Share

7. Bahagia dan Harapan

Penulis: Orion Hunter
last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-17 00:29:00

“Riga, ada yang mau gue omongin sama lo.”

Riga yang tengah membereskan buku-bukunya pun menoleh. Kelas sudah sepi, hanya tinggal Alena dan Riga saja. Laki-laki itu menatap Alena dengan alis terangkat. 

Alena berdeham sebentar lalu kembali menatap Riga. “Lo suka sama Nada?” tanyanya to the point. 

“Nada?” Riga bertanya memastikan. 

“Iya. Lo suka sama dia, kan? Ngaku aja, deh.”

“Kalau gue suka sama Nada, kenapa?”

Pertanyaan Riga sontak membuat Alena tersentak kaget. Entah harus senang atau sedih, ia sendiri bingung. Mendadak ia teringat sesuatu. 

“Jadi, lo belum tahu soal ini?”

“Itu apa sih, Al? Kalau ngomong yang jelas.” Riga kesal sendiri, ia benar-benar tidak mengerti ke mana arah pembicaraan gadis itu. 

“Lo nggak tahu kalau Nada pacaran sama Gamma?”

“Pacaran?” Alena mengangguk cepat. Riga mendengus. “Dapat gosip dari mana? Lo tuh baru beberapa hari sekolah di sini udah dapat gosip nggak jelas dari mana-mana.”

“Ih ini tuh bukan gosip, Ri. Gamma yang bilang sendiri ke gue kalau dia pacaran sama Nada.”

Alena pun mau tak mau akhirnya menceritakan semuanya pada Riga. Tentang pertemuan tak sengajanya dengan Gamma di toko buku hingga apa yang dilihatnya di depan minimarket kemarin. 

“Kalau memang mereka pacaran, ya gue nggak masalah. Gue bisa mundur. Seenggaknya gue bisa lihat orang yang gue suka bahagia sama pilihannya. Gue cuma nggak mau melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya.”

“Berhenti nyalahin diri lo sendiri, Riga!”

“Kenyataannya emang gitu, kan, gue yang salah? Iya, gue sadar pengin terus bareng sama lo padahal gue tahu lo pacaran sama Gamma. Gue jahat, Al. Gue nyakitin sepupu gue sendiri.” Riga menggeram frustrasi. Kedua tangannya mengepal kuat. 

“Udah berapa kali gue bilang kalau itu bukan kesalahan lo doang? Itu kesalahan kita, Ri. Kita berdua sama-sama salah. Gue juga salah karena sering bohongin dia dan gue nggak bisa menghargai ketulusan dia.”

“Tapi kalau aja waktu itu gue nggak egois, mungkin hubungan kalian masih berlanjut sampai sekarang, Al.”

“Itu masa lalu, Ri. Tapi sekalipun hubungan gue dan Gamma berakhir, perasaan gue ke dia masih terus tumbuh. Riga, gue cemburu lihat Gamma akrab sama Nada daripada sama gue,” aku Alena. Kepalanya tertunduk. Sorot matanya meredup. 

Riga menghela napas. “Al, biarin Gamma sama Nada. Gamma berhak bahagia atas pilihannya. Dan anggap aja, sikap Gamma adalah karma buat kita atas apa yang udah kita lakuin ke dia dulu.”

“Nggak bisa, Ri. Gue justru berharap mereka putus dan Gamma balik lagi ke gue,” ujar Alena terdengar yakin. Namun, hal itu dipatahkan langsung oleh Riga. 

“Jangan pernah berharap sesuatu yang nggak berguna.”

***

Prakiraan cuaca di ponselnya ternyata salah. Hari ini hujan tidak turun sedikit pun dan sinar matahari malah terasa dua kali lebih panas dari biasanya. Padahal sekarang sudah sore dan seharusnya sinar matahari mulai meredup. 

Matahari terbenam masih sekitar dua jam lagi, sedangkan bosan menyelimuti Alena. Alhasil, di sinilah ia sekarang. Berdiri di depan sebuah butik dengan perasaan bahagia. Di tangannya, ada sebuah paper bag berisi sekotak kue bolu yang baru saja ia beli di toko kue di seberang butik. 

