Share

1. Hari Kedua di Jakarta

Author: Orion Hunter
last update Last Updated: 2021-11-10 13:39:46

Oh My God, kamar gue!”

“Gila! Ini kamar udah kayak medan perang aja. Bisa kena omel Pak Budi nih, gue. Dasar, Alena bego!” gerutu Alena seraya mengambil beberapa potong pakaian yang tersebar di atas ranjang lalu memasukkannya ke keranjang baju kotor.

Alena menatap miris kondisi kamarnya yang sudah seperti kapal pecah. Satu dari dua koper di samping pintu kamar terbuka dan isinya mencuat keluar, tiga buah kardus berukuran sedang di samping koper, jaket warna maroon tersampir asal di meja belajar, dan juga seprei yang salah satu sisinya berada di lantai.

Kemarin Alena tidak sempat membereskannya. Ralatㅡbukannya tidak sempat, tapi karena ia kelelahan. Bahkan untuk sekadar duduk saja, ia benar-benar tidak kuat saking lelahnya. Pasalnya penerbangan yang seharusnya memakan waktu sekitar dua jam, harus molor karena delay. Ditambah lagi ia memang tidak suka perjalanan jauh. Mabuk, katanya.

Dua jam sudah Alena berkutat dengan kamarnya. Kini semua barang-barang sudah berada di tempatnya masing-masing. Seprei yang semula berwarna krem, diganti seprei dengan motif bunga. Tak lupa ia menempelkan jam dinding berbentuk bulat warna biru dengan bergambar Pororo di atas meja belajar.

Selesai mandi, Alena menuju ruang tengah. Seorang pria dengan rambut yang mulai botak tampak sedang fokus dengan tayangan berita di televisi.

“Pagi, Pa,” sapanya riang.

Budi, papanya, menoleh dan menggeleng pelan. “Ini sudah jam sepuluh, Len. Nyenyak banget, ya, tidurnya?”

“Banget, capek soalnya,” jawab Alena seraya mendaratkan bokongnya di sofa. Tangannya menyodorkan piring berisi roti bakar. “Papa mau?”

“Tidak, buat kamu aja.”

Alena mengangguk dan melahap roti bakar dengan selai cokelat favoritnya. Dari dulu ia memang selalu sarapan roti bakar dengan selai cokelat. Katanya kalau sarapan nasi, perutnya suka mulas.

“Oh, iya hampir aja lupa. Papa ada sesuatu buat kamu. Bentar, Papa ambil dulu,” ucap Budi lalu bangkit. Tak lama kemudian Budi kembali dengan sebuah map merah dan sebuah paperbag cokelat di tangannya lalu menyerahkannya pada Alena.

“Ini apa, Pa-Papa daftarin aku ke SMA Angkasa?!” pekiknya saat mendapati map tersebut berisi berkas pendaftaran dan surat pernyataan bahwa ia diterima di sekolah tersebut.

“Iya, Papa daftarin kamu ke sana. Searah juga sama kantor Papa. Apalagi teman SMP kamu dulu juga ada yang sekolah di sana, loh. Papa lupa namanya, tapi wajahnya kayak nggak asing gitu. Kayak pernah liat di mana, ya?” Budi mencoba mengingat-ingat. Namun, tetap saja sulit. Semakin tua daya ingat seseorang akan semakin menurun.

Gerakan tangan Alena yang sedang membuka paperbag pun berhenti. Ia menatap Budi dengan alis terangkat. “Temen? Siapa, Pa?” tanyanya penasaran, mengingat ia jarang membawa teman-temannya ke rumah.

Jangan-jangan...

“Aduh, Papa beneran lupa, Nak, siapa namanya. Tapi kalau nggak salah, dia teman kamu yang waktu itu ikut ke bandara dulu.”

Bandara?

Ingatan Alena terlempar ke beberapa tahun sebelumnya. Cuma ada satu temannya yang ikut mengantarnya ke bandara.

“Riga maksud Papa?” tanya Alena antusias.

“Papa lupa namanya. Pokoknya dia yang waktu itu ada di bandara, terus Papa malah jadi obat nyamuk kalian pas di ruang tunggu,” jelas Budi dengan raut muka sedikit murung.

Benar, tidak salah lagi. Itu Riga.

Tunggu! kalau dia Riga, berarti ...

“Papa ketemu Riga di mana?!” Terlalu keras hingga membuat Budi terkejut dan kopi yang diminum tumpah ke meja. Alena tersenyum kikuk sambil menyatukan kedua telapak tangannya di dada. “Maaf,” lirihnya.

