Prolog
“Kamu jadi berangkat besok?”
Pertanyaan itu berhasil menghentikan rutinitas sore seorang gadis berambut pirang yang sedang menyiram bunga. Gadis itu mematikan keran air dan meletakkan selang berwarna biru di bawah keran, lalu mendudukkan dirinya di lantai teras rumah. Di sebelahnya, ada seorang laki-laki berkaus hitam polos sedang berbaring telentang dengan pandangan terkunci pada langit berawan.
“Iya, besok pagi aku berangkat,” jawab gadis itu.
“Pagi, ya?” gumam laki-laki itu seperti sedang berpikir, lalu melanjutkan ucapannya, “Oke, kalau begitu besok pagi aku antar kamu ke bandara.”
Gadis itu menoleh cepat lalu menggeleng. “Nggak usah, Bar! Kamu besok kan ada lomba, nanti kamu capek kalau harus ngantar aku ke bandara. Lagi pula besok udah ada orang tua kamu juga. Jadi, lebih baik kamu fokus aja sama lomba kamu,” tolak gadis berkaus garis-garis hitam putih bak zebra itu.
Rasanya, selama di sini ia sudah banyak merepotkan laki-laki itu. Makanya, kali ini ia tidak mau merepotkannya lagi.
Namun, bukannya kesal karena ditolak, laki-laki yang dipanggil 'Bar' itu malah tertawa. Alhasil, membuat gadis di sebelahnya menatapnya bingung.
“Kok malah ketawa, sih? Ada yang lucu?” tanya gadis itu.
“Ada, kamu.”
Cowok itu bangkit dari posisinya, menghela napas beberapa kali untuk meredakan tawanya.
“Alena, aku nggak akan kecapekan kalau cuma nganterin kamu doang ke bandara. Anggap aja ini bentuk dukungan kamu buat aku biar aku menang lomba besok. Udahlah pokoknya besok aku ikut ngantar kamu sama Papa kamu. Masa orang tuaku ikut ngantarin kalian, tapi anaknya enggak?”
Pasrah. Alena hanya menggeleng seraya terkekeh pelan. Percuma saja melarangnya, toh, laki-laki berambut cepak di hadapannya ini memang tidak bisa dilarang keinginannya.
“Ya sudah, kamu boleh ikut. Tapi ada syaratnya.”
“Syarat apa?”
“Syaratnya, besok kamu harus menang lomba. Rebut kembali gelar juara untuk SMA Nusa Buana. Gimana?”
“Deal!” seru laki-laki itu sambil menjabat tangan Alena. Senyumnya mengembang sempurna, seolah syarat barusan adalah hal yang paling mudah dicapai.
Gadis berwajah oval itu hanya bisa tersenyum. Entah kenapa ada kelegaan saat laki-laki itu bersemangat seperti ini. Binar mata yang terpancar dari laki-laki itu menandakan kalau semuanya akan baik-baik saja. Setidaknya setelah ini, ia bisa dengan yakin meninggalkannya dalam waktu yang lumayan lama.
Pandangan Alena beralih ke sekitar. Rumah bercat krem dengan taman kecil di depannya. Ada sebuah pohon mangga di sudut taman ditambah beberapa pot bunga mawar di sisi kirinya, serta bentangan rumput hijau bak karpet menambah kesan asri, apalagi baru saja disiram.
Pasti setelah ini, ia akan sering merindukan rumah ini. Rumah yang sudah ditempatinya bersama sang ayah sejak sekitar dua tahun lalu dan besok, ia harus meninggalkan rumah ini. Kembali dan menyambung cerita hidup di tanah kelahirannya lagi.
**
“Jakarta masih tetap sama ternyata. Masih tetap panas dan bising,” keluh gadis dengan kardigan rajut warna maroon yang sibuk mengipasi wajahnya dengan kipas kecil bergambar Pororo. Koper yang tadi diseretnya sudah berpindah ke bagasi mobil.
“Alena, ayo cepat masuk!”
Alena mengangguk cepat dan segera masuk ke dalam mobil. Tak lama mobil hitam tersebut melaju membelah jalanan ibu kota. Tangannya bergerak memijat kedua pelipisnya sambil sesekali memejamkan mata. Perjalanan yang seharusnya hanya memakan waktu dua jam, molor satu jam karena delay. Alhasil sekarang kepalanya pun pusing. Apalagi ia memang tidak terlalu suka perjalanan jauh, terutama perjalanan beda pulau seperti ini.
