?” tanya Julian kemudian duduk di sofa depan TV. Aku sendiri memutuskan ke dapur untuk mengambil buah dan mengupasnya sebagai cemilan.“Lagi keluar negeri,’jawab Mami Angel.“Mami hadir saat aku menikah dulu? Sebelum menikah dengan Julian?” tanyaku hati-hati setelah bergabung dengan Julian dan Mami Angel.“Apa sih. Kok dibahas lagi?” bentak Julian.“Tidak sih. Tetapi Mami denger kok beritanya dari teman-teman Mami,” ujar Mami.“Kenapa tidak memberitahu Julian?” tanyaku berusaha menahan air mata yang hampir mengalir di pipiku.“Karena menurut mami.. itu masa lalu kamu. Julian tidak perlu tahu. Lag
Julian menggeliat. Aku tersenyum melihatnya. Perlahan matanya terbuka dan tersenyum melihatku di sampingnya. Julian menyentuh wajah tirusku.“Aku tidak sedang mimpikan?” tanyanya. Aku mengangguk dengan air mata berlinang. Julian menghapus air mataku, lalu duduk bersandarkan kepala tempat tidur kami. aku duduk semakin mendekat ke arahnya. Julian meraih kepalaku lalu meletakkannya di bahuku.“Sekali-kali, aku ingin istriku manja padaku. Jangan aku terus yang bermanja padamu. Sekali-kali aku ingin kau berbagi beban denganku. Bukan aku terus yang membebanimu,” kata Julian. Aku mengangguk.“Jangan pernah meminta pisah. Apapun masalah kita tidak akan pernah selesai dengan kabur apalagi dengan kata cerai. Tetap bersamaku, hadapi masalah bersama dan mencari solusi. Bukannya kabur setelah mengatakan kata cerai, aku ketakutan,” kata Julian. Aku mengangguk kemudian mendongak untuk menatapnya. Baru saja dia ingin bicara, langsung ku sentu