Hujan masih belum berniat berhenti. Embusan angin menyusup langsung ke pori-pori kulit sepasang remaja yang masih berdiri di balkon lantai dua. Manik mata mereka beradu, tapi si laki-laki lebih dulu memutuskan kontak mata tersebut.
“Lo tahu kan Gamma itu orangnya gimana? Dia sabar, dia yang paling ngertiin orang di sekitarnya. Tapi sejak kejadian hari itu, Gamma terang-terangan menghindar dan dia juga seolah nggak mau kenal kita lagi. Kenapa? Ya karena dia udah terlanjur kecewa … sama kita.”
“Gue minta maaf. Maaf karena udah bikin kekacauan di antara kita bertiga terus pergi gitu aja tanpa menyelesaikannya.”
“Lo udah terlalu sering minta maaf, tapi hasilnya apa? Masih tetap sama, kan? Jadi, gue mohon jangan tanya lagi kenapa hubungan gue dan Gamma masih belum membaik sampai sekarang.”
“Iya, gue nggak akan tanya soal itu lagi. Maaf,” ucap Alena. Ia tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu dari Riga.
“Hujannya udah agak reda. Lo mau pul
Halo semuanya. Terima kasih sudah membaca ceritaku. Semoga kalian suka, ya. Aku sangat open dengan kritik/saran. Jadi, jangan sungkan untuk kasih aku kritik/saran ya. Sekali lagi terima kasih.
“Kita mau ke mana?” Alena kembali melempar pertanyaan kepada Riga. Ia sedikit mengeraskan nada suaranya supaya laki-laki di depannya ini bisa mendengar pertanyaannya.Hingga motor yang dikemudikan Riga sudah menjauhi kompleks perumahannya sejak beberapa menit lalu, tapi Alena masih tetap tidak tahu ke mana Riga mengajaknya pergi. Laki-laki itu tidak memberitahu tujuannya kepada Alena. Riga hanya berkata, “Nanti lo juga tahu.”Dua puluh menit perjalanan, motor Riga akhirnya berbelok ke sebuah toko bunga. Re’s Florist, namanya. Bagian luar toko itu tidak terlalu banyak tanaman yang dipajang, tapi berbeda dengan bagian dalamnya yang memajang banyak bunga-bunga cantik. Konsep dan penataan toko yang bagus membuat tempat ini terlihat sedap dipandang. Alena yakin pemilik toko ini adalah orang yang menyukai keindahan.“Lo suka yang mana?” Pertanyaan Riga menginterupsi kegiatan Alena mengagumi bunga-bunga di sini. Gadis itu menol
Setelah mengantar Alena pulang, Riga pun langsung memacu motornya menuju rumah. Jangan berharap bisa tiba di rumah dalam waktu singkat, sebab jalanan yang padat kendaraan dan pedagang kaki lima, membuat Riga tidak bisa seenaknya menambah laju kecepatan motornya. Terlalu gegabah, yang ada bisa-bisa sesuatu hal buruk terjadi.Riga tiba di rumah bersamaan dengan sebuah mobil yang baru saja memasuki halaman rumahnya. Itu mobil sang ayah. Riga memarkir motornya tepat di samping mobil.“Tadi Alena beneran kamu anterin pulang, kan?” tanya Seno seraya menyerahkan kunci rumah kepada Riga.Laki-laki muda itu menerimanya. Dimasukkannya kunci tersebut ke lubang kunci, lalu memutarnya berlawanan jarum jam. “Iya, udah aku anter pulang. Kenapa, Yah?”“Enggak, Ayah agak kaget aja pas lihat kamu bawa teman perempuan ke rumah Tante kamu tadi. Ayah takut aja kamu nggak anterin Alena pulang ke rumahnya. Takutnya malah kamu turunin di mana gitu d
