Beranda / Urban / Menantu Kuli / Bab 21 - Bab 30

Semua Bab Menantu Kuli: Bab 21 - Bab 30

45 Bab

XXI. Sangat mendadak

Delia menggenggam ponselnya dengan tangan yang sedikit gemetar. Tatapannya penuh keraguan, tapi Willy di sebelahnya mengangguk kecil, memberi dukungan. “Jawab saja, