“Gimana sekolah kamu?” tanya Budi suatu pagi di tengah kegiatan sarapan mereka.
“Lancar, Pa. Cuma lagi banyak tugas aja,” jawab Alena lalu memasukkan potongan kornet ke mulutnya.
Budi menanggapinya dengan anggukan, paham. “Jangan terlalu diforsir ya, Len. Kalau sekiranya kamu merasa nggak enak badan, langsung istirahat biar nggak sampai drop. Terus jangan lupa vitaminnya diminum.”
Alena meraih gelas air putih di hadapannya dan meneguknya sedikit. “Papa dan Bara tuh sama aja, ya? Sama-sama suka nyuruh Lena ini itu. Padahal tanpa disuruh pun, aku juga akan kontrol aktivitasku sendiri kok, Pa. Kondisi Lena, cuma Lena sendiri yang tahu. Dan Papa seharusnya juga nggak perlu kasih tahu Bara tentang kemarin. Sekarang, dia jadi ikutan ngomelin aku, Pa.”
“Bagus, dong kalau begitu. Setidaknya Bara bisa jadi wakil Papa kalau omelan Papa sama sekali nggak kamu dengerin.”
Awalnya Alena merasa biasa saja dengan sikap Bara tersebut. Namun, ia tidak menyangka Budi adalah orang di balik semua sikap Bara tersebut. Memang ketika tinggal di Balikpapan dulu, hanya Bara yang akrab dengannya dan lagi, mereka bertetangga. Oleh karena itu, Budi secara diam-diam, meminta Bara mengawasi Alena.
Nasi goreng yang biasanya selalu bisa menggugah selera makan Alena, kini terasa hambar karena pembicaraan mereka. “Jangan begitu Pa. Jangan hanya karena Bara akrab denganku, terus Papa bisa hubungin dia kapan aja. Kita kan nggak tahu Bara lagi sibuk apa di sana. Bisa aja waktu Papa hubungin dia, dia lagi ada urusan atau malah lagi belajar. Kalau gitu kan jadinya ganggu aktivitas Bara, Pa.”
Sepertinya ini memang harus dihentikan. Jadi, gadis itu memilih meletakkan alat makannya dengan posisi terbalik di atas piring, menyudahi sarapannya.
“Pa, mungkin kalau sekarang kita masih di Balikpapan, Lena nggak masalah dengan ini. Tapi sekarang, kita di Jakarta dan Bara di Balikpapan. Kita beda kota, beda pulau, dan beda zona waktu juga. Jadi, tolong ya, Pa, Papa berhenti kasih tahu Bara apa pun tentang privasiku? Alena nggak suka, Pa. Papa tenang aja, Lena janji akan terus perhatikan kondisi kesehatan Lena. Ya?”
Memiliki seorang anak perempuan dan membesarkannya seorang diri, membuat Budi selalu merasa waswas dengan Alena. Takut tidak bisa menjaga Alena sebagaimana istrinya menjaga Alena. Lihat, sekarang gadis itu sudah pintar menyanggah ucapannya.
Budi memijat pelipisnya lalu menatap wajah cantik anak perempuannya. “Baik, Papa ngerti maksud kamu. Papa akan turutin permintaan kamu—Papa nggak akan kasih tahu Bara apa pun tentang kamu, kecuali kalau dia tanya sendiri ke Papa. Tapi ada syaratnya.”
“Syarat? Memang apa syaratnya, Pa?” Alena memotong langsung ucapan Budi. Ia menatap Budi dengan penuh selidik. Matanya memicing.
“Syaratnya, selama di sini, Papa akan titipin kamu ke Riga biar dia bisa bantu Papa buat ngawasin kamu dan jagain kamu.”
“Enggak, aku nggak mau. Papa apa-apaan sih, kenapa bawa-bawa Riga segala?”
“Itu terserah kamu, Len. Kamu tinggal pilih aja, mau diomelin Bara atau diawasin Riga. Itu aja.”
Alena mendengus. Ini bukan opsi yang tepat untuk Alena pilih. Kecuali jika ada tambahan opsi “diawasin Gamma”, jelas ia akan dengan senang hati memilih opsi ketiga.