Namun, sudah berkali-kali membenahi posisinya tetap saja ia tak bisa memejamkan matanya. Akhirnya ia pun memilih menatap luar kaca mobil. Deretan gedung-gedung tinggi pencakar langit, klakson kendaraan bermotor yang saling bersahutan, riuhnya para pedagang, serta ramainya para pejalan kaki seolah menyambutnya kembali.
Ada rasa rindu yang terus menggebu sejak kemarin. Rindu hiruk-pikuk kota, rindu jajanan khasnya, serta rindu pada seseorang. Seseorang yang selalu ia harapkan baik-baik saja dalam penyesalannya selama ini. Mungkin inilah saatnya. Saatnya ia menyambung lagi lembaran dalam hidupnya yang sempat tertunda sekaligus memperbaiki kesalahannya.
“I miss you, Gam,” batinnya.
***
“Oh My God, kamar gue!” “Gila! Ini kamar udah kayak medan perang aja. Bisa kena omel Pak Budi nih, gue. Dasar, Alena bego!” gerutu Alena seraya mengambil beberapa potong pakaian yang tersebar di atas ranjang lalu memasukkannya ke keranjang baju kotor. Alena menatap miris kondisi kamarnya yang sudah seperti kapal pecah. Satu dari dua koper di samping pintu kamar terbuka dan isinya mencuat keluar, tiga buah kardus berukuran sedang di samping koper, jaket warna maroon tersampir asal di meja belajar, dan juga seprei yang salah satu sisinya berada di lantai. Kemarin Alena tidak sempat membereskannya. Ralatㅡbukannya tidak sempat, tapi karena ia kelelahan. Bahkan untuk sekadar duduk saja, ia benar-benar tidak kuat saking lelahnya. Pasalnya penerbangan yang seharusnya memakan waktu sekitar dua jam, harus molor karena delay. Ditambah lagi ia memang tidak suka perjalanan jauh. Mabuk, katanya. Dua jam sudah Alena berku
Seruan itu menghentikan obrolan keduanya. Keduanya menoleh cepat. Alangkah terkejutnya Alena saat mendapati siapa pemilik suara barusan. Tubuhnya mendadak kaku saat matanya bertubrukan dengan iris cokelat milik orang itu. Orang yang kini berdiri beberapa meter di depannya, tepat di belakang gadis bernama Nada tersebut. “Gamma?” ucapnya memastikan penglihatannya. Tubuh tinggi dan tegap, wajah tampan meski dengan kulit sawo matang seketika membius Alena. “Gamma, ini beneran kamu? Astaga, nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini. Kamu apa kabar? Gimana kabar Mama Farah?” tanyanya beruntun. Tak lupa seulas senyum terukir di bibir Alena. Senang rasanya, ia bisa bertemu Gamma di tempat ini, tempat yang dulu sering mereka gunakan untuk kencan. Raut terkejut laki-laki itu berubah datar. Gamma terdiam sejenak. “Oh, gue baik-baik aja. Kabar Mama juga baik. Lo sendiri gimana? Kapan pulang?” Hati Alena mencelos mendengar Gamma menggunakan ‘gue-lo’, padahal dulu lak
Ini bukan kali pertama Alena pindah sekolah, lebih tepatnya ini yang keempat kalinya. Kelas 2 SD pindah ke Bandung hingga kenaikan kelas 6 ia pindah ke Jakarta. Pertengahan kelas 8 SMP, ia pindah ke Balikpapan dan sekarang ia pindah lagi ke Jakarta. Sebenarnya Alena tidak suka dengan keadaan seperti ini. Namun, pekerjaan Budi yang hanya karyawan di sebuah perusahaan swasta, membuat Alena mau tak mau harus mengikuti ke mana pun papanya dipindahtugaskan. Alena belajar menerima, toh, papa bekerja untuk dirinya. Namun, sejak mama dan kakaknya meninggal, papa jadi lebih protektif padanya. Mengiriminya pesan hingga menelepon berkali-kali jika ia terlambat pulang. Lebih parah lagi, papa sering minta tolong pada temannya yang dikenalnya untuk membantu mengawasi. Seperti Riga kemarin, contohnya. Papa meminta tolong laki-laki itu untuk mengawasinya. Pada akhirnya ia hanya bisa pasrah karena jawaban Riga. “Om Budi nitipin lo ke gue,” ucap Riga saat di perjalanan pulang
