“Saya terima nikah dan kawinnya Yumna binti Abidin dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai,” lafads ijab qabul Julian begitu mantap dan tegas.
“Sah...” teriak semua orang yang hadir di resepsi pernikahan kami. Aku mencium punggung tangan Julian. Dia tersenyum manis. Memebelai lembut ujung jilbabku kemudian mencium keningku. Semua teriak. Julian dan aku tertawa malu malu. Kemudian kami berpindah ke pelaminan.
Julian duduk tepat di sampingku, terkadang mencungkil kakiku dengan kakinya, aku menatapnya tajam dan dia mengalihkan tatapannya. Julian merapatkan tubuhnya ke arahku membuatku menarik diri memberikan jarak pada kami. dia terus mendekat hingga aku hampir terjatuh, Julian dengan cekatan menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Lagi-lagi gemuruh tawa memenuhi gedung pernikahan kami. aku menggeleng tidak percaya dengan tingkah Julian. Aku mendorong tubuhnya. Perlahan tubuhku terangkat dan kembali duduk.
“Aku suamimu, akan melakukan apapun untuk melindungimu,”kata Julian dengan alis terangkat. Aku tersenyum, senang digombalin oleh suamiku sendiri.
“Aku lelah,” bisiknya. Aku mengangguk mengiyakan bahwa apa yang dia rasakan juga aku rasakan. Tanpa disuruh Julian memijit lembut pelipisku. Suit-suit dan candaan kembali bergemuruh. Aku menepis tangan Julian karena malu diperlakukan seperti itu. Lagi-lagi aku mulai paham, bunga-bungan dan kupu-kupu yang menari-nari di sekitarku karena perlakuan Julian sudah membuktikan bahwa aku mulai jatuh cinta padanya. Menerimanya sebagai seorang suami dalam kehidupanku._...._
Sudah dua jam kami duduk lalu berdiri setiap kali ada tamu yang datang. Julian terlihat lesu, dia menatapku penuh dengan permohonan. Aku mengalihkan tatapanku. Dia menarik lengan bajuku dan memaksaku untuk menatapnya.
“Aku sangat lelah,” bisiknya. Aku hanya mengangguk kemudian bersalaman dengan para tamu.
“Foto yuk,” ajak tamu undangan.
“Aku malas foto. Sudah banyak foto kami. sejak tadi kam sudah berfoto,” jawab Julian ketus. Aku tendang tulang keringnya, dia meringis kesakitan dan balas menendangku.
“Apa-apaan kalian ini,” bentak Bu Angel. Aku hanya diam. Ku pikir Julian akan mengadu melihat posisiku yang salah dengan menendangnya lebih dulu. Dia hanya cemberut lalu memalingkan wajahnya. Aku tersenyum, dia benar-benar sudah dewasa dengan menyembunyikan masalah yang kami hadapi.
“Aku lelah,” kata Julian menjatuhkan tubuhnya di atas kuris. Aku ikut duduk di sampingnya. Dia meletakkan tangannya diatas pahuku. Aku tersentak kaget, aku berusaha tenangkan perasaannku kemudian mengangkat perlahan tangan Julian. Julian tertunduk tidak ada perlawanan. Saat aku amati secara seksama ternyata dia tertidur.
Aku berdiri menyalami para tamu. Sejenak ku biarkan Julian beristirahat. Melihatnya begitu kelelahan aku meminta izin untuk isitahat pada ibu.
“Jangan sekarang. Para tamu jauh baru datang. Kau sendiri yang inginkan akad nikahmu dihadiri hanya orang-orang terdekat saja. Sekarang para tamu ingin berbagi kebahagiaan denganmu. Jadi tolong layani mereka dengan benar. Dan bangunkan suamimu itu,” tunjuk ibu dengan bibirnya pada Julian yang terlelap.
“Bangun,” bisikku dan menyikut tubuh Julian. Julian terbangun dan menatapku dengan tatapan kosong.
“Ayo kita kawin lari saja,” bisik Julian.
“Kita sudah menikah, untuk apa kawin lari,” kataku dengan tatapan tajam ke arahnya.
“Kalau begitu kita kabur dari pelaminan,” katanya asal.
“Sebenarnya apa yang kau lakukan semalam hingga kau ngantuk seperti ini?” tanyaku heran. Julian nyengir.
“Aku tidak bisa tidur,” jawab Julian polos. Aku tersenyum, akupun mengalami hal yang sama. Sejak semalam mataiku tidak bisa terlelap. Bahkan sampai saat ini aku belum pernah tidur meski hanya sekejap. Mungkin karena gugup sebab hari ini pernikahanku.