Sebelum ini, Alena sempat menceritakan pada Riga tentang Gamma yang datang ke butik ini dan ternyata Alena baru tahu jika butik ini adalah milik ibunya Gamma. Riga juga bilang, butik ini dibangun sekitar dua tahun lalu. Itu berarti butik ini dibangun beberapa bulan setelah kepindahannya ke Balikpapan.  

Alena tidak melihat motor Gamma di parkiran. Jadi, ia memutuskan untuk segera masuk ke dalam butik. Takutnya, Gamma tahu dan sudah pasti laki-laki itu tidak mengizinkan ia masuk. 

Butik ini tidak terlalu besar, tapi tata ruangan yang bagus membuat tempat ini terlihat begitu luas dan besar. 

“Selamat sore, Mbak. Ada yang bisa kami bantu?” Seorang perempuan dengan postur tubuh lebih tinggi dari Alena, menyapanya. 

“Sore, Mbak. Maaf, saya ingin bertemu Bu Farah—pemilik butik ini. Apakah beliau ada?” tanya Alena. 

“Oh, Bu Farah? Iya, beliau ada di ruangannya. Kalau begitu mari saya antar, lewat sini, Mbak.”

Alena pun mengikuti arahan wanita tadi. Namun, mendadak perasaannya tidak enak saat melihat beberapa orang berkerumun di depan pintu ruangan yang ia tuju. Dengan cepat, Alena menyelinap di antara kerumunan. Matanya membola seketika saat mendapati seorang wanita terbaring dengan wajah pucat. 

“Ya ampun, Tante Farah! Tante ... bangun, Tante. Mbak, bisa minta tolong panggil ambulans ke sini? Biar saya telepon anaknya Bu Farah.”

Salah seorang karyawan butik itu menyetujui permintaan Alena dan segera melangkah pergi. Sedangkan Alena langsung menelepon Gamma. Untungnya, ia sudah punya nomor laki-laki itu. Panggilan tersebut langsung dijawab. 

“Halo, ini siapa?”

“Gamma, ini aku Alena. Mama kamu pingsan di butik dan sekarang mau dibawa ke rumah sakit. Kamu langsung ke rumah sakit, ya? Nanti aku kasih tahu Mama kamu dibawa ke rumah sakit mana.”

Sungguh, Alena tidak pernah sepanik ini sekarang. Mungkin karena ia melihat langsung Farah yang pingsan di depan ruangannya dan lagi, ia mencemaskan Gamma. Laki-laki itu pasti sangat mencemaskan keadaan Farah. 

Tadi, Alena sudah memberitahu Gamma ke rumah sakit mana ibunya dibawa. Sekarang, ia hanya tinggal menunggu kedatangan laki-laki itu. Pintu ruang UGD belum terbuka sejak tadi. 

“Gimana keadaan Mama?” tanya Gamma. 

Alena menoleh, menatap prihatin penampilan Gamma yang berantakan. Bahkan seragamnya pun sedikit kusut. Wajah laki-laki itu menyiratkan kekhawatiran berlebih. 

Alena tidak tahu bagaimana keadaan Farah sekarang karena dokter yang menangani belum keluar dari ruangan di hadapannya. Jadi, ia tidak punya pilihan lain selain meyakinkan Gamma bahwa ibunya akan baik-baik saja. 

Gamma bertanya bagaimana ibunya bisa pingsan dan Alena pun menceritakan apa yang terjadi. Tentang kedatangannya yang ingin memberikan kejutan untuk Farah, tapi saat sampai di sana ia justru menemukan wanita itu sudah pingsan. 

Gamma menghela napas dan mendudukkan diri di kursi panjang yang ada di dekat ruangan itu. Raut wajah Gamma benar-benar membuat perasaan Alena campur aduk. Gamma pasti menghadapi sesuatu yang berat selama ini. 

Memberanikan diri, Alena bertanya Gamma sudah makan atau belum, dan ketika tahu Gamma ternyata belum makan, Alena pun segera beranjak dari kursi. Alena pergi ke kantin guna membeli makanan untuk Gamma. 

Saat kembali, Alena tidak menemukan Gamma di depan ruang UGD. Pintu ruangannya terbuka, tapi Alena tidak menemukan Gamma dan ibunya. Tunggu, tidak mungkin kan Gamma dan ibunya sudah pulang? 

