Beranda / Young Adult / 21 Days in Sukabumi / Bandung, I'm Coming! (1)

Share

21 Days in Sukabumi
21 Days in Sukabumi
Penulis: Yoshifa

Bandung, I'm Coming! (1)

Penulis: Yoshifa
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-16 11:29:15

Kembali aku menginjakkan kaki ke rumah tingkat yang telah ditinggalkan selama hampir dua belas tahun ini. Hanya sedikit yang berubah dari penampilan bangunannya. Cat yang dulu berwarna merah muda sudah berubah menjadi putih, halaman depan pun sudah tak ditanami rumput liar lagi.

Sekilas bayangan masa kecil terlukis kembali dalam benak. Saat-saat berkumpul dengan keluarga, bermain dengan teman, hingga ketika hampir menangis sebab akan pergi meninggalkan tempat ini. Sekarang, aku sudah di sini meski mungkin hanya sesaat.

Tok-tok-tok!

Kuketuk pintu rumah, berharap Papa sedang tidak pergi ke luar. Tak lama kemudian, terdengar suara perempuan yang menyahut dari dalam. Membukakan pintu dan bertanya, "Iya? Ada perlu dengan siapa, ya?"

"Oh! Perkenalkan saya Jeno putra Pak Johni yang menetap di Kanada," jawabku disertai senyum ramah setelahnya.

Terlihat ekspresi wajah wanita dengan rambut diikat seadanya itu berubah menjadi kaget dan gugup. Setelah itu, dia mempersilakanku untuk masuk dan duduk di ruang tamu, lantas dia pergi ke ruangan lain. Beberapa benda di ruangan ini telah diperbarui, tetapi suasana rumah tetap terasa seperti dulu.

Tas punggung yang berisi banyak pakaian juga benda lain dilepasnya, lalu kuletakkan di atas punggung kaki yang terbalut kaus kaki. Wanita tadi datang dengan membawakan segelas air putih serta satu toples biskuit cokelat.

"Wah, terima kasih. Sebelumnya, di mana Papa? Em, maksudnya Pak Johni." Aku bertanya sebelum melahap biskuit cokelat tersebut.

"Saya juga kurang tau, Mas. Soalnya, akhir-akhir ini Pak Johni sering ke luar rumah, tapi entah ke mana?" jelasnya kelimpungan.

Aku hanya memanggut-manggut, lantas dia pamit ke dapur. Sembari memamah, diri ini seakan bertanya-tanya ke mana dan ada tujuan apa Papa sering bepergian akhir-akhir ini. Beberapa bulan lalu saat kuhubungi, Papa mengatakan kalau dirinya tidak lagi menjadi bos di sebuah restoran karena bangkrut.

Pria bertubuh gemuk itu tak memberikan kejelasan mengenai bangkrutnya restoran tersebut. Namun, aku hanya bisa berdoa agar dia selalu dalam keadaan baik-baik saja. Sudah sejak lama pula aku ingin menemui Papa, hanya saja ada suatu hal yang menghambat.

---0o----

Malam sudah tiba, tapi Papa belum juga pulang. Sedari tadi aku terduduk di hadapan jendela kamar yang dulu pernah kutempati sambil memainkan ponsel pintar berukuran kurang lebih 14 sentimeter guna menunggu kedatangannya.

Ketika tengah asyik menonton sebuah film laga, terdapat notifikasi pesan masuk. Kelihatannya tidak penting, kuabaikan saja dulu sampai film ini selesai. Namun, lagi-lagi sesuatu memecah fokusku menonton, itu adalah suara klakson dari luar gerbang . Tirai jendela dibukanya, menampakkan mobil pribadi berwarna hitam memasuki pekarangan rumah.

Mobil Papa? Buru-buru aku menuruni tangga, menyambut kedatangan sang pemilik rumah. Sampai di depan pintu, Papa terkejut dengan kehadiranku. Begitu juga denganku yang terkejut saat mendapati seorang wanita di belakangnya.

"Jeno?" ujarnya yang kemudian merangkul tubuh jangkung ini. Aku mengangkat kedua sudut bibir hingga mata menjadi sipit, melepas kerinduan yang sejak lama tertahan.

Papa mengusap punggungku berkali-kali. Ia seakan memberi isyarat bahwa dirinya tak percaya anak semata wayangnya sudah sebesar ini. Selepas puas melepas rindu, pria di hadapanku ini memperkenalkan wanita yang sedari tadi hanya berdiri, mesem, dan kebingungan.

"Ah, iya, kenalin ini Marni temen Papa."

"Halo salam kenal," sapa wanita tersebut mengulurkan tangan. Kubalas uluran tangannya yang agak kasar serta berjejer empat cincin di jari lentiknya. Lepas berkenalan, aku pamit ke kamar lagi dengan alasan menyelesaikan tontonan film yang sempat terpotong tadi.

---0o---

Rintikkan hujan lebat disertai suaranya yang amat bising lantas menemani dinginnya malam ini. Kubuka ponsel yang baru saja selesai diisi baterai, ternyata Mama mengirimi banyak pesan juga telepon. Dibacanya pesan tersebut satu per satu, ternyata beliau cuma mengingatkanku jangan berlama-lama di sini saja karena ....

"Jeno," panggil Papa membuka pintu kamar dan membuatku sedikit terhenyak saking seriusnya membaca pesan dari wanita yang telah melahirkanku itu.

"Iya, Pa."

"Ayo, kita makan malam dulu! Ada ayam kecap, makanan kesukaan kamu."

Bukan seperti yang orang banyak pikirkan. Ayam kecap kesukaanku berupa ayam goreng biasa diolesi kecap yang baru saja dikeluarkan dari kulkas. Cairan kental hitam dengan rasa manis serta suhu dinginnya, berpadu dengan gurih juga garingnya ayam goreng. Sedikit menggelikan memang, tapi rasanya enak melebihi makanan berlapis emas sepuluh karat.

Setelah sampai di meja makan, sepasang mata ini malah mencari sesuatu yang hilang. Ya, wanita tadi. Ke mana dia?

"Pa, tamu yang tadi itu udah pulang, ya?" Aku bertanya sekaligus memecah keheningan di antara Papa dan dua orang pembantu yang sedang menyiapkan hidangan.

"Iya, kenapa? Habis makan, kita ngobrol-ngobrol, ya?"

"Enggak. Ini juga, 'kan, lagi ngobrol?" kelakarku sedikit mencairkan suasana yang sejak tadi dingin bak sengaja mengunci mulut masing-masing.

Rupanya, orang-orang yang bekerja di sini diperlakukan dengan baik oleh Papa. Mereka dipersilakan makan bersama satu meja dengan majikannya. Aku suka hal seperti ini, patut ditiru dan dijadikan contoh bagi orang di luaran sana yang senantiasa memperlakukan para pekerjanya dengan semena-mena.

Beberapa menit berlalu, acara makan malam kali ini sudah cukup membuat perut terisi. Sekarang, aku iseng hendak menonton televisi yang sepertinya jarang dinyalakan. Sudah lama juga mata ini tak menangkap acara-acara siaran televisi sebab sibuk berkutat dengan benda elektronik lain.

Selama bertamu di rumah ini, aku nyaman-nyaman saja. Tak ada rasa canggung atau malu sedikit pun ketika melakukan sesuatu. Karena untuk apa pula canggung? Ini rumahku juga, bebas berbuat apa saja asal masih dalam batas wajar.

Papa tiba-tiba datang dengan dua gelas keramik putih berlukiskan matahari. Ah, lihatlah! Gelas itu adalah gelas favoritku kala menginjak usia tujuh tahun dan sampai sekarang masih tersimpan tanpa kecacatan. Luar biasa! Kukira, sudah musnah di tempat sampah.

"Jen, masih inget ini?" Beliau bertanya diikuti tawa kecil.

"Ingat, lah. Kok, masih ada sampai sekarang?"

"Iya, sengaja disimpen jaga-jaga kalau kangen sama kamu dulu."

"Kan, bisa telepon gitu lewat Mama." Dengan jawaban ini, pria di hadapanku hanya menggeleng lalu duduk bersebelahan.

Kami mulai berbincang-bincang dari hal yang ringan. Saling menanyakan kabar, berbicara mengenai kegiatanku selama tinggal di Kanada, perenovasian rumah, hingga terlarut dalam pembahasan lainnya. Tak lupa, Papa juga bertanya mengenai kedatanganku ke sini.

"Kamu udah ada gandengan?"

Aku terkekeh mendengar pertanyaan itu, lalu menjawab, "Belum, lah, Pa. Masih mau fokus  belajar."

"Oh, bagus kalau gitu. Tapi, pasti ada 'kan em, perempuan yang kamu suka?"

"Ah, yaa kalau itu ... ada." Kepala menunduk juga tersenyum menggigit bibir bawah saat berkata demikian. Malu!

****

Bab terkait

  • 21 Days in Sukabumi   Start (2)

    Pagi menyapa suasana hati yang sedang bersuka cita juga semangat menyala-nyala. Entah mengapa aku bisa terbangun pagi-pagi buta seperti ini? Sekarang pun sedang bersiap untuk mandi, hanya saja airnya yang terlalu dingin setelah diperiksa tadi membuat rasa malas kumat.Iseng kumainkan aplikasi sosial media facebook, rupanya sudah hampir tiga puluh pemberitahuan masuk setelah empat hari tak dibuka. Salah satu yang menarik perhatian adalah seseorang asal Indonesia yang tak kukenal sama sekali, mengomentari unggahan foto kala tengah bermain dengan teman kursus beberapa waktu lalu.Dalam komentar itu dia menuliskan bahwa diri ini terlalu sombong juga banyak gaya. Lebay! Padahal, hanya berfoto menggunakan kaca mata yang sedang terkenal milik teman. Itu artinya, aku memang keren di pandangan banyak orang. Dibalasnya komentar berbau keirian hati itu menggunakan Bahasa Inggris, semoga saja di

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-17
  • 21 Days in Sukabumi   Welcome to Desa Banjarsari (3)

    Banyak yang bilang kalau realita kadang tak sesuai ekspektasi, begitu pula yang dirasakanku dan Angel. Dari informasi yang didapat, menuju desa ini hanya memakan waktu lima jam. Namun, nyatanya sudah enam jam lebih dan kami harus berusaha lebih susah lagi untuk menuju tempatnya. Kali ini, kami harus putar balik melewati jalur lain untuk sampai ke tempat tujuan. Pasalnya, menurut orang yang berada di sana, jalan yang hendak dilalui ini rusak tertimbun longsor satu hari lalu dan sedang proses perbaikan. Setelah putar balik, lalu melewati jalan yang lurus, aku dan perempuan yang sedang mendengkur ini harus belok ke arah kanan. Terdapat plang besar berisi ucapan selamat datang di Desa Banjarsari di sini. Bentukan jalannya pun bukan berupa aspal, melainkan tanah yang agak becek. Mungkin, dikarenakan terkena hujan semalam. Di belokkan pertama sisi kanan-kiri jalan, hanya terdapat tanaman-tanama

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-17
  • 21 Days in Sukabumi   Adat Masyarakat (4)

    Angel bermalam di penginapan dekat rumah Bu kades, sedangkan diriku di rumah Bah Halim yang terletak kurang lebih harus melewati 18 rumah. Kebetulan dia tinggal seorang diri. Selama berada di dalam bangunan minimalis lengkap dengan cat biru langit yang di beberapa bagiannya terkelupas ini, pikiran merenung. Menatap badan orang tua itu yang tampak tulangnya dari belakang, rasanya ingin merangkul, lalu memberikan apa yang ia minta. Hidup dalam kesendirian, tidaklah menyenangkan. Sama seperti Papa yang mengalami hal serupa. Beruntunglah dia masih bisa ditemani oleh anak buahnya."Ini minumnya, maaf cuma ada air teh, saya jarang sediain sirup kalau nggak lagi bulan puasa atau lebaran," ujarnya seraya meletakan nampan serta teko berisi air teh juga gelas kaca kecil di meja kayu yang bagian kakinya sedikit rapuh."Nggak papa atuh, Bah. Seadanya saja," balasku yang kemudian menuangkan air teh tersebut dan meneguk

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-17
  • 21 Days in Sukabumi   Meet Someone (5)

    "Awas!" Kendaraan berhenti seketika kala perempuan yang sedang memegangi makanan ringan itu berteriak. Jajanan keripik singkongnya tumpah mengotori bawah jok mobil. Aku pun tersentak kaget, kukira kendaraan ini menabrak seseorang atau hewan. Namun, ternyata orang lain yang melakukannya. Dari arah berlawanan kurang lebih tiga meter dari sini, tampak seorang anak lelaki terserempet mobil bak. Aku dan Angel bergegas keluar dari mobil, menghampiri bocah malang yang mencoba bangun dari posisi tersungkurnya tadi. Dilihatnya betis juga telapak tangan berdarah itu, cepat-cepat kuambil kotak P3K yang tersimpan di bagasi mobil, sementara perempuan yang sempat panik itu berusaha menenangkan dan memastikan bahwa anak lelaki tersebut baik-baik saja. Sangat disayangkan, penyerempet bermobil bak itu melarikan diri dengan melajukan kendarannya semakin ugal-ugalan tanpa bertanggung jawab atas perbuatannya

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-18
  • 21 Days in Sukabumi   Kejutan (6)

    "Selalu ingat dan kenanglah hal sederhana yang telah membuat kita bahagia." ****Setelah hampir seharian penuh menghabiskan waktu dengan berjuang serta bersenang-senang, Zaki diantar pulang olehku juga Angel. Untuk menuju rumahnya, kami harus melewati jalan setapak yang tidak bisa dilalui kendaraan roda empat. Terpaksa mobil dititipkan kepada orang, lantas berjalan menyusuri sepinya keadaan rumah warga desa ini, sampai akhirnya sampai di sebuah rumah bilik. Sedikit berbeda dari rumah bilik lain, di halaman depan bangunan ini tampak kumuh dan berserakan sampah. Tubuh tinggi sepertiku diharuskan menunduk tatkala memasuki ruangan dalam rumah. Minim pencahayaan dari dalam rumah milik Zaki ini. "Kamu tinggal sama siapa?" Angel bertanya setelah duduk di lantai beralaskan tikar bangkar. "Sama Emak, Bapak, dan adik.Mereka masih di kebun cengkeh, sebentar lagi pulang," jelasnya. Aku mengangguk paham, lalu mengajak berbica

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-07
  • 21 Days in Sukabumi   Sepenggal Kisah Desa (7)

    ****"Dia datang, dia datang!" Angel berujar heboh seraya memukul-mukul bahuku. Kami tengah bersembunyi di bagian kanan bangunan bilik ini. Senyum mengembang, menampilkan deretan gigi rapi saat mengintip langkah anak berbadan pendek itu semakin mendekat. Aku membalikkan badan, menarik lengan perempuan dengan tinggi hanya sebahuku ini ke belakang supaya tidak ketahuan. Terdengar, Zaki mengucap salam sewaktu masuk rumah. Tak terbayang bagaimana eskpresinya kala sepasang mata itu menangkap benda-benda baru terpajang rapi di ruangan tempat dirinya selalu mengerjakan tugas sekolah. Satu lembar kertas bertuliskan suruhan untuk mendatangiku di pinggir rumahnya pun tertempel jelas di sana. Tak lama setelah itu, dia tiba-tiba menghampiri dan langsung mengarahkan kedua tangan kecilnya ke atas guna merangkul pinggangku. Dilepasnya perlahan rangkulan itu, lalu tubuhku disetarakan dengan tinggi anak itu. Sorot legam netranya tergenangi air yang hendak menya

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-23
  • 21 Days in Sukabumi   Tantangan (8)

    Sekitar pukul sembilan pagi, aku dan Angel ikut bersama beberapa petani pergi ke sebuah desa di kecamatan dan kabupaten yang berbeda. Kami harus naik turun bukit curam untuk sampai ke jembatan penghubung kedua desa tersebut. Berkali-kali sempat terjatuh karena aku sangat tak terbiasa dengan kondisi jalanan seperti ini. Beruntung, Angel sigap membantu seolah jalanan seperti ini adalah rintangan sebesar upil. "Orang kota mainnya gak menantang, ya?" tanya Angel di sela-sela suara ngosngosanku. Aku menghentikan langkah dan membuat tubuh lebih tegak. "Kata siapa? Banyak, kok, yang lebih menantang. Contohnya main skateboard dari atas bukit bersalju, itu menantang." "Wah, kamu pernah coba, Jen?" "Nggak, aku jadi penonton aja." Dia terbahak-bahak usai mendengar perkataan barusan. Akhirnya, sampailah kami menghadapi tantangan baru. Ya, jembatan gantung bambu yang terbentang sepanjang enam meter ini harus dilewati guna sampai ke

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-26
  • 21 Days in Sukabumi   Rakit (9)

    Satu kilogram singkong diberi harga senilai tiga ribu rupiah dari para petani, begitu juga dengan hasil tani lainnya. Namun, jika sedang terjadi paceklik atau hasil tani kurang bagus, maka akan dikurangi sebagian dari harga biasa."Kalau paceklik biasanya dapat penghasilan berapa, Pak?""Lima puluh ribu, kadang nggak sampai segitu."Aku mengangguk paham hingga pengepul tersebut memberi beberapa lembar uang merah dan pecahan dua puluh ribu. Sempat terheran juga ketika sampai di sana banyak yang menjual hasil tani dari tempat yang sama, rupanya mereka berangkat menaiki rakit."Udah selesai, ayo, pulang!" Angel menepuk bahuku, melihat orang-orang mulai merapikan karung yang dibawa.Selang beberapa menit, kami melanjutkan perjalanan untuk kembali ke desa asal. Sempat khawatir jika nanti menggendong beban lagi, alhasil hal ini terobati oleh kabar bahwa kami akan pulang menggunakan rakit menyebrangi sungai.Alat transportas

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-30

Bab terbaru

  • 21 Days in Sukabumi   Terungkap (20B)

    Kediaman Angel terletak paling bawah di antara rumah lainnya, kalau dideskripsikan, desain rumahnya terkesan sederhana. Pagar dengan tinggi sebatas pinggang orang dewasa serta rerumputan hijau menghiasi pelataran.Seorang perempuan berambut panjang yang tengah menapih beras di teras kaget dengan kedatangan Angel. Mereka mirip sekali, hanya perbedaan tinggi badan dan bentuk alis yang menyiratkan jika mereka adalah kembar."Pulang bawa calon, tuh?" tanyanya melirik ke arahku."Apaan, sih! Bukan, mana bapak sama ibu?""Di dalem. Eh, Kang, mari masuk!" Dia mempersilakan.Angel berlalu menuju dapur bersama saudarinya, sedangkan aku duduk di ruang tamu dengan perasaan waswas. Terlalu banyak peristiwa tak mengenakkan hati hingga seperti ini, belum lagi hal negatif yang akan datang nanti. Lamunanku terbuyarkan ketika Angel bersama orang tuanya datang menghampiri, segera kusalami mereka berdu

  • 21 Days in Sukabumi   Pulang (20A)

    Usai puas bersuka ria di atas bukit, kami lantas berkeliling area sawah. Angel nyaris berlumuran lumpur dan merusak padi-padi yang masih segar, kakinya terpeleset. Beruntung aku sigap menahan agar dia tak jatuh. Dasar gadis kampung ini, banyak tingkah jika sudah berada di alam bebas. Kulihat, ada sekitar empat orang-orangan sawah di sini hingga ujung sana. Agaknya karena tempatnya luas, jadi agar memudahkan mengusir gerombolan burung yang hinggap. Angel merasa capek, kami pun beristirahat di samping saung dengan beberapa orang berada di sana. Kupandangi sekitar, ternyata lebih estetis juga pemandangannya. Kamera yang berada di dalam tas diambilnya, kemudian mengambil gambar dari bagian sebelah kanan dulu, berlanjut ke tengah, lalu ... kuarahkan kamera itu ke wajah Angel yang tengah melamun. Yah! Pose menatap lurus ke depan dengan beberapa helai rambut pendeknya terbawa angin, itu cukup bagus. Aku tersenyum menatap cantiknya---oh, apa dia juga tida

  • 21 Days in Sukabumi   Dinotice! (19B)

