Share

Meet Someone (5)

Penulis: Yoshifa
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-18 12:15:49

"Awas!" Kendaraan berhenti seketika kala perempuan yang sedang memegangi makanan ringan itu berteriak. Jajanan keripik singkongnya tumpah mengotori bawah jok mobil. Aku pun tersentak kaget, kukira kendaraan ini menabrak seseorang atau hewan. Namun, ternyata orang lain yang melakukannya. Dari arah berlawanan kurang lebih tiga meter dari sini, tampak seorang anak lelaki terserempet mobil bak.

Aku dan Angel bergegas keluar dari mobil, menghampiri bocah malang yang mencoba bangun dari posisi tersungkurnya tadi. Dilihatnya betis juga telapak tangan berdarah itu, cepat-cepat kuambil kotak P3K yang tersimpan di bagasi mobil, sementara perempuan yang sempat panik itu berusaha menenangkan dan memastikan bahwa anak lelaki tersebut baik-baik saja.

Sangat disayangkan, penyerempet bermobil bak itu melarikan diri dengan melajukan kendarannya semakin ugal-ugalan tanpa bertanggung jawab atas perbuatannya. Selepas mengambil kotak obat, aku mengambil alkohol, obat merah, serta kapas untuk mengobati lukanya.

"Adek namanya siapa? Mau ke mana?" tanyaku di sela-sela mengobati luka bagian telapak tangannya.

"Z-zaki, mau jual buah mangga," jawabnya terbata-terbata. Sontak, pandangan kami beralih ke sebuah keranjang rotan berukuran sedang berisi banyak buah ditempeli karton bertuliskan harga jualnya.

Badan kecilnya mampu membawa beban berat ini? Giliran perempuan berambut tipis dan panjang itu bertanya mengenai lokasi berjualannya. Rupanya, Zaki berjualan keliling kampung hingga pasar yang tempatnya cukup jauh dari rumah. Dirinya mulai berjualan dari pukul delapan pagi sampai buahnya terjual habis.

Lukanya selesai diobati, aku mengajak Angel berbicara empat mata. Mengusulkan agar kami berdua membantu anak lelaki berpakaian lusuh itu berjualan. Dia pun akhirnya setuju atas permintaan tersebut. Selain hal itu, aku juga mengusulkan agar hari ini menginap di hotel yang terletak tak jauh dari desa ini karena telah memesan dua kamar saat perjalanan tadi.

Enggan merepotkan warga sekitar seperti kemarin, lebih baik memesan tempat walaupun memakan biaya lebih banyak. Untungnya, tarif penginapan yang kupesan ini tidak terlalu menghabiskan banyak uang untuk target tiga hari menginap. Kegiatan berdiskusi pun selesai, kami menghampiri Zaki yang baru saja selesai menyusun kembali beberapa buah berkulit hijau itu ke keranjang.

"Zaki, kita bantuin kamu jualan, ya? Tapi sekarang, kamu ikut dulu kita ke mobil. Kita jualan keliling, habis itu jalan-jalan dulu beli makanan," bujuk Angel sembari mengusap-usap rambut gondrongnya.

Terlihat, raut wajahnya cemas dan meragukan ajakan Angel barusan. Lantas, aku angkat bicara menjelaskan bahwa kami berdua bukanlah orang yang berniat jahat. Akhirnya dia berkenan dengan ajakan itu, tak lupa kutawari es krim di toko terdekat supaya dirinya semakin percaya kami adalah orang baik-baik.

*****

Selama di perjalanan, kulihat Zaki amat senang dan nyaman duduk di mobil ini. Udara dingin yang keluar dari AC memicu rasa sejuk serta segar di tubuhnya. Mobilku sudah tersimpan di area parkir gedung penginapan bertingkat tiga itu. Selanjutnya, kami memulai perjalanan, berjalan dari arah hotel menuju pasar sembari mempromosikan kepada orang-orang yang ditemui.

Cuaca siang ini begitu terik, panasnya matahari seperti tak segan menyengat apa saja yang ada di permukaan bumi. Kasihan melihat Zaki berpeluh keringat seperti itu, kuberikan topi oranye yang sempat dikenakan tadi. Meskipun mungkin sedikit bau karena dua bulan tidak dicuci, tapi penting bagi bocah ini agar rambut gondrongnya tidak ikut hangus dilalap panasnya matahari.

