Hari masih terlalu pagi ketika suara ledakan terdengar dari lantai bawah. Alena yang semula berniat melangkah ke kamar mandi pun langsung keluar dari kamarnya. Dengan handuk yang tersampir di bahunya, gadis itu setengah berlari menuruni tangga. Kepalanya celingukan ke kanan-kiri, mencari dari mana asalnya suara tadi.
Alena ke dapur, tapi tidak ada orang. Begitu pula dengan ruang tengah dan ruang tamu. Kamar ayahnya juga sepi. Lantas ke mana ayahnya? Dan suara tadi asalnya dari mana?
Hingga akhirnya suara sirine menerobos indra pendengaran gadis itu. Alena berlari ke depan rumah. Matanya membelalak kaget ketika mendapati asap hitam membumbung tinggi di atas sebuah rumah yang terletak tepat di seberang rumahnya. Beberapa orang dewasa berlarian bolak-balik dengan membawa ember berisi air. Petugas pemadam kebakaran yang baru saja datang bersama polisi, segera melonggarkan gulungan selang dari mobil dan mengarahkannya ke rumah yang terbakar. Petugas mulai berusaha memadamka
“Maksud lo apa nanya begitu? Lo nuduh gue yang neror Nada? Iya?”Sayangnya, pertanyaan yang Riga lontarkan secara baik-baik, justru diterima Alena dengan negatif. Gadis itu merespons tak suka atas pertanyaan Riga. Suasana hati yang sebelumnya buruk karena kejadian di koridor tadi, sekarang makin memburuk.“Enggak, bukan begitu maksud gue, Al. Gue nggak nuduh lo, gue cuma nanya aja ke lo soal ponsel itu. Kenapa lo malah tiba-tiba sensi begini, sih?” Meskipun sedikit kaget dengan respons Alena, tapi Riga berusaha untuk tidak ikut terbawa emosi juga. Ia tidak mau Alena marah dan malah menjauhinya hanya karena hal sepele.Beruntungnya, kelas sedang kosong karena murid-murid sudah keluar sejak bel istirahat berbunyi. Jadi, tidak ada yang tahu apa yang sedang mereka ributkan sekarang.“Ya, gimana gue nggak kesel coba, lo tiba-tiba aja nanya gitu ke gue. Lagian ngapain juga gue teror sahabat gue sendiri? Kurang ajar banget itu naman
Cahaya lampu-lampu yang cantik di setiap toko yang menarik minat, orang-orang yang berjalan serta keluar masuk pertokoan seolah tak pernah merasa lelah, dan suara petugas yang mengumumkan bahwa ada anak kecil yang terpisah dari ibunya, menjadi latar suasana pusat perbelanjaan sore itu. Namun, keramaian tersebut nyatanya tidak cukup bisa membuat Riga menjadi sedikit tenang. Pikirannya justru sama ramainya dengan pusat perbelanjaan sekarang. Bagaimana bisa ia merasa tenang jika ada banyak pertanyaan tiba-tiba menghuni benaknya.Pembicaraan dengan Gamma di lapangan basket tadi nyatanya masih tetap berdiam di benak Riga. Ia bahkan masih ingat jelas bagaimana ekspresi Gamma saat mengatakan semua itu. Gamma kalut dan ada percikan amarah yang berusaha ditahannya. Entah amarah pada si peneror atau juga amarah padanya yang masih belum padam meskipun sudah sekian tahun berlalu.Sayangnya, hal itu membuat Riga sedikit kehilangan fokusnya hingga tanpa sengaja menabrak sepasang remaja yang saat it
Sejak hari itu, sebisa mungkin Riga mengurangi interaksi dengan Nada. Beruntungnya, tugas kelompok yang waktu itu sudah selesai dan kelompok mereka juga sudah melakukan presentasi, jadi Riga memiliki alasan untuk tidak terlalu dekat dengan gadis itu. Nada sendiri pun tampaknya tidak terlalu memedulikan perubahan sikap Riga tersebut. Mereka paling hanya akan saling menyapa atau melempar senyum satu sama lain ketika bertemu di kelas atau koridor sekolah. Memang ini lumayan sulit dilakukan karena ia terbiasa banyak berinteraksi dengan Nada, tapi sepertinya usahanya kali ini akan berhasil. Karena ia tahu rasanya percuma terus menyimpan perasaan kepada seseorang jika hatinya saja bukan untukmu. Bukankah dengan begitu, melupakan adalah cara terbaiknya supaya tidak menyiksa hati lebih dalam lagi? Jadi, ketika malam itu ia pulang dari kafe usai bekerja dan mampir ke sebuah toko kue, ia mengirim pesan kepada Alena. Ia meminta gadis itu menunggunya di teras rumah karena ia sedang dalam perja