Alena memutuskan bertanya kepada salah satu perawat di meja informasi. Alena menghela napas lega ketika perawat itu memberitahukan bahwa Farah sudah dipindahkan ke ruang rawat. Gadis itu pun mengucapkan terima kasih dan segera menuju ruang rawat Farah. 

Tiba di depan ruang rawat Farah, Alena melihat pintu ruangannya terbuka sedikit. Ia pikir sedang ada dokter atau perawat di dalam sana, tapi ternyata tidak. Hanya ada Gamma dan ibunya yang sedang terbaring lemah di bed pasien. Karena itu Alena memutuskan untuk masuk. Namun, suara sendu yang terdengar berhasil mengurungkan niat Alena untuk masuk. 

“Pa, Ares gagal jagain Mama.”

Dipandanginya punggung laki-laki di dalam ruangan itu. Kalimat yang diucapkan Gamma barusan berhasil menyentil perasaan Alena. Sungguh, setelah semua sikap Gamma padanya, sekarang Alena seperti dibawa ke masa lalu. Punggung itu seperti punggung anak laki-laki dua tahun lalu. Terlihat kuat, tapi sebenarnya rapuh.

Alena menghela napas pelan, kemudian memilih masuk ke ruang rawat tersebut. Ia lalu memberikan sekotak nasi goreng yang tadi dibelinya. Gamma menerimanya dan mereka pun makan bersama di ruangan itu. 

Sayangnya, ada satu yang tidak luput dari pandangan Alena. Gamma ... kenapa ekspresinya begitu datar hanya karena nasi goreng saja? Atau mungkin karena ada sesuatu yang sedang dipikirkan laki-laki itu? Atau mungkin ini ada hubungannya dengan Nada?

Entah, ia sendiri tidak tahu. Barangkali memang sedang ada yang dipikirkan laki-laki itu dan sifatnya rahasia. 

Namun, satu hal yang tidak pernah Alena duga setelah semua sikap Gamma padanya. Hari ini, tiba-tiba saja Gamma mengiriminya pesan singkat. Dalam pesan singkat itu tertulis, bahwa Gamma akan menjemputnya pulang sekolah nanti karena Farah ingin bertemu dengannya. 

Alena senang bukan main. Lagi pula, siapa juga yang tidak senang dijemput mantan tersayang dan akan bertemu dengan orang tuanya pula? 

Rasa senang itu membuat Alena memutuskan untuk buru-buru keluar kelas begitu bel pulang berbunyi. Ia juga tidak mempermasalahkan perihal Gamma yang bukan menjemputnya di depan gerbang, melainkan di warung dekat sekolah. Tidak apa, Alena tahu pasti Gamma menjaga perasaan Nada.

Gamma mengantar Alena pulang dulu ke rumah untuk berganti baju, baru kemudian mereka berangkat ke rumah sakit. Alena sungguh tidak menyangka setelah sekian lama ia pergi dari Jakarta, ternyata Farah masih mengingatnya dengan baik. Wanita cantik itu juga masih meminta Alena untuk memanggilnya “Mama” seperti dulu.

Dan nyatanya, dari semua hal itu, Alena sangat merindukan pelukan hangat dari Farah—pelukan yang tidak akan lagi ia dapatkan dari sosok ibu. 

Sore itu, Alena seperti diajak mengulang ke masa lalu. Bagaimana dulu ia sering mengobrol berbagai topik dengan wanita cantik itu. Bagaimana mereka yang kemudian berujung membicarakan aib Gamma. Sekarang, semua ini kembali terjadi. 

Kebahagiaan Alena kini berlipat ganda dan ia berharap kebahagiaan seperti ini tidak akan pernah hilang dari dalam hidupnya.

Bab terkait

  • 100 Langkah Melupakan Kisah Kita   8. Ucapan Terima Kasih

    Entah kenapa, perasaan Alena pagi ini jauh lebih baik daripada hari-hari sebelumnya. Mungkin karena efek bisa menghabiskan waktu bersama Gamma di luar jam sekolah, ia jadi merasa sesenang ini. Oh, terima kasih kepada Tante Farah yang sudah menyuruh Gamma menjemputnya pulang sekolah, demi bisa bertemu dengannya.Langkah kakinya begitu ringan menyusuri jalanan paving menuju gedung sekolah. Sebenarnya, Alena ingin langsung ke kelas, tapi ia mengurungkan niatnya ketika melihat Nada duduk sendirian di salah satu meja kantin. Alena pun menghampirinya.Nada memakan makanannya tanpa minat. Akhir-akhir ini Alena memang sering melihat Nada sedikit murung, begitu juga dengan Manda. Entah apa yang sudah terjadi di antara kedua sahabatnya itu, ia sama sekali tidak tahu. Baik Nada ataupun Manda, mereka tidak mengatakan tentang masalah apa yang sedang mereka hadapi sekarang.Alena pun menemani Nada di kantin. Alena memilih

