Mami Angel sedang bersantai di ruang nonton saat aku dan Julian masuk ke dalam rumah. Mami Angel sangat bahagia melihat kami berdua ada di rumahnya. Aku sedikit sedih jika mengingat kedatanganku untuk menghilangkan wajah bahagia di wajah Mami Angel.
“Papi kemana Mami?” tanya Julian kemudian duduk di sofa depan TV. Aku sendiri memutuskan ke dapur untuk mengambil buah dan mengupasnya sebagai cemilan.
“Lagi keluar negeri,’jawab Mami Angel.
“Mami hadir saat aku menikah dulu? Sebelum menikah dengan Julian?” tanyaku hati-hati setelah bergabung dengan Julian dan Mami Angel.
“Apa sih. Kok dibahas lagi?” bentak Julian.
“Tidak sih. Tetapi Mami denger kok beritanya dari teman-teman Mami,” ujar Mami.
“Kenapa tidak memberitahu Julian?” tanyaku berusaha menahan air mata yang hampir mengalir di pipiku.
“Karena menurut mami.. itu masa lalu kamu. Julian tidak perlu tahu. Lagian Julian mencintaimu sejak kecil. Pasti bisa terima apapun keadaanmu,” jelas Mami.
“Masalahnya udah kelar. Kenapa dibahas lagi sih?” bentak Julian.
“Jadi tadi Julian mengamuk karena itu?” tanya Mami seakan tidak peduli kalau Julian marah.
“Iya,” jawabku.
“Aku bisa terima apapun keadaan Yumna mam, tetapi tidak akan pernah terima jika dia berbohong padaku,” teriak Julian.
“Aku juga tidak suka kau berbohong padaku,” kataku setenang mungkin.
“Apa bohongku?” tanya Julian dengan percaya diri.
“Apa yang kau lakukan di kamar bersama Claro?” tanyaku. Mami Angel terlihat kaget.
“Sudah ku bilang dia ingin menggunakan kamar mandi,”jelas Julian.
“Aku memberimu kesempatan untuk jujur,” kataku.
“Aku sudah jujur. Apalagi yang harus aku jelaskan?” Julian masih percaya diri. Aku melangkah meninggalkan Julian dan Mami Angel. Menuju ruang baca papi dan mengambil laptopnya. Ku letakkan laptop di meja kaca depan tv lalu mematikan tv. Mami Angel mulai menepuk jidatnya sadar dengan apa yang aku lakukan. Julian hanya menatap heran hingga aku putarkan adegan tidak senonoh Julian dengan Claro. Julian langsung merebut laptop lalu membantingnya.
“Dari mana kau dapat rekaman ini?” teriak Julian. “Kau tidak percaya padaku?” bentak Julian.
“Mami yang memasangnya,” jawab Mami Angel lemas. “Mami yang memasang cctv,” jelas Mami Angel.
“Di kamar kami?” tanya Julian. Mami Angel mengangguk.
“Toh yang akan memeriksa cctv itu Yumna, bukan orang lain,” jelas Mami. Julian langsung berlutut lemas. Air matanya mengalir.
“Claro bilang ingin melepaskan ku dengan iklas jika aku bersedia ciuman untuk perpisahan kami,” jelas Julian disela tangisnya.
“Aku ingin pisah,” kataku.
“Kenapa seharian ini kau selalu meminta cerai? Apa diotakmu hanya cerai?” teriak Julian.
“Aku tidak suka lelaki yang selingkuh,” kataku sok tegar.
“Aku minta maaf. Aku salah,” bujuk Julian.
Aku bangkit dari tempat dudukku. “Aku sudah memaafkanmu. Tetapi bersamamu nyaris mustahil,” baru saja aku akan melangkah pergi tiba-tiba Julian mengcekal bahuku dan menatapku tajam.
“Kenapa perpisahan sangat mudah bagimu?” bentak Julian.
“Karena lebih mudah tanpamu dari pada harus beradaptasi dengan kehidupanmu yang liar,” jawabku dengan tegas. Mata Julian nanar, perlahan genggamannya melemah hingga akhirnya terlepas. Aku melangkah pergi. Dari luar rumah Mami Angel aku bisa mendengar tangisan histeris Mami Angel. Aku menarik nafas berat. Bohong jika aku tidak terluka dengan apa yang terjadi dalam rumah tanggaku. Namun mempertahankannya juga sulit bagiku. _..._
Langkahku terhenti tepat di depan pagar rumah orang tuaku. Di teras rumah sudah ada ibu, ayah dan Paman Umar. Mungkin mereka sudah mendapat kabar dari Mami Angel. Aku menghembuskan nafas lewat mulut. Berusaha hadapi semuanya dengan tenang lalu melangkah maju ke depan. Ayah langsung bangkit dari duduknya saat melihatku berada di teras. Ibu hanya mengelus lembut bahuku. Sedangkan Paman Umar menuntunku masuk ke dalam rumah.