“Kau gugup?” tanyaku. Julian menggeleng.
“Aku tidak gugup. Untuk apa gugup,” jawabnya kemudian menguap dengan telapak tangan yang menutup mulutnya.
“Lalu kenapa kau tidak bisa tidur?” tanyaku penasaran.
“Aku harus menyelesaikan game yang akan risil hari ini. 19 november. Tepat di hari pernikahan kita. Sebagai hadiah pernikahan,” jawabnya tanpa rasa bersalah sedikitpun. Aku menginjak ujung kakinya. Julian meringis memegangi ujung kakinya.
“Wanita bar bar,” katanya penuh dengan penekanan. Untung saja suara musik yang begiu menggema di gedung pernikahan kami mampu menyamarkan pertengkaranku dengan Julian.
“Kau kenapa jadi KDRT begini sih,” kata Julian setelah rasa sakit di ujung kakinya menghilang. Kami kembali duduk setelah tamu yang datang sudah mulai berkurang.
“Julian” teriak Claro di ujung gedung bahkan mengalahkan suara musik. Semua tersentak dan menatap ke arah Claro. Bahkan musik sengaja di hentikan hanya untuk melihat tingkah Claro selanjutnya. Bukannya panik Julian malah tersenyum jahil.
“Bukannya kau sudah menyelesaikan masalahmu dengannya?” bisikku.
“Dia tidak pernah mau jauh dariku, padahal kami tidak punya hubungan apa-apa. Bahkan aku tidak pernah menyatakan cinta padanya, dia saja yang mengaku sebagai pacarku,” jelas Julian sambil melirik Claro yang berjalan gontai ke arah kami. tangis Claro pecah saat berhenti di hadapan kami. Claro ingin memeluk Julian namun dengan sigap aku halangi. Julian tersenyum penuh kemenangan.
“Dia itu mungkin kekasihmu tetapi aku adalah istrinya. Aku lebih berhak atas dia,” jelasku. Claro menatap Julian lekat-lekat. Aku menarik Julian untuk bertukar posisi sehingga Claro sulit untuk mendekatinya.
“Nak Claro, ayu pulang,” bujuk Bu Angel. Bu Angel dan beberapa emak-emak lainnya menarik Claro untuk turun dari pelaminan. Kembali musik menggema dan yang lain beraktifitas seperti sebelumnya. Julian menarik nafas lega.
“Masalah seperti ini saja tidak bisa kau selesaikan,” kataku.
“Dia terobsesi denganku,” kata Julian.
“Ajak suamimu untuk istirahat,” kata Ibu. aku mengangguk.
“Jangan marah- dia lelah tidak hanya tubuhnya tetapi juga psikisnya,” kata ayah membuatku heran. Bukankah harusnya mereka berdua marah? Pesta pernikahan yang awalnya sempurna kini hancur berkeping-keping dengan kehadiran Claro. Meski tidak menyebabkan keributan namun sedikit banyaknya akan jadi bahan gosip. Orang-orang akan membahas aku sebagai perebut kekasih orang. belum lagi melihat betapa cantiknya Claro yang sepadang dengan tampannya seoanrag Dwi Julian.
“Apa yang ada dipikiranmu Julian?” bentakku pada Julian saat tiba di dalam mobil yang akan mengantar kami ke rumah baru kami.
“Sejak tadi aku diam,” bentak Julian. “Aku ini suamimu dan kau selalu bersikap kasar padaku,” lanjut Julian.
“Buat aku menghargaimu,” kataku dengan nada suara lembut namun Julian bisa melihat amarah di mataku.
“Acara pernikahan kita sudah sempurna sampai Claro datang mengacaukannya,” kataku.
“Tidak ada pernikahan yang sempurna. Harusnya kau tidak berlebihan seperti ini. Apalagi Claro tidak membuat kekacauan,” bela Julian.
“Tetapi tangisnya sudah cukup membuat para tamu undangan menilai hubungan kalian,” teriakku.
“Kenapa kau selalu memikirkan apa yang orang pikirkan tentangmu?” bentak Julian kemudian mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi.