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-07
  • 100 Langkah Melupakan Kisah Kita   9. Ada Yang Salah

    Dari semua hal yang di sekolah, bel pulang menjadi sesuatu yang paling ditunggu oleh semua murid dan mungkin para guru juga. Jika bel istirahat seperti oase di tengah gurun pasir, bel pulang seperti lautan luas yang ditemukan setelah perjalanan jauh melewati gurun pasir tersebut. Murid-murid akan berhamburan keluar kelas setelah bel pulang berbunyi. Sama seperti yang terjadi di kelas Alena sekarang. Bel berbunyi dan guru mata pelajaran terakhir baru saja keluar, tapi teman-teman sekelasnya sudah ramai keluar kelas. Beberapa lainnya masih sibuk bersiap-siap di bangku masing-masing. “Len, lo dijemput, kan? Ayo ke depan bareng.”Ajakan Via langsung disetujui oleh Alena. Gadis itu segera memasukkan buku dan alat tulisnya ke tas, lalu mencangklong tasnya seraya beranjak dari kursinya. “Ayo, Vi.”Alena ingin cepat pulang juga. Tadi pagi papanya bilang kalau beliau akan pulang cepat dari kantornya dan mengajak Alena makan di luar. Lagian, siapa pula ya

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-18
  • 100 Langkah Melupakan Kisah Kita   10. Ajakan Pulang Bareng

    Hujan di pagi hari selalu berhasil membangkitkan hawa malas bagi kebanyakan orang. Dinginnya udara membuat mereka lebih memilih menenggelamkan diri di balik selimut tebal daripada bangun dan melakukan rutinitas masing-masing.Hal itu juga yang dilakukan Riga sekarang. Hujan yang mengguyur kota sejak dini hari tadi—bertepatan dengan ia akan pergi tidur setelah menyelesaikan PR Biologi—membuat laki-laki enam belas tahun itu kembali menarik selimutnya hingga menutupi leher. Riga kembali terlelap dengan dengan nyaman.Masa bodoh dengan sarapan, yang penting sekarang ia ingin tidur. Lagi pula, siapa yang akan memarahinya hanya karena tidur di hari libur yang hujan ini? Tidak ada. Lebih tepatnya, tidak ada orang di rumahny, selain ia sendiri, sampai beberapa hari ke depan.Setidaknya itu yang Riga yakini sebelum suara ketukan pintu terdengar berulang dan disusul decitan pintu yang dibuka secara tidak sabar, mengusik ketenangan paginya.“Ayah&h

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-28
  • 100 Langkah Melupakan Kisah Kita   11. Suka?

    Awan hitam menggantung di langit, siap untuk menumpahkan semua air yang ditampungnya. Setelah gagal mengajak Nada pulang bersama, Riga melajukan motornya menuju salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta. Tidak, bukan untuk belanja, tapi untuk bekerja. Riga bekerja paruh waktu di sebuah kafe yang dikelola oleh tantenya sendiri. Star Café, Namanya.Jika ada yang bertanya apa Riga malu bekerja di kafe? Laki-laki itu pasti menjawab tidak. Bagi Riga, daripada pergi jalan-jalan tidak jelas dengan uang dari orang tua, lebih baik ia bekerja di kafe saja. Lumayan, bisa untuk mencari pengalaman kerja dan gajinya bisa untuk ditabung.“Hai, Riga. Baru datang, ya?” Seorang laki-laki bertubuh kurus dan berambut cepak, menyapa Riga di depan kafe. Laki-laki bernama Tama itu sedang membersihkan salah satu meja yang baru saja ditinggalkan pembeli.“Iya, baru pulang sekolah tadi. Gue masuk dulu, ya, Bang. Mau ganti baju,” pamit Riga yang langsung diac