“Oke, Alena pilih opsi kedua,” putusnya kemudian. “Tapi, Papa janji ya jangan kasih tahu Bara apa pun tentang Alena?” gadis itu buru-buru menambahkan.
“Iya, Papa janji.”
*
“Gamma!”
Teriakan itu berhasil menghentikan langkah Gamma tak jauh dari lapangan basket. Laki-laki berjaket abu-abu itu berbalik. Detik berikutnya, laki-laki itu mendengus mengetahui siapa yang kini menghampirinya dengan senyum ceria. Alena menyapa Gamma.
“Kenapa lagi?”
Lengkungan manis yang tercetak di bibir Alena, sedikit menurun. Namun, ekspresinya langsung berubah ketika ingat alasannya memanggil Gamma tadi. “Ada yang mau aku kasih ke kamu.”
Alena segera membuka tasnya, mengaduk-aduk isinya. Wajahnya berubah panik ketika tidak menemukan apa yang ia cari. “Bentar, Gam. Aku yakin tadi udah masukin kertasnya ke tas, tapi kok nggak ada, ya?”
“Kertas apa?”
“Tulisan aku, Gam. Jadi, aku bikin semacam puisi gitu buat kamu, tapi kertasnya sekarang malah nggak ada.” Gadis itu kembali sibuk mengaduk-aduk isi tasnya. Takutnya, terselip. Sayangnya, Alena tetap tidak menemukan kertas tersebut.
Gamma berdecak. “Buang-buang waktu gue aja,” ucap Gamma lalu pergi. Namun, Alena langsung menahannya.
“Aku serius, Gam. Aku bikin puisi itu dan kertasnya udah aku masukin ke tas. Tapi nggak tahu kenapa kertasnya bisa nggak ada,” ujar Alena. Ia sendiri juga bingung kenapa kertas itu tiba-tiba menghilang dari tasnya. Tidak mungkin, kan ada hantu yang doyan puisi?
“Udahlah, Al berhenti pura-pura. Gue tahu kertas itu cuma alasan lo doang biar bisa ketemu dan ngobrol sama gue. Iya, kan?”
“Gam, nggak gitu—”
“Stop, Al. Berhenti ganggu gue dan kehidupan gue. Ada hati yang harus gue jaga. Gue nggak mau Nada salah paham kalau lihat gue sama lo,” potong Gamma. Kilatan amarah terpancar jelas di matanya. Seolah gadis di hadapannya adalah musuh yang tidak boleh diberi ampun.
Hati Alena mencelos. “Secepat itu kamu ngelupain aku, Gam? Asal kamu tahu, ya, aku mau balik ke Jakarta itu karena kamu, Gam. Karena aku pengin ketemu kamu lagi. Aku pengin memperbaiki semuanya yang terjadi di antara kita,” ungkap Alena. Pandangannya mengarah pada Gamma.
“Aku minta maaf. Aku akui semua yang dulu aku lakuin adalah kesalahan besar. Nggak seharusnya aku bohongin kamu kalau aku sering pergi bersama Riga, padahal kalian sepupuan. Aku benar-benar minta maaf sama kamu, Gam. Aku juga minta maaf karena aku nggak ada di samping kamu waktu Papa kamu meninggal. Maafin aku, Gam.”
Entah sejak kapan pandangan gadis itu tertunduk. Tidak berani bertukar pandang dengan Gamma. Kesalahannya di masa lalu terlalu besar dan sekarang ia sangat menyesalinya. Di saat perasaan Gamma tulus kepadanya, ia justru menganggap biasa saja. Tidak menggebu seperti perasaan remaja pada umumnya saat berpacaran. Bahkan meskipun sudah berpacaran dengan Gamma, ia merasa tidak ada bedanya. Yang membedakan hanya statusnya saja. Dari teman—ralat, sahabat menjadi pacar. Bukankah begitu?
Namun, saat hubungan mereka sudah berakhir, Alena justru merasa kehilangan. Perasaannya ternyata tumbuh tanpa ia sadari. Semakin lama semakin besar hingga ia menyadari bahwa apa yang telah pergi terasa begitu berharga.
Ya, ia salah besar sudah menyia-nyiakan ketulusan Gamma dan sekarang ia menyesal.