Budi menggeleng kecil sambil meletakkan kembali gelas kopi yang isinya sudah kosong. “Kemarin Papa ketemu dia di minimarket depan. Dia sama temannya, pacarnya mungkin. Pas temannya pergi, Papa coba samperin. Eh, dia ingat sama Papa. Dia juga nanyain kabar kamu.”

Alena mengangguk paham mendengar penjelasan Budi. Bibirnya membentuk lengkungan tipis, sangat tipis bahkan papanya tidak tahu. Satu titik terang pun muncul di otaknya. Mungkin dengan menemui Riga, ia bisa bertemu Dia.

“Papa tenang kalau kamu sekolah di sana. Selain itu sekolah impian Luna, di sana kamu sudah punya teman yang kamu kenal. Jadi, Papa juga bisa sekalian nitipin kamu ke Riga biar bantu awasin kamu.”

“Nggak, Lena nggak mau! Dikira Lena barang, pakai dititipin segala. Riga juga bukan bodyguard yang harus ngawasin Lena. Pa, Lena tuh udah gede, nggak perlu diawasin begitu. Jangan perlakuin Lena kayak anak kecil, dong!” protesnya. Dari dulu Alena tidak suka sikap papanya yang seperti ini, terlalu protective.

“Alena, ini semua demi kebaikan kamu. Kamu itu kalau nggak ada yang ngawasin selalu seenaknya, Papa nggak suka.”

“Pa...”

“Papa nggak mau denger alasan apapun, Alena. Maaf, Papa akan tetap minta Riga buat awasin kamu.”

Alena mengembuskan napas pasrah. Percuma, papanya tidak bisa dibantah.

“Maafin Papa. Dan satu lagi yang harus kamu tahu, kamu itu tetap putri kecil Papa,” ucap Budi sambil mengusap lembut rambut putrinya, menyalurkan kasih sayang dari orang tua.

“Pa, Lena kangen Mama,” ucap Alena setelah beberapa menit hanya diisi suara host acara makan di televisi. Cewek itu menatap Budi meminta persetujuan.

“Ya udah, kamu siap-siap. Sepuluh menit lagi kita berangkat.”

Alena mengangguk cepat dan langsung berlari ke kamarnya. Lima menit kemudian, ia sudah duduk di teras rumah menunggu papanya. Tak berselang lama, pria yang ditunggunya pun keluar.

Empat puluh lima menit perjalanan, mobil yang dikendarai Budi berhenti di area parkir sebuah pemakaman umum. Ini merupakan salah satu dari daftar agenda yang disusun Alena sebelum hari keberangkatannya ke Jakarta. Gadis yang memakai dress hitam lima senti di bawah lutut itu masuk lebih dulu ke area makam. Tujuannya adalah makam yang berada tepat di bawah pohon Kamboja.

Alena berjongkok di samping sebuah makam. Perlahan tangannya mengusap lembut nisan bertuliskan nama Widya binti Hartanto.

“Assalamualaikum, Ma. Mama apa kabar di sana? Baik-baik aja, kan? Alena sama Papa juga baik-baik aja. Maaf, dua tahun terakhir kita nggak bisa jengukin Mama. Lena kangen banget sama Mama,” ucap Alena masih sambil mengusap nisan almarhumah mamanya. Cairan bening yang sedari ditahan kini luruh membasahi kedua pipinya. Dadanya sesak setiap kali ke tempat ini.

“Ma, Luna jagain Mama, kan, di sana? Luna nggak bikin Mama kesel, kan?”

Lagi-lagi air mata Alena jatuh. Ia merasakan punggungnya ditepuk-tepuk pelan oleh papanya. Setelah tangisnya sedikit reda, Alena berbalik, membiarkan papanya melepas rindu. Ia menatap satu makam lagi yang tepat di samping makam mamanya. Aluna Prameswari.

“Halo, Kak Luna. Apa kabar? Maaf, ya, Lena sama Papa baru bisa jenguk sekarang. Soalnya, Kemarin baru aja pulang. Kak, Lena kangen banget sama kakak.” Alena menyeka air matanya. Tubuhnya bergetar diiringi isakan.

“Oh iya, Kak, Papa daftarin aku ke SMA Angkasa, loh. Aku seneng banget. Itu, kan, sekolah impian kakak dulu. Doain, ya, semoga aku bisa cepat beradaptasi di sekolah itu, Kak.

