หน้าหลัก / Fantasi / Zero: Forgotten Lost (INDONESIA) / บทที่ 31 - บทที่ 40

บททั้งหมดของ Zero: Forgotten Lost (INDONESIA): บทที่ 31 - บทที่ 40

45

Volume 3 Chapter 5: Makan Malam

Malam itu, setelah pertemuan dengan Raja Kaito Akio V, Fabio kembali ke kamar yang telah disediakan untuknya. Dua pengawal mengantarnya tanpa banyak bicara, hanya melangkah dengan disiplin di koridor panjang yang diterangi cahaya lentera. Sebelum ia pergi, sang raja sempat berkata dengan nada santai, "Nanti malam kita akan bertemu lagi. Sekarang, kalian berdua beristirahatlah dahulu di kamar."Kata-kata itu masih terngiang di kepala Fabio saat ia berjalan menyusuri lorong-lorong gedung kedutaan Thalos. Kalian berdua? Fabio bertanya-tanya apa maksudnya, tetapi pertanyaan itu segera terjawab saat ia mendorong pintu kamarnya dan mendapati Thalysa sudah ada di dalam, duduk di kursi dekat meja, membaca beberapa dokumen dengan ekspresi serius."Kau sudah kembali, Fabio-san?" sapa Thalysa tanpa mengalihkan pandangannya dari dokumen yang ia baca.Fabio tidak menjawab langsung. Ia menutup pintu di belakangnya, mengamati kamar itu sejenak, lalu berjalan mendekat dan duduk di kursi di seberangny
last updateปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-06
อ่านเพิ่มเติม

Volume 3 Chapter 6: Kesepakatan

Diplomasi antara Kerajaan Thalos dan Kerajaan Valtor kembali berlangsung di ruang pertemuan yang megah. Pagi itu, setelah bersiap-siap, Fabio mendengar ketukan di pintunya. Ia membuka pintu dan mendapati Thalysa sudah berdiri di sana, menatapnya dengan penuh energi seperti biasa. "Sudah siap?" tanyanya dengan suara tenang, tapi sorot matanya menunjukkan bahwa ia tidak akan menerima jawaban selain ‘ya.’ Fabio hanya mengangguk dan mengambil mantelnya, lalu berjalan mengikuti Thalysa menuju ruang rapat. Kali ini, Raja Kaito Akio V sudah berada di sana, duduk dengan santai di kursinya, menunggu mereka. Tidak seperti kemarin, di mana Fabio dan Thalysa harus menunggu, kini sang raja menunjukkan kedisiplinannya dengan datang lebih awal. Ini bukan hanya bentuk etika, tapi juga sebuah pernyataan. Bahwa negosiasi ini penting, dan ia ingin memastikan segalanya berjalan sesuai rencana. Tanpa banyak basa-basi, negosiasi dimulai. Kaito Akio V membuka diskusi dengan usulan pertama. "Kerajaan Valto
last updateปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-07
อ่านเพิ่มเติม

Volume 3 Chapter 7: Berjalan-jalan

Matahari mulai condong ke barat saat Kaito Akio V membawa Fabio dan Thalysa menuju pelabuhan utama di pinggir kota. Udara asin bercampur dengan aroma kayu kapal yang baru dipernis menyambut mereka, sementara suara riuh para pekerja yang sibuk membongkar muatan dan memuat peti-peti besar terdengar di segala penjuru. Kapal-kapal dari berbagai kerajaan berlabuh di sana, layar-layar mereka berkibar diterpa angin laut, membawa lambang-lambang dari negeri-negeri jauh. Thalysa berjalan dengan mata berbinar, memperhatikan bagaimana para pelaut dan pedagang bekerja dalam harmoni, merancang jalur perdagangan yang menghubungkan dunia. “Kota ini benar-benar hidup dari perdagangan laut, ya,” gumamnya dengan kagum. Fabio, di sisi lain, hanya berdiri diam dengan tangan bersedekap, matanya tajam mengamati setiap detail pelabuhan, bagaimana setiap pekerja memiliki tugas spesifik, bagaimana setiap langkah diatur sedemikian rupa tanpa ada celah untuk kekacauan. Ia mengangguk kecil, tidak mengatakan apa-
last updateปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-15
อ่านเพิ่มเติม