“Gue udah lupain semuanya. Jadi, lo nggak perlu repot-repot ungkit masalah itu. Anggap aja nggak pernah ada cerita di antara kita.”
“Nggak bisa gitu dong, Gam. Kita pernah pacaran. Jadi, mana bisa kamu bilang kalau kita nggak pernah ada cerita?”
“Kenyataannya emang begitu, kan? Lo lebih milih bohongin gue dan pergi jalan-jalan sama Riga?” Gamma menghela napas. “Gue sadar, Al dari dulu gue emang selalu kalah sama Riga. Gue nggak pernah bisa seperti dia yang terbaik dalam segala hal. Itu kenapa gue setuju pas lo ngajak putus. Karena supaya lo bisa terus sama Riga dan perasaan dia nggak bertepuk sebelah tangan.”
Detik itu juga Alena tersentak. Kalimat terakhir Gamma langsung memenuhi pikirannya. Jadi, selama ini ...
“Riga suka sama aku?”
“Dan lo nggak sadar itu?” Gamma berdecak. “Gue heran bisa-bisanya Riga ngejar-ngejar cewek kayak lo. Dia itu terlalu tulus buat lo mainin.”
“Aku nggak pernah mainin perasaan Riga,” sahut Alena tak terima.
“Terserah lo mau ngomong apa, gue nggak peduli. Satu pesan gue, jangan pernah ganggu kehidupan gue lagi.”
Setelahnya, tanpa menunggu respons Alena, Gamma melangkah pergi. Meninggalkan Alena yang masih terdiam di posisinya sambil menatap punggung Gamma yang perlahan menjauh.
Pikirannya seperti benang kusut sekarang. Perkataan Gamma tadi menyentil hatinya. Jika benar selama ini Riga memiliki perasaan lebih padanya, itu berarti ia sudah melukai hati Riga karena berpacaran dengan Gamma yang notabenenya adalah sepupu Riga.
Jika semua itu benar, artinya pula ia sudah melukai perasaan dua laki-laki sekaligus. Dua laki-laki yang juga merupakan sahabatnya.
Mungkin sebuah kutipan yang menuliskan bahwa persahabatan lawan jenis itu tidak benar-benar murni, adalah benar adanya. Karena nyatanya selalu ada rasa yang tumbuh pada salah satu di antara mereka atau bisa jadi rasa itu tumbuh di hati keduanya. Semua hanya tentang waktu dan kebiasaan.
Dan sekarang, Alena merasa ada yang salah dengan hatinya kali ini. Semua perkataan Gamma tadi terngiang jelas dalam ingatannya, bahkan tidak berhenti memenuhi pikirannya.
Mungkin Gamma benar, Riga seharusnya tidak pantas mengejar dirinya. Riga itu laki-laki yang baik dan dia yang paling bisa diandalkan dalam segala hal.
Ah, ia jadi teringat saat dulu pernah iseng bertanya kepada Riga, apakah laki-laki itu punya perempuan yang disukai? Riga hanya menjawab, “Iya” tanpa mengatakan siapa nama perempuan tersebut.
Harusnya juga dari dulu ia sadar akan semua sikap Riga padanya, laki-laki itu memperlakukannya lebih dari seorang sahabat. Sikap yang pada akhirnya membuat hubungannya dengan Gamma merenggang dan kemudian berakhir. Sekarang, karena semua itu, Alena harus memperbaiki semuanya. Tidak hanya dengan Gamma, tapi juga dengan Riga.
“Loh, Nada kok malah makan sama Gamma, bukan sama Riga?”
Alena tersentak. Ia mengikuti arah pandang Via dan netranya menangkap dua orang yang dikenalnya itu duduk satu meja. Oh, bahkan meja mereka hanya berjarak empat meja dari tempatnya dan Via. Hanya sekilas, ia kembali menatap Via.
“Emangnya kenapa kalau mereka makan bareng?” Alena bertanya dengan polosnya.
“Oh iya, lo kan murid baru. Gini, Len, anak-anak sini tuh udah pada tahu kalau Riga sama Nada sering banget barengan. Ya, pedekate gitu lah soalnya katanya Riga itu suka sama Nada. Mereka itu udah kayak perfect couple. Satunya ganteng, satunya cantik. Bahkan ada yang bilang juga kalau mereka mungkin udah jadian,” jelas Via. Matanya sesekali menatap dua orang yang dibicarakan.