Izin yang diberikan Alena tempo hari berusaha Riga manfaatkan dengan baik. Lagi pula ia sudah berjanji jika ia akan melupakan Nada dan fokus dengan perasaannya pada Alena—berusaha mengambil hati gadis itu lagi dengan baik-baik. Harapan Riga, semoga suatu hari nanti tidak hanya perasaannya saja yang mantap dengan Alena, tapi Alena juga. Karena Riga ingin kali ini, perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan.Riga dan Alena masih tetap berangkat bersama. Bahkan tidak jarang, di jalan, mereka bertemu teman-teman Riga dan kemudian bersama-sama ke sekolah. Gosip kedekatan mereka di sekolah sesekali masih terdengar di telinga Alena, hanya saja tidak seramai dulu ketika ia awal-awal menjadi murid baru. Mereka sendiri juga sudah bodo amat dengan gosip-gosip tersebut dan mengabaikannya.Seperti pagi ini, di koridor dekat parkiran ada empat orang siswi yang sedang berkumpul dan tanpa sengaja Alena mendengar namanya disebut oleh salah satu siswi yang rambutnya dikuncir ekor kuda. Namun, Alena deng
Seingat Alena, saat masuk gedung jurusan IPA, Riga berjalan mengikutinya. Namun, saat Alena menginjakkan kaki di lantai dua, laki-laki itu tidak ada di belakangnya. Alena menatap sekitar, barangkali menemukan sosok Riga di antara lalu-lalang murid-murid di koridor. Sayangnya, setelah cukup lama mencari ia tetap tidak menemukan sosok Riga di tengah kerumunan. Bahkan tidak ada tanda-tanda kedatangan Riga juga dari arah tangga.Ke mana sebenarnya Riga?“Loh, Alena, tumben masih di sini? Biasanya lo langsung masuk kelas. Lo lagi nunggu orang?” tanya Danar yang baru datang dan melihat Alena berdiri bersandar di pagar pembatas depan kelas.“Enggak kok, nggak lagi nunggu siapa-siapa. Gue cuma mau cari suasana baru aja, ternyata di sini enak, ya. Adem,” jawab Alena.“Emang di sini seger anginnya kalau pagi-pagi. Gue sering banget nongkrong di sini. Lo harus Cobain juga, Len biar nggak gampang ngantuk.” Danar ikut bergabung dengan Alena di sana. Laki-laki itu berdiri tiga langkah dari posisi A
Perbedaan sikap Alena semakin Riga rasakan hingga jam pulang sekolah tiba. Biasanya gadis itu akan merengek untuk nebeng, tapi hari ini tidak. Alena menjadi sedikit lebih pendiam daripada sebelumnya. Bahkan ketika teman sebangku gadis itu pamit pulang duluan, Alena juga tidak menyuruhnya buru-buru mengemasi barang-barangnya supaya mereka bisa cepat pulang.“Lo tumben nggak rewel kayak biasanya? Nggak mau nebeng gue lagi?” Riga menoleh sekilas pada gadis yang duduk di belakangnya, sebelum kembali memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.“Nggak, lagi males ngomong aja. Tapi kalau lo nggak mau nebengin gue lagi, ya nggak apa-apa. Gue bisa naik ojol,” jawab Alena tanpa menatap lawan bicaranya.“Enak aja pulang naik ojol. Kita kan udah ada perjanjian, selama gue bisa dan ada waktu, ya gue yang antar-jemput lo. Lo berangkat bareng gue, berarti ya pulangnya sama gue. Kecuali kalau gue emang nggak bisa, baru lo boleh pulang naik ojol.”“Ish, pacar aja bukan. Posesif amat sih lo.”“Lo lupa apa ya