Volume 3 Chapter 8: Kota yang Hidup untuk Bertahan

Laut terbentang luas di hadapan mereka, gelombang bergulung perlahan membawa kapal perang kerajaan melaju di atas permukaannya yang biru gelap. Cahaya matahari memantul dari ombak yang pecah di sisi lambung kapal, sementara angin laut yang asin menerpa wajah setiap orang di atas dek. Fabio berdiri di dekat pagar, diam memandangi cakrawala, sementara Thalysa berdiri tak jauh darinya, sibuk menikmati udara segar yang berhembus dari laut terbuka. Di sisi lain, Kaito Akio V tampak berdiri dengan posisi kaku, sesekali menutup mata dan menarik napas panjang, seolah mencoba menenangkan sesuatu yang sedang berkecamuk di dalam tubuhnya.Thalysa, yang menyadari ekspresi aneh sang raja, tersenyum jahil sebelum berkata, “Jangan sampai seorang raja jatuh pingsan karena mabuk laut.” Suaranya penuh godaan, tetapi tidak ada ejekan di dalamnya, hanya sekadar hiburan ringan untuk memperjelas situasi. Kaito Akio V membuka matanya dan menatap Thalysa dengan senyum datar, “Kau seharusnya lebih menghormati
last updateปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-16
อ่านเพิ่มเติม

Volume 3 Chapter 9: Diplomasi I

Fabio, Thalysa, dan Kaito Akio V melangkah lebih jauh ke dalam aula, merasakan atmosfer berat yang menyelimuti ruangan itu. Dinding-dinding batu hitam memantulkan cahaya obor dengan samar, menciptakan bayangan yang bergerak di antara tujuh sosok yang duduk di ujung ruangan. Meja batu besar di tengah ruangan menunjukkan tanda-tanda usia, penuh goresan dan bekas pertempuran masa lalu. Tidak ada ornamen emas atau kemewahan yang berlebihan seperti di istana Thalos—hanya fungsionalitas yang murni. Fabio tetap diam, matanya menyapu sekeliling ruangan dengan ketelitian seorang prajurit. Ia memperhatikan bagaimana setiap anggota Septentrion duduk, postur tubuh mereka, dan cara mereka menatap delegasi dari Thalos. Tidak ada yang menunjukkan kelemahan, tidak ada yang terlihat lengah. Ini bukan pertemuan dengan bangsawan manja yang biasa ia temui di istana—ini adalah pertemuan dengan orang-orang yang benar-benar memiliki kekuasaan. Alfred melangkah ke depan, suaranya bergema dalam aula yang l
last updateปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-17
อ่านเพิ่มเติม

Volume 3 Chapter 10: Ritual

Malam mulai turun ketika rombongan Fabio, Thalysa, Kaito Akio V, dan para Septentrion melanjutkan perjalanan menuju Kuil Saint Valtor. Langit di atas Valtor kelam, mendung tebal menggantung seolah menutupi cahaya bintang, dan angin laut membawa hawa asin yang menyelusup ke dalam kulit. Jalan setapak yang mereka lalui semakin curam, dengan batu-batu kasar dan akar pohon tua yang mencuat dari tanah seolah tangan-tangan yang mencoba menarik mereka kembali.Dikelilingi oleh hutan lebat yang gelap, hanya obor-obor yang dibawa para penjaga yang memberikan sedikit cahaya. Kuil Saint Valtor terletak di puncak bukit berbatu, sebuah tempat yang telah berdiri sebelum kerajaan-kerajaan saat ini lahir, sebelum dunia berubah akibat Cataclysmic Catastrophe. Dikatakan bahwa kuil ini adalah tempat di mana dunia lama memohon perlindungan sebelum dihancurkan, tempat di mana sejarah dicatat dengan darah dan pengorbanan.Saat mereka berjalan dalam diam, suara salah satu Septentrion memecah kesunyian."Zer
last updateปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-18
อ่านเพิ่มเติม

Volume 3 Chapter 11: Pertemuan Kedua

Saat ritual berlangsung, semua orang melihat Fabio hanya berdiri diam di tengah lingkaran tanpa ekspresi. Tidak ada reaksi apa pun. Tidak ada rasa sakit, tidak ada ketegangan yang terlihat di wajahnya. Namun, di dalam kesadarannya, ia tidak berada di ruangan itu lagi.Dunia di sekelilingnya telah berubah menjadi tempat yang tidak nyata—sebuah hamparan kosong yang dipenuhi cahaya pucat yang berkedip-kedip seperti lilin yang hampir padam. Udara di sekelilingnya terasa berat, seperti ribuan suara bisikan yang tak terdengar memenuhi ruang hampa ini. Fabio melangkah perlahan, tetapi tidak ada gema, tidak ada suara dari langkah kakinya. Seolah dunia ini sendiri menolak keberadaannya.Dari kegelapan yang tak berujung, seseorang muncul. Tidak seperti pertemuan pertamanya, sosok ini bukan lagi bayangan hitam tanpa bentuk. Kini, sosok itu memiliki wajah yang sama dengan Fabio, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Matanya lebih dalam, lebih tua, seolah membawa beban yang tak terhitung. Pakaian yang i
last updateปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-19
อ่านเพิ่มเติม