Alena tak menjawab. Fakta yang baru saja didengarnya kembali menyita ruang di pikirannya. Benang-benang kusut di kepalanya yang belum sepenuhnya tersusun rapi, kini semakin kusut.
Jika Riga memang benar suka sama Nada, tapi Nada malah pacaran dengan Gamma, bukankah itu berarti sejarah kembali terulang?
Astaga! Kenapa dua orang itu lagi-lagi menyukai gadis yang sama?
“Kenapa harus Nada? Kenapa harus cewek yang bahkan penampilannya lebih di bawahnya?”
*
“Riga, ada yang mau gue omongin sama lo.”Riga yang tengah membereskan buku-bukunya pun menoleh. Kelas sudah sepi, hanya tinggal Alena dan Riga saja. Laki-laki itu menatap Alena dengan alis terangkat.Alena berdeham sebentar lalu kembali menatap Riga. “Lo suka sama Nada?” tanyanya to the point.“Nada?” Riga bertanya memastikan.“Iya. Lo suka sama dia, kan? Ngaku aja, deh.”“Kalau gue suka sama Nada, kenapa?”Pertanyaan Riga sontak membuat Alena tersentak kaget. Entah harus senang atau sedih, ia sendiri bingung. Mendadak ia teringat sesuatu.“Jadi, lo belum tahu soal ini?”“Itu apa sih, Al? Kalau ngomong yang jelas.” Riga kesal sendiri, ia benar-benar tidak mengerti ke mana arah pembicaraan gadis itu.“Lo nggak tahu kalau Nada pacaran sama Gamma?”“Pacaran?” Alena mengangguk cepa
Entah kenapa, perasaan Alena pagi ini jauh lebih baik daripada hari-hari sebelumnya. Mungkin karena efek bisa menghabiskan waktu bersama Gamma di luar jam sekolah, ia jadi merasa sesenang ini. Oh, terima kasih kepada Tante Farah yang sudah menyuruh Gamma menjemputnya pulang sekolah, demi bisa bertemu dengannya.Langkah kakinya begitu ringan menyusuri jalanan paving menuju gedung sekolah. Sebenarnya, Alena ingin langsung ke kelas, tapi ia mengurungkan niatnya ketika melihat Nada duduk sendirian di salah satu meja kantin. Alena pun menghampirinya.Nada memakan makanannya tanpa minat. Akhir-akhir ini Alena memang sering melihat Nada sedikit murung, begitu juga dengan Manda. Entah apa yang sudah terjadi di antara kedua sahabatnya itu, ia sama sekali tidak tahu. Baik Nada ataupun Manda, mereka tidak mengatakan tentang masalah apa yang sedang mereka hadapi sekarang.Alena pun menemani Nada di kantin. Alena memilih
Dari semua hal yang di sekolah, bel pulang menjadi sesuatu yang paling ditunggu oleh semua murid dan mungkin para guru juga. Jika bel istirahat seperti oase di tengah gurun pasir, bel pulang seperti lautan luas yang ditemukan setelah perjalanan jauh melewati gurun pasir tersebut. Murid-murid akan berhamburan keluar kelas setelah bel pulang berbunyi. Sama seperti yang terjadi di kelas Alena sekarang. Bel berbunyi dan guru mata pelajaran terakhir baru saja keluar, tapi teman-teman sekelasnya sudah ramai keluar kelas. Beberapa lainnya masih sibuk bersiap-siap di bangku masing-masing. “Len, lo dijemput, kan? Ayo ke depan bareng.”Ajakan Via langsung disetujui oleh Alena. Gadis itu segera memasukkan buku dan alat tulisnya ke tas, lalu mencangklong tasnya seraya beranjak dari kursinya. “Ayo, Vi.”Alena ingin cepat pulang juga. Tadi pagi papanya bilang kalau beliau akan pulang cepat dari kantornya dan mengajak Alena makan di luar. Lagian, siapa pula ya