Sudah lebih dari dua jam sejak Danar mengantarnya pulang, tapi pertanyaan laki-laki itu masih bersarang di benak Alena. Berbagai cara sudah ia lakukan untuk mengalihkan pikirannya dari hal itu, sayangnya sia-sia. Sekarang, ia hanya berdiam diri di kamarnya sambil terus meyakinkan diri bahwa Auriga Wijaya adalah temannya. Teman baiknya, tidak lebih.Alena menghela napas pelan, mencoba kembali fokus pada novel di pangkuannya. Ini adalah novel pertama yang Alena beli setelah kembali ke Jakarta. Novel yang tanpa sengaja mempertemukannya dengan seorang gadis bernama Nada, si pecinta novel dan ilmu perbintangan sama seperti dirinya, dan Gamma di sebuah toko buku beberapa bulan lalu. Dan karena pertemuan tak sengaja itu pula, ia justru bertemu dengan Riga. Awal kembalinya ia ke Jakarta, ternyata penuh drama.Astaga, kenapa ia jadi sedih begini mengingat itu? Bukankah ini juga karma yang harus ia dapatkan karena dulu pernah menyakiti hati Gamma?Sudahlah, rasanya tidak perlu lagi mengingat se
Kelas sudah sepi karena penghuninya sudah langsung keluar kelas ketika bel istirahat berbunyi, menyisakan Riga yang masih tetap di bangkunya. Laki-laki yang dua bulan lagi menginjak usia tujuh belas tahun itu sedang sibuk mengerjakan tugas Bahasa Inggris. Padahal tugas tersebut baru diberikan gurunya saat jam pelajaran kedua tadi.“Rajin amat lo ngerjain tugasnya sekarang, kan masih dikumpulinnya hari Senin.”“Nyicil tugas nggak ada salahnya kali.” Riga mengangkat wajahnya dan mendapati Manda menghampirinya. Riga menoleh ke pintu, tapi ternyata Manda hanya sendirian.“Alena masih di kantin sama Via. Nada, nggak tau ke mana tadi. Ngapel mungkin,” ucap Manda seolah sudah mengerti isi kepala teman sekelasnya tersebut. Gadis itu tertawa pelan.“Apa sih, Man? Gue nggak nyari temen-temen lo juga. Cuma tumben lo balik duluan, biasanya kan kalian harus bel masuk bunyi dulu masuk kelas. Kenapa?”“Gue tuh kadang bingung ya sama lo. Lo terkenal nggak peka, tapi sebenarnya lo itu orangnya paling
“Hubungan kita?” Riga mengulangi ucapan gadis di depannya. “Emangnya kenapa sama hubungan kita? Hubungan kita baik-baik aja.” “Baik-baik aja kamu bilang?” Sudut bibir Alena terangkat tipis. Entah kenapa pertanyaan Riga barusan terdengar lucu di telinganya. “Apa kamu nggak ngerasa kalau hubungan kita akhir-akhir ini tuh berbeda?” Berikutnya tanpa bisa dicegah, gadis itu menunpahkan semua yang ia rasakan satu minggu belakangan ini. “Kamu sadar nggak sih, Ri kalau akhir-akhir ini sikap kamu ke aku itu berubah? Kamu kayak lagi ngehindarin aku. Chat sama teleponku jarang kamu respons, sekalipun kamu respons, itu pun cuek banget. Kamu jarang nyamperin aku di kelas, sering nolak tiap kali diajakin ke kantin pas istirahat. Malahan aku lihat beberapa kali kamu bareng sama Kanaya terus.” Meja itu hening. Riga hanya diam sambil memainkan sendok es krimnya. Seolah laki-laki itu sengaja membiarkan Alena menumpahkan semuanya. Seolah laki-laki itu menunggu waktu yang tepat untuk bicara. “Awalnya
Renggang.Satu kata itulah yang mungkin bisa menggambarkan hubungan Alena dan Riga saat ini. Bagaimana tidak, ini sudah satu minggu sejak Alena melihat Riga dan Kanaya di dekat parkiran pagi itu dan akhirnya ia tahu bahwa mereka berangkat bersama, tapi Riga sama sekali tidak menjelaskan apa pun pada Alena. Laki-laki itu tetap bersikap seperti biasa, seolah hal itu tidak pernah terjadi.Lebih dari itu, sikap Riga juga berbeda. Riga jarang mengajak Alena berangkat dan pulang sekolah bersama. Riga jarang ikut ke kantin setiap kali diajak teman-temannya. Riga lebih memilih tetap di kelas atau pergi ke perpustakaan saat jam istirahat.Awalnya Alena mengira perubahan sikap Riga itu karena Riga sedang banyak tugas, apalagi setelah mendengar keluhan Nada. Jadi, ia tidak terlalu mempermasalahkannya. Namun, semua itu berubah setelah Alena beberapa kali melihat Riga dan Kanaya bersama. Bahkan ia pernah tidak sengaja melihat Riga dan Kanaya pulang bersama.“Lo sama Riga lagi berantem ya, Len? Kok