Volume 3 Chapter 12: Istirahat

Setelah ritual berakhir, suasana dalam kuil masih terasa berat. Para Saint dan Septentrion menundukkan kepala saat Fabio, Thalysa, dan Kaito Akio V berjalan keluar dari Ruang Penghakiman. Hanya suara langkah kaki mereka yang menggema di lorong batu, seolah udara di dalam kuil pun menahan napas. Fabio masih diam, tidak berbicara sepatah kata pun sejak jawaban dari Sang Penghakim menggantung di udara. Matanya kosong, tatapannya menembus lantai tanpa benar-benar melihatnya. Seolah pikirannya masih terperangkap di dalam lingkaran ritual yang kini sudah padam.Thalysa mencuri pandang ke arahnya beberapa kali, ingin bertanya sesuatu tetapi tidak yakin bagaimana cara memulainya. Ini bukan pertama kalinya Fabio tenggelam dalam pikirannya sendiri, tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Biasanya, dia hanya bersikap acuh, tetapi sekarang... ada sesuatu yang lain. Seakan ia sedang berada di antara dua dunia, berdiri di perbatasan antara masa lalu dan masa depan, tetapi tidak bisa melangkah ke sa
last updateปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-20
อ่านเพิ่มเติม

Volume 3 Chapter 13: Destinasi Berikutnya

Malam terakhir di Valtor terasa lebih sunyi dari biasanya. Fabio dan Thalysa duduk di atas menara tertinggi di kota, menatap laut yang gelap dan tak berujung di kejauhan. Angin dingin membawa suara ombak yang menghantam tebing-tebing batu, menciptakan irama yang tak beraturan, seolah-olah lautan itu sendiri berbisik tentang sesuatu yang tidak bisa dipahami manusia. Lampu-lampu di kota perlahan mulai redup, meninggalkan hanya bintang-bintang yang terpantul samar di permukaan air yang hitam pekat.Thalysa menarik napas dalam-dalam sebelum bertanya, “Apa yang kita cari di sana, Fabio? Apakah hanya jawaban tentang Abyssal, atau lebih dari itu?” Suaranya lembut, tetapi ada kegelisahan yang jelas di dalamnya. Perjalanan mereka bukan sekadar ekspedisi biasa. Ini adalah langkah menuju sesuatu yang bahkan mereka sendiri tidak sepenuhnya pahami.Fabio tetap diam untuk waktu yang lama, hanya menatap cakrawala kosong tanpa ekspresi. Kemudian, akhirnya, ia menjawab dengan suara rendah, “Aku tidak
last updateปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-21
อ่านเพิ่มเติม

Chapter Interlude: Anak yang Tumbuh Membenci Manusia

Seorang anak manusia lahir di dunia yang penuh kebohongan. Ia tumbuh tanpa mengetahui apa itu kasih sayang, tanpa memahami makna kelembutan. Setiap hari yang ia jalani bukanlah lembaran baru yang penuh harapan, melainkan kelanjutan dari penderitaan yang tak kunjung usai. Sejak kecil, ia melihat bagaimana manusia saling menghancurkan, bagaimana mereka tersenyum di depan tetapi menusuk dari belakang, bagaimana kebaikan hanyalah topeng untuk menutupi niat busuk yang mengendap dalam jiwa mereka. Anak itu tidak pernah tahu seperti apa rasanya dipeluk dengan tulus. Tidak pernah ada tangan yang menepuk kepalanya dengan lembut, tidak pernah ada suara yang mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Yang ia tahu hanyalah kelaparan, dingin, dan suara-suara kasar yang terus membentaknya, memberitahunya bahwa ia tidak diinginkan, bahwa ia tidak pernah seharusnya ada. Setiap malam, ia tidur dalam gelap, bukan karena lampu dipadamkan, tetapi karena kegelapan adalah satu-satunya teman yang tida
last updateปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-22
อ่านเพิ่มเติม
ก่อนหน้า
12345
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status