“Julian hati-hati,” teriakku sambil pegangan saat aku melihat jarum kecepatan mobil menunjuk angka 100. Sudah terprediksi olehku akan seperti ini rumah tangga kami. tetapi aku tidak menyangka akan secepat ini. Di hari pernikahan kami, harusnya kami berbahagia namun nyatanya seperti ini. Pertengkaran. Pernikahan kami dimulai dengan perdebatan._..._
“Dia Masih muda. Masih labil. Aku harus pahami keadaannya. Aku juga pernah ada di posisinya,” kataku pada diri sendiri. Aku menatap pantulan wajahku di cermin, baju pengantinku kini sudah berganti dengan baju piyama lengan panjang yang berbahan dasar kaos. Dari dalam cermin aku bisa melihat wajah Julian yang sedang membuka pintu kamar. Dia juga sudah berganti pakaian. Dengan senyum aneh dia berjalan ke arahku. Menatap mataku lewat pantulan cermin. Julian semakin mendekat dan aku tidak punya niat untuk berbalik meski hanya sekedar untuk menatapnya.Julian meletakkan dagunya di pundakku. Aku bergerak untuk menggesernya namun dengan sigap dia menahan tubuhku. Aku hanya mendesah kesal.“Kamu sudah mengirim surat pengunduran dirimu?” rungut Julian. Aku menggeleng lalu pura-pura sibuk menghapus make up dengan alkohol di wajahku.“Kenapa?” tanya Julian masih dengan gaya manjanya.“Karena aku tidak perlu mengundurkan diri
Aku membuka pintu rumah dengan kasar. Tanpa membuka sepatu aku langsung masuk ke kamar bersiap untuk mengemasi barang-barangku. Lalu tiba-tiba aku sadar bahwa semalam aku datang bahkan tanpa membawa barang apapun. Julian begitu sempurna menyiapkan segalanya. Aku bahkan bermimpi kehidupan rumah tanggaku akan terus sempurna. Nyatanya di hari pertama pernikahan aku bahkan harus bersiap menyandang status janda.Aku menarik nafas berat kemudian menjatuhkan bokongku di atas tempat tidur. Mengusap kasar rambutku ke belakang. Pandanganku menatap ke lantai hingga aku tersentak menemukan langkah seseorang yang semakin mendekat. Aku mendongak menatap Julian yang marah. Aku memalingkan wajahku.“Perpisahan bukanlah sebuah penyelesaian,” bentak Julian.“Kau pikir lari dari masalah dan mengadu pada Mami adalah sebuah penyelesaian,” kataku dengan tawa sinisku yang membuat raut wajah Julian menahan marah.“Kau yang berbohong padaku,” b
Aku tergopoh-gopoh membawa barang belanjaanku. Meski swalayan hanya berjarak 100 meter tetapi aku takut saat sibuk bekerja sehingga tidak sempat untuk belanja. setidaknya barang dalam jinjinganku ini bisa mencukupi selama sebulan ke depan.Langkahku terhenti tepat di depan gerbang. Gelak tawa dari dalam rumah begitu menggema. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling rumah. Di garasi terparkir beberapa motor. Aku yakin Julian sedang mengajak temannya berkunjung ke rumah. Aku menarik nafas berat berusaha memaklumi sikapnya. Sedikit berfikir bijak bahwa dia bersedia melepas masa lajangnya di usia muda. Di usia dimana dia masih bisa menikmati kesendirianya.Aku melangkah masuk ke dalam rumah, melihat sepatu berserakah. Aku jongkok untuk menyusunnya di rak sepatu meski mereka hanya tamu dan mungkin sebentar lagi akan pulang.“Cari siapa tante?” tanya pemuda yang memakai sweeter hoodi berwarna kuning.“Siapa Doni?” ku lihat satu persatu
Mami Angel sedang bersantai di ruang nonton saat aku dan Julian masuk ke dalam rumah. Mami Angel sangat bahagia melihat kami berdua ada di rumahnya. Aku sedikit sedih jika mengingat kedatanganku untuk menghilangkan wajah bahagia di wajah Mami Angel.“Papi kemana Mami?” tanya Julian kemudian duduk di sofa depan TV. Aku sendiri memutuskan ke dapur untuk mengambil buah dan mengupasnya sebagai cemilan.“Lagi keluar negeri,’jawab Mami Angel.“Mami hadir saat aku menikah dulu? Sebelum menikah dengan Julian?” tanyaku hati-hati setelah bergabung dengan Julian dan Mami Angel.“Apa sih. Kok dibahas lagi?” bentak Julian.“Tidak sih. Tetapi Mami denger kok beritanya dari teman-teman Mami,” ujar Mami.“Kenapa tidak memberitahu Julian?” tanyaku berusaha menahan air mata yang hampir mengalir di pipiku.“Karena menurut mami.. itu masa lalu kamu. Julian tidak perlu tahu. Lag