“Kak, udah siang, Lena sama Papa pulang dulu, ya? Besok Lena juga udah masuk sekolah. Tapi Lena janji bakalan sempatin waktu buat jengukin Mama dan Kak Luna. Nitip Mama, ya, Kak. Jagain Mama, jangan dibikin kesel terus. Bye, Kak Luna,” pamit Alena seraya mengusap nisan sang kakak dan mamanya.

“Ma, Lena sama Papa pulang dulu, ya? Lena janji bakalan sering ke sini. Assalamualaikum Mama, Kak Luna.”

Alena memandang sekali lagi kedua makam tersebut lalu beranjak pergi. Akhirnya rasa rindu pada dua perempuan yang disayanginya sedikit terobati. Pasalnya selama beberapa tahun terakhir, ia hanya bisa mengirimkan doa-doa tanpa bisa berkunjung ke makam mereka.

Mau makan dulu atau langsung pulang?" tanya Budi sesaat setelah mobil meninggalkan area parkir pemakaman.

“Langsung pulang aja, Pa. Lena mau istirahat dulu, sama sekalian Lena izin pergi, ya?”

“Mau ke mana kamu, Len?”

“Jalan-jalan doang, Pa. Udah lama nggak metime soalnya. Boleh, kan?”

“Ya sudah, Papa izinin. Asal pulangnya jangan kemalaman.”

“Siap!”

**

Di sinilah Alena sekarang, berada di antara deretan rak penuh buku yang memanjakan mata. Berpindah dari satu rak ke rak lain, jari tangannya menelusuri setiap judul sembari mengabsen ratusan judulnya. Sesekali ia mendengkus kesal jika tak menemukan buku yang sesuai.

Dulu waktu SMP, Alena sering menghabiskan akhir pekannya dengan pergi ke toko buku. Mengabsen jajaran buku atau novel yang ada di rak 'New Books' dan 'Best Seller'. Ditambah lagi, seseorang selalu menemaninya. Meski lama, tapi orang itu tidak pernah mengeluh dan tetap menemaninya. Istilahnya kencan di toko buku. Ah, mengingatnya saja membuat senyumnya mengembang.

Pandangan Alena jatuh pada sebuah novel dengan sampul bergambar langit malam. Summer Triangle karya Hara Hope. Segera ia meraihnya, tapi ternyata ada tangan lain yang juga menyentuh novel tersebut. Buru-buru ia menarik tangannya kembali tangannya, begitu juga orang tersebut.

Alena menoleh dan mendapati seorang gadis seusianya tersenyum kikuk. Tubuhnya ideal hanya mungkin lebih gemuk gadis itu daripada dirinya. Pipi tembam gadis itu sangat berbeda dengan pipinya yang tirus. Rambutnya hitam sepunggung. Namun, wajahnya terkesan judes.

Oke, skip. Ia malas berurusan dengan orang berwajah seperti itu.

“Maaf, mau ambil ini juga, silakan. Aku bisa cari yang lain,” ucap Alena.

“Enggak, ambil aja. Aku bisa cari novel lain,” jawab gadis itu dan kembali fokus pada jajaran novel di hadapannya.

“Eh, ini ada satu lagi ternyata. Kalau gitu, ini buat kamu, aku bisa ambil yang ini. Atau kamu mau tukeran?” ujar Alena sambil menyodorkan novel tersebut. Tangan kirinya mengambil novel yang sama dari rak.

“Isinya sama aja. Gue ambil yang ini,” jawab gadis itu sambil mengambil novel yang Alena sodorkan.

“Okay. Lo suka novel, ya? Eh, pakai ‘gue-lo’ nggak apa-apa, kan?” tanyanya ragu. Sebenarnya ia tidak mau sok akrab, tapi melihat sepertinya gadis itu juga suka novel, jadi ia penasaran.

Ternyata tidak buruk. Sikap gadis di depannya ini ternyata jauh berbeda dari wajahnya.

“Nggak apa-apa lah. Iya, gue suka novel. Lo juga?”

Alena mengangguk antusias. “Iya, gue juga. Dan ini salah satu yang gue incar, tapi baru nemu sekarang.”

“Lah, sama dong! Gue nyari ini buku dari lama, tapi baru nemu sekarang. Suka aja gitu sama yang berbau bintang.”

“Lo As—apa sih itu yang suka bintang sama luar angkasa?”

“Astrophile.”

“Nah, iya, Astrophile!”

“Lo Astrophile juga?”

Alena menggeleng cepat. “Bukan. Gue cuma penggila novel aja, bukan penggila unsur luar angkasa gitu. Tapi temen gue ada yang sama kayak lo. Maniak banget sama luar angkasa gitu.”

