Sekitar pukul sembilan pagi, aku dan Angel ikut bersama beberapa petani pergi ke sebuah desa di kecamatan dan kabupaten yang berbeda. Kami harus naik turun bukit curam untuk sampai ke jembatan penghubung kedua desa tersebut. Berkali-kali sempat terjatuh karena aku sangat tak terbiasa dengan kondisi jalanan seperti ini. Beruntung, Angel sigap membantu seolah jalanan seperti ini adalah rintangan sebesar upil.
"Orang kota mainnya gak menantang, ya?" tanya Angel di sela-sela suara ngosngosanku.
Aku menghentikan langkah dan membuat tubuh lebih tegak. "Kata siapa? Banyak, kok, yang lebih menantang. Contohnya main skateboard dari atas bukit bersalju, itu menantang."
"Wah, kamu pernah coba, Jen?"
"Nggak, aku jadi penonton aja." Dia terbahak-bahak usai mendengar perkataan barusan.
Akhirnya, sampailah kami menghadapi tantangan baru. Ya, jembatan gantung bambu yang terbentang sepanjang enam meter ini harus dilewati guna sampai ke
Satu kilogram singkong diberi harga senilai tiga ribu rupiah dari para petani, begitu juga dengan hasil tani lainnya. Namun, jika sedang terjadi paceklik atau hasil tani kurang bagus, maka akan dikurangi sebagian dari harga biasa."Kalau paceklik biasanya dapat penghasilan berapa, Pak?""Lima puluh ribu, kadang nggak sampai segitu."Aku mengangguk paham hingga pengepul tersebut memberi beberapa lembar uang merah dan pecahan dua puluh ribu. Sempat terheran juga ketika sampai di sana banyak yang menjual hasil tani dari tempat yang sama, rupanya mereka berangkat menaiki rakit."Udah selesai, ayo, pulang!" Angel menepuk bahuku, melihat orang-orang mulai merapikan karung yang dibawa.Selang beberapa menit, kami melanjutkan perjalanan untuk kembali ke desa asal. Sempat khawatir jika nanti menggendong beban lagi, alhasil hal ini terobati oleh kabar bahwa kami akan pulang menggunakan rakit menyebrangi sungai.Alat transportas
Sepulang dari desa sebelah, kini kami disuguhi minuman dingin oleh warga. Bukan hanya aku dan Angel yang meminumnya, tapi semua orang yang tadi pergi ke pengepul. Suasana ramai juga hangat, banyak hal dibahas tentu tak luput dari lelucon untuk lebih meningkatkan sebuah keharmonisan.Sesekali, kami berdua yang asik menyimak pun turut terkena banyolan mereka. Terlebih, menyinggung soal 'hubungan percintaan', terkadang ini membuatku geli. Urusan pendidikan dan pekerjaan saja masih ruwet dipikirkan, apalagi soal ikatan dengan lawan jenis. Lebih banyak resiko yang harus dihadapi karena aku belajar dari Mama Papa, kalau hubungan serius itu bukan hanya soal keromantisan."Pelan-pelan minumnya, cuma becanda, kok. Ya, kami doain aja supaya kalian cepat halal, biar kalau ke mana-mana berdua, nggak menimbulkan fitnah." Perempuan di hadapanku yang tersedak sebab mendengar sindiran orang-orang di sini. Memang betul begitu, tapi semua itu tergantung masing-masing, sepert
Tak tau kenapa, tapi kurasa Angel agak aneh sekarang ini. Sedari tadi ekspresinya masam, gerak-geriknya lesu, biasanya dia ceria apalagi kalau sudah mendengar lagu dengan berbagai genre. "Ngomong-ngomong, nanti kita bakal ketemu siapa lagi, ya? Aku pengen banget jalan-jalan sama Zaki, keinget terus waktu dia nerima hadiah itu. Kayak nggak pernah sebahagia itu, ibu bapaknya juga kelewat baik, sih," ungkapnya dengan bahasa tubuh yang sama. "Bibi kamu? Mungkin, itu sentilan dari Tuhan buat kita karena kadang, orang yang hidupnya berkecukupan pun selalu merasa kurang. Beda lagi kalau dengan orang yang serba kekurangan, diberi segimana juga tetap ingat Tuhan." Aku diam sejenak mencari kata-kata estetik lain. "Saya pikir, kelebihan dari orang yang serba kekurangan itu, dekat dengan Sang Pencipta." Ingin tertawa juga sebenarnya habis bicara panjang lebar plus sok bijak seperti itu. Namun, memang rata-rata sesuai dengan realita, bukan?
Pria yang kuberikan dua mi instan dan pasta gigi tersebut sangat berterima kasih, mulanya dia menolak diberikan itu. Namun, kupaksa dengan embel-embel kasihan anak-istri di rumah, beliau juga mendoakanku. Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan menuju desa Tenjolaut yang memakan waktu kurang lebih tiga puluh menit saja. Tak seperti kemarin-kemarin yang mesti menghabiskan berjam-jam untuk sampai di tempat tujuan. "Eh, uang kamu masih cukup buat berapa hari lagi?" tanya Angel menjeda kegiatan makannya. Kujawab kalau persediaan uang masih cukup untuk tiga minggu ke depan, bahkan mungkin lebih. Dia melotot kaget, keripik kentangnya tumpah sebagian. "Hah?! Emang kamu bawa duit berapa? Terus mau berapa hari keliling kayak gini?" "Dua puluh satu hari, pengeluaran per hari satu juta. Kalau kurang, tinggal bilang Mama atau Papa." Bukan melotot lagi, kini dia tersedak. "Orang kota banyak duitnya, bagi, dong!" ucapnya selepas meminum sebotol air min
Kami melahap penganan manis yang terbuat dari campuran gula merah, ketan hitam, parutan kelapa, juga durian: wajit. Saat kedatangan kami berdua, Bi Midah tengah memasak wajit ketan durian dan sekarang, aku membantu membungkusnya kecil-kecil. Memang sangat enak, tapi aroma durian yang menyengat menurutku kurang pas dipadukan dengan banyak kandungan gula."Ini buat dijual, Bi?" Angel menanya, membuang pembungkus kudapan legit ini ke kantong kresek berisikan sampah. Wanita tersebut membenarkan pun berkata jika setengahnya disisakan untuk camilan di rumah."Dijual di mana biasanya?""Ya, di warung biasa kadang juga toko yang jajain oleh-oleh di persimpangan itu." Mengetahui hal itu, Angel mengias sepupu lelakinya dengan bertanya kenapa tidak membuka usaha sendiri?"Nah, iya. Si Epan juga lagi ngumpulin uang buat bangun toko khusus wajitnya bibi. Nanti kalau udah makin laku, pasti pake karyawan." Beliau tertawa kecil.Orang
Kami melahap penganan manis yang terbuat dari campuran gula merah, ketan hitam, parutan kelapa, juga durian: wajit. Saat kedatangan kami berdua, Bi Midah tengah memasak wajit ketan durian dan sekarang, aku membantu membungkusnya kecil-kecil. Memang sangat enak, tapi aroma durian yang menyengat menurutku kurang pas dipadukan dengan banyak kandungan gula."Ini buat dijual, Bi?" Angel menanya, membuang pembungkus kudapan legit ini ke kantong kresek berisikan sampah. Wanita tersebut membenarkan pun berkata jika setengahnya disisakan untuk camilan di rumah."Dijual di mana biasanya?""Ya, di warung biasa kadang juga toko yang jajain oleh-oleh di persimpangan itu." Mengetahui hal itu, Angel mengias sepupu lelakinya dengan bertanya kenapa tidak membuka usaha sendiri?"Nah, iya. Si Epan juga lagi ngumpulin uang buat bangun toko khusus wajitnya bibi. Nanti kalau udah makin laku, pasti pake karyawan." Beliau tertawa kecil.Orang
Ketika memasuki ruangan tamu, terdengar jelas Bi Midah sedang berbicara dengan suara keras dan membentak-bentak; memarahi sang anak yang terlambat bangun. Kulihat ponsel masih pukul tujuh kurang, bangun di pukul tujuh ini wajar saja bagiku ... kalau hari libur. Mungkin, disiplin bangun pagi mereka lebih ketat, tak kenal hari libur atau hari tertentu. Angel kembali menenangkan bibinya setelah menyimpan alat penyiram tanaman. Namun, amarah wanita itu justru semakin menjadi hingga sesuatu yang sering dilakukan orang tua di Indonesia tampak di depan mata. Apa lagi jika bukan membandingkan anaknya dengan anak orang lain. Terdengar lucu, kan? Agaknya, kebanyakan dari mereka tidak memikirkan dampak buruk hal tersebut sehingga malah memperparah kebiasaan buruk si anak karena pola pikir tak sejalan. "Sekarang cepet mandi! Habis itu siap-siap ke kebun cengkeh!" suruhnya masih tersulut emosi. Tak ada jawaban dari anak remaja itu selain berjalan gonta
"Emangnya kamu kelas berapa?" tanyaku pada Epan. "Udah lulus SMA dua bulan lalu," jawabnya lalu berdeham. Agar perjalanan kami tak terasa sepi, aku mengajak bicara kedua orang ini termasuk menanyakan perihal keakraban mereka sebagai saudara. Ternyata, Epan memang sudah sangat dekat dengan Angel juga kembarannya sejak dia masih balita. "Tapi paling deket sama Teh Njel, sih. Iya, kan?" Perempuan itu mengangguk kecil. Percakapan berakhir ketika telah sampai di kebun cengkeh yang lebat ini. Udara di sini lebih dingin sebab cahaya matahari agak terhalang rimbunnya pohon. Sebenarnya tidak hanya ada pohon bernama ilmiah syzigium aromaticum saja, tapi tanaman lain seperti mangga yang berbuah lebat, cabe rawit, tomat juga semak-semak. Kami istirahat sejenak, jalur setapak yang berkelok dan menanjak tadi lumayan menguras keringat. Beruntung, aku membekal sebotol air dingin begitu juga dengan Epan, cuma miliknya air teh. Gadis ber
Kediaman Angel terletak paling bawah di antara rumah lainnya, kalau dideskripsikan, desain rumahnya terkesan sederhana. Pagar dengan tinggi sebatas pinggang orang dewasa serta rerumputan hijau menghiasi pelataran.Seorang perempuan berambut panjang yang tengah menapih beras di teras kaget dengan kedatangan Angel. Mereka mirip sekali, hanya perbedaan tinggi badan dan bentuk alis yang menyiratkan jika mereka adalah kembar."Pulang bawa calon, tuh?" tanyanya melirik ke arahku."Apaan, sih! Bukan, mana bapak sama ibu?""Di dalem. Eh, Kang, mari masuk!" Dia mempersilakan.Angel berlalu menuju dapur bersama saudarinya, sedangkan aku duduk di ruang tamu dengan perasaan waswas. Terlalu banyak peristiwa tak mengenakkan hati hingga seperti ini, belum lagi hal negatif yang akan datang nanti. Lamunanku terbuyarkan ketika Angel bersama orang tuanya datang menghampiri, segera kusalami mereka berdu
Usai puas bersuka ria di atas bukit, kami lantas berkeliling area sawah. Angel nyaris berlumuran lumpur dan merusak padi-padi yang masih segar, kakinya terpeleset. Beruntung aku sigap menahan agar dia tak jatuh. Dasar gadis kampung ini, banyak tingkah jika sudah berada di alam bebas. Kulihat, ada sekitar empat orang-orangan sawah di sini hingga ujung sana. Agaknya karena tempatnya luas, jadi agar memudahkan mengusir gerombolan burung yang hinggap. Angel merasa capek, kami pun beristirahat di samping saung dengan beberapa orang berada di sana. Kupandangi sekitar, ternyata lebih estetis juga pemandangannya. Kamera yang berada di dalam tas diambilnya, kemudian mengambil gambar dari bagian sebelah kanan dulu, berlanjut ke tengah, lalu ... kuarahkan kamera itu ke wajah Angel yang tengah melamun. Yah! Pose menatap lurus ke depan dengan beberapa helai rambut pendeknya terbawa angin, itu cukup bagus. Aku tersenyum menatap cantiknya---oh, apa dia juga tida
Ayunan dengan desain kursi kayu yang menambah estetika tempat wisata sederhana in, menjadi tempat duduk kami sekarang. Aku dan Angel mengakhiri perdebatan dengan saling bermaafan, tak lupa aku memperingatkan agar dirinya tidak lagi mengakrabkan diri dengan orang asing, terlebih pria. "Berarti, sama kamu juga nggak boleh deket-deket?" tanya gadis itu yang kuyakini dia sendiri tahu jawabannya. "Nggak boleh, kamu harusnya nempel-nempel kalau sama saya." Aku menjawab sembari mesem-mesem, penasaran melihat reaksinya. "Dih, ngapain juga kayak gitu?! Sana jauhan!" suruhnya, lantas kutanggapi dengan tawa membuat pengunjung lain mengalihkan perhatian. "Ngomong-ngomong, temen kamu yang ganteng itu, siapa?" "Penasaran, ya? Ngapain juga kamu cari yang ganteng di luaran sana, sedangkan saya yang nggak kalah ganteng ada di deket kamu?" Kira-kira, hatinya meleleh atau tidak? Jantungnya masih aman, kan? Kulihat ekspresi perempuan ini
"Njel, saya punya kenalan ganteng, loh." Perempuan itu melepas earphonenya dan menoleh. "Terus kenapa?" "Kamu bukannya suka sama yang ganteng-ganteng?" tanyaku meledek. "Ya, siapa sih, yang gak suka sama cowok ganteng?" Wah, suatu pujian tersembunyi untukku. Itu artinya, dia sendiri menyukaiku, kan? "Berarti kamu juga suka saya, dong?" Mendengar itu, dia mengangkat satu alis serta melengkungkan bibir. Jelas aku bukan pakar ekspresi, jadi hanya dapat menyimpulkan kalau dari ekspresinya mengatakan iya. Perbincangan kami terhenti kala mobil mulai memasuki gang desa, melewati rumah-rumah warga yang berjejer tak luput dari tanaman di halaman rumahnya. Lumayan sepi, mungkin karena pukul delapan pagi adalah waktu di mana orang-orang sibuk. Suasana pedesaan ini memang terbilang sederhana dan persis seperti beberapa tempat sebelumnya yang pernah kami kunjungi. Namun, kesederhanaan alam itulah yang m
"Jen, beneran aku nggak sengaja, maaf!" Angel berucap dengan raut cemas, aku tak memedulikan permintaan maafnya. Dalam hati saat ini cuma sibuk merutuk, bertanya-tanya bagaimana caranya agar meredakan rasa sakit dengan cepat?! Peristiwa menyebalkan ini bermulai ketika Angel berdiri menating kelapa tadi, dia menginjak kakinya sendiri hingga terjatuh dan kelapa itu terlempar ke arahku. Mestinya buah itu jatuh mengenai wajah, tapi aku buru-buru menghindar, sialnya malah menghantam ... organ vital. Perempuan berponi tersebut berjongkok mengusap-usap punggungku yang membungkuk; masih menahan sakit. Supaya tidak canggung dilihat orang, aku pura-pura memainkan pasir yang terkontaminasi sampah. Ah, lebih baik memunguti sampah juga. Beberapa saat setelahnya, rasa sakit itu kian mereda hanya ya sedikit masih ngilu. Aksiku memungut sampah pun menarik pengunjung lain untuk melakukannya juga. Hal tak sengaja dilakukan malah menebar dampak
Cepat-cepat kuhampiri Angel karena takut terjadi peristiwa serupa dengan mimpi semalam. Kulihat dirinya tengah sibuk menggunting rambut juga membuat poni, heran kenapa tiba-tiba begini? "Hei, kok potong rambut? Saking nggak ada uang, kamu pinjem gunting orang buat potong rambut sendiri? Kan bisa bilang ke saya biar ke salon, Papa saya juga titip uang buat kamu," protesku sampai tak sengaja memberi tau soal titipan itu. Bukannya mau mengorupsi uang tersebut, tapi kalau perempuan ini tahu takut akan difoya-foyakan. Maka dari itu, aku berniat mengaturnya sendiri sesuai yang dia butuhkan. "Iya-iya, ini aku lagi kepepet." Dia menjawab seraya mengelap gunting itu dengan kain atasannya. Perempuan yang kini telah 'berponi' itu menoleh ke arahku yang sedari tadi memerhatikannya, seketika tawa ini tak dapat dibendung lagi. Model rambut macam apa yang diterapkannya?! "Kamu mau jadi pelawak?!" tanyaku masih diikuti cekikikkan
"Njel, ke pantai dulu, yuk! Besok baru ke jalan-jalan ke desa itunya." "Ayok, nanti main pasir! Emangnya mau ke desa mana, sih? Jangan ke kampungku, lah! Aku belum mau ketemu ibu sama bapak ...." Rupanya Angel masih khawatir akan hal itu, padahal apa salahnya mengungkapkan masalah ini secara terang kepada keluarganya? Memang tak semudah itu, banyak resiko yang akan didapat setelahnya. Seperti mungkin menjadi perbincangan tetangga, citra diri menjadi buruk di kalangan masyarakat, bahkan mungkin akan ada fitnah tentang dirinya. Ini tak sepenuhnya salah si pemuda ingusan, tapi aku juga terlibat dan menjadi akar masalah. Andai kata di dunia terdapat mesin waktu, aku ingin mengulang semuanya. Akan menolak mentah-mentah Angel untuk menjadi teman perjalanan kali ini, tapi seperti kata PAnge kalau setiap peristiwa pasti ada hikmahnya meski aku belum tau apa itu? Wahai kartun boneka kucing, pinjamkan mesin waktumu untuk melihat bagaimana nasi
Ceritanya, aku sedang pura-pura marah dengan perempuan ini, tapi dia malah lebih marah dariku. Karena sepanjang jalan, mulutnya tak berhenti mengucap kata maaf dan aku bosan mendengarkan maka dari itu hanya dibalas dengan dehaman.Beberapa daerah telah terlewati, kali ini tinggal menempuh satu jalur lagi untuk sampai di kediaman Angel. Jalan menuju tempat tersebut tertera di Google Map sehingga mudah ditempuh meskipun aku sendiri belum tau letak rumah dia di mana? Itu akan jadi urusan terakhir saat kami sampai di desanya.Bosan pun terus-terusan bersandiwara seperti ini, aku memulai pembicaraan dengan menceritakan mimpi buruk semalam yang menyebabkan peristiwa konyol itu. Sejujurnya, malas mengingat hal ini, tapi demi kedamaian bersama apa harus buat?"Ya, emang habis kejadian itu aku sempet ada niatan buat ... kayak gitu," ujarnya membuatku menyemburkan air hingga membasahi setir.Bagaimana tidak? Kalau saja niatnya benar-benar direalis
Angin sepoi membuat suasana lebih tenang, tidak panas dan tidak pula hujan. Sesekali, aku mengecek ponsel untuk memastikan tak ketinggalan siaran langsung dari idola favorit. Namun, yang tampil justru ribuan komentar penggemar lain, membosankan. Alhasil, kumatikan benda pipih tersebut dan beralih memandang jembatan dengan air sungai deras. Tiba-tiba, suara dering gawai kembali mengalihkan perhatian, entah siapa yang menelepon? Tidak ada apa pun, ternyata itu Angel. Bisa-bisanya dia menyamakan nada dering panggilannya denganku. Mimik wajah Angel usai serius mengobrol di sambungan tampak cemas seperti kemarin saat Epan mengirimi pesan. Apakah bocah itu mengancamnya lagi? "Kenapa? Epan bilang apa lagi sama kamu?" tanyaku ketika dia menyimpan ponselnya ke tas. "Hah? Enggak. Bukan Epan yang telepon, kemarin kan udah diblokir nomornya." "Oh, terus siapa dan kamu kenapa?" "Enggak kenapa-napa, ish! Itu ... keluargaku yang tel