    Ayunan dengan desain kursi kayu yang menambah estetika tempat wisata sederhana in, menjadi tempat duduk kami sekarang. Aku dan Angel mengakhiri perdebatan dengan saling bermaafan, tak lupa aku memperingatkan agar dirinya tidak lagi mengakrabkan diri dengan orang asing, terlebih pria. "Berarti, sama kamu juga nggak boleh deket-deket?" tanya gadis itu yang kuyakini dia sendiri tahu jawabannya. "Nggak boleh, kamu harusnya nempel-nempel kalau sama saya." Aku menjawab sembari mesem-mesem, penasaran melihat reaksinya. "Dih, ngapain juga kayak gitu?! Sana jauhan!" suruhnya, lantas kutanggapi dengan tawa membuat pengunjung lain mengalihkan perhatian. "Ngomong-ngomong, temen kamu yang ganteng itu, siapa?" "Penasaran, ya? Ngapain juga kamu cari yang ganteng di luaran sana, sedangkan saya yang nggak kalah ganteng ada di deket kamu?" Kira-kira, hatinya meleleh atau tidak? Jantungnya masih aman, kan? Kulihat ekspresi perempuan ini

  • 21 Days in Sukabumi   Cogan (19A)

    "Njel, saya punya kenalan ganteng, loh." Perempuan itu melepas earphonenya dan menoleh. "Terus kenapa?" "Kamu bukannya suka sama yang ganteng-ganteng?" tanyaku meledek. "Ya, siapa sih, yang gak suka sama cowok ganteng?" Wah, suatu pujian tersembunyi untukku. Itu artinya, dia sendiri menyukaiku, kan? "Berarti kamu juga suka saya, dong?" Mendengar itu, dia mengangkat satu alis serta melengkungkan bibir. Jelas aku bukan pakar ekspresi, jadi hanya dapat menyimpulkan kalau dari ekspresinya mengatakan iya. Perbincangan kami terhenti kala mobil mulai memasuki gang desa, melewati rumah-rumah warga yang berjejer tak luput dari tanaman di halaman rumahnya. Lumayan sepi, mungkin karena pukul delapan pagi adalah waktu di mana orang-orang sibuk. Suasana pedesaan ini memang terbilang sederhana dan persis seperti beberapa tempat sebelumnya yang pernah kami kunjungi. Namun, kesederhanaan alam itulah yang m

  • 21 Days in Sukabumi   Ancaman Ibu (18B)

    "Jen, beneran aku nggak sengaja, maaf!" Angel berucap dengan raut cemas, aku tak memedulikan permintaan maafnya. Dalam hati saat ini cuma sibuk merutuk, bertanya-tanya bagaimana caranya agar meredakan rasa sakit dengan cepat?! Peristiwa menyebalkan ini bermulai ketika Angel berdiri menating kelapa tadi, dia menginjak kakinya sendiri hingga terjatuh dan kelapa itu terlempar ke arahku. Mestinya buah itu jatuh mengenai wajah, tapi aku buru-buru menghindar, sialnya malah menghantam ... organ vital. Perempuan berponi tersebut berjongkok mengusap-usap punggungku yang membungkuk; masih menahan sakit. Supaya tidak canggung dilihat orang, aku pura-pura memainkan pasir yang terkontaminasi sampah. Ah, lebih baik memunguti sampah juga. Beberapa saat setelahnya, rasa sakit itu kian mereda hanya ya sedikit masih ngilu. Aksiku memungut sampah pun menarik pengunjung lain untuk melakukannya juga. Hal tak sengaja dilakukan malah menebar dampak

  • 21 Days in Sukabumi   Insiden Kelapa (18A)

    Cepat-cepat kuhampiri Angel karena takut terjadi peristiwa serupa dengan mimpi semalam. Kulihat dirinya tengah sibuk menggunting rambut juga membuat poni, heran kenapa tiba-tiba begini? "Hei, kok potong rambut? Saking nggak ada uang, kamu pinjem gunting orang buat potong rambut sendiri? Kan bisa bilang ke saya biar ke salon, Papa saya juga titip uang buat kamu," protesku sampai tak sengaja memberi tau soal titipan itu. Bukannya mau mengorupsi uang tersebut, tapi kalau perempuan ini tahu takut akan difoya-foyakan. Maka dari itu, aku berniat mengaturnya sendiri sesuai yang dia butuhkan. "Iya-iya, ini aku lagi kepepet." Dia menjawab seraya mengelap gunting itu dengan kain atasannya. Perempuan yang kini telah 'berponi' itu menoleh ke arahku yang sedari tadi memerhatikannya, seketika tawa ini tak dapat dibendung lagi. Model rambut macam apa yang diterapkannya?! "Kamu mau jadi pelawak?!" tanyaku masih diikuti cekikikkan