"Teh, mau beli mangga? Lima buah sepuluh ribu." Zaki menawarkan pada seorang wanita berbadan gemuk yang tengah duduk di depan minimarket seraya memainkan ponsel.

Wanita itu mengalihkan fokusnya, menatap satu per satu dari kami bertiga. Kemudian, dia mengangguk, tangannya dimasukkan ke kantong celana merah yang dipakai, mengambil uang pas dengan harga. Aku turut senang, begitu pun bocah kurus yang tengah menata buah ke dalam kantong plastik hitam itu.

"Em, tapi saya boleh foto dulu sama Mas ininya, 'kan?" Wanita itu menunjuk ke arahku.

Mana bisa menolak, dia sudah menggeser posisi Angel yang sebelumnya berada di sisiku. Wanita itu mengarahkan gawainya dari atas, memantulkan kedua wajah di kamera. Orang di sisiku ini tersenyum lebar menampakkan deretan giginya yang tidak rapi, sementara wajah ini hanya menampakkan senyum manis. Satu jepretan tidak cukup, dia mengambil foto sampai lima kali.

"Wah, makasih banyak, lho, Mas. Ih, udah ganteng, senyumnya bikin meleleh, semoga anak saya ketular gantengnya, ya." Wanita ini mengelus-elus perutnya yang terlihat sedikit membuncit. Rupanya, dia ibu hamil. Selepas itu, kami bertiga mengucap terima kasih dan berpamitan.

"Kang Jen, gimana kalau kita pencar aja. Tapi jangan jauh-jauh juga, biar dagangannya cepet laku," usul Angel menghentikkan langkah tepat di depan kios kecil. Benar juga idenya, akan semakin cepat dagangan laku dan habis. Setelah itu, melanjutkan aktivitas lain yang tak kalah penting juga seru.

Kami memutuskan untuk mempromosikan dagangan sendiri-sendiri, tetapi tetap saling memperhatikan supaya tidak kehilangan jejak. Membawa dua buah mangga sebagai bentuk menarik minat pembeli. Tidak ada banyak orang di sekitaran tempatku berjualan, sulit juga.

Hingga bertemulah diriku dengan seorang Bapak-bapak penjaja mi ayam gerobak. Ditawarkannya mangga yang sejak tadi masih menempel di kepalan kedua telapak tangan besar ini, Si Bapak malah menolak. Entahlah, aku pun sama sekali belum terampil dalam menjual atau mempromosikan dagangan. Ini, adalah pertama kalinya.

"Di rumah, Bapak ada istri dan anak? Siapa tau istri sama anaknya pengen gitu dibelikan buah, Pak," bujukku pada pria yang tengah duduk dan agak memalingkan wajahnya.

"Saya cuma ada uang dua puluh ribu, dagangan saya belum laku banyak. Apa cukup buat beli itu?" Pernyataan itu sangat menohok, bagai belati menusuk organ hati. Nampaknya, aku seperti meminta pada orang yang meminta pula.

"Tidak apa-apa, Pak. Harganya cuma lima ribu, kok." Setidaknya, nilai rupiah sebesar itu tidak terlalu membebankan pria berkulit gelap tersebut. Dia setuju dan mau membeli dagangan Zaki, kuhampiri anak itu yang posisinya beberapa meter dari tempat berdagang Bapak ini.

Lagi-lagi, kedua sudut bibir bocah laki-laki ini ditarik oleh kebahagiaan. Dengan langkah tergesa-gesa, kami mengobrol ringan sembari tertawa kecil. Sampai di penjual mi ayam tadi, Zaki meletakan keranjangnya di atas bata dan memasukan lima buah ke dalam kantong. Sang pembeli dengan ikhlas memberi selembar uang pas, ucapan terima kasih pun kami lontarkan sebelum lanjut berjualan.

"Zaki!" Angel memanggil dari arah berlawanan, dia melambai-lambaikan tangan seolah memberi isyarat bahwa ada calon pembeli.

Lebih dari tiga jam dihabiskan untuk mencari pundi-pundi rupiah. Berjalan memikul beribu asa bukan hanya di sekitaran desa ataupun pasar, lebih dari dua tempat kami kunjungi. Tidak banyak yang didapat, tetapi cukup guna memenuhi kebutuhan diri juga keluarga.