“Oh, ya? Seru, dong. Jarang banget loh, nemu orang yang suka luar angkasa gitu. Susah malah.”

“Seru apanya, yang paham dia—”

“Nada!”

***

Related chapters

  • 100 Langkah Melupakan Kisah Kita   2. Bertemu Kembali

    Seruan itu menghentikan obrolan keduanya. Keduanya menoleh cepat. Alangkah terkejutnya Alena saat mendapati siapa pemilik suara barusan. Tubuhnya mendadak kaku saat matanya bertubrukan dengan iris cokelat milik orang itu. Orang yang kini berdiri beberapa meter di depannya, tepat di belakang gadis bernama Nada tersebut. “Gamma?” ucapnya memastikan penglihatannya. Tubuh tinggi dan tegap, wajah tampan meski dengan kulit sawo matang seketika membius Alena. “Gamma, ini beneran kamu? Astaga, nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini. Kamu apa kabar? Gimana kabar Mama Farah?” tanyanya beruntun. Tak lupa seulas senyum terukir di bibir Alena. Senang rasanya, ia bisa bertemu Gamma di tempat ini, tempat yang dulu sering mereka gunakan untuk kencan. Raut terkejut laki-laki itu berubah datar. Gamma terdiam sejenak. “Oh, gue baik-baik aja. Kabar Mama juga baik. Lo sendiri gimana? Kapan pulang?” Hati Alena mencelos mendengar Gamma menggunakan ‘gue-lo’, padahal dulu lak

    Last Updated : 2021-11-10
  • 100 Langkah Melupakan Kisah Kita   3. Murid Baru

    Ini bukan kali pertama Alena pindah sekolah, lebih tepatnya ini yang keempat kalinya. Kelas 2 SD pindah ke Bandung hingga kenaikan kelas 6 ia pindah ke Jakarta. Pertengahan kelas 8 SMP, ia pindah ke Balikpapan dan sekarang ia pindah lagi ke Jakarta. Sebenarnya Alena tidak suka dengan keadaan seperti ini. Namun, pekerjaan Budi yang hanya karyawan di sebuah perusahaan swasta, membuat Alena mau tak mau harus mengikuti ke mana pun papanya dipindahtugaskan. Alena belajar menerima, toh, papa bekerja untuk dirinya. Namun, sejak mama dan kakaknya meninggal, papa jadi lebih protektif padanya. Mengiriminya pesan hingga menelepon berkali-kali jika ia terlambat pulang. Lebih parah lagi, papa sering minta tolong pada temannya yang dikenalnya untuk membantu mengawasi. Seperti Riga kemarin, contohnya. Papa meminta tolong laki-laki itu untuk mengawasinya. Pada akhirnya ia hanya bisa pasrah karena jawaban Riga. “Om Budi nitipin lo ke gue,” ucap Riga saat di perjalanan pulang

    Last Updated : 2021-11-10
  • 100 Langkah Melupakan Kisah Kita   4. Toko Roti dan Kekecewaan

    Sekotak donat sudah berpindah dari tangan penjaga toko roti ke tangan Alena. Sekarang, ia ingin segera pulang. Membaca buku sambil ditemani sekotak donat pasti menyenangkan, begitu rencananya. Namun, baru saja tangannya mendorong keluar pintu, pandangannya langsung tertuju pada sebuah butik yang terletak tepat di seberang toko roti, tempatnya berada sekarang. Ralat, lebih tepatnya pada sosok laki-laki berjaket abu-abu yang sedang memarkir motornya di pelataran parkir butik tersebut. Ponsel yang rencana digunakan untuk memesan ojek online pun segera ia masukkan ke dalam tas dan tanpa membuang waktu lagi, Alena berlari menuju butik tersebut. Masa bodoh dengan donatnya yang terombang-ambing karena dibawanya berlari. Toh, sekalipun nanti topping-nya tercampur, donatnya masih enak dimakan. “Gam! Gamma!” Dua kali, panggilannya tidak mendapat respons. Laki-laki yang dipanggilnya itu malah melangkah menuju pintu butik setelah menyapa

    Last Updated : 2021-11-10
  • 100 Langkah Melupakan Kisah Kita   5. Masih Tentang Gamma

