Jam pelajaran terakhir hari ini entah kenapa terasa lebih lama dari biasanya. Ditambah lagi penjelasan dari guru Biologi pengganti yang suaranya lembut ini membuat murid di kelas Alena, seperti sedang mendengarkan cerita dongeng. Mengakibatkan kebanyakan murid yang konsentrasinya sudah hampir habis, semakin kesulitan menangkap materinya. Malah beberapa lainnya sesekali membuka kelopak matanya lebar-lebar hanya supaya tidak mengantuk.
Semua murid berusaha menahan kantuk supaya tidak menambah daftar catatan poin pelanggaran. Sebab, di SMA Angkasa, pelanggaran bertambah sepuluh poin akan langsung mendapat surat peringatan. Jika poin pelanggaran mencapai delapan puluh poin, akan diberi surat panggilan orang tua. Lebih dari itu, tentu saja murid akan dikeluarkan dari sekolah.
Begitu juga dengan Alena. Gadis itu berusaha tetap memperhatikan penjelasan gurunya padahal matanya sudah tinggal lima watt. Sial! Kapan sih bel pulang bunyi? Ia benar-benar ingin tidur sekarang.
<Bel pulang sudah berbunyi sejak tadi, tapi Riga masih sibuk di bangkunya dengan sebuah ponsel di tangannya. Sedikit tampak gelisah karena notifikasi yang ditunggunya tak kunjung muncul. Sambil menunggu, ia memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Memastikan lagi tidak ada barangnya yang ketinggalan, ia lalu menutup tasnya.Di kelas, hanya tinggal ia dan ketiga gadis yang sudah dua bulan terakhir ini sering terlihat bersama. Siapa lagi kalau bukan Nada, Manda, dan Alena. Riga cukup salut karena Alena bisa dengan cepat berteman dengan kedua teman sekelasnya yang ajaib tersebut.Dari bangkunya, Riga bisa melihat mereka tampak larut dalam obrolan yang sepertinya seru jika ia ikut bergabung. Namun, tidak. Ia tidak mau merusak girls time mereka.Ponsel Riga berdenting singkat, notifikasi yang sejak tadi ditunggunya, akhirnya masuk. Riga meraih tasnya dan bergegas bangkit. Namun, saat ia melangkah, tanpa sengaja ia menangkap sesuatu tak terduga. Riga sudah berbal
Sejak resmi menjadi siswi baru di SMA Angkasa, Alena hanya mengenal teman-teman sekelasnya yang kemudian akrab dengan Nada, Manda, Via, dan Riga. Meski begitu, Alena tidak pernah tidak tahu tentang berita atau gosip yang beredar di sekolahnya. Manda dan Via selalu menjadi informan terbaik di antara mereka berempat.Namun, berbeda dengan hari ini. Alena memiliki tambahan kenalan—teman, mungkin—baru berkat Riga. Tadi alih-alih mengantar Alena pulang, Riga justru mengajak gadis itu ke rumah Dana. Awalnya, Alena ragu, tapi Riga menyakinkannya bahwa semua akan aman. Riga bilang mereka hanya akan bermain game saja.“Ya udah gue ikut, tapi pulangnya jangan sore-sore, ya? Takut nanti Papa pulang duluan,” peringat Alena, yang langsung disetujui oleh Riga.Setelah mengabari Budi melalui pesan singkat bahwa ia pulang terlambat, Alena pun segera naik ke boncengan. Tak lama kemudian, motor Riga melaju dan berbaur dengan kendaraan lainnya. But
Udara dingin menerpa wajah Dana begitu laki-laki itu membuka pintu kulkas. Matanya menyapu isi kulkas, sebelum kemudian menarik keluar satu botol sirup berperisa jeruk dan es batu dari dalam sana. Biasanya jika ada tamu, asisten rumah tangganya yang selalu menyiapkan suguhan. Namun, karena asisten rumah tangganya sedang pulang kampung, mau tak mau Dana sendiri yang menyiapkan.Untungnya, tamu yang datang bukan seperti tamu-tamu biasa ditemui ayahnya. Tamunya adalah empat orang remaja berseragam putih abu-abu yang sudah tidak asing lagi baginya. Tiga orang laki-laki dengan karakter berbeda, tapi kalau soal pertemanan, selalu kompak serta seorang gadis berwajah cantik yang punya senyum manis. Salah satu dari sahabatnya cukup akrab dengan gadis itu.Dana mengambil lima buah gelas dan meletakkannya di atas meja dapur. Lalu membuka tutup botol sirup dan mulai menuangkannya ke tiap gelas. Fokusnya sedikit teralihkan ketika mendengar suara langkah kaki mendekat. Dana mendonga