Sejak panggilan tengah malam itu, hubungan Riga dan Alena sedikit lebih baik daripada sebelumnya. Sekarang mereka bisa disebut sebagai teman yang cukup akrab. Sikap Riga sudah tidak sekaku seperti saat awal-awal kepindahan Alena ke Jakarta lagi. Jika dulu Alena hanya berani mengajak Riga pulang bersama, kini ia sudah berani mengajak laki-laki itu berangkat sekolah bersama. Riga juga tidak menolaknya. Beberapa kali pula, Alena dan Riga ke kantin bersama.Kedekatan mereka tentu saja memancing tanda tanya bagi sebagian besar murid di kelas mereka. Bagaimana tidak, di sini status Alena adalah murid baru, tapi belum genap dua bulan kepindahannya, gadis itu sudah dekat dengan Riga. Padahal semua murid kelas 11 jurusan IPA tahu jika Riga tidak pernah kelihatan akrab dengan murid perempuan. Oh, kecuali Nada.Entah sudah kali ke berapa, Alena menjadi bahan perbincangan karena datang bersama Riga. Awalnya, Alena bingung, tapi lama-kelamaan ia tidak peduli. Alena dengan terang-te
“Tadi ngomongin apa aja sama Nada?”Pertanyaan Riga membuyarkan fokus Alena dari layar ponsel. Keduanya sedang berada di warung mie ayam depan sekolah, menunggu pesanan mereka yang sedang disiapkan. Hujan sudah reda sejak sepuluh menit lalu.Alena mendongak. Ponselnya diletakkan di atas meja. “Ngomong apa? Gue sama Nada cuma ngobrol, biasalah cewek kalau ketemu kan suka ngerumpi.”“Iya? Bukannya topik obrolannya nggak jauh-jauh dari Gamma, ya?”Seorang laki-laki yang datang mengantar pesanan mereka, membuat Alena mengurungkan niatnya menjawab pertanyaan Riga. Kini, dua mangkuk mie ayam dan dua gelas es teh manis tersaji di meja mereka.“Kata siapa? Lo salah, Ri,” jawab Alena. Gadis itu mulai menambahkan sambal dan kecap, juga saus ke mangkuk saat Riga lengah. Lalu mencampurnya dengan rata.“Lo tahu kan akhir-akhir ini kita sering banget berangkat dan pulang bareng?” Riga berdehem si
Seumur-umur, Alena hampir tidak pernah terlambat. Ibunya selalu membangunkannya lebih awal supaya ia memiliki waktu yang cukup untuk bersiap-siap dan ketika ibunya sudah meninggal, tugas itu dilanjutkan oleh ayahnya. Namun, saat mulai masuk SMP, Alena memilih alarm untuk membangunkannya.Pilihannya tersebut berjalan baik selama bertahun-tahun, tapi sayangnya tidak dengan hari ini. Suara alarm yang beberapa kali Alena abaikan, membuat ia jadi bangun kesiangan. Alena bersiap secepat mungkin, waktunya tidak banyak. Selesai bersiap-siap, Alena segera keluar dari kamarnya.Tidak ada sarapan di meja makan dan ia juga tidak punya waktu untuk memasak mie instan. Alhasil, Alena mengambil sekotak susu UHT dan sebungkus roti di meja, lalu keluar. Alena mengunci pintu rumahnya dan segera memesan ojek online. Tidak lama kemudian, ojek yang dipesannya pun tiba. Setelah memastikan nama pemesannya, pengemudi ojek tersebut langsung memberikan helm kepada Alena. Gadis itu pun k
Jam pelajaran terakhir hari ini entah kenapa terasa lebih lama dari biasanya. Ditambah lagi penjelasan dari guru Biologi pengganti yang suaranya lembut ini membuat murid di kelas Alena, seperti sedang mendengarkan cerita dongeng. Mengakibatkan kebanyakan murid yang konsentrasinya sudah hampir habis, semakin kesulitan menangkap materinya. Malah beberapa lainnya sesekali membuka kelopak matanya lebar-lebar hanya supaya tidak mengantuk.Semua murid berusaha menahan kantuk supaya tidak menambah daftar catatan poin pelanggaran. Sebab, di SMA Angkasa, pelanggaran bertambah sepuluh poin akan langsung mendapat surat peringatan. Jika poin pelanggaran mencapai delapan puluh poin, akan diberi surat panggilan orang tua. Lebih dari itu, tentu saja murid akan dikeluarkan dari sekolah.Begitu juga dengan Alena. Gadis itu berusaha tetap memperhatikan penjelasan gurunya padahal matanya sudah tinggal lima watt. Sial! Kapan sih bel pulang bunyi? Ia benar-benar ingin tidur sekarang.