“Tidak boleh bermain-main pada tiga hal. Pernikahan, cerai dan rujuk. Kau tahu apa hikmah kata cerai ada di tangan laki-laki?” tanya Paman Umar saat aku dan dia berada di dalam kamarku.
“Aku tidak tahu,” kataku.
“Karena laki-laki menggunakan logika. Tidak mudah untuk mengatakannya. Mereka akan berfikir matang. Beda dengan perempuan yang semuanya berlandaskan perasaan. Dan tidak memikirkan hari esok. Yang ada hanya menuruti ego. Jika pisah ya pisah saja. Tidak memikirkan besok mungkin menyesal,” kata Paman Umar. Aku mengangguk tanpa sadar setuju dengan kata-kata Paman. Paman Umar terlihat tersenyum. aku sendiri merasa malu dengan sikapku. Aku sebenarnya menyesal harus pisah dengan Julian. Tidak bisa aku memungkiri bahwa aku sudah mencintai suamiku. Tetapi jika aku biarkan, maka Julian akan bertingkah seperti itu selamanya. Tidak akan ada perubahan dan mungkin seumur hidup aku akan terus terluka dengan tingkahnya.
“Paman tidak akan menuntut kau menceritakan semuanya. Paman tidak akan meminta kau menjelaskan masalah kalian. Paman hanya ingin kau memikirkan semuanya,” kata Paman lalu bangkit meninggalkanku sendirian dalam kamarku. _...._
Aku mengendus nafas kesal. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 02:00 dini hari tetapi mataku belum juga terpejam. Aku merindukan Julian. Hujan yang turun deras sejak awal malam membuat tubuhku dingin dan merindukan dekapan Julian. Ku peluk tubuhku sendiri lalu mengeratkan selimutku namun itu tidak memberikan perubahan pada rasa dingin yang aku rasakan. Ku kibaskan selimut dan menghempaskannya ke lantai. Aku lalu bangkit dari tidurku, berjalan mendekati jendela. Membuka sedikit tirai jendela dan menatap keluar ke jalanan. Sret... jantungku berhenti berpacu. Disana ada seseorang yang begitu sangat aku rindukan. Seseorang yang selama beberapa hari ini menganggu kehidupanku namun memberikan rasa nyaman.
Di depan pagar rumah, tanpa sepatah katapun Julian hujan-hujanan menatap ke jendela kamarku. Aku bisa menyaksikan ada derita di wajahnya. Aku menelan air liurku dengan kasar. Aku tidak akan pernah tega melihatnya seperti itu. Aku berlari keluar rumah dan tidak peduli hujan membasahiku, membuka pagar dan menarik tubuh Julian tetapi Julian tidak bergerak, bibirnya gemetar, wajahnya pucat namun berusaha untuk tersenyum, saat aku paksa untuk masuk tiba-tiba tubuhnya tumbang jatuh menimpaku. Aku hanya menangis meraung melihatnya.
“Julian... tolong... tolong..,” teriakku membangunkan orang-orang. tetangga dan keluargu berlarian keluar rumah dan menolong Julian. Membantu untuk memasukkannya ke dalam rumah.
“Apa sebaiknya kita bawa ke rumah sakit saja?” tanya Paman Umar. Sedangkan aku hanya bisa terus menangis meratapi perbuatan Julian. Entah sudah berapa lama dia diluar hujan-hujanan.
“Tunggu sampai pagi saja dulu, kalau tidak juga siuman, barulah kita bawa ke rumah sakit,” jelas ayahku. Semua setuju.
“Bawa masuk ke kamarku,” perintahku pada orang-orang. tubuh Julian kembali dibawa masuk ke kamarku. Aku mengantikan pakaian Julian lalu mengompres tubuhnya agar demamnya turun. Melihatnya seperti ini membuatku merasa bersalah. Sekaligus senang diperlakukan seperti itu. Aku mulai sadar bawah cinta Julian untukku begitu besar.
