Keluarga Sempurna untuk Anak Tunadaksa
Terlahir dengan istimewa tak membuat Alara Diba Afsana putus asa dan minder di tengah kalangan anak seusianya. Sejak kecil, Alara di titipkan di rumah sang Nenek karena Papa yang sibuk bekerja. Sedangkan Mama? Alara tidak mengetahuinya.
Papa tidak pernah menceritakan sosok Mama pada Alara. Tak ada yang mau terlahir seperti Alara, ejekan, hinaan hingga gunjingan Alara terima dengan diam tanpa melawan.
Hingga suatu sore, Alara tak sengaja bertemu perempuan berhijab bersama beberapa anak seusianya yang tengah bermain di taman. Alara hanya melihat tak berani mendekat.
Bunda.
Setidaknya kata itu adalah kalimat yang mereka ucapkan kepada perempuan berhijab itu.
Betapa murah senyum perempuan berhijab itu kepada mereka semua, bermain dan melempar canda bersama anak-anak begitu gembira.
Lantas, tak sengaja kaki kecilnya berjalan menuju mereka. Ingin sekali Alara ikut bermain dan tertawa bersama, tapi apakah boleh?
Apakah boleh Alara ikut merasakan kebahagiaan mereka ketika Alara sendiri terlahir dengan keistimewaan yang membuatnya dijauhi banyak orang?
"Hai! Adek mau ikut bermain?" Tanya perempuan berhijab itu dengan nada yang lembut.
"Bunda."
Perempuan itu mengerutkan kening heran, lantas mengerti maksud kalimat "Bunda" dari Alara.
"Iya, adek boleh kok panggil kakak Bunda. Sama seperti yang lain."
Alara menatap perempuan berhijab yang tersenyum manis kepadanya dengan mata berkaca, "Boleh tidak Bunda jadi Bundanya Alara?"
Perempuan itu merasa aneh dengan pertanyaan Alara, namun ia berusaha menanggapi pertanyaan Alara dengan senyuman, "Jadi adek namanya Alara, ya?"
Alara mengangguk.
"Iya, boleh kok Alara anggap Bunda jadi Bundanya Alara juga."
Satu hal yang tidak perempuan berhijab itu sadari. Jika Alara menginginkan ia menjadi Bundanya, Bunda hanya untuk Alara.
***
344 DibacaOngoing