Bel pulang sudah berbunyi sejak tadi, tapi Riga masih sibuk di bangkunya dengan sebuah ponsel di tangannya. Sedikit tampak gelisah karena notifikasi yang ditunggunya tak kunjung muncul. Sambil menunggu, ia memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Memastikan lagi tidak ada barangnya yang ketinggalan, ia lalu menutup tasnya.Di kelas, hanya tinggal ia dan ketiga gadis yang sudah dua bulan terakhir ini sering terlihat bersama. Siapa lagi kalau bukan Nada, Manda, dan Alena. Riga cukup salut karena Alena bisa dengan cepat berteman dengan kedua teman sekelasnya yang ajaib tersebut.Dari bangkunya, Riga bisa melihat mereka tampak larut dalam obrolan yang sepertinya seru jika ia ikut bergabung. Namun, tidak. Ia tidak mau merusak girls time mereka.Ponsel Riga berdenting singkat, notifikasi yang sejak tadi ditunggunya, akhirnya masuk. Riga meraih tasnya dan bergegas bangkit. Namun, saat ia melangkah, tanpa sengaja ia menangkap sesuatu tak terduga. Riga sudah berbal
Sejak resmi menjadi siswi baru di SMA Angkasa, Alena hanya mengenal teman-teman sekelasnya yang kemudian akrab dengan Nada, Manda, Via, dan Riga. Meski begitu, Alena tidak pernah tidak tahu tentang berita atau gosip yang beredar di sekolahnya. Manda dan Via selalu menjadi informan terbaik di antara mereka berempat.Namun, berbeda dengan hari ini. Alena memiliki tambahan kenalan—teman, mungkin—baru berkat Riga. Tadi alih-alih mengantar Alena pulang, Riga justru mengajak gadis itu ke rumah Dana. Awalnya, Alena ragu, tapi Riga menyakinkannya bahwa semua akan aman. Riga bilang mereka hanya akan bermain game saja.“Ya udah gue ikut, tapi pulangnya jangan sore-sore, ya? Takut nanti Papa pulang duluan,” peringat Alena, yang langsung disetujui oleh Riga.Setelah mengabari Budi melalui pesan singkat bahwa ia pulang terlambat, Alena pun segera naik ke boncengan. Tak lama kemudian, motor Riga melaju dan berbaur dengan kendaraan lainnya. But
“Hubungan kita?” Riga mengulangi ucapan gadis di depannya. “Emangnya kenapa sama hubungan kita? Hubungan kita baik-baik aja.” “Baik-baik aja kamu bilang?” Sudut bibir Alena terangkat tipis. Entah kenapa pertanyaan Riga barusan terdengar lucu di telinganya. “Apa kamu nggak ngerasa kalau hubungan kita akhir-akhir ini tuh berbeda?” Berikutnya tanpa bisa dicegah, gadis itu menunpahkan semua yang ia rasakan satu minggu belakangan ini. “Kamu sadar nggak sih, Ri kalau akhir-akhir ini sikap kamu ke aku itu berubah? Kamu kayak lagi ngehindarin aku. Chat sama teleponku jarang kamu respons, sekalipun kamu respons, itu pun cuek banget. Kamu jarang nyamperin aku di kelas, sering nolak tiap kali diajakin ke kantin pas istirahat. Malahan aku lihat beberapa kali kamu bareng sama Kanaya terus.” Meja itu hening. Riga hanya diam sambil memainkan sendok es krimnya. Seolah laki-laki itu sengaja membiarkan Alena menumpahkan semuanya. Seolah laki-laki itu menunggu waktu yang tepat untuk bicara. “Awalnya
Renggang.Satu kata itulah yang mungkin bisa menggambarkan hubungan Alena dan Riga saat ini. Bagaimana tidak, ini sudah satu minggu sejak Alena melihat Riga dan Kanaya di dekat parkiran pagi itu dan akhirnya ia tahu bahwa mereka berangkat bersama, tapi Riga sama sekali tidak menjelaskan apa pun pada Alena. Laki-laki itu tetap bersikap seperti biasa, seolah hal itu tidak pernah terjadi.Lebih dari itu, sikap Riga juga berbeda. Riga jarang mengajak Alena berangkat dan pulang sekolah bersama. Riga jarang ikut ke kantin setiap kali diajak teman-temannya. Riga lebih memilih tetap di kelas atau pergi ke perpustakaan saat jam istirahat.Awalnya Alena mengira perubahan sikap Riga itu karena Riga sedang banyak tugas, apalagi setelah mendengar keluhan Nada. Jadi, ia tidak terlalu mempermasalahkannya. Namun, semua itu berubah setelah Alena beberapa kali melihat Riga dan Kanaya bersama. Bahkan ia pernah tidak sengaja melihat Riga dan Kanaya pulang bersama.“Lo sama Riga lagi berantem ya, Len? Kok