Hujan di pagi hari selalu berhasil membangkitkan hawa malas bagi kebanyakan orang. Dinginnya udara membuat mereka lebih memilih menenggelamkan diri di balik selimut tebal daripada bangun dan melakukan rutinitas masing-masing.Hal itu juga yang dilakukan Riga sekarang. Hujan yang mengguyur kota sejak dini hari tadi—bertepatan dengan ia akan pergi tidur setelah menyelesaikan PR Biologi—membuat laki-laki enam belas tahun itu kembali menarik selimutnya hingga menutupi leher. Riga kembali terlelap dengan dengan nyaman.Masa bodoh dengan sarapan, yang penting sekarang ia ingin tidur. Lagi pula, siapa yang akan memarahinya hanya karena tidur di hari libur yang hujan ini? Tidak ada. Lebih tepatnya, tidak ada orang di rumahny, selain ia sendiri, sampai beberapa hari ke depan.Setidaknya itu yang Riga yakini sebelum suara ketukan pintu terdengar berulang dan disusul decitan pintu yang dibuka secara tidak sabar, mengusik ketenangan paginya.“Ayah&h
Awan hitam menggantung di langit, siap untuk menumpahkan semua air yang ditampungnya. Setelah gagal mengajak Nada pulang bersama, Riga melajukan motornya menuju salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta. Tidak, bukan untuk belanja, tapi untuk bekerja. Riga bekerja paruh waktu di sebuah kafe yang dikelola oleh tantenya sendiri. Star Café, Namanya.Jika ada yang bertanya apa Riga malu bekerja di kafe? Laki-laki itu pasti menjawab tidak. Bagi Riga, daripada pergi jalan-jalan tidak jelas dengan uang dari orang tua, lebih baik ia bekerja di kafe saja. Lumayan, bisa untuk mencari pengalaman kerja dan gajinya bisa untuk ditabung.“Hai, Riga. Baru datang, ya?” Seorang laki-laki bertubuh kurus dan berambut cepak, menyapa Riga di depan kafe. Laki-laki bernama Tama itu sedang membersihkan salah satu meja yang baru saja ditinggalkan pembeli.“Iya, baru pulang sekolah tadi. Gue masuk dulu, ya, Bang. Mau ganti baju,” pamit Riga yang langsung diac
Riga sadar semakin hari perasaannya untuk Nada semakin besar. Ia benar-benar menyukai Nada. Karenanya, berbekal saran dari teman-teman kerjanya, Riga ingin mencari peruntungan untuk bisa semakin dekat dengan gadis itu. Ia ingin membuat Nada benar-benar nyaman bersamanya.Hari ini, Riga berencana mengajak Nada pulang bersama. Sayangnya, ketika ia akan menyampaikan ajakannya tersebut, seseorang justru lebih dulu mengajak Nada pulang bersama. Awalnya Riga merasa tidak yakin Nada akan menerima ajakan tersebut, tapi ternyata gadis itu menerimanya tanpa paksaan.Sial! Ia kalah cepat dari Gamma.Lebih yang lebih sialnya lagi, Pak Ganjar justru memanggilnya ke ruang guru hanya untuk membantu mengembalikan buku ke perpustakaan. Mau tak mau Riga mengiakan permintaan gurunya tersebut walaupun dalam hati ia ingin tahu ke mana perginya Nada dan Gamma tadi.Setelah mengembalikan semua buku tadi, Riga bergegas pulang. Suasana hatinya yang tidak cukup baik karena pemanda
Hujan masih belum berniat berhenti. Embusan angin menyusup langsung ke pori-pori kulit sepasang remaja yang masih berdiri di balkon lantai dua. Manik mata mereka beradu, tapi si laki-laki lebih dulu memutuskan kontak mata tersebut. “Lo tahu kan Gamma itu orangnya gimana? Dia sabar, dia yang paling ngertiin orang di sekitarnya. Tapi sejak kejadian hari itu, Gamma terang-terangan menghindar dan dia juga seolah nggak mau kenal kita lagi. Kenapa? Ya karena dia udah terlanjur kecewa … sama kita.” “Gue minta maaf. Maaf karena udah bikin kekacauan di antara kita bertiga terus pergi gitu aja tanpa menyelesaikannya.” “Lo udah terlalu sering minta maaf, tapi hasilnya apa? Masih tetap sama, kan? Jadi, gue mohon jangan tanya lagi kenapa hubungan gue dan Gamma masih belum membaik sampai sekarang.” “Iya, gue nggak akan tanya soal itu lagi. Maaf,” ucap Alena. Ia tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu dari Riga. “Hujannya udah agak reda. Lo mau pul