Hujan sudah reda sejak dini hari tadi, tapi hawa dingin masih menyelimuti kota. Membuat orang-orang yang tidak betah dingin, harus memakai jaket atau baju hangat saat keluar rumah jika tidak mau menggigil kedinginan. Bahkan Riga saja yang termasuk golongan orang tahan dingin pun memilih memakai jaket hitam di luar seragam putihnya.Jalan raya pagi ini cukup lengang. Para pengendara motor yang sedang buru-buru bisa langsung menyalip tanpa ada drama macet. Namun, berbeda dengan Riga yang tetap mengemudi dengan santai, tapi hati-hati. Riga hanya tidak mau mengambil risiko, apalagi kondisi jalan setelah hujan cukup licin. Genangan air di mana-mana. Meleng sedikit saja, bisa-bisa malah terkena jebakan alias lubang jalan.Baru saja Riga melewati gerbang kompleks, matanya tanpa sengaja menangkap sebuah mobil terparkir di pinggir jalan. Tanpa membuang waktu lagi, Riga segera memacu motornya ke sana."Permisi. Mobilnya kenapa ya, Mbak—loh, Kanaya?”Itu Kanaya dan seorang wanita berpakaian kant
Jam sudah menunjukkan pukul 18.17 saat Riga dan Sandi, salah satu karyawan di kafe tantenya keluar dari musala mal. Mereka baru saja selesai menunaikan salat Maghrib. Namun, alih-alih langsung kembali ke kafe, mereka justru berkeliling sebentar. Kata Sandi, sekalian melepas penat.Mal hari ini tidak terlalu ramai pengunjung. Malah di lantai yang mereka lewati saat ini bisa dibilang sepi. Mungkin karena cuaca sedang hujan jadi orang-orang banyak yang lebih memilih berdiam di rumah daripada pergi ke luar. Sama seperti Sandi yang malas pulang ke kosnya gara-gara masih hujan deras.“Gue balik nanti aja, lah. Takut jadi mermaid gue kalau nekat balik sekarang,” jawab Sandi saat ditanya Tasya kenapa dia tidak pulang padahal jam kerjanya sudah habis.“Asem lo! Mana ada mermaid modelan kayak lo begini? Kurang cakep lo kalau jadi mermaid,” sahut Tama. Ia mengeluarkan beberapa bungkus roti tawar dan mengisinya ke stok. Berikutnya, obrolan-obrolan tidak berfaedah pun muncul dan menimbulkan gelak
Suasana berubah hening. Ketiga orang di sana menatap Riga, menunggu orang yang bersangkutan angkat bicara.“Gue malah baru tahu kalau Alena pergi ke kafe,” jawab Riga akhirnya. Ia kembali meletakkan ponsel di atas meja dengan posisi terbalik setelah membalas pesan Alena.Jawaban tersebut sontak membuat ketiga sahabat Riga saling pandang. Tanpa perlu bertanya pun mereka seolah memikirkan hal yang sama. Namun, mereka memilih diam. Setidaknya sebelum suara Pandu mengacaukan semuanya.“Apa jangan-jangan Alena selingkuh?”Sikutan cukup keras dibarengi tatapan tajam diterima Pandu. Laki-laki itu meringis.“Lo jangan asal nuduh. Kalau tuduhan lo salah, malah jatuhnya fitnah,” sahut Dana.“Siapa yang asal nuduh? Gue cuma nanya doang.”“Tapi pertanyaan lo tadi kesannya kayak nuduh.”“Tapi gue nggak nuduh!” Pandu berdecak. Sebelum teman-temannya merespons, laki-laki itu kembali angkat bicara. “Oke, sekarang gini deh, coba lo semua pikir. Kalau emang Alena nggak selingkuh, terus kenapa dia jalan