“Teman-teman lo seru ya ternyata. Kapan-kapan ajak gue lagi dong kalau ketemu mereka,” ujar Alena pada Riga yang sedang fokus mengemudi.Langit sudah mulai gelap dan mereka baru sampai setengah perjalanan ke rumah Alena. Riga melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Membiarkan kendaraan-kendaraan lain mendahului motornya di tengah kepadatan lalu lintas.Suara Alena yang terdengar samar karena bisingnya keramaian ibu kota, membuat Riga meminta gadis itu mengulangi ucapannya. Alena menurut dan mengulanginya dengan jelas.“Kalau gue sih mau-mau aja ngajak lo ketemu mereka lagi, tapi gue juga nggak enak sama mereka. Masa iya tiap kumpul berempat, gue ngajak lo terus?”“Kalau gitu suruh teman-teman kamu bawa ceweknya juga, dong biar aku ada temennya.”Itu mungkin usulan paling tepat menurut Alena, tapi sayangnya tidak menurut Riga. Laki-laki itu menghentikan motornya di depan rumah Alena, membiarkan gadis itu turun
Hari masih terlalu pagi ketika suara ledakan terdengar dari lantai bawah. Alena yang semula berniat melangkah ke kamar mandi pun langsung keluar dari kamarnya. Dengan handuk yang tersampir di bahunya, gadis itu setengah berlari menuruni tangga. Kepalanya celingukan ke kanan-kiri, mencari dari mana asalnya suara tadi.Alena ke dapur, tapi tidak ada orang. Begitu pula dengan ruang tengah dan ruang tamu. Kamar ayahnya juga sepi. Lantas ke mana ayahnya? Dan suara tadi asalnya dari mana?Hingga akhirnya suara sirine menerobos indra pendengaran gadis itu. Alena berlari ke depan rumah. Matanya membelalak kaget ketika mendapati asap hitam membumbung tinggi di atas sebuah rumah yang terletak tepat di seberang rumahnya. Beberapa orang dewasa berlarian bolak-balik dengan membawa ember berisi air. Petugas pemadam kebakaran yang baru saja datang bersama polisi, segera melonggarkan gulungan selang dari mobil dan mengarahkannya ke rumah yang terbakar. Petugas mulai berusaha memadamka
“Maksud lo apa nanya begitu? Lo nuduh gue yang neror Nada? Iya?”Sayangnya, pertanyaan yang Riga lontarkan secara baik-baik, justru diterima Alena dengan negatif. Gadis itu merespons tak suka atas pertanyaan Riga. Suasana hati yang sebelumnya buruk karena kejadian di koridor tadi, sekarang makin memburuk.“Enggak, bukan begitu maksud gue, Al. Gue nggak nuduh lo, gue cuma nanya aja ke lo soal ponsel itu. Kenapa lo malah tiba-tiba sensi begini, sih?” Meskipun sedikit kaget dengan respons Alena, tapi Riga berusaha untuk tidak ikut terbawa emosi juga. Ia tidak mau Alena marah dan malah menjauhinya hanya karena hal sepele.Beruntungnya, kelas sedang kosong karena murid-murid sudah keluar sejak bel istirahat berbunyi. Jadi, tidak ada yang tahu apa yang sedang mereka ributkan sekarang.“Ya, gimana gue nggak kesel coba, lo tiba-tiba aja nanya gitu ke gue. Lagian ngapain juga gue teror sahabat gue sendiri? Kurang ajar banget itu naman