    “Gila, panas banget! Kipas anginnya kenapa pakai mati segala, sih? Bisa gosong dong gue,” keluh Manda seraya mengipaskan kedua telapak tangannya ke wajah. Cuaca hari ini begitu panas, bahkan terasa lebih panas dari biasanya, padahal waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. Hal ini membuat Alena bersama dua teman barunya—Nada dan Manda— langsung ke kantin tepat sesaat setelah bel istirahat berbunyi. Sebenarnya Alena masih canggung bersosialisasi dengan teman-teman sekelasnya. Namun, Nada—pacar Gamma— terus membujuknya supaya mau ke kantin. Katanya biar mereka bisa lebih akrab sekalian mengobrol, ditambah lagi Via, teman sebangkunya tidak masuk, jadi mau tak mau Alena pun menyetujuinya. Alena pikir ia akan cukup sulit berteman dengan mereka, mengingat Nada adalah pacar dari orang yang disukainya. Namun, ternyata ia salah. Berteman dengan dua gadis itu ternyata bukan pilihan yang buruk. Mereka sama-sama bisa mencairkan suasana, terutama Manda. Jika Na

    Last Updated : 2021-11-23
  • 100 Langkah Melupakan Kisah Kita   6. Sejarah Terulang

    “Gimana sekolah kamu?” tanya Budi suatu pagi di tengah kegiatan sarapan mereka. “Lancar, Pa. Cuma lagi banyak tugas aja,” jawab Alena lalu memasukkan potongan kornet ke mulutnya. Budi menanggapinya dengan anggukan, paham. “Jangan terlalu diforsir ya, Len. Kalau sekiranya kamu merasa nggak enak badan, langsung istirahat biar nggak sampai drop. Terus jangan lupa vitaminnya diminum.” Alena meraih gelas air putih di hadapannya dan meneguknya sedikit. “Papa dan Bara tuh sama aja, ya? Sama-sama suka nyuruh Lena ini itu. Padahal tanpa disuruh pun, aku juga akan kontrol aktivitasku sendiri kok, Pa. Kondisi Lena, cuma Lena sendiri yang tahu. Dan Papa seharusnya juga nggak perlu kasih tahu Bara tentang kemarin. Sekarang, dia jadi ikutan ngomelin aku, Pa.” “Bagus, dong kalau begitu. Setidaknya Bara bisa jadi wakil Papa kalau omelan Papa sama sekali nggak kamu dengerin.” Awalnya Alena merasa biasa saja dengan sikap Bara tersebut. Namun, ia tid

    Last Updated : 2021-12-22
  • 100 Langkah Melupakan Kisah Kita   7. Bahagia dan Harapan

    “Riga, ada yang mau gue omongin sama lo.”Riga yang tengah membereskan buku-bukunya pun menoleh. Kelas sudah sepi, hanya tinggal Alena dan Riga saja. Laki-laki itu menatap Alena dengan alis terangkat.Alena berdeham sebentar lalu kembali menatap Riga. “Lo suka sama Nada?” tanyanya to the point.“Nada?” Riga bertanya memastikan.“Iya. Lo suka sama dia, kan? Ngaku aja, deh.”“Kalau gue suka sama Nada, kenapa?”Pertanyaan Riga sontak membuat Alena tersentak kaget. Entah harus senang atau sedih, ia sendiri bingung. Mendadak ia teringat sesuatu.“Jadi, lo belum tahu soal ini?”“Itu apa sih, Al? Kalau ngomong yang jelas.” Riga kesal sendiri, ia benar-benar tidak mengerti ke mana arah pembicaraan gadis itu.“Lo nggak tahu kalau Nada pacaran sama Gamma?”“Pacaran?” Alena mengangguk cepa

    Last Updated : 2022-01-17
  • 100 Langkah Melupakan Kisah Kita   8. Ucapan Terima Kasih

    Entah kenapa, perasaan Alena pagi ini jauh lebih baik daripada hari-hari sebelumnya. Mungkin karena efek bisa menghabiskan waktu bersama Gamma di luar jam sekolah, ia jadi merasa sesenang ini. Oh, terima kasih kepada Tante Farah yang sudah menyuruh Gamma menjemputnya pulang sekolah, demi bisa bertemu dengannya.Langkah kakinya begitu ringan menyusuri jalanan paving menuju gedung sekolah. Sebenarnya, Alena ingin langsung ke kelas, tapi ia mengurungkan niatnya ketika melihat Nada duduk sendirian di salah satu meja kantin. Alena pun menghampirinya.Nada memakan makanannya tanpa minat. Akhir-akhir ini Alena memang sering melihat Nada sedikit murung, begitu juga dengan Manda. Entah apa yang sudah terjadi di antara kedua sahabatnya itu, ia sama sekali tidak tahu. Baik Nada ataupun Manda, mereka tidak mengatakan tentang masalah apa yang sedang mereka hadapi sekarang.Alena pun menemani Nada di kantin. Alena memilih