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-30
  • 100 Langkah Melupakan Kisah Kita   12. Kalah Sebelum Mulai

    Riga sadar semakin hari perasaannya untuk Nada semakin besar. Ia benar-benar menyukai Nada. Karenanya, berbekal saran dari teman-teman kerjanya, Riga ingin mencari peruntungan untuk bisa semakin dekat dengan gadis itu. Ia ingin membuat Nada benar-benar nyaman bersamanya.Hari ini, Riga berencana mengajak Nada pulang bersama. Sayangnya, ketika ia akan menyampaikan ajakannya tersebut, seseorang justru lebih dulu mengajak Nada pulang bersama. Awalnya Riga merasa tidak yakin Nada akan menerima ajakan tersebut, tapi ternyata gadis itu menerimanya tanpa paksaan.Sial! Ia kalah cepat dari Gamma.Lebih yang lebih sialnya lagi, Pak Ganjar justru memanggilnya ke ruang guru hanya untuk membantu mengembalikan buku ke perpustakaan. Mau tak mau Riga mengiakan permintaan gurunya tersebut walaupun dalam hati ia ingin tahu ke mana perginya Nada dan Gamma tadi.Setelah mengembalikan semua buku tadi, Riga bergegas pulang. Suasana hatinya yang tidak cukup baik karena pemanda

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-01
  • 100 Langkah Melupakan Kisah Kita   13. Hujan dan Kenangan

    Hujan masih belum berniat berhenti. Embusan angin menyusup langsung ke pori-pori kulit sepasang remaja yang masih berdiri di balkon lantai dua. Manik mata mereka beradu, tapi si laki-laki lebih dulu memutuskan kontak mata tersebut. “Lo tahu kan Gamma itu orangnya gimana? Dia sabar, dia yang paling ngertiin orang di sekitarnya. Tapi sejak kejadian hari itu, Gamma terang-terangan menghindar dan dia juga seolah nggak mau kenal kita lagi. Kenapa? Ya karena dia udah terlanjur kecewa … sama kita.” “Gue minta maaf. Maaf karena udah bikin kekacauan di antara kita bertiga terus pergi gitu aja tanpa menyelesaikannya.” “Lo udah terlalu sering minta maaf, tapi hasilnya apa? Masih tetap sama, kan? Jadi, gue mohon jangan tanya lagi kenapa hubungan gue dan Gamma masih belum membaik sampai sekarang.” “Iya, gue nggak akan tanya soal itu lagi. Maaf,” ucap Alena. Ia tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu dari Riga. “Hujannya udah agak reda. Lo mau pul

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-03
  • 100 Langkah Melupakan Kisah Kita   14. Acara Ulang Tahun

    “Kita mau ke mana?” Alena kembali melempar pertanyaan kepada Riga. Ia sedikit mengeraskan nada suaranya supaya laki-laki di depannya ini bisa mendengar pertanyaannya.Hingga motor yang dikemudikan Riga sudah menjauhi kompleks perumahannya sejak beberapa menit lalu, tapi Alena masih tetap tidak tahu ke mana Riga mengajaknya pergi. Laki-laki itu tidak memberitahu tujuannya kepada Alena. Riga hanya berkata, “Nanti lo juga tahu.”Dua puluh menit perjalanan, motor Riga akhirnya berbelok ke sebuah toko bunga. Re’s Florist, namanya. Bagian luar toko itu tidak terlalu banyak tanaman yang dipajang, tapi berbeda dengan bagian dalamnya yang memajang banyak bunga-bunga cantik. Konsep dan penataan toko yang bagus membuat tempat ini terlihat sedap dipandang. Alena yakin pemilik toko ini adalah orang yang menyukai keindahan.“Lo suka yang mana?” Pertanyaan Riga menginterupsi kegiatan Alena mengagumi bunga-bunga di sini. Gadis itu menol

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-05
  • 100 Langkah Melupakan Kisah Kita   15. Telepon Tengah Malam