Cahaya lampu-lampu yang cantik di setiap toko yang menarik minat, orang-orang yang berjalan serta keluar masuk pertokoan seolah tak pernah merasa lelah, dan suara petugas yang mengumumkan bahwa ada anak kecil yang terpisah dari ibunya, menjadi latar suasana pusat perbelanjaan sore itu. Namun, keramaian tersebut nyatanya tidak cukup bisa membuat Riga menjadi sedikit tenang. Pikirannya justru sama ramainya dengan pusat perbelanjaan sekarang. Bagaimana bisa ia merasa tenang jika ada banyak pertanyaan tiba-tiba menghuni benaknya.Pembicaraan dengan Gamma di lapangan basket tadi nyatanya masih tetap berdiam di benak Riga. Ia bahkan masih ingat jelas bagaimana ekspresi Gamma saat mengatakan semua itu. Gamma kalut dan ada percikan amarah yang berusaha ditahannya. Entah amarah pada si peneror atau juga amarah padanya yang masih belum padam meskipun sudah sekian tahun berlalu.Sayangnya, hal itu membuat Riga sedikit kehilangan fokusnya hingga tanpa sengaja menabrak sepasang remaja yang saat it
Sejak hari itu, sebisa mungkin Riga mengurangi interaksi dengan Nada. Beruntungnya, tugas kelompok yang waktu itu sudah selesai dan kelompok mereka juga sudah melakukan presentasi, jadi Riga memiliki alasan untuk tidak terlalu dekat dengan gadis itu. Nada sendiri pun tampaknya tidak terlalu memedulikan perubahan sikap Riga tersebut. Mereka paling hanya akan saling menyapa atau melempar senyum satu sama lain ketika bertemu di kelas atau koridor sekolah. Memang ini lumayan sulit dilakukan karena ia terbiasa banyak berinteraksi dengan Nada, tapi sepertinya usahanya kali ini akan berhasil. Karena ia tahu rasanya percuma terus menyimpan perasaan kepada seseorang jika hatinya saja bukan untukmu. Bukankah dengan begitu, melupakan adalah cara terbaiknya supaya tidak menyiksa hati lebih dalam lagi? Jadi, ketika malam itu ia pulang dari kafe usai bekerja dan mampir ke sebuah toko kue, ia mengirim pesan kepada Alena. Ia meminta gadis itu menunggunya di teras rumah karena ia sedang dalam perja
“Hubungan kita?” Riga mengulangi ucapan gadis di depannya. “Emangnya kenapa sama hubungan kita? Hubungan kita baik-baik aja.” “Baik-baik aja kamu bilang?” Sudut bibir Alena terangkat tipis. Entah kenapa pertanyaan Riga barusan terdengar lucu di telinganya. “Apa kamu nggak ngerasa kalau hubungan kita akhir-akhir ini tuh berbeda?” Berikutnya tanpa bisa dicegah, gadis itu menunpahkan semua yang ia rasakan satu minggu belakangan ini. “Kamu sadar nggak sih, Ri kalau akhir-akhir ini sikap kamu ke aku itu berubah? Kamu kayak lagi ngehindarin aku. Chat sama teleponku jarang kamu respons, sekalipun kamu respons, itu pun cuek banget. Kamu jarang nyamperin aku di kelas, sering nolak tiap kali diajakin ke kantin pas istirahat. Malahan aku lihat beberapa kali kamu bareng sama Kanaya terus.” Meja itu hening. Riga hanya diam sambil memainkan sendok es krimnya. Seolah laki-laki itu sengaja membiarkan Alena menumpahkan semuanya. Seolah laki-laki itu menunggu waktu yang tepat untuk bicara. “Awalnya
Renggang.Satu kata itulah yang mungkin bisa menggambarkan hubungan Alena dan Riga saat ini. Bagaimana tidak, ini sudah satu minggu sejak Alena melihat Riga dan Kanaya di dekat parkiran pagi itu dan akhirnya ia tahu bahwa mereka berangkat bersama, tapi Riga sama sekali tidak menjelaskan apa pun pada Alena. Laki-laki itu tetap bersikap seperti biasa, seolah hal itu tidak pernah terjadi.Lebih dari itu, sikap Riga juga berbeda. Riga jarang mengajak Alena berangkat dan pulang sekolah bersama. Riga jarang ikut ke kantin setiap kali diajak teman-temannya. Riga lebih memilih tetap di kelas atau pergi ke perpustakaan saat jam istirahat.Awalnya Alena mengira perubahan sikap Riga itu karena Riga sedang banyak tugas, apalagi setelah mendengar keluhan Nada. Jadi, ia tidak terlalu mempermasalahkannya. Namun, semua itu berubah setelah Alena beberapa kali melihat Riga dan Kanaya bersama. Bahkan ia pernah tidak sengaja melihat Riga dan Kanaya pulang bersama.“Lo sama Riga lagi berantem ya, Len? Kok