Julian menggeliat. Aku tersenyum melihatnya. Perlahan matanya terbuka dan tersenyum melihatku di sampingnya. Julian menyentuh wajah tirusku.“Aku tidak sedang mimpikan?” tanyanya. Aku mengangguk dengan air mata berlinang. Julian menghapus air mataku, lalu duduk bersandarkan kepala tempat tidur kami. aku duduk semakin mendekat ke arahnya. Julian meraih kepalaku lalu meletakkannya di bahuku.“Sekali-kali, aku ingin istriku manja padaku. Jangan aku terus yang bermanja padamu. Sekali-kali aku ingin kau berbagi beban denganku. Bukan aku terus yang membebanimu,” kata Julian. Aku mengangguk.“Jangan pernah meminta pisah. Apapun masalah kita tidak akan pernah selesai dengan kabur apalagi dengan kata cerai. Tetap bersamaku, hadapi masalah bersama dan mencari solusi. Bukannya kabur setelah mengatakan kata cerai, aku ketakutan,” kata Julian. Aku mengangguk kemudian mendongak untuk menatapnya. Baru saja dia ingin bicara, langsung ku sentu
"Aku mohon jangan pergi," rengek Julian sambil terus menarik lenganku."Inilah salah satu alasan aku menolal menikah. menyatukan dua otak berbeda itu sungguh sulit," kataku. "jadi kau menyesal menikah denganku?" rajuk julian. "jangan mengalihkan pembicaraan," bentakku. Julian mencibir."Ternyata seperti ini rasanya menikah," kata Julian kemudian tertawa bahagia."apa yang kau tertawakan?" bentakku."Rasanya nanonano," kata Julian. aku menarik nafas berat, sulit untuk berbicara dengan Julian. Aku menarik Julian ke sofa. dia cengegesan. "Apa yang kau inginkan?" bentakku pada Julian."bersamamu selamanya," kata Julian cenggesan. "tua sama-sama,""Itu hal yang mustahil," kataku.Julian menatapku tajam."Jika sikapmu masih seperti ini. maka pernikahan hingga akhir hayat itu mustahil," bentakku. Julian tertunduk sedih."Kalau begitu kita buat kesepakatan," kataku."Nikah kontrak maksudmu?" teriak Julian membuatku terkejut."bukan," kataku."Lalu?" tanya Julian."Syarat untuk tinggal ber
Aku menatap jengkel ke arah Julian yang terlelap di sofa. Claro tersenyum penuh kemenangan. Sekarang aku baru sadar bahwa dunia kami begitu berbeda. Aku meniinggalkan ruang tamu. memilih untuk istirahat di kamar. merenungi keputusanku yang mungkin salah karena menikahi bocah yang 10 tahun lebih muda dariku.Aku menarik nafas berat. Aku merasa lapar. aku memutuskan ke dapr. namun saat aku keluar kamat. Aku menyaksikan Claro bergelayut manja dilengan Julian. Aku lelah dengan semua ini. Julian tersenyum ke arahku, seakan tidak terjadi sesuatu. aku mengalihkan pandanganku. lalu berjalan menuju dapur. aku hanya membuat mie instant untuk menganjal perutku. tiba-tiba Julian datang saat aku tengah menikmati mie instant buataku."Buatku mana," kata Juian penuh semangat. aku menatap tajam ke arah Julian yang cengegesan. disaat bersamaan Claro datang."Kita makan diluar saja," kata Claro."Ayo," kata Julian tanpa peduli dengan perasaanku."Bukankah kalian akan berpisah?" tanyaku menghentikan la
Daichi-kun anak seorang konglomerat bernama Arata-san. Arata-san terkenal sangat disiplin, tidak peduli anak sendiri pasti harus ikut aturan kalau sudah urusan pekerjaan. Daichi-kun baru lulus kuliah dari luar negeri dan akan segera bekerja dengan di perusahaan ayahnya. Daichi-kun bersemangat berangkat pertama hari kerjanya karena ia ingin menunjukkan ia layak jadi pewaris perusahaan. Jangan sampai kakak tirinya, Akemi-kun diangkat jadi pewaris.Daichi-kun berangkat terburu-buru ke kantor. Naik Bus. Arata-san tidak memperbolehkan bawa mobil supaya tahu rasanya berjuang di hari pertama kerja. Daichi-kun kesal juga tapi tidak bisa membantah. Saat asyik mengejar sebuah angkot, Daichi-kun malah bertabrakan dengan seorang cewek penjual bubur gerobak, yang lagi bawa seamangkok bubur. Bubur sukses melumuri baju putih Daichi-kun . Daichi-kun marah-marah, tapi si cewek juga marah menuduh Daichi-kun yang nggak lihat jalan. Keduanya ribut di tengah jalan, sampe akhirnya si cewek sadar ge