    Setelah mengantar Alena pulang, Riga pun langsung memacu motornya menuju rumah. Jangan berharap bisa tiba di rumah dalam waktu singkat, sebab jalanan yang padat kendaraan dan pedagang kaki lima, membuat Riga tidak bisa seenaknya menambah laju kecepatan motornya. Terlalu gegabah, yang ada bisa-bisa sesuatu hal buruk terjadi.Riga tiba di rumah bersamaan dengan sebuah mobil yang baru saja memasuki halaman rumahnya. Itu mobil sang ayah. Riga memarkir motornya tepat di samping mobil.“Tadi Alena beneran kamu anterin pulang, kan?” tanya Seno seraya menyerahkan kunci rumah kepada Riga.Laki-laki muda itu menerimanya. Dimasukkannya kunci tersebut ke lubang kunci, lalu memutarnya berlawanan jarum jam. “Iya, udah aku anter pulang. Kenapa, Yah?”“Enggak, Ayah agak kaget aja pas lihat kamu bawa teman perempuan ke rumah Tante kamu tadi. Ayah takut aja kamu nggak anterin Alena pulang ke rumahnya. Takutnya malah kamu turunin di mana gitu d

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-07

Bab terbaru

  • 100 Langkah Melupakan Kisah Kita   95. Kebenaran (Ending)

    “Hubungan kita?” Riga mengulangi ucapan gadis di depannya. “Emangnya kenapa sama hubungan kita? Hubungan kita baik-baik aja.” “Baik-baik aja kamu bilang?” Sudut bibir Alena terangkat tipis. Entah kenapa pertanyaan Riga barusan terdengar lucu di telinganya. “Apa kamu nggak ngerasa kalau hubungan kita akhir-akhir ini tuh berbeda?” Berikutnya tanpa bisa dicegah, gadis itu menunpahkan semua yang ia rasakan satu minggu belakangan ini. “Kamu sadar nggak sih, Ri kalau akhir-akhir ini sikap kamu ke aku itu berubah? Kamu kayak lagi ngehindarin aku. Chat sama teleponku jarang kamu respons, sekalipun kamu respons, itu pun cuek banget. Kamu jarang nyamperin aku di kelas, sering nolak tiap kali diajakin ke kantin pas istirahat. Malahan aku lihat beberapa kali kamu bareng sama Kanaya terus.” Meja itu hening. Riga hanya diam sambil memainkan sendok es krimnya. Seolah laki-laki itu sengaja membiarkan Alena menumpahkan semuanya. Seolah laki-laki itu menunggu waktu yang tepat untuk bicara. “Awalnya

  • 100 Langkah Melupakan Kisah Kita   94. Renggang

    Renggang.Satu kata itulah yang mungkin bisa menggambarkan hubungan Alena dan Riga saat ini. Bagaimana tidak, ini sudah satu minggu sejak Alena melihat Riga dan Kanaya di dekat parkiran pagi itu dan akhirnya ia tahu bahwa mereka berangkat bersama, tapi Riga sama sekali tidak menjelaskan apa pun pada Alena. Laki-laki itu tetap bersikap seperti biasa, seolah hal itu tidak pernah terjadi.Lebih dari itu, sikap Riga juga berbeda. Riga jarang mengajak Alena berangkat dan pulang sekolah bersama. Riga jarang ikut ke kantin setiap kali diajak teman-temannya. Riga lebih memilih tetap di kelas atau pergi ke perpustakaan saat jam istirahat.Awalnya Alena mengira perubahan sikap Riga itu karena Riga sedang banyak tugas, apalagi setelah mendengar keluhan Nada. Jadi, ia tidak terlalu mempermasalahkannya. Namun, semua itu berubah setelah Alena beberapa kali melihat Riga dan Kanaya bersama. Bahkan ia pernah tidak sengaja melihat Riga dan Kanaya pulang bersama.“Lo sama Riga lagi berantem ya, Len? Kok

  • 100 Langkah Melupakan Kisah Kita   93. Salah Paham

    Hujan sudah reda sejak dini hari tadi, tapi hawa dingin masih menyelimuti kota. Membuat orang-orang yang tidak betah dingin, harus memakai jaket atau baju hangat saat keluar rumah jika tidak mau menggigil kedinginan. Bahkan Riga saja yang termasuk golongan orang tahan dingin pun memilih memakai jaket hitam di luar seragam putihnya.Jalan raya pagi ini cukup lengang. Para pengendara motor yang sedang buru-buru bisa langsung menyalip tanpa ada drama macet. Namun, berbeda dengan Riga yang tetap mengemudi dengan santai, tapi hati-hati. Riga hanya tidak mau mengambil risiko, apalagi kondisi jalan setelah hujan cukup licin. Genangan air di mana-mana. Meleng sedikit saja, bisa-bisa malah terkena jebakan alias lubang jalan.Baru saja Riga melewati gerbang kompleks, matanya tanpa sengaja menangkap sebuah mobil terparkir di pinggir jalan. Tanpa membuang waktu lagi, Riga segera memacu motornya ke sana."Permisi. Mobilnya kenapa ya, Mbak—loh, Kanaya?”Itu Kanaya dan seorang wanita berpakaian kant