Tak terasa, waktu berlalu cepat. Syukurlah, bawaannya kali ini hanya tinggal keranjang rotan tanpa isi. Kini, kami bertiga sedang melepas penat di depan warung makan. Mendinginkan badan dengan bantuan topi yang digerakkan menimbulkan angin.

"Kita makan, ayo!" ajakku bersemangat meraih pergelangan tangan kecil Zaki. Dia hanya mengangguk kecil, lantas kami mengisi perut di warung sederhana ini.

----TBC----

๐Ÿ’–

Bab terkait

  • 21 Days in Sukabumiย ย ย Kejutan (6)

    "Selalu ingat dan kenanglah hal sederhana yang telah membuat kita bahagia." ****Setelah hampir seharian penuh menghabiskan waktu dengan berjuang serta bersenang-senang, Zaki diantar pulang olehku juga Angel. Untuk menuju rumahnya, kami harus melewati jalan setapak yang tidak bisa dilalui kendaraan roda empat. Terpaksa mobil dititipkan kepada orang, lantas berjalan menyusuri sepinya keadaan rumah warga desa ini, sampai akhirnya sampai di sebuah rumah bilik. Sedikit berbeda dari rumah bilik lain, di halaman depan bangunan ini tampak kumuh dan berserakan sampah. Tubuh tinggi sepertiku diharuskan menunduk tatkala memasuki ruangan dalam rumah. Minim pencahayaan dari dalam rumah milik Zaki ini. "Kamu tinggal sama siapa?" Angel bertanya setelah duduk di lantai beralaskan tikar bangkar. "Sama Emak, Bapak, dan adik.Mereka masih di kebun cengkeh, sebentar lagi pulang," jelasnya. Aku mengangguk paham, lalu mengajak berbica

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-07
  • 21 Days in Sukabumiย ย ย Sepenggal Kisah Desa (7)

    ****"Dia datang, dia datang!" Angel berujar heboh seraya memukul-mukul bahuku. Kami tengah bersembunyi di bagian kanan bangunan bilik ini. Senyum mengembang, menampilkan deretan gigi rapi saat mengintip langkah anak berbadan pendek itu semakin mendekat. Aku membalikkan badan, menarik lengan perempuan dengan tinggi hanya sebahuku ini ke belakang supaya tidak ketahuan. Terdengar, Zaki mengucap salam sewaktu masuk rumah. Tak terbayang bagaimana eskpresinya kala sepasang mata itu menangkap benda-benda baru terpajang rapi di ruangan tempat dirinya selalu mengerjakan tugas sekolah. Satu lembar kertas bertuliskan suruhan untuk mendatangiku di pinggir rumahnya pun tertempel jelas di sana. Tak lama setelah itu, dia tiba-tiba menghampiri dan langsung mengarahkan kedua tangan kecilnya ke atas guna merangkul pinggangku. Dilepasnya perlahan rangkulan itu, lalu tubuhku disetarakan dengan tinggi anak itu. Sorot legam netranya tergenangi air yang hendak menya

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-23
  • 21 Days in Sukabumiย ย ย Tantangan (8)

    Sekitar pukul sembilan pagi, aku dan Angel ikut bersama beberapa petani pergi ke sebuah desa di kecamatan dan kabupaten yang berbeda. Kami harus naik turun bukit curam untuk sampai ke jembatan penghubung kedua desa tersebut. Berkali-kali sempat terjatuh karena aku sangat tak terbiasa dengan kondisi jalanan seperti ini. Beruntung, Angel sigap membantu seolah jalanan seperti ini adalah rintangan sebesar upil. "Orang kota mainnya gak menantang, ya?" tanya Angel di sela-sela suara ngosngosanku. Aku menghentikan langkah dan membuat tubuh lebih tegak. "Kata siapa? Banyak, kok, yang lebih menantang. Contohnya main skateboard dari atas bukit bersalju, itu menantang." "Wah, kamu pernah coba, Jen?" "Nggak, aku jadi penonton aja." Dia terbahak-bahak usai mendengar perkataan barusan. Akhirnya, sampailah kami menghadapi tantangan baru. Ya, jembatan gantung bambu yang terbentang sepanjang enam meter ini harus dilewati guna sampai ke