“Kita mau ke mana?” Alena kembali melempar pertanyaan kepada Riga. Ia sedikit mengeraskan nada suaranya supaya laki-laki di depannya ini bisa mendengar pertanyaannya.Hingga motor yang dikemudikan Riga sudah menjauhi kompleks perumahannya sejak beberapa menit lalu, tapi Alena masih tetap tidak tahu ke mana Riga mengajaknya pergi. Laki-laki itu tidak memberitahu tujuannya kepada Alena. Riga hanya berkata, “Nanti lo juga tahu.”Dua puluh menit perjalanan, motor Riga akhirnya berbelok ke sebuah toko bunga. Re’s Florist, namanya. Bagian luar toko itu tidak terlalu banyak tanaman yang dipajang, tapi berbeda dengan bagian dalamnya yang memajang banyak bunga-bunga cantik. Konsep dan penataan toko yang bagus membuat tempat ini terlihat sedap dipandang. Alena yakin pemilik toko ini adalah orang yang menyukai keindahan.“Lo suka yang mana?” Pertanyaan Riga menginterupsi kegiatan Alena mengagumi bunga-bunga di sini. Gadis itu menol
“Hubungan kita?” Riga mengulangi ucapan gadis di depannya. “Emangnya kenapa sama hubungan kita? Hubungan kita baik-baik aja.” “Baik-baik aja kamu bilang?” Sudut bibir Alena terangkat tipis. Entah kenapa pertanyaan Riga barusan terdengar lucu di telinganya. “Apa kamu nggak ngerasa kalau hubungan kita akhir-akhir ini tuh berbeda?” Berikutnya tanpa bisa dicegah, gadis itu menunpahkan semua yang ia rasakan satu minggu belakangan ini. “Kamu sadar nggak sih, Ri kalau akhir-akhir ini sikap kamu ke aku itu berubah? Kamu kayak lagi ngehindarin aku. Chat sama teleponku jarang kamu respons, sekalipun kamu respons, itu pun cuek banget. Kamu jarang nyamperin aku di kelas, sering nolak tiap kali diajakin ke kantin pas istirahat. Malahan aku lihat beberapa kali kamu bareng sama Kanaya terus.” Meja itu hening. Riga hanya diam sambil memainkan sendok es krimnya. Seolah laki-laki itu sengaja membiarkan Alena menumpahkan semuanya. Seolah laki-laki itu menunggu waktu yang tepat untuk bicara. “Awalnya
Renggang.Satu kata itulah yang mungkin bisa menggambarkan hubungan Alena dan Riga saat ini. Bagaimana tidak, ini sudah satu minggu sejak Alena melihat Riga dan Kanaya di dekat parkiran pagi itu dan akhirnya ia tahu bahwa mereka berangkat bersama, tapi Riga sama sekali tidak menjelaskan apa pun pada Alena. Laki-laki itu tetap bersikap seperti biasa, seolah hal itu tidak pernah terjadi.Lebih dari itu, sikap Riga juga berbeda. Riga jarang mengajak Alena berangkat dan pulang sekolah bersama. Riga jarang ikut ke kantin setiap kali diajak teman-temannya. Riga lebih memilih tetap di kelas atau pergi ke perpustakaan saat jam istirahat.Awalnya Alena mengira perubahan sikap Riga itu karena Riga sedang banyak tugas, apalagi setelah mendengar keluhan Nada. Jadi, ia tidak terlalu mempermasalahkannya. Namun, semua itu berubah setelah Alena beberapa kali melihat Riga dan Kanaya bersama. Bahkan ia pernah tidak sengaja melihat Riga dan Kanaya pulang bersama.“Lo sama Riga lagi berantem ya, Len? Kok