Hujan sudah reda sejak dini hari tadi, tapi hawa dingin masih menyelimuti kota. Membuat orang-orang yang tidak betah dingin, harus memakai jaket atau baju hangat saat keluar rumah jika tidak mau menggigil kedinginan. Bahkan Riga saja yang termasuk golongan orang tahan dingin pun memilih memakai jaket hitam di luar seragam putihnya.Jalan raya pagi ini cukup lengang. Para pengendara motor yang sedang buru-buru bisa langsung menyalip tanpa ada drama macet. Namun, berbeda dengan Riga yang tetap mengemudi dengan santai, tapi hati-hati. Riga hanya tidak mau mengambil risiko, apalagi kondisi jalan setelah hujan cukup licin. Genangan air di mana-mana. Meleng sedikit saja, bisa-bisa malah terkena jebakan alias lubang jalan.Baru saja Riga melewati gerbang kompleks, matanya tanpa sengaja menangkap sebuah mobil terparkir di pinggir jalan. Tanpa membuang waktu lagi, Riga segera memacu motornya ke sana."Permisi. Mobilnya kenapa ya, Mbak—loh, Kanaya?”Itu Kanaya dan seorang wanita berpakaian kant
Jam sudah menunjukkan pukul 18.17 saat Riga dan Sandi, salah satu karyawan di kafe tantenya keluar dari musala mal. Mereka baru saja selesai menunaikan salat Maghrib. Namun, alih-alih langsung kembali ke kafe, mereka justru berkeliling sebentar. Kata Sandi, sekalian melepas penat.Mal hari ini tidak terlalu ramai pengunjung. Malah di lantai yang mereka lewati saat ini bisa dibilang sepi. Mungkin karena cuaca sedang hujan jadi orang-orang banyak yang lebih memilih berdiam di rumah daripada pergi ke luar. Sama seperti Sandi yang malas pulang ke kosnya gara-gara masih hujan deras.“Gue balik nanti aja, lah. Takut jadi mermaid gue kalau nekat balik sekarang,” jawab Sandi saat ditanya Tasya kenapa dia tidak pulang padahal jam kerjanya sudah habis.“Asem lo! Mana ada mermaid modelan kayak lo begini? Kurang cakep lo kalau jadi mermaid,” sahut Tama. Ia mengeluarkan beberapa bungkus roti tawar dan mengisinya ke stok. Berikutnya, obrolan-obrolan tidak berfaedah pun muncul dan menimbulkan gelak
Suasana berubah hening. Ketiga orang di sana menatap Riga, menunggu orang yang bersangkutan angkat bicara.“Gue malah baru tahu kalau Alena pergi ke kafe,” jawab Riga akhirnya. Ia kembali meletakkan ponsel di atas meja dengan posisi terbalik setelah membalas pesan Alena.Jawaban tersebut sontak membuat ketiga sahabat Riga saling pandang. Tanpa perlu bertanya pun mereka seolah memikirkan hal yang sama. Namun, mereka memilih diam. Setidaknya sebelum suara Pandu mengacaukan semuanya.“Apa jangan-jangan Alena selingkuh?”Sikutan cukup keras dibarengi tatapan tajam diterima Pandu. Laki-laki itu meringis.“Lo jangan asal nuduh. Kalau tuduhan lo salah, malah jatuhnya fitnah,” sahut Dana.“Siapa yang asal nuduh? Gue cuma nanya doang.”“Tapi pertanyaan lo tadi kesannya kayak nuduh.”“Tapi gue nggak nuduh!” Pandu berdecak. Sebelum teman-temannya merespons, laki-laki itu kembali angkat bicara. “Oke, sekarang gini deh, coba lo semua pikir. Kalau emang Alena nggak selingkuh, terus kenapa dia jalan