  • 100 Langkah Melupakan Kisah Kita   92. Bertemu Kanaya

    Jam sudah menunjukkan pukul 18.17 saat Riga dan Sandi, salah satu karyawan di kafe tantenya keluar dari musala mal. Mereka baru saja selesai menunaikan salat Maghrib. Namun, alih-alih langsung kembali ke kafe, mereka justru berkeliling sebentar. Kata Sandi, sekalian melepas penat.Mal hari ini tidak terlalu ramai pengunjung. Malah di lantai yang mereka lewati saat ini bisa dibilang sepi. Mungkin karena cuaca sedang hujan jadi orang-orang banyak yang lebih memilih berdiam di rumah daripada pergi ke luar. Sama seperti Sandi yang malas pulang ke kosnya gara-gara masih hujan deras.“Gue balik nanti aja, lah. Takut jadi mermaid gue kalau nekat balik sekarang,” jawab Sandi saat ditanya Tasya kenapa dia tidak pulang padahal jam kerjanya sudah habis.“Asem lo! Mana ada mermaid modelan kayak lo begini? Kurang cakep lo kalau jadi mermaid,” sahut Tama. Ia mengeluarkan beberapa bungkus roti tawar dan mengisinya ke stok. Berikutnya, obrolan-obrolan tidak berfaedah pun muncul dan menimbulkan gelak

  • 100 Langkah Melupakan Kisah Kita   91. Selingkuh

    Suasana berubah hening. Ketiga orang di sana menatap Riga, menunggu orang yang bersangkutan angkat bicara.“Gue malah baru tahu kalau Alena pergi ke kafe,” jawab Riga akhirnya. Ia kembali meletakkan ponsel di atas meja dengan posisi terbalik setelah membalas pesan Alena.Jawaban tersebut sontak membuat ketiga sahabat Riga saling pandang. Tanpa perlu bertanya pun mereka seolah memikirkan hal yang sama. Namun, mereka memilih diam. Setidaknya sebelum suara Pandu mengacaukan semuanya.“Apa jangan-jangan Alena selingkuh?”Sikutan cukup keras dibarengi tatapan tajam diterima Pandu. Laki-laki itu meringis.“Lo jangan asal nuduh. Kalau tuduhan lo salah, malah jatuhnya fitnah,” sahut Dana.“Siapa yang asal nuduh? Gue cuma nanya doang.”“Tapi pertanyaan lo tadi kesannya kayak nuduh.”“Tapi gue nggak nuduh!” Pandu berdecak. Sebelum teman-temannya merespons, laki-laki itu kembali angkat bicara. “Oke, sekarang gini deh, coba lo semua pikir. Kalau emang Alena nggak selingkuh, terus kenapa dia jalan

  • 100 Langkah Melupakan Kisah Kita   90. Ada Apa Dengan Alena

    Riga memasukkan motornya ke halaman setelah pria berseragam putih-biru membuka lebar pintu gerbang. Setelah motor Riga masuk, pria itu kembali menutup gerbang tersebut. Riga memarkir motor di depan garasi, tepat di sebelah motor si tuan rumah.“Dana ada, kan, Pak?” tanya Riga sambil meletakkan helmnya di atas jok.“Ada, Mas. Den Dana baru saja pulang, sama Mas Sakti juga tadi,” jawab pria itu ramah.“Makasih, Pak. Saya masuk dulu.”“Silakan, Mas.”Setelah mencabut kunci motornya, Riga lantas melangkah menuju pintu rumah yang terbuka. Ia mengetuk pintu tiga kali dan mengucap salam. Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya yang ia kenal sebagai asisten rumah tangga di rumah ini pun keluar. Wanita itu tersenyum ramah saat melihat siapa tamunya.“Oalah, Mas Riga, toh. Silakan masuk, Mas. Tadi Den Dana titip pesan ke Bibi, katanya kalau Mas Riga datang, disuruh langsung ke rooftop. Mari Bibi antar, Mas,” ucap wanita itu, lalu melangkah masuk.Riga mengikuti di belakang. Mereka menaiki