Hujan sudah reda sejak dini hari tadi, tapi hawa dingin masih menyelimuti kota. Membuat orang-orang yang tidak betah dingin, harus memakai jaket atau baju hangat saat keluar rumah jika tidak mau menggigil kedinginan. Bahkan Riga saja yang termasuk golongan orang tahan dingin pun memilih memakai jaket hitam di luar seragam putihnya.Jalan raya pagi ini cukup lengang. Para pengendara motor yang sedang buru-buru bisa langsung menyalip tanpa ada drama macet. Namun, berbeda dengan Riga yang tetap mengemudi dengan santai, tapi hati-hati. Riga hanya tidak mau mengambil risiko, apalagi kondisi jalan setelah hujan cukup licin. Genangan air di mana-mana. Meleng sedikit saja, bisa-bisa malah terkena jebakan alias lubang jalan.Baru saja Riga melewati gerbang kompleks, matanya tanpa sengaja menangkap sebuah mobil terparkir di pinggir jalan. Tanpa membuang waktu lagi, Riga segera memacu motornya ke sana."Permisi. Mobilnya kenapa ya, Mbak—loh, Kanaya?”Itu Kanaya dan seorang wanita berpakaian kant
Jam sudah menunjukkan pukul 18.17 saat Riga dan Sandi, salah satu karyawan di kafe tantenya keluar dari musala mal. Mereka baru saja selesai menunaikan salat Maghrib. Namun, alih-alih langsung kembali ke kafe, mereka justru berkeliling sebentar. Kata Sandi, sekalian melepas penat.Mal hari ini tidak terlalu ramai pengunjung. Malah di lantai yang mereka lewati saat ini bisa dibilang sepi. Mungkin karena cuaca sedang hujan jadi orang-orang banyak yang lebih memilih berdiam di rumah daripada pergi ke luar. Sama seperti Sandi yang malas pulang ke kosnya gara-gara masih hujan deras.“Gue balik nanti aja, lah. Takut jadi mermaid gue kalau nekat balik sekarang,” jawab Sandi saat ditanya Tasya kenapa dia tidak pulang padahal jam kerjanya sudah habis.“Asem lo! Mana ada mermaid modelan kayak lo begini? Kurang cakep lo kalau jadi mermaid,” sahut Tama. Ia mengeluarkan beberapa bungkus roti tawar dan mengisinya ke stok. Berikutnya, obrolan-obrolan tidak berfaedah pun muncul dan menimbulkan gelak
Suasana berubah hening. Ketiga orang di sana menatap Riga, menunggu orang yang bersangkutan angkat bicara.“Gue malah baru tahu kalau Alena pergi ke kafe,” jawab Riga akhirnya. Ia kembali meletakkan ponsel di atas meja dengan posisi terbalik setelah membalas pesan Alena.Jawaban tersebut sontak membuat ketiga sahabat Riga saling pandang. Tanpa perlu bertanya pun mereka seolah memikirkan hal yang sama. Namun, mereka memilih diam. Setidaknya sebelum suara Pandu mengacaukan semuanya.“Apa jangan-jangan Alena selingkuh?”Sikutan cukup keras dibarengi tatapan tajam diterima Pandu. Laki-laki itu meringis.“Lo jangan asal nuduh. Kalau tuduhan lo salah, malah jatuhnya fitnah,” sahut Dana.“Siapa yang asal nuduh? Gue cuma nanya doang.”“Tapi pertanyaan lo tadi kesannya kayak nuduh.”“Tapi gue nggak nuduh!” Pandu berdecak. Sebelum teman-temannya merespons, laki-laki itu kembali angkat bicara. “Oke, sekarang gini deh, coba lo semua pikir. Kalau emang Alena nggak selingkuh, terus kenapa dia jalan