Kenzo-kun (25) yang akan berangkat kuliah dikejutkan dengan kehadiran Koji -kun (10) yang mengaku sebagai anaknya. Dengan membawa bukti tes DNA plus no telfon Mamoru-san45) ayah Kenzo-kun. Jika Kenzo-kun macam-macam maka Koji -kun dan ibunya akan laporkan Kenzo-kun ke dokt
Awalnya kehidupan MIDA (25) dan HERMAN (25) suaminya baik-baik saja. Meski HERMAN hanya karyawan biasa di sebuah perusahaan, MIDA selalu bisa membagi gaji HERMAN untuk keperluan MIDA dan BU MARWAH (50) ibu HERMAN. Meski BU MARWAH selalu menghina MIDA karena dianggap pelit dan menguasai gaji HERMAN. Belum lagi keadaan MIDA yang tidak kunjung hamil padahal sudah setahun menikah. MIDA diam-diam selalu bersedekah pada anak-anak jalanan, MIDA berharap suatu saat bisa punya anak.Suatu hari HERMAN mengalami kecelakaan hingga kakinya harus diamputasi. Uang pesangan dari tempat HERMAN kerja digunakan untuk biaya rumah sakit dan sisanya diambil oleh BU MARWAH sebagai modal usaha sembako. BU MARWAH selalu mengeluh karena HERMAN dan MIDA hanya jadi parasit baginya. Padahal MIDA bekerja seperti asisten rumah tangga, sedangkan HERMAN membantu BU MARWAH untuk mengurus toko sembako. Sampai BU MARWAH tahu kalau pengemis di jalanan bisa menghasilkan uang yang banyak. BU MARWAH memaksa HERMAN untuk men
JAMAL (25) di PHK tepat seminggu sebelum MILA (25) istrinya melahirkan. JAMAL dan MILA tetap bersyukur sebab uang pesangon yang diberikan perusahaan cukup untuk MILA melakukan persalinan di bidan.MILA meradang kesakitan. Waktunya untuk melahirkan. JAMAL membawa MILA ke rumah bidan. BU BIDAN bilang MILA tidak bisa melahirkan di klinik, harus dirujuk ke rumah sakit sebab bayinya mendapat masalah.MILA dibawa ke rumah sakit. Dokter bilang kalau MILA tidak bisa melahirkan normal dan bayinya mengalami kelainan jantung. JAMAL dan MILA pasrah saja. JAMAL membayar administrasi operasi MILA dengan uang pesangon. Saat operasi berlangsung JAMAL bingung dan memilih untuk mencari utangan untuk perawatan bayi mereka.JAMAL tidak mendapatkan pinjaman. JAMAL tidak putus asa. JAMAL tidak sengaja melihat INTAN (25) bertengkar dengan pacarnya. INTAN didorong hingga terjatuh. JAMAL menolongnya dan mengantarkan INTAN pulang ke rumahnya.Sampai di rumah INTAN. PAK HANDOKO (55) ayah INTAN sakit jantung. PA
JAMAL (25) di PHK tepat seminggu sebelum MILA (25) istrinya melahirkan. JAMAL dan MILA tetap bersyukur sebab uang pesangon yang diberikan perusahaan cukup untuk MILA melakukan persalinan di bidan.MILA meradang kesakitan. Waktunya untuk melahirkan. JAMAL membawa MILA ke rumah bidan. BU BIDAN bilang MILA tidak bisa melahirkan di klinik, harus dirujuk ke rumah sakit sebab bayinya mendapat masalah.MILA dibawa ke rumah sakit. Dokter bilang kalau MILA tidak bisa melahirkan normal dan bayinya mengalami kelainan jantung. JAMAL dan MILA pasrah saja. JAMAL membayar administrasi operasi MILA dengan uang pesangon. Saat operasi berlangsung JAMAL bingung dan memilih untuk mencari utangan untuk perawatan bayi mereka.JAMAL tidak mendapatkan pinjaman. JAMAL tidak putus asa. JAMAL tidak sengaja melihat INTAN (25) bertengkar dengan pacarnya. INTAN didorong hingga terjatuh. JAMAL menolongnya dan mengantarkan INTAN pulang ke rumahnya.Sampai di rumah INTAN. PAK HANDOKO (55) ayah INTAN sakit jantung. PA