    Last Updated : 2022-03-07
  • 100 Langkah Melupakan Kisah Kita   9. Ada Yang Salah

    Dari semua hal yang di sekolah, bel pulang menjadi sesuatu yang paling ditunggu oleh semua murid dan mungkin para guru juga. Jika bel istirahat seperti oase di tengah gurun pasir, bel pulang seperti lautan luas yang ditemukan setelah perjalanan jauh melewati gurun pasir tersebut. Murid-murid akan berhamburan keluar kelas setelah bel pulang berbunyi. Sama seperti yang terjadi di kelas Alena sekarang. Bel berbunyi dan guru mata pelajaran terakhir baru saja keluar, tapi teman-teman sekelasnya sudah ramai keluar kelas. Beberapa lainnya masih sibuk bersiap-siap di bangku masing-masing. “Len, lo dijemput, kan? Ayo ke depan bareng.”Ajakan Via langsung disetujui oleh Alena. Gadis itu segera memasukkan buku dan alat tulisnya ke tas, lalu mencangklong tasnya seraya beranjak dari kursinya. “Ayo, Vi.”Alena ingin cepat pulang juga. Tadi pagi papanya bilang kalau beliau akan pulang cepat dari kantornya dan mengajak Alena makan di luar. Lagian, siapa pula ya

    Last Updated : 2022-03-18

Latest chapter

  • 100 Langkah Melupakan Kisah Kita   95. Kebenaran (Ending)

    “Hubungan kita?” Riga mengulangi ucapan gadis di depannya. “Emangnya kenapa sama hubungan kita? Hubungan kita baik-baik aja.” “Baik-baik aja kamu bilang?” Sudut bibir Alena terangkat tipis. Entah kenapa pertanyaan Riga barusan terdengar lucu di telinganya. “Apa kamu nggak ngerasa kalau hubungan kita akhir-akhir ini tuh berbeda?” Berikutnya tanpa bisa dicegah, gadis itu menunpahkan semua yang ia rasakan satu minggu belakangan ini. “Kamu sadar nggak sih, Ri kalau akhir-akhir ini sikap kamu ke aku itu berubah? Kamu kayak lagi ngehindarin aku. Chat sama teleponku jarang kamu respons, sekalipun kamu respons, itu pun cuek banget. Kamu jarang nyamperin aku di kelas, sering nolak tiap kali diajakin ke kantin pas istirahat. Malahan aku lihat beberapa kali kamu bareng sama Kanaya terus.” Meja itu hening. Riga hanya diam sambil memainkan sendok es krimnya. Seolah laki-laki itu sengaja membiarkan Alena menumpahkan semuanya. Seolah laki-laki itu menunggu waktu yang tepat untuk bicara. “Awalnya

  • 100 Langkah Melupakan Kisah Kita   94. Renggang

    Renggang.Satu kata itulah yang mungkin bisa menggambarkan hubungan Alena dan Riga saat ini. Bagaimana tidak, ini sudah satu minggu sejak Alena melihat Riga dan Kanaya di dekat parkiran pagi itu dan akhirnya ia tahu bahwa mereka berangkat bersama, tapi Riga sama sekali tidak menjelaskan apa pun pada Alena. Laki-laki itu tetap bersikap seperti biasa, seolah hal itu tidak pernah terjadi.Lebih dari itu, sikap Riga juga berbeda. Riga jarang mengajak Alena berangkat dan pulang sekolah bersama. Riga jarang ikut ke kantin setiap kali diajak teman-temannya. Riga lebih memilih tetap di kelas atau pergi ke perpustakaan saat jam istirahat.Awalnya Alena mengira perubahan sikap Riga itu karena Riga sedang banyak tugas, apalagi setelah mendengar keluhan Nada. Jadi, ia tidak terlalu mempermasalahkannya. Namun, semua itu berubah setelah Alena beberapa kali melihat Riga dan Kanaya bersama. Bahkan ia pernah tidak sengaja melihat Riga dan Kanaya pulang bersama.“Lo sama Riga lagi berantem ya, Len? Kok