Riga memasukkan motornya ke halaman setelah pria berseragam putih-biru membuka lebar pintu gerbang. Setelah motor Riga masuk, pria itu kembali menutup gerbang tersebut. Riga memarkir motor di depan garasi, tepat di sebelah motor si tuan rumah.“Dana ada, kan, Pak?” tanya Riga sambil meletakkan helmnya di atas jok.“Ada, Mas. Den Dana baru saja pulang, sama Mas Sakti juga tadi,” jawab pria itu ramah.“Makasih, Pak. Saya masuk dulu.”“Silakan, Mas.”Setelah mencabut kunci motornya, Riga lantas melangkah menuju pintu rumah yang terbuka. Ia mengetuk pintu tiga kali dan mengucap salam. Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya yang ia kenal sebagai asisten rumah tangga di rumah ini pun keluar. Wanita itu tersenyum ramah saat melihat siapa tamunya.“Oalah, Mas Riga, toh. Silakan masuk, Mas. Tadi Den Dana titip pesan ke Bibi, katanya kalau Mas Riga datang, disuruh langsung ke rooftop. Mari Bibi antar, Mas,” ucap wanita itu, lalu melangkah masuk.Riga mengikuti di belakang. Mereka menaiki
“Kemarin pas gue baru balik dan mau naruh tas, gue nggak sengaja nyenggol tumpukan buku di meja belajar. Beberapa bukunya jatuh, termasuk kertas ini,” lanjut Farel masih sambil memandang kertas di atas meja kafe.“Awalnya, gue pikir itu cuma kertas nggak penting—apalah, paling kertas sontekan doang jadi mau gue buang. Tapi gue kebiasaan ngecek ulang sesuatu sebelum benar-benar ngebuangnya, jadi gue cek lagi kertas ini. Pas gue buka kertasnya, ternyata isinya surat dan itu ditujukan buat lo. Itu juga alasan kenapa gue nge-chat lo tadi pagi, ngajak ketemuan,” jelas Farel. “By the way, sorry ya, suratnya jadi kebaca dikit. Tapi gue cuma nggak sengaja baca bagian awalnya doang kok, habis itu stop, nggak gue lanjutin.”Alena meraih kertas tersebut. “Nggak apa-apa, Rel. Justru gue malah berterima kasih sama lo. Kalau lo nggak nemuin dan baca surat ini, mungkin suratnya juga nggak bakalan sampai ke gue, kan?”Gadis itu benar. Andai saja kemarin ia memilih mengabaikan kertas tersebut atau par
Suara ketukan berulang di pintu berhasil mengusik laki-laki yang kini tengah meringkuk di atas kasur. Laki-laki itu menggeram kesal. Udara dingin karena hujan ditambah tubuhnya yang lelah, membuatnya ingin tidur seharian tanpa gangguan. Namun, keinginan itu batal gara-gara sang ibu tidak berhenti mengetuk pintu kamarnya. Alhasil, ia tidak punya pilihan selain beranjak dari kasur dan melangkah menuju pintu.“Ada apa, Ma?” tanya Farel begitu ia membuka pintu.“Kamu baru bangun, Rel?” Yang ditanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. “Ini udah pukul sembilan lebih, loh, Rel. Kamu pasti belum sarapan, kan? Sana, kamu makan dulu. Mama tahu kamu capek banget habis perjalanan jauh, tapi lambungnya jangan sampai nggak diisi makanan. Kamu juga terakhir makan, kemarin pas masih di bandara, kan? Gih, sana sekarang turun.”Sejujurnya, Farel sendiri tidak ingat kapan terakhir kali ia makan. Yang ia ingat, kemarin ia pulang ke Jakarta dan selama perjalanan—entah di pesawat atau di mobil—ia lebih b
Alena baru akan membuka pintu mobil ketika terdengar suara klakson dari arah belakangnya. Gadis itu menoleh, mendapati sosok yang dikenalnya tengah melepas helm dan turun dari motor. Kemudian menghampirinya sambil menyunggingkan seulas senyum. Dan seperti yang sudah bisa Alena tebak kelanjutannya, Riga langsung menyalami papa sekaligus meminta izin untuk mengajak Alena berangkat bersama.“Aku kira kamu nggak jadi datang tadi, makanya aku mau bareng Papa.” Alena yang pertama kali bicara. Papa baru saja berangkat setelah memberi izin pada mereka, karena mendapat telepon dari kantornya. Tentu dengan catatan agar mereka hati-hati dan tidak mengebut di jalan, mengingat jalanan pasti basah setelah diguyur hujan sejak semalam hingga Subuh tadi.Beruntung, Alena membawa serta helmnya, jadi sekarang ia tidak perlu kembali ke rumah untuk mengambil helm. Gadis itu segera memakai helmnya, kemudian naik ke boncengan Riga. Laki-laki itu mulai melajukan motornya, meninggalkan rumah Alena.“Maaf, ya,