Hujan sudah reda sejak dini hari tadi, tapi hawa dingin masih menyelimuti kota. Membuat orang-orang yang tidak betah dingin, harus memakai jaket atau baju hangat saat keluar rumah jika tidak mau menggigil kedinginan. Bahkan Riga saja yang termasuk golongan orang tahan dingin pun memilih memakai jaket hitam di luar seragam putihnya.Jalan raya pagi ini cukup lengang. Para pengendara motor yang sedang buru-buru bisa langsung menyalip tanpa ada drama macet. Namun, berbeda dengan Riga yang tetap mengemudi dengan santai, tapi hati-hati. Riga hanya tidak mau mengambil risiko, apalagi kondisi jalan setelah hujan cukup licin. Genangan air di mana-mana. Meleng sedikit saja, bisa-bisa malah terkena jebakan alias lubang jalan.Baru saja Riga melewati gerbang kompleks, matanya tanpa sengaja menangkap sebuah mobil terparkir di pinggir jalan. Tanpa membuang waktu lagi, Riga segera memacu motornya ke sana."Permisi. Mobilnya kenapa ya, Mbak—loh, Kanaya?”Itu Kanaya dan seorang wanita berpakaian kant
Jam sudah menunjukkan pukul 18.17 saat Riga dan Sandi, salah satu karyawan di kafe tantenya keluar dari musala mal. Mereka baru saja selesai menunaikan salat Maghrib. Namun, alih-alih langsung kembali ke kafe, mereka justru berkeliling sebentar. Kata Sandi, sekalian melepas penat.Mal hari ini tidak terlalu ramai pengunjung. Malah di lantai yang mereka lewati saat ini bisa dibilang sepi. Mungkin karena cuaca sedang hujan jadi orang-orang banyak yang lebih memilih berdiam di rumah daripada pergi ke luar. Sama seperti Sandi yang malas pulang ke kosnya gara-gara masih hujan deras.“Gue balik nanti aja, lah. Takut jadi mermaid gue kalau nekat balik sekarang,” jawab Sandi saat ditanya Tasya kenapa dia tidak pulang padahal jam kerjanya sudah habis.“Asem lo! Mana ada mermaid modelan kayak lo begini? Kurang cakep lo kalau jadi mermaid,” sahut Tama. Ia mengeluarkan beberapa bungkus roti tawar dan mengisinya ke stok. Berikutnya, obrolan-obrolan tidak berfaedah pun muncul dan menimbulkan gelak
Suasana berubah hening. Ketiga orang di sana menatap Riga, menunggu orang yang bersangkutan angkat bicara.“Gue malah baru tahu kalau Alena pergi ke kafe,” jawab Riga akhirnya. Ia kembali meletakkan ponsel di atas meja dengan posisi terbalik setelah membalas pesan Alena.Jawaban tersebut sontak membuat ketiga sahabat Riga saling pandang. Tanpa perlu bertanya pun mereka seolah memikirkan hal yang sama. Namun, mereka memilih diam. Setidaknya sebelum suara Pandu mengacaukan semuanya.“Apa jangan-jangan Alena selingkuh?”Sikutan cukup keras dibarengi tatapan tajam diterima Pandu. Laki-laki itu meringis.“Lo jangan asal nuduh. Kalau tuduhan lo salah, malah jatuhnya fitnah,” sahut Dana.“Siapa yang asal nuduh? Gue cuma nanya doang.”“Tapi pertanyaan lo tadi kesannya kayak nuduh.”“Tapi gue nggak nuduh!” Pandu berdecak. Sebelum teman-temannya merespons, laki-laki itu kembali angkat bicara. “Oke, sekarang gini deh, coba lo semua pikir. Kalau emang Alena nggak selingkuh, terus kenapa dia jalan
Riga memasukkan motornya ke halaman setelah pria berseragam putih-biru membuka lebar pintu gerbang. Setelah motor Riga masuk, pria itu kembali menutup gerbang tersebut. Riga memarkir motor di depan garasi, tepat di sebelah motor si tuan rumah.“Dana ada, kan, Pak?” tanya Riga sambil meletakkan helmnya di atas jok.“Ada, Mas. Den Dana baru saja pulang, sama Mas Sakti juga tadi,” jawab pria itu ramah.“Makasih, Pak. Saya masuk dulu.”“Silakan, Mas.”Setelah mencabut kunci motornya, Riga lantas melangkah menuju pintu rumah yang terbuka. Ia mengetuk pintu tiga kali dan mengucap salam. Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya yang ia kenal sebagai asisten rumah tangga di rumah ini pun keluar. Wanita itu tersenyum ramah saat melihat siapa tamunya.“Oalah, Mas Riga, toh. Silakan masuk, Mas. Tadi Den Dana titip pesan ke Bibi, katanya kalau Mas Riga datang, disuruh langsung ke rooftop. Mari Bibi antar, Mas,” ucap wanita itu, lalu melangkah masuk.Riga mengikuti di belakang. Mereka menaiki