  • 100 Langkah Melupakan Kisah Kita   89. A Last Letter From Bara

    “Kemarin pas gue baru balik dan mau naruh tas, gue nggak sengaja nyenggol tumpukan buku di meja belajar. Beberapa bukunya jatuh, termasuk kertas ini,” lanjut Farel masih sambil memandang kertas di atas meja kafe.“Awalnya, gue pikir itu cuma kertas nggak penting—apalah, paling kertas sontekan doang jadi mau gue buang. Tapi gue kebiasaan ngecek ulang sesuatu sebelum benar-benar ngebuangnya, jadi gue cek lagi kertas ini. Pas gue buka kertasnya, ternyata isinya surat dan itu ditujukan buat lo. Itu juga alasan kenapa gue nge-chat lo tadi pagi, ngajak ketemuan,” jelas Farel. “By the way, sorry ya, suratnya jadi kebaca dikit. Tapi gue cuma nggak sengaja baca bagian awalnya doang kok, habis itu stop, nggak gue lanjutin.”Alena meraih kertas tersebut. “Nggak apa-apa, Rel. Justru gue malah berterima kasih sama lo. Kalau lo nggak nemuin dan baca surat ini, mungkin suratnya juga nggak bakalan sampai ke gue, kan?”Gadis itu benar. Andai saja kemarin ia memilih mengabaikan kertas tersebut atau par

  • 100 Langkah Melupakan Kisah Kita   88. Surat

    Suara ketukan berulang di pintu berhasil mengusik laki-laki yang kini tengah meringkuk di atas kasur. Laki-laki itu menggeram kesal. Udara dingin karena hujan ditambah tubuhnya yang lelah, membuatnya ingin tidur seharian tanpa gangguan. Namun, keinginan itu batal gara-gara sang ibu tidak berhenti mengetuk pintu kamarnya. Alhasil, ia tidak punya pilihan selain beranjak dari kasur dan melangkah menuju pintu.“Ada apa, Ma?” tanya Farel begitu ia membuka pintu.“Kamu baru bangun, Rel?” Yang ditanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. “Ini udah pukul sembilan lebih, loh, Rel. Kamu pasti belum sarapan, kan? Sana, kamu makan dulu. Mama tahu kamu capek banget habis perjalanan jauh, tapi lambungnya jangan sampai nggak diisi makanan. Kamu juga terakhir makan, kemarin pas masih di bandara, kan? Gih, sana sekarang turun.”Sejujurnya, Farel sendiri tidak ingat kapan terakhir kali ia makan. Yang ia ingat, kemarin ia pulang ke Jakarta dan selama perjalanan—entah di pesawat atau di mobil—ia lebih b

  • 100 Langkah Melupakan Kisah Kita   87. Start Over

    Alena baru akan membuka pintu mobil ketika terdengar suara klakson dari arah belakangnya. Gadis itu menoleh, mendapati sosok yang dikenalnya tengah melepas helm dan turun dari motor. Kemudian menghampirinya sambil menyunggingkan seulas senyum. Dan seperti yang sudah bisa Alena tebak kelanjutannya, Riga langsung menyalami papa sekaligus meminta izin untuk mengajak Alena berangkat bersama.“Aku kira kamu nggak jadi datang tadi, makanya aku mau bareng Papa.” Alena yang pertama kali bicara. Papa baru saja berangkat setelah memberi izin pada mereka, karena mendapat telepon dari kantornya. Tentu dengan catatan agar mereka hati-hati dan tidak mengebut di jalan, mengingat jalanan pasti basah setelah diguyur hujan sejak semalam hingga Subuh tadi.Beruntung, Alena membawa serta helmnya, jadi sekarang ia tidak perlu kembali ke rumah untuk mengambil helm. Gadis itu segera memakai helmnya, kemudian naik ke boncengan Riga. Laki-laki itu mulai melajukan motornya, meninggalkan rumah Alena.“Maaf, ya,

DMCA.com Protection Status