Sekotak donat sudah berpindah dari tangan penjaga toko roti ke tangan Alena. Sekarang, ia ingin segera pulang. Membaca buku sambil ditemani sekotak donat pasti menyenangkan, begitu rencananya. Namun, baru saja tangannya mendorong keluar pintu, pandangannya langsung tertuju pada sebuah butik yang terletak tepat di seberang toko roti, tempatnya berada sekarang. Ralat, lebih tepatnya pada sosok laki-laki berjaket abu-abu yang sedang memarkir motornya di pelataran parkir butik tersebut. Ponsel yang rencana digunakan untuk memesan ojek online pun segera ia masukkan ke dalam tas dan tanpa membuang waktu lagi, Alena berlari menuju butik tersebut. Masa bodoh dengan donatnya yang terombang-ambing karena dibawanya berlari. Toh, sekalipun nanti topping-nya tercampur, donatnya masih enak dimakan. “Gam! Gamma!” Dua kali, panggilannya tidak mendapat respons. Laki-laki yang dipanggilnya itu malah melangkah menuju pintu butik setelah menyapa
“Gila, panas banget! Kipas anginnya kenapa pakai mati segala, sih? Bisa gosong dong gue,” keluh Manda seraya mengipaskan kedua telapak tangannya ke wajah. Cuaca hari ini begitu panas, bahkan terasa lebih panas dari biasanya, padahal waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. Hal ini membuat Alena bersama dua teman barunya—Nada dan Manda— langsung ke kantin tepat sesaat setelah bel istirahat berbunyi. Sebenarnya Alena masih canggung bersosialisasi dengan teman-teman sekelasnya. Namun, Nada—pacar Gamma— terus membujuknya supaya mau ke kantin. Katanya biar mereka bisa lebih akrab sekalian mengobrol, ditambah lagi Via, teman sebangkunya tidak masuk, jadi mau tak mau Alena pun menyetujuinya. Alena pikir ia akan cukup sulit berteman dengan mereka, mengingat Nada adalah pacar dari orang yang disukainya. Namun, ternyata ia salah. Berteman dengan dua gadis itu ternyata bukan pilihan yang buruk. Mereka sama-sama bisa mencairkan suasana, terutama Manda. Jika Na
“Gimana sekolah kamu?” tanya Budi suatu pagi di tengah kegiatan sarapan mereka. “Lancar, Pa. Cuma lagi banyak tugas aja,” jawab Alena lalu memasukkan potongan kornet ke mulutnya. Budi menanggapinya dengan anggukan, paham. “Jangan terlalu diforsir ya, Len. Kalau sekiranya kamu merasa nggak enak badan, langsung istirahat biar nggak sampai drop. Terus jangan lupa vitaminnya diminum.” Alena meraih gelas air putih di hadapannya dan meneguknya sedikit. “Papa dan Bara tuh sama aja, ya? Sama-sama suka nyuruh Lena ini itu. Padahal tanpa disuruh pun, aku juga akan kontrol aktivitasku sendiri kok, Pa. Kondisi Lena, cuma Lena sendiri yang tahu. Dan Papa seharusnya juga nggak perlu kasih tahu Bara tentang kemarin. Sekarang, dia jadi ikutan ngomelin aku, Pa.” “Bagus, dong kalau begitu. Setidaknya Bara bisa jadi wakil Papa kalau omelan Papa sama sekali nggak kamu dengerin.” Awalnya Alena merasa biasa saja dengan sikap Bara tersebut. Namun, ia tid
“Riga, ada yang mau gue omongin sama lo.”Riga yang tengah membereskan buku-bukunya pun menoleh. Kelas sudah sepi, hanya tinggal Alena dan Riga saja. Laki-laki itu menatap Alena dengan alis terangkat.Alena berdeham sebentar lalu kembali menatap Riga. “Lo suka sama Nada?” tanyanya to the point.“Nada?” Riga bertanya memastikan.“Iya. Lo suka sama dia, kan? Ngaku aja, deh.”“Kalau gue suka sama Nada, kenapa?”Pertanyaan Riga sontak membuat Alena tersentak kaget. Entah harus senang atau sedih, ia sendiri bingung. Mendadak ia teringat sesuatu.“Jadi, lo belum tahu soal ini?”“Itu apa sih, Al? Kalau ngomong yang jelas.” Riga kesal sendiri, ia benar-benar tidak mengerti ke mana arah pembicaraan gadis itu.“Lo nggak tahu kalau Nada pacaran sama Gamma?”“Pacaran?” Alena mengangguk cepa