Riga memasukkan motornya ke halaman setelah pria berseragam putih-biru membuka lebar pintu gerbang. Setelah motor Riga masuk, pria itu kembali menutup gerbang tersebut. Riga memarkir motor di depan garasi, tepat di sebelah motor si tuan rumah.“Dana ada, kan, Pak?” tanya Riga sambil meletakkan helmnya di atas jok.“Ada, Mas. Den Dana baru saja pulang, sama Mas Sakti juga tadi,” jawab pria itu ramah.“Makasih, Pak. Saya masuk dulu.”“Silakan, Mas.”Setelah mencabut kunci motornya, Riga lantas melangkah menuju pintu rumah yang terbuka. Ia mengetuk pintu tiga kali dan mengucap salam. Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya yang ia kenal sebagai asisten rumah tangga di rumah ini pun keluar. Wanita itu tersenyum ramah saat melihat siapa tamunya.“Oalah, Mas Riga, toh. Silakan masuk, Mas. Tadi Den Dana titip pesan ke Bibi, katanya kalau Mas Riga datang, disuruh langsung ke rooftop. Mari Bibi antar, Mas,” ucap wanita itu, lalu melangkah masuk.Riga mengikuti di belakang. Mereka menaiki
“Kemarin pas gue baru balik dan mau naruh tas, gue nggak sengaja nyenggol tumpukan buku di meja belajar. Beberapa bukunya jatuh, termasuk kertas ini,” lanjut Farel masih sambil memandang kertas di atas meja kafe.“Awalnya, gue pikir itu cuma kertas nggak penting—apalah, paling kertas sontekan doang jadi mau gue buang. Tapi gue kebiasaan ngecek ulang sesuatu sebelum benar-benar ngebuangnya, jadi gue cek lagi kertas ini. Pas gue buka kertasnya, ternyata isinya surat dan itu ditujukan buat lo. Itu juga alasan kenapa gue nge-chat lo tadi pagi, ngajak ketemuan,” jelas Farel. “By the way, sorry ya, suratnya jadi kebaca dikit. Tapi gue cuma nggak sengaja baca bagian awalnya doang kok, habis itu stop, nggak gue lanjutin.”Alena meraih kertas tersebut. “Nggak apa-apa, Rel. Justru gue malah berterima kasih sama lo. Kalau lo nggak nemuin dan baca surat ini, mungkin suratnya juga nggak bakalan sampai ke gue, kan?”Gadis itu benar. Andai saja kemarin ia memilih mengabaikan kertas tersebut atau par
Suara ketukan berulang di pintu berhasil mengusik laki-laki yang kini tengah meringkuk di atas kasur. Laki-laki itu menggeram kesal. Udara dingin karena hujan ditambah tubuhnya yang lelah, membuatnya ingin tidur seharian tanpa gangguan. Namun, keinginan itu batal gara-gara sang ibu tidak berhenti mengetuk pintu kamarnya. Alhasil, ia tidak punya pilihan selain beranjak dari kasur dan melangkah menuju pintu.“Ada apa, Ma?” tanya Farel begitu ia membuka pintu.“Kamu baru bangun, Rel?” Yang ditanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. “Ini udah pukul sembilan lebih, loh, Rel. Kamu pasti belum sarapan, kan? Sana, kamu makan dulu. Mama tahu kamu capek banget habis perjalanan jauh, tapi lambungnya jangan sampai nggak diisi makanan. Kamu juga terakhir makan, kemarin pas masih di bandara, kan? Gih, sana sekarang turun.”Sejujurnya, Farel sendiri tidak ingat kapan terakhir kali ia makan. Yang ia ingat, kemarin ia pulang ke Jakarta dan selama perjalanan—entah di pesawat atau di mobil—ia lebih b
Alena baru akan membuka pintu mobil ketika terdengar suara klakson dari arah belakangnya. Gadis itu menoleh, mendapati sosok yang dikenalnya tengah melepas helm dan turun dari motor. Kemudian menghampirinya sambil menyunggingkan seulas senyum. Dan seperti yang sudah bisa Alena tebak kelanjutannya, Riga langsung menyalami papa sekaligus meminta izin untuk mengajak Alena berangkat bersama.“Aku kira kamu nggak jadi datang tadi, makanya aku mau bareng Papa.” Alena yang pertama kali bicara. Papa baru saja berangkat setelah memberi izin pada mereka, karena mendapat telepon dari kantornya. Tentu dengan catatan agar mereka hati-hati dan tidak mengebut di jalan, mengingat jalanan pasti basah setelah diguyur hujan sejak semalam hingga Subuh tadi.Beruntung, Alena membawa serta helmnya, jadi sekarang ia tidak perlu kembali ke rumah untuk mengambil helm. Gadis itu segera memakai helmnya, kemudian naik ke boncengan Riga. Laki-laki itu mulai melajukan motornya, meninggalkan rumah Alena.“Maaf, ya,