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-26
  • 21 Days in Sukabumiย ย ย Rakit (9)

    Satu kilogram singkong diberi harga senilai tiga ribu rupiah dari para petani, begitu juga dengan hasil tani lainnya. Namun, jika sedang terjadi paceklik atau hasil tani kurang bagus, maka akan dikurangi sebagian dari harga biasa."Kalau paceklik biasanya dapat penghasilan berapa, Pak?""Lima puluh ribu, kadang nggak sampai segitu."Aku mengangguk paham hingga pengepul tersebut memberi beberapa lembar uang merah dan pecahan dua puluh ribu. Sempat terheran juga ketika sampai di sana banyak yang menjual hasil tani dari tempat yang sama, rupanya mereka berangkat menaiki rakit."Udah selesai, ayo, pulang!" Angel menepuk bahuku, melihat orang-orang mulai merapikan karung yang dibawa.Selang beberapa menit, kami melanjutkan perjalanan untuk kembali ke desa asal. Sempat khawatir jika nanti menggendong beban lagi, alhasil hal ini terobati oleh kabar bahwa kami akan pulang menggunakan rakit menyebrangi sungai.Alat transportas

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-30
  • 21 Days in Sukabumiย ย ย 'Hubungan?' (10)

    Sepulang dari desa sebelah, kini kami disuguhi minuman dingin oleh warga. Bukan hanya aku dan Angel yang meminumnya, tapi semua orang yang tadi pergi ke pengepul. Suasana ramai juga hangat, banyak hal dibahas tentu tak luput dari lelucon untuk lebih meningkatkan sebuah keharmonisan.Sesekali, kami berdua yang asik menyimak pun turut terkena banyolan mereka. Terlebih, menyinggung soal 'hubungan percintaan', terkadang ini membuatku geli. Urusan pendidikan dan pekerjaan saja masih ruwet dipikirkan, apalagi soal ikatan dengan lawan jenis. Lebih banyak resiko yang harus dihadapi karena aku belajar dari Mama Papa, kalau hubungan serius itu bukan hanya soal keromantisan."Pelan-pelan minumnya, cuma becanda, kok. Ya, kami doain aja supaya kalian cepat halal, biar kalau ke mana-mana berdua, nggak menimbulkan fitnah." Perempuan di hadapanku yang tersedak sebab mendengar sindiran orang-orang di sini. Memang betul begitu, tapi semua itu tergantung masing-masing, sepert

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-04
  • 21 Days in Sukabumiย ย ย Mirip? (11)

    Tak tau kenapa, tapi kurasa Angel agak aneh sekarang ini. Sedari tadi ekspresinya masam, gerak-geriknya lesu, biasanya dia ceria apalagi kalau sudah mendengar lagu dengan berbagai genre. "Ngomong-ngomong, nanti kita bakal ketemu siapa lagi, ya? Aku pengen banget jalan-jalan sama Zaki, keinget terus waktu dia nerima hadiah itu. Kayak nggak pernah sebahagia itu, ibu bapaknya juga kelewat baik, sih," ungkapnya dengan bahasa tubuh yang sama. "Bibi kamu? Mungkin, itu sentilan dari Tuhan buat kita karena kadang, orang yang hidupnya berkecukupan pun selalu merasa kurang. Beda lagi kalau dengan orang yang serba kekurangan, diberi segimana juga tetap ingat Tuhan." Aku diam sejenak mencari kata-kata estetik lain. "Saya pikir, kelebihan dari orang yang serba kekurangan itu, dekat dengan Sang Pencipta." Ingin tertawa juga sebenarnya habis bicara panjang lebar plus sok bijak seperti itu. Namun, memang rata-rata sesuai dengan realita, bukan?