  • 21 Days in Sukabumi   Pantai (17B)

    "Njel, ke pantai dulu, yuk! Besok baru ke jalan-jalan ke desa itunya." "Ayok, nanti main pasir! Emangnya mau ke desa mana, sih? Jangan ke kampungku, lah! Aku belum mau ketemu ibu sama bapak ...." Rupanya Angel masih khawatir akan hal itu, padahal apa salahnya mengungkapkan masalah ini secara terang kepada keluarganya? Memang tak semudah itu, banyak resiko yang akan didapat setelahnya. Seperti mungkin menjadi perbincangan tetangga, citra diri menjadi buruk di kalangan masyarakat, bahkan mungkin akan ada fitnah tentang dirinya. Ini tak sepenuhnya salah si pemuda ingusan, tapi aku juga terlibat dan menjadi akar masalah. Andai kata di dunia terdapat mesin waktu, aku ingin mengulang semuanya. Akan menolak mentah-mentah Angel untuk menjadi teman perjalanan kali ini, tapi seperti kata PAnge kalau setiap peristiwa pasti ada hikmahnya meski aku belum tau apa itu? Wahai kartun boneka kucing, pinjamkan mesin waktumu untuk melihat bagaimana nasi

  • 21 Days in Sukabumi   Sandiwara (17A)

    Ceritanya, aku sedang pura-pura marah dengan perempuan ini, tapi dia malah lebih marah dariku. Karena sepanjang jalan, mulutnya tak berhenti mengucap kata maaf dan aku bosan mendengarkan maka dari itu hanya dibalas dengan dehaman.Beberapa daerah telah terlewati, kali ini tinggal menempuh satu jalur lagi untuk sampai di kediaman Angel. Jalan menuju tempat tersebut tertera di Google Map sehingga mudah ditempuh meskipun aku sendiri belum tau letak rumah dia di mana? Itu akan jadi urusan terakhir saat kami sampai di desanya.Bosan pun terus-terusan bersandiwara seperti ini, aku memulai pembicaraan dengan menceritakan mimpi buruk semalam yang menyebabkan peristiwa konyol itu. Sejujurnya, malas mengingat hal ini, tapi demi kedamaian bersama apa harus buat?"Ya, emang habis kejadian itu aku sempet ada niatan buat ... kayak gitu," ujarnya membuatku menyemburkan air hingga membasahi setir.Bagaimana tidak? Kalau saja niatnya benar-benar direalis

  • 21 Days in Sukabumi   Bun*h D*ri (16B)

    Angin sepoi membuat suasana lebih tenang, tidak panas dan tidak pula hujan. Sesekali, aku mengecek ponsel untuk memastikan tak ketinggalan siaran langsung dari idola favorit. Namun, yang tampil justru ribuan komentar penggemar lain, membosankan. Alhasil, kumatikan benda pipih tersebut dan beralih memandang jembatan dengan air sungai deras. Tiba-tiba, suara dering gawai kembali mengalihkan perhatian, entah siapa yang menelepon? Tidak ada apa pun, ternyata itu Angel. Bisa-bisanya dia menyamakan nada dering panggilannya denganku. Mimik wajah Angel usai serius mengobrol di sambungan tampak cemas seperti kemarin saat Epan mengirimi pesan. Apakah bocah itu mengancamnya lagi? "Kenapa? Epan bilang apa lagi sama kamu?" tanyaku ketika dia menyimpan ponselnya ke tas. "Hah? Enggak. Bukan Epan yang telepon, kemarin kan udah diblokir nomornya." "Oh, terus siapa dan kamu kenapa?" "Enggak kenapa-napa, ish! Itu ... keluargaku yang tel

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status