Riga memasukkan motornya ke halaman setelah pria berseragam putih-biru membuka lebar pintu gerbang. Setelah motor Riga masuk, pria itu kembali menutup gerbang tersebut. Riga memarkir motor di depan garasi, tepat di sebelah motor si tuan rumah.“Dana ada, kan, Pak?” tanya Riga sambil meletakkan helmnya di atas jok.“Ada, Mas. Den Dana baru saja pulang, sama Mas Sakti juga tadi,” jawab pria itu ramah.“Makasih, Pak. Saya masuk dulu.”“Silakan, Mas.”Setelah mencabut kunci motornya, Riga lantas melangkah menuju pintu rumah yang terbuka. Ia mengetuk pintu tiga kali dan mengucap salam. Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya yang ia kenal sebagai asisten rumah tangga di rumah ini pun keluar. Wanita itu tersenyum ramah saat melihat siapa tamunya.“Oalah, Mas Riga, toh. Silakan masuk, Mas. Tadi Den Dana titip pesan ke Bibi, katanya kalau Mas Riga datang, disuruh langsung ke rooftop. Mari Bibi antar, Mas,” ucap wanita itu, lalu melangkah masuk.Riga mengikuti di belakang. Mereka menaiki
“Kemarin pas gue baru balik dan mau naruh tas, gue nggak sengaja nyenggol tumpukan buku di meja belajar. Beberapa bukunya jatuh, termasuk kertas ini,” lanjut Farel masih sambil memandang kertas di atas meja kafe.“Awalnya, gue pikir itu cuma kertas nggak penting—apalah, paling kertas sontekan doang jadi mau gue buang. Tapi gue kebiasaan ngecek ulang sesuatu sebelum benar-benar ngebuangnya, jadi gue cek lagi kertas ini. Pas gue buka kertasnya, ternyata isinya surat dan itu ditujukan buat lo. Itu juga alasan kenapa gue nge-chat lo tadi pagi, ngajak ketemuan,” jelas Farel. “By the way, sorry ya, suratnya jadi kebaca dikit. Tapi gue cuma nggak sengaja baca bagian awalnya doang kok, habis itu stop, nggak gue lanjutin.”Alena meraih kertas tersebut. “Nggak apa-apa, Rel. Justru gue malah berterima kasih sama lo. Kalau lo nggak nemuin dan baca surat ini, mungkin suratnya juga nggak bakalan sampai ke gue, kan?”Gadis itu benar. Andai saja kemarin ia memilih mengabaikan kertas tersebut atau par
Suara ketukan berulang di pintu berhasil mengusik laki-laki yang kini tengah meringkuk di atas kasur. Laki-laki itu menggeram kesal. Udara dingin karena hujan ditambah tubuhnya yang lelah, membuatnya ingin tidur seharian tanpa gangguan. Namun, keinginan itu batal gara-gara sang ibu tidak berhenti mengetuk pintu kamarnya. Alhasil, ia tidak punya pilihan selain beranjak dari kasur dan melangkah menuju pintu.“Ada apa, Ma?” tanya Farel begitu ia membuka pintu.“Kamu baru bangun, Rel?” Yang ditanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. “Ini udah pukul sembilan lebih, loh, Rel. Kamu pasti belum sarapan, kan? Sana, kamu makan dulu. Mama tahu kamu capek banget habis perjalanan jauh, tapi lambungnya jangan sampai nggak diisi makanan. Kamu juga terakhir makan, kemarin pas masih di bandara, kan? Gih, sana sekarang turun.”Sejujurnya, Farel sendiri tidak ingat kapan terakhir kali ia makan. Yang ia ingat, kemarin ia pulang ke Jakarta dan selama perjalanan—entah di pesawat atau di mobil—ia lebih b
Alena baru akan membuka pintu mobil ketika terdengar suara klakson dari arah belakangnya. Gadis itu menoleh, mendapati sosok yang dikenalnya tengah melepas helm dan turun dari motor. Kemudian menghampirinya sambil menyunggingkan seulas senyum. Dan seperti yang sudah bisa Alena tebak kelanjutannya, Riga langsung menyalami papa sekaligus meminta izin untuk mengajak Alena berangkat bersama.“Aku kira kamu nggak jadi datang tadi, makanya aku mau bareng Papa.” Alena yang pertama kali bicara. Papa baru saja berangkat setelah memberi izin pada mereka, karena mendapat telepon dari kantornya. Tentu dengan catatan agar mereka hati-hati dan tidak mengebut di jalan, mengingat jalanan pasti basah setelah diguyur hujan sejak semalam hingga Subuh tadi.Beruntung, Alena membawa serta helmnya, jadi sekarang ia tidak perlu kembali ke rumah untuk mengambil helm. Gadis itu segera memakai helmnya, kemudian naik ke boncengan Riga. Laki-laki itu mulai melajukan motornya, meninggalkan rumah Alena.“Maaf, ya,