Entah kenapa, perasaan Alena pagi ini jauh lebih baik daripada hari-hari sebelumnya. Mungkin karena efek bisa menghabiskan waktu bersama Gamma di luar jam sekolah, ia jadi merasa sesenang ini. Oh, terima kasih kepada Tante Farah yang sudah menyuruh Gamma menjemputnya pulang sekolah, demi bisa bertemu dengannya.Langkah kakinya begitu ringan menyusuri jalanan paving menuju gedung sekolah. Sebenarnya, Alena ingin langsung ke kelas, tapi ia mengurungkan niatnya ketika melihat Nada duduk sendirian di salah satu meja kantin. Alena pun menghampirinya.Nada memakan makanannya tanpa minat. Akhir-akhir ini Alena memang sering melihat Nada sedikit murung, begitu juga dengan Manda. Entah apa yang sudah terjadi di antara kedua sahabatnya itu, ia sama sekali tidak tahu. Baik Nada ataupun Manda, mereka tidak mengatakan tentang masalah apa yang sedang mereka hadapi sekarang.Alena pun menemani Nada di kantin. Alena memilih
“Hubungan kita?” Riga mengulangi ucapan gadis di depannya. “Emangnya kenapa sama hubungan kita? Hubungan kita baik-baik aja.” “Baik-baik aja kamu bilang?” Sudut bibir Alena terangkat tipis. Entah kenapa pertanyaan Riga barusan terdengar lucu di telinganya. “Apa kamu nggak ngerasa kalau hubungan kita akhir-akhir ini tuh berbeda?” Berikutnya tanpa bisa dicegah, gadis itu menunpahkan semua yang ia rasakan satu minggu belakangan ini. “Kamu sadar nggak sih, Ri kalau akhir-akhir ini sikap kamu ke aku itu berubah? Kamu kayak lagi ngehindarin aku. Chat sama teleponku jarang kamu respons, sekalipun kamu respons, itu pun cuek banget. Kamu jarang nyamperin aku di kelas, sering nolak tiap kali diajakin ke kantin pas istirahat. Malahan aku lihat beberapa kali kamu bareng sama Kanaya terus.” Meja itu hening. Riga hanya diam sambil memainkan sendok es krimnya. Seolah laki-laki itu sengaja membiarkan Alena menumpahkan semuanya. Seolah laki-laki itu menunggu waktu yang tepat untuk bicara. “Awalnya
Renggang.Satu kata itulah yang mungkin bisa menggambarkan hubungan Alena dan Riga saat ini. Bagaimana tidak, ini sudah satu minggu sejak Alena melihat Riga dan Kanaya di dekat parkiran pagi itu dan akhirnya ia tahu bahwa mereka berangkat bersama, tapi Riga sama sekali tidak menjelaskan apa pun pada Alena. Laki-laki itu tetap bersikap seperti biasa, seolah hal itu tidak pernah terjadi.Lebih dari itu, sikap Riga juga berbeda. Riga jarang mengajak Alena berangkat dan pulang sekolah bersama. Riga jarang ikut ke kantin setiap kali diajak teman-temannya. Riga lebih memilih tetap di kelas atau pergi ke perpustakaan saat jam istirahat.Awalnya Alena mengira perubahan sikap Riga itu karena Riga sedang banyak tugas, apalagi setelah mendengar keluhan Nada. Jadi, ia tidak terlalu mempermasalahkannya. Namun, semua itu berubah setelah Alena beberapa kali melihat Riga dan Kanaya bersama. Bahkan ia pernah tidak sengaja melihat Riga dan Kanaya pulang bersama.“Lo sama Riga lagi berantem ya, Len? Kok