  • 100 Langkah Melupakan Kisah Kita   93. Salah Paham

    Hujan sudah reda sejak dini hari tadi, tapi hawa dingin masih menyelimuti kota. Membuat orang-orang yang tidak betah dingin, harus memakai jaket atau baju hangat saat keluar rumah jika tidak mau menggigil kedinginan. Bahkan Riga saja yang termasuk golongan orang tahan dingin pun memilih memakai jaket hitam di luar seragam putihnya.Jalan raya pagi ini cukup lengang. Para pengendara motor yang sedang buru-buru bisa langsung menyalip tanpa ada drama macet. Namun, berbeda dengan Riga yang tetap mengemudi dengan santai, tapi hati-hati. Riga hanya tidak mau mengambil risiko, apalagi kondisi jalan setelah hujan cukup licin. Genangan air di mana-mana. Meleng sedikit saja, bisa-bisa malah terkena jebakan alias lubang jalan.Baru saja Riga melewati gerbang kompleks, matanya tanpa sengaja menangkap sebuah mobil terparkir di pinggir jalan. Tanpa membuang waktu lagi, Riga segera memacu motornya ke sana."Permisi. Mobilnya kenapa ya, Mbak—loh, Kanaya?”Itu Kanaya dan seorang wanita berpakaian kant

  • 100 Langkah Melupakan Kisah Kita   92. Bertemu Kanaya

    Jam sudah menunjukkan pukul 18.17 saat Riga dan Sandi, salah satu karyawan di kafe tantenya keluar dari musala mal. Mereka baru saja selesai menunaikan salat Maghrib. Namun, alih-alih langsung kembali ke kafe, mereka justru berkeliling sebentar. Kata Sandi, sekalian melepas penat.Mal hari ini tidak terlalu ramai pengunjung. Malah di lantai yang mereka lewati saat ini bisa dibilang sepi. Mungkin karena cuaca sedang hujan jadi orang-orang banyak yang lebih memilih berdiam di rumah daripada pergi ke luar. Sama seperti Sandi yang malas pulang ke kosnya gara-gara masih hujan deras.“Gue balik nanti aja, lah. Takut jadi mermaid gue kalau nekat balik sekarang,” jawab Sandi saat ditanya Tasya kenapa dia tidak pulang padahal jam kerjanya sudah habis.“Asem lo! Mana ada mermaid modelan kayak lo begini? Kurang cakep lo kalau jadi mermaid,” sahut Tama. Ia mengeluarkan beberapa bungkus roti tawar dan mengisinya ke stok. Berikutnya, obrolan-obrolan tidak berfaedah pun muncul dan menimbulkan gelak

  • 100 Langkah Melupakan Kisah Kita   91. Selingkuh

    Suasana berubah hening. Ketiga orang di sana menatap Riga, menunggu orang yang bersangkutan angkat bicara.“Gue malah baru tahu kalau Alena pergi ke kafe,” jawab Riga akhirnya. Ia kembali meletakkan ponsel di atas meja dengan posisi terbalik setelah membalas pesan Alena.Jawaban tersebut sontak membuat ketiga sahabat Riga saling pandang. Tanpa perlu bertanya pun mereka seolah memikirkan hal yang sama. Namun, mereka memilih diam. Setidaknya sebelum suara Pandu mengacaukan semuanya.“Apa jangan-jangan Alena selingkuh?”Sikutan cukup keras dibarengi tatapan tajam diterima Pandu. Laki-laki itu meringis.“Lo jangan asal nuduh. Kalau tuduhan lo salah, malah jatuhnya fitnah,” sahut Dana.“Siapa yang asal nuduh? Gue cuma nanya doang.”“Tapi pertanyaan lo tadi kesannya kayak nuduh.”“Tapi gue nggak nuduh!” Pandu berdecak. Sebelum teman-temannya merespons, laki-laki itu kembali angkat bicara. “Oke, sekarang gini deh, coba lo semua pikir. Kalau emang Alena nggak selingkuh, terus kenapa dia jalan

  • 100 Langkah Melupakan Kisah Kita   90. Ada Apa Dengan Alena

    Riga memasukkan motornya ke halaman setelah pria berseragam putih-biru membuka lebar pintu gerbang. Setelah motor Riga masuk, pria itu kembali menutup gerbang tersebut. Riga memarkir motor di depan garasi, tepat di sebelah motor si tuan rumah.“Dana ada, kan, Pak?” tanya Riga sambil meletakkan helmnya di atas jok.“Ada, Mas. Den Dana baru saja pulang, sama Mas Sakti juga tadi,” jawab pria itu ramah.“Makasih, Pak. Saya masuk dulu.”“Silakan, Mas.”Setelah mencabut kunci motornya, Riga lantas melangkah menuju pintu rumah yang terbuka. Ia mengetuk pintu tiga kali dan mengucap salam. Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya yang ia kenal sebagai asisten rumah tangga di rumah ini pun keluar. Wanita itu tersenyum ramah saat melihat siapa tamunya.“Oalah, Mas Riga, toh. Silakan masuk, Mas. Tadi Den Dana titip pesan ke Bibi, katanya kalau Mas Riga datang, disuruh langsung ke rooftop. Mari Bibi antar, Mas,” ucap wanita itu, lalu melangkah masuk.Riga mengikuti di belakang. Mereka menaiki