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-11
  • 21 Days in Sukabumiย ย ย Bukan Suami! (12A)

    Pria yang kuberikan dua mi instan dan pasta gigi tersebut sangat berterima kasih, mulanya dia menolak diberikan itu. Namun, kupaksa dengan embel-embel kasihan anak-istri di rumah, beliau juga mendoakanku. Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan menuju desa Tenjolaut yang memakan waktu kurang lebih tiga puluh menit saja. Tak seperti kemarin-kemarin yang mesti menghabiskan berjam-jam untuk sampai di tempat tujuan. "Eh, uang kamu masih cukup buat berapa hari lagi?" tanya Angel menjeda kegiatan makannya. Kujawab kalau persediaan uang masih cukup untuk tiga minggu ke depan, bahkan mungkin lebih. Dia melotot kaget, keripik kentangnya tumpah sebagian. "Hah?! Emang kamu bawa duit berapa? Terus mau berapa hari keliling kayak gini?" "Dua puluh satu hari, pengeluaran per hari satu juta. Kalau kurang, tinggal bilang Mama atau Papa." Bukan melotot lagi, kini dia tersedak. "Orang kota banyak duitnya, bagi, dong!" ucapnya selepas meminum sebotol air min

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-12
  • 21 Days in Sukabumiย ย ย Sensitif (12B)

    Kami melahap penganan manis yang terbuat dari campuran gula merah, ketan hitam, parutan kelapa, juga durian: wajit. Saat kedatangan kami berdua, Bi Midah tengah memasak wajit ketan durian dan sekarang, aku membantu membungkusnya kecil-kecil. Memang sangat enak, tapi aroma durian yang menyengat menurutku kurang pas dipadukan dengan banyak kandungan gula."Ini buat dijual, Bi?" Angel menanya, membuang pembungkus kudapan legit ini ke kantong kresek berisikan sampah. Wanita tersebut membenarkan pun berkata jika setengahnya disisakan untuk camilan di rumah."Dijual di mana biasanya?""Ya, di warung biasa kadang juga toko yang jajain oleh-oleh di persimpangan itu." Mengetahui hal itu, Angel mengias sepupu lelakinya dengan bertanya kenapa tidak membuka usaha sendiri?"Nah, iya. Si Epan juga lagi ngumpulin uang buat bangun toko khusus wajitnya bibi. Nanti kalau udah makin laku, pasti pake karyawan." Beliau tertawa kecil.Orang

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-13

Bab terbaru

  • 21 Days in Sukabumiย ย ย Terungkap (20B)

    Kediaman Angel terletak paling bawah di antara rumah lainnya, kalau dideskripsikan, desain rumahnya terkesan sederhana. Pagar dengan tinggi sebatas pinggang orang dewasa serta rerumputan hijau menghiasi pelataran.Seorang perempuan berambut panjang yang tengah menapih beras di teras kaget dengan kedatangan Angel. Mereka mirip sekali, hanya perbedaan tinggi badan dan bentuk alis yang menyiratkan jika mereka adalah kembar."Pulang bawa calon, tuh?" tanyanya melirik ke arahku."Apaan, sih! Bukan, mana bapak sama ibu?""Di dalem. Eh, Kang, mari masuk!" Dia mempersilakan.Angel berlalu menuju dapur bersama saudarinya, sedangkan aku duduk di ruang tamu dengan perasaan waswas. Terlalu banyak peristiwa tak mengenakkan hati hingga seperti ini, belum lagi hal negatif yang akan datang nanti. Lamunanku terbuyarkan ketika Angel bersama orang tuanya datang menghampiri, segera kusalami mereka berdu

  • 21 Days in Sukabumiย ย ย Pulang (20A)

    Usai puas bersuka ria di atas bukit, kami lantas berkeliling area sawah. Angel nyaris berlumuran lumpur dan merusak padi-padi yang masih segar, kakinya terpeleset. Beruntung aku sigap menahan agar dia tak jatuh. Dasar gadis kampung ini, banyak tingkah jika sudah berada di alam bebas. Kulihat, ada sekitar empat orang-orangan sawah di sini hingga ujung sana. Agaknya karena tempatnya luas, jadi agar memudahkan mengusir gerombolan burung yang hinggap. Angel merasa capek, kami pun beristirahat di samping saung dengan beberapa orang berada di sana. Kupandangi sekitar, ternyata lebih estetis juga pemandangannya. Kamera yang berada di dalam tas diambilnya, kemudian mengambil gambar dari bagian sebelah kanan dulu, berlanjut ke tengah, lalu ... kuarahkan kamera itu ke wajah Angel yang tengah melamun. Yah! Pose menatap lurus ke depan dengan beberapa helai rambut pendeknya terbawa angin, itu cukup bagus. Aku tersenyum menatap cantiknya---oh, apa dia juga tida

  • 21 Days in Sukabumiย ย ย Dinotice! (19B)

    Ayunan dengan desain kursi kayu yang menambah estetika tempat wisata sederhana in, menjadi tempat duduk kami sekarang. Aku dan Angel mengakhiri perdebatan dengan saling bermaafan, tak lupa aku memperingatkan agar dirinya tidak lagi mengakrabkan diri dengan orang asing, terlebih pria. "Berarti, sama kamu juga nggak boleh deket-deket?" tanya gadis itu yang kuyakini dia sendiri tahu jawabannya. "Nggak boleh, kamu harusnya nempel-nempel kalau sama saya." Aku menjawab sembari mesem-mesem, penasaran melihat reaksinya. "Dih, ngapain juga kayak gitu?! Sana jauhan!" suruhnya, lantas kutanggapi dengan tawa membuat pengunjung lain mengalihkan perhatian. "Ngomong-ngomong, temen kamu yang ganteng itu, siapa?" "Penasaran, ya? Ngapain juga kamu cari yang ganteng di luaran sana, sedangkan saya yang nggak kalah ganteng ada di deket kamu?" Kira-kira, hatinya meleleh atau tidak? Jantungnya masih aman, kan? Kulihat ekspresi perempuan ini

  • 21 Days in Sukabumiย ย ย Cogan (19A)

    "Njel, saya punya kenalan ganteng, loh." Perempuan itu melepas earphonenya dan menoleh. "Terus kenapa?" "Kamu bukannya suka sama yang ganteng-ganteng?" tanyaku meledek. "Ya, siapa sih, yang gak suka sama cowok ganteng?" Wah, suatu pujian tersembunyi untukku. Itu artinya, dia sendiri menyukaiku, kan? "Berarti kamu juga suka saya, dong?" Mendengar itu, dia mengangkat satu alis serta melengkungkan bibir. Jelas aku bukan pakar ekspresi, jadi hanya dapat menyimpulkan kalau dari ekspresinya mengatakan iya. Perbincangan kami terhenti kala mobil mulai memasuki gang desa, melewati rumah-rumah warga yang berjejer tak luput dari tanaman di halaman rumahnya. Lumayan sepi, mungkin karena pukul delapan pagi adalah waktu di mana orang-orang sibuk. Suasana pedesaan ini memang terbilang sederhana dan persis seperti beberapa tempat sebelumnya yang pernah kami kunjungi. Namun, kesederhanaan alam itulah yang m

  • 21 Days in Sukabumiย ย ย Ancaman Ibu (18B)

    "Jen, beneran aku nggak sengaja, maaf!" Angel berucap dengan raut cemas, aku tak memedulikan permintaan maafnya. Dalam hati saat ini cuma sibuk merutuk, bertanya-tanya bagaimana caranya agar meredakan rasa sakit dengan cepat?! Peristiwa menyebalkan ini bermulai ketika Angel berdiri menating kelapa tadi, dia menginjak kakinya sendiri hingga terjatuh dan kelapa itu terlempar ke arahku. Mestinya buah itu jatuh mengenai wajah, tapi aku buru-buru menghindar, sialnya malah menghantam ... organ vital. Perempuan berponi tersebut berjongkok mengusap-usap punggungku yang membungkuk; masih menahan sakit. Supaya tidak canggung dilihat orang, aku pura-pura memainkan pasir yang terkontaminasi sampah. Ah, lebih baik memunguti sampah juga. Beberapa saat setelahnya, rasa sakit itu kian mereda hanya ya sedikit masih ngilu. Aksiku memungut sampah pun menarik pengunjung lain untuk melakukannya juga. Hal tak sengaja dilakukan malah menebar dampak

  • 21 Days in Sukabumiย ย ย Insiden Kelapa (18A)

    Cepat-cepat kuhampiri Angel karena takut terjadi peristiwa serupa dengan mimpi semalam. Kulihat dirinya tengah sibuk menggunting rambut juga membuat poni, heran kenapa tiba-tiba begini? "Hei, kok potong rambut? Saking nggak ada uang, kamu pinjem gunting orang buat potong rambut sendiri? Kan bisa bilang ke saya biar ke salon, Papa saya juga titip uang buat kamu," protesku sampai tak sengaja memberi tau soal titipan itu. Bukannya mau mengorupsi uang tersebut, tapi kalau perempuan ini tahu takut akan difoya-foyakan. Maka dari itu, aku berniat mengaturnya sendiri sesuai yang dia butuhkan. "Iya-iya, ini aku lagi kepepet." Dia menjawab seraya mengelap gunting itu dengan kain atasannya. Perempuan yang kini telah 'berponi' itu menoleh ke arahku yang sedari tadi memerhatikannya, seketika tawa ini tak dapat dibendung lagi. Model rambut macam apa yang diterapkannya?! "Kamu mau jadi pelawak?!" tanyaku masih diikuti cekikikkan

  • 21 Days in Sukabumiย ย ย Pantai (17B)

    "Njel, ke pantai dulu, yuk! Besok baru ke jalan-jalan ke desa itunya." "Ayok, nanti main pasir! Emangnya mau ke desa mana, sih? Jangan ke kampungku, lah! Aku belum mau ketemu ibu sama bapak ...." Rupanya Angel masih khawatir akan hal itu, padahal apa salahnya mengungkapkan masalah ini secara terang kepada keluarganya? Memang tak semudah itu, banyak resiko yang akan didapat setelahnya. Seperti mungkin menjadi perbincangan tetangga, citra diri menjadi buruk di kalangan masyarakat, bahkan mungkin akan ada fitnah tentang dirinya. Ini tak sepenuhnya salah si pemuda ingusan, tapi aku juga terlibat dan menjadi akar masalah. Andai kata di dunia terdapat mesin waktu, aku ingin mengulang semuanya. Akan menolak mentah-mentah Angel untuk menjadi teman perjalanan kali ini, tapi seperti kata PAnge kalau setiap peristiwa pasti ada hikmahnya meski aku belum tau apa itu? Wahai kartun boneka kucing, pinjamkan mesin waktumu untuk melihat bagaimana nasi

  • 21 Days in Sukabumiย ย ย Sandiwara (17A)

    Ceritanya, aku sedang pura-pura marah dengan perempuan ini, tapi dia malah lebih marah dariku. Karena sepanjang jalan, mulutnya tak berhenti mengucap kata maaf dan aku bosan mendengarkan maka dari itu hanya dibalas dengan dehaman.Beberapa daerah telah terlewati, kali ini tinggal menempuh satu jalur lagi untuk sampai di kediaman Angel. Jalan menuju tempat tersebut tertera di Google Map sehingga mudah ditempuh meskipun aku sendiri belum tau letak rumah dia di mana? Itu akan jadi urusan terakhir saat kami sampai di desanya.Bosan pun terus-terusan bersandiwara seperti ini, aku memulai pembicaraan dengan menceritakan mimpi buruk semalam yang menyebabkan peristiwa konyol itu. Sejujurnya, malas mengingat hal ini, tapi demi kedamaian bersama apa harus buat?"Ya, emang habis kejadian itu aku sempet ada niatan buat ... kayak gitu," ujarnya membuatku menyemburkan air hingga membasahi setir.Bagaimana tidak? Kalau saja niatnya benar-benar direalis

  • 21 Days in Sukabumiย ย ย Bun*h D*ri (16B)

    Angin sepoi membuat suasana lebih tenang, tidak panas dan tidak pula hujan. Sesekali, aku mengecek ponsel untuk memastikan tak ketinggalan siaran langsung dari idola favorit. Namun, yang tampil justru ribuan komentar penggemar lain, membosankan. Alhasil, kumatikan benda pipih tersebut dan beralih memandang jembatan dengan air sungai deras. Tiba-tiba, suara dering gawai kembali mengalihkan perhatian, entah siapa yang menelepon? Tidak ada apa pun, ternyata itu Angel. Bisa-bisanya dia menyamakan nada dering panggilannya denganku. Mimik wajah Angel usai serius mengobrol di sambungan tampak cemas seperti kemarin saat Epan mengirimi pesan. Apakah bocah itu mengancamnya lagi? "Kenapa? Epan bilang apa lagi sama kamu?" tanyaku ketika dia menyimpan ponselnya ke tas. "Hah? Enggak. Bukan Epan yang telepon, kemarin kan udah diblokir nomornya." "Oh, terus siapa dan kamu kenapa?" "Enggak kenapa-napa, ish! Itu ... keluargaku yang tel

DMCA.com Protection Status