Julian menggeliat. Aku tersenyum melihatnya. Perlahan matanya terbuka dan tersenyum melihatku di sampingnya. Julian menyentuh wajah tirusku.“Aku tidak sedang mimpikan?” tanyanya. Aku mengangguk dengan air mata berlinang. Julian menghapus air mataku, lalu duduk bersandarkan kepala tempat tidur kami. aku duduk semakin mendekat ke arahnya. Julian meraih kepalaku lalu meletakkannya di bahuku.“Sekali-kali, aku ingin istriku manja padaku. Jangan aku terus yang bermanja padamu. Sekali-kali aku ingin kau berbagi beban denganku. Bukan aku terus yang membebanimu,” kata Julian. Aku mengangguk.“Jangan pernah meminta pisah. Apapun masalah kita tidak akan pernah selesai dengan kabur apalagi dengan kata cerai. Tetap bersamaku, hadapi masalah bersama dan mencari solusi. Bukannya kabur setelah mengatakan kata cerai, aku ketakutan,” kata Julian. Aku mengangguk kemudian mendongak untuk menatapnya. Baru saja dia ingin bicara, langsung ku sentu
"Aku mohon jangan pergi," rengek Julian sambil terus menarik lenganku."Inilah salah satu alasan aku menolal menikah. menyatukan dua otak berbeda itu sungguh sulit," kataku. "jadi kau menyesal menikah denganku?" rajuk julian. "jangan mengalihkan pembicaraan," bentakku. Julian mencibir."Ternyata seperti ini rasanya menikah," kata Julian kemudian tertawa bahagia."apa yang kau tertawakan?" bentakku."Rasanya nanonano," kata Julian. aku menarik nafas berat, sulit untuk berbicara dengan Julian. Aku menarik Julian ke sofa. dia cengegesan. "Apa yang kau inginkan?" bentakku pada Julian."bersamamu selamanya," kata Julian cenggesan. "tua sama-sama,""Itu hal yang mustahil," kataku.Julian menatapku tajam."Jika sikapmu masih seperti ini. maka pernikahan hingga akhir hayat itu mustahil," bentakku. Julian tertunduk sedih."Kalau begitu kita buat kesepakatan," kataku."Nikah kontrak maksudmu?" teriak Julian membuatku terkejut."bukan," kataku."Lalu?" tanya Julian."Syarat untuk tinggal ber
Aku menatap jengkel ke arah Julian yang terlelap di sofa. Claro tersenyum penuh kemenangan. Sekarang aku baru sadar bahwa dunia kami begitu berbeda. Aku meniinggalkan ruang tamu. memilih untuk istirahat di kamar. merenungi keputusanku yang mungkin salah karena menikahi bocah yang 10 tahun lebih muda dariku.Aku menarik nafas berat. Aku merasa lapar. aku memutuskan ke dapr. namun saat aku keluar kamat. Aku menyaksikan Claro bergelayut manja dilengan Julian. Aku lelah dengan semua ini. Julian tersenyum ke arahku, seakan tidak terjadi sesuatu. aku mengalihkan pandanganku. lalu berjalan menuju dapur. aku hanya membuat mie instant untuk menganjal perutku. tiba-tiba Julian datang saat aku tengah menikmati mie instant buataku."Buatku mana," kata Juian penuh semangat. aku menatap tajam ke arah Julian yang cengegesan. disaat bersamaan Claro datang."Kita makan diluar saja," kata Claro."Ayo," kata Julian tanpa peduli dengan perasaanku."Bukankah kalian akan berpisah?" tanyaku menghentikan la
Daichi-kun anak seorang konglomerat bernama Arata-san. Arata-san terkenal sangat disiplin, tidak peduli anak sendiri pasti harus ikut aturan kalau sudah urusan pekerjaan. Daichi-kun baru lulus kuliah dari luar negeri dan akan segera bekerja dengan di perusahaan ayahnya. Daichi-kun bersemangat berangkat pertama hari kerjanya karena ia ingin menunjukkan ia layak jadi pewaris perusahaan. Jangan sampai kakak tirinya, Akemi-kun diangkat jadi pewaris.Daichi-kun berangkat terburu-buru ke kantor. Naik Bus. Arata-san tidak memperbolehkan bawa mobil supaya tahu rasanya berjuang di hari pertama kerja. Daichi-kun kesal juga tapi tidak bisa membantah. Saat asyik mengejar sebuah angkot, Daichi-kun malah bertabrakan dengan seorang cewek penjual bubur gerobak, yang lagi bawa seamangkok bubur. Bubur sukses melumuri baju putih Daichi-kun . Daichi-kun marah-marah, tapi si cewek juga marah menuduh Daichi-kun yang nggak lihat jalan. Keduanya ribut di tengah jalan, sampe akhirnya si cewek sadar ge