  • 100 Langkah Melupakan Kisah Kita   89. A Last Letter From Bara

    “Kemarin pas gue baru balik dan mau naruh tas, gue nggak sengaja nyenggol tumpukan buku di meja belajar. Beberapa bukunya jatuh, termasuk kertas ini,” lanjut Farel masih sambil memandang kertas di atas meja kafe.“Awalnya, gue pikir itu cuma kertas nggak penting—apalah, paling kertas sontekan doang jadi mau gue buang. Tapi gue kebiasaan ngecek ulang sesuatu sebelum benar-benar ngebuangnya, jadi gue cek lagi kertas ini. Pas gue buka kertasnya, ternyata isinya surat dan itu ditujukan buat lo. Itu juga alasan kenapa gue nge-chat lo tadi pagi, ngajak ketemuan,” jelas Farel. “By the way, sorry ya, suratnya jadi kebaca dikit. Tapi gue cuma nggak sengaja baca bagian awalnya doang kok, habis itu stop, nggak gue lanjutin.”Alena meraih kertas tersebut. “Nggak apa-apa, Rel. Justru gue malah berterima kasih sama lo. Kalau lo nggak nemuin dan baca surat ini, mungkin suratnya juga nggak bakalan sampai ke gue, kan?”Gadis itu benar. Andai saja kemarin ia memilih mengabaikan kertas tersebut atau par

  • 100 Langkah Melupakan Kisah Kita   88. Surat

    Suara ketukan berulang di pintu berhasil mengusik laki-laki yang kini tengah meringkuk di atas kasur. Laki-laki itu menggeram kesal. Udara dingin karena hujan ditambah tubuhnya yang lelah, membuatnya ingin tidur seharian tanpa gangguan. Namun, keinginan itu batal gara-gara sang ibu tidak berhenti mengetuk pintu kamarnya. Alhasil, ia tidak punya pilihan selain beranjak dari kasur dan melangkah menuju pintu.“Ada apa, Ma?” tanya Farel begitu ia membuka pintu.“Kamu baru bangun, Rel?” Yang ditanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. “Ini udah pukul sembilan lebih, loh, Rel. Kamu pasti belum sarapan, kan? Sana, kamu makan dulu. Mama tahu kamu capek banget habis perjalanan jauh, tapi lambungnya jangan sampai nggak diisi makanan. Kamu juga terakhir makan, kemarin pas masih di bandara, kan? Gih, sana sekarang turun.”Sejujurnya, Farel sendiri tidak ingat kapan terakhir kali ia makan. Yang ia ingat, kemarin ia pulang ke Jakarta dan selama perjalanan—entah di pesawat atau di mobil—ia lebih b

  • 100 Langkah Melupakan Kisah Kita   87. Start Over

    Alena baru akan membuka pintu mobil ketika terdengar suara klakson dari arah belakangnya. Gadis itu menoleh, mendapati sosok yang dikenalnya tengah melepas helm dan turun dari motor. Kemudian menghampirinya sambil menyunggingkan seulas senyum. Dan seperti yang sudah bisa Alena tebak kelanjutannya, Riga langsung menyalami papa sekaligus meminta izin untuk mengajak Alena berangkat bersama.“Aku kira kamu nggak jadi datang tadi, makanya aku mau bareng Papa.” Alena yang pertama kali bicara. Papa baru saja berangkat setelah memberi izin pada mereka, karena mendapat telepon dari kantornya. Tentu dengan catatan agar mereka hati-hati dan tidak mengebut di jalan, mengingat jalanan pasti basah setelah diguyur hujan sejak semalam hingga Subuh tadi.Beruntung, Alena membawa serta helmnya, jadi sekarang ia tidak perlu kembali ke rumah untuk mengambil helm. Gadis itu segera memakai helmnya, kemudian naik ke boncengan Riga. Laki-laki itu mulai melajukan motornya, meninggalkan rumah Alena.“Maaf, ya,

DMCA.com Protection Status