“Kemarin pas gue baru balik dan mau naruh tas, gue nggak sengaja nyenggol tumpukan buku di meja belajar. Beberapa bukunya jatuh, termasuk kertas ini,” lanjut Farel masih sambil memandang kertas di atas meja kafe.“Awalnya, gue pikir itu cuma kertas nggak penting—apalah, paling kertas sontekan doang jadi mau gue buang. Tapi gue kebiasaan ngecek ulang sesuatu sebelum benar-benar ngebuangnya, jadi gue cek lagi kertas ini. Pas gue buka kertasnya, ternyata isinya surat dan itu ditujukan buat lo. Itu juga alasan kenapa gue nge-chat lo tadi pagi, ngajak ketemuan,” jelas Farel. “By the way, sorry ya, suratnya jadi kebaca dikit. Tapi gue cuma nggak sengaja baca bagian awalnya doang kok, habis itu stop, nggak gue lanjutin.”Alena meraih kertas tersebut. “Nggak apa-apa, Rel. Justru gue malah berterima kasih sama lo. Kalau lo nggak nemuin dan baca surat ini, mungkin suratnya juga nggak bakalan sampai ke gue, kan?”Gadis itu benar. Andai saja kemarin ia memilih mengabaikan kertas tersebut atau par
Suara ketukan berulang di pintu berhasil mengusik laki-laki yang kini tengah meringkuk di atas kasur. Laki-laki itu menggeram kesal. Udara dingin karena hujan ditambah tubuhnya yang lelah, membuatnya ingin tidur seharian tanpa gangguan. Namun, keinginan itu batal gara-gara sang ibu tidak berhenti mengetuk pintu kamarnya. Alhasil, ia tidak punya pilihan selain beranjak dari kasur dan melangkah menuju pintu.“Ada apa, Ma?” tanya Farel begitu ia membuka pintu.“Kamu baru bangun, Rel?” Yang ditanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. “Ini udah pukul sembilan lebih, loh, Rel. Kamu pasti belum sarapan, kan? Sana, kamu makan dulu. Mama tahu kamu capek banget habis perjalanan jauh, tapi lambungnya jangan sampai nggak diisi makanan. Kamu juga terakhir makan, kemarin pas masih di bandara, kan? Gih, sana sekarang turun.”Sejujurnya, Farel sendiri tidak ingat kapan terakhir kali ia makan. Yang ia ingat, kemarin ia pulang ke Jakarta dan selama perjalanan—entah di pesawat atau di mobil—ia lebih b
Alena baru akan membuka pintu mobil ketika terdengar suara klakson dari arah belakangnya. Gadis itu menoleh, mendapati sosok yang dikenalnya tengah melepas helm dan turun dari motor. Kemudian menghampirinya sambil menyunggingkan seulas senyum. Dan seperti yang sudah bisa Alena tebak kelanjutannya, Riga langsung menyalami papa sekaligus meminta izin untuk mengajak Alena berangkat bersama.“Aku kira kamu nggak jadi datang tadi, makanya aku mau bareng Papa.” Alena yang pertama kali bicara. Papa baru saja berangkat setelah memberi izin pada mereka, karena mendapat telepon dari kantornya. Tentu dengan catatan agar mereka hati-hati dan tidak mengebut di jalan, mengingat jalanan pasti basah setelah diguyur hujan sejak semalam hingga Subuh tadi.Beruntung, Alena membawa serta helmnya, jadi sekarang ia tidak perlu kembali ke rumah untuk mengambil helm. Gadis itu segera memakai helmnya, kemudian naik ke boncengan Riga. Laki-laki itu mulai melajukan motornya, meninggalkan rumah Alena.“Maaf, ya,