Hujan sudah reda sejak dini hari tadi, tapi hawa dingin masih menyelimuti kota. Membuat orang-orang yang tidak betah dingin, harus memakai jaket atau baju hangat saat keluar rumah jika tidak mau menggigil kedinginan. Bahkan Riga saja yang termasuk golongan orang tahan dingin pun memilih memakai jaket hitam di luar seragam putihnya.Jalan raya pagi ini cukup lengang. Para pengendara motor yang sedang buru-buru bisa langsung menyalip tanpa ada drama macet. Namun, berbeda dengan Riga yang tetap mengemudi dengan santai, tapi hati-hati. Riga hanya tidak mau mengambil risiko, apalagi kondisi jalan setelah hujan cukup licin. Genangan air di mana-mana. Meleng sedikit saja, bisa-bisa malah terkena jebakan alias lubang jalan.Baru saja Riga melewati gerbang kompleks, matanya tanpa sengaja menangkap sebuah mobil terparkir di pinggir jalan. Tanpa membuang waktu lagi, Riga segera memacu motornya ke sana."Permisi. Mobilnya kenapa ya, Mbak—loh, Kanaya?”Itu Kanaya dan seorang wanita berpakaian kant
Jam sudah menunjukkan pukul 18.17 saat Riga dan Sandi, salah satu karyawan di kafe tantenya keluar dari musala mal. Mereka baru saja selesai menunaikan salat Maghrib. Namun, alih-alih langsung kembali ke kafe, mereka justru berkeliling sebentar. Kata Sandi, sekalian melepas penat.Mal hari ini tidak terlalu ramai pengunjung. Malah di lantai yang mereka lewati saat ini bisa dibilang sepi. Mungkin karena cuaca sedang hujan jadi orang-orang banyak yang lebih memilih berdiam di rumah daripada pergi ke luar. Sama seperti Sandi yang malas pulang ke kosnya gara-gara masih hujan deras.“Gue balik nanti aja, lah. Takut jadi mermaid gue kalau nekat balik sekarang,” jawab Sandi saat ditanya Tasya kenapa dia tidak pulang padahal jam kerjanya sudah habis.“Asem lo! Mana ada mermaid modelan kayak lo begini? Kurang cakep lo kalau jadi mermaid,” sahut Tama. Ia mengeluarkan beberapa bungkus roti tawar dan mengisinya ke stok. Berikutnya, obrolan-obrolan tidak berfaedah pun muncul dan menimbulkan gelak
Suasana berubah hening. Ketiga orang di sana menatap Riga, menunggu orang yang bersangkutan angkat bicara.“Gue malah baru tahu kalau Alena pergi ke kafe,” jawab Riga akhirnya. Ia kembali meletakkan ponsel di atas meja dengan posisi terbalik setelah membalas pesan Alena.Jawaban tersebut sontak membuat ketiga sahabat Riga saling pandang. Tanpa perlu bertanya pun mereka seolah memikirkan hal yang sama. Namun, mereka memilih diam. Setidaknya sebelum suara Pandu mengacaukan semuanya.“Apa jangan-jangan Alena selingkuh?”Sikutan cukup keras dibarengi tatapan tajam diterima Pandu. Laki-laki itu meringis.“Lo jangan asal nuduh. Kalau tuduhan lo salah, malah jatuhnya fitnah,” sahut Dana.“Siapa yang asal nuduh? Gue cuma nanya doang.”“Tapi pertanyaan lo tadi kesannya kayak nuduh.”“Tapi gue nggak nuduh!” Pandu berdecak. Sebelum teman-temannya merespons, laki-laki itu kembali angkat bicara. “Oke, sekarang gini deh, coba lo semua pikir. Kalau emang Alena nggak selingkuh, terus kenapa dia jalan
Riga memasukkan motornya ke halaman setelah pria berseragam putih-biru membuka lebar pintu gerbang. Setelah motor Riga masuk, pria itu kembali menutup gerbang tersebut. Riga memarkir motor di depan garasi, tepat di sebelah motor si tuan rumah.“Dana ada, kan, Pak?” tanya Riga sambil meletakkan helmnya di atas jok.“Ada, Mas. Den Dana baru saja pulang, sama Mas Sakti juga tadi,” jawab pria itu ramah.“Makasih, Pak. Saya masuk dulu.”“Silakan, Mas.”Setelah mencabut kunci motornya, Riga lantas melangkah menuju pintu rumah yang terbuka. Ia mengetuk pintu tiga kali dan mengucap salam. Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya yang ia kenal sebagai asisten rumah tangga di rumah ini pun keluar. Wanita itu tersenyum ramah saat melihat siapa tamunya.“Oalah, Mas Riga, toh. Silakan masuk, Mas. Tadi Den Dana titip pesan ke Bibi, katanya kalau Mas Riga datang, disuruh langsung ke rooftop. Mari Bibi antar, Mas,” ucap wanita itu, lalu melangkah masuk.Riga mengikuti di belakang. Mereka menaiki
“Kemarin pas gue baru balik dan mau naruh tas, gue nggak sengaja nyenggol tumpukan buku di meja belajar. Beberapa bukunya jatuh, termasuk kertas ini,” lanjut Farel masih sambil memandang kertas di atas meja kafe.“Awalnya, gue pikir itu cuma kertas nggak penting—apalah, paling kertas sontekan doang jadi mau gue buang. Tapi gue kebiasaan ngecek ulang sesuatu sebelum benar-benar ngebuangnya, jadi gue cek lagi kertas ini. Pas gue buka kertasnya, ternyata isinya surat dan itu ditujukan buat lo. Itu juga alasan kenapa gue nge-chat lo tadi pagi, ngajak ketemuan,” jelas Farel. “By the way, sorry ya, suratnya jadi kebaca dikit. Tapi gue cuma nggak sengaja baca bagian awalnya doang kok, habis itu stop, nggak gue lanjutin.”Alena meraih kertas tersebut. “Nggak apa-apa, Rel. Justru gue malah berterima kasih sama lo. Kalau lo nggak nemuin dan baca surat ini, mungkin suratnya juga nggak bakalan sampai ke gue, kan?”Gadis itu benar. Andai saja kemarin ia memilih mengabaikan kertas tersebut atau par
Suara ketukan berulang di pintu berhasil mengusik laki-laki yang kini tengah meringkuk di atas kasur. Laki-laki itu menggeram kesal. Udara dingin karena hujan ditambah tubuhnya yang lelah, membuatnya ingin tidur seharian tanpa gangguan. Namun, keinginan itu batal gara-gara sang ibu tidak berhenti mengetuk pintu kamarnya. Alhasil, ia tidak punya pilihan selain beranjak dari kasur dan melangkah menuju pintu.“Ada apa, Ma?” tanya Farel begitu ia membuka pintu.“Kamu baru bangun, Rel?” Yang ditanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. “Ini udah pukul sembilan lebih, loh, Rel. Kamu pasti belum sarapan, kan? Sana, kamu makan dulu. Mama tahu kamu capek banget habis perjalanan jauh, tapi lambungnya jangan sampai nggak diisi makanan. Kamu juga terakhir makan, kemarin pas masih di bandara, kan? Gih, sana sekarang turun.”Sejujurnya, Farel sendiri tidak ingat kapan terakhir kali ia makan. Yang ia ingat, kemarin ia pulang ke Jakarta dan selama perjalanan—entah di pesawat atau di mobil—ia lebih b
Alena baru akan membuka pintu mobil ketika terdengar suara klakson dari arah belakangnya. Gadis itu menoleh, mendapati sosok yang dikenalnya tengah melepas helm dan turun dari motor. Kemudian menghampirinya sambil menyunggingkan seulas senyum. Dan seperti yang sudah bisa Alena tebak kelanjutannya, Riga langsung menyalami papa sekaligus meminta izin untuk mengajak Alena berangkat bersama.“Aku kira kamu nggak jadi datang tadi, makanya aku mau bareng Papa.” Alena yang pertama kali bicara. Papa baru saja berangkat setelah memberi izin pada mereka, karena mendapat telepon dari kantornya. Tentu dengan catatan agar mereka hati-hati dan tidak mengebut di jalan, mengingat jalanan pasti basah setelah diguyur hujan sejak semalam hingga Subuh tadi.Beruntung, Alena membawa serta helmnya, jadi sekarang ia tidak perlu kembali ke rumah untuk mengambil helm. Gadis itu segera memakai helmnya, kemudian naik ke boncengan Riga. Laki-laki itu mulai melajukan motornya, meninggalkan rumah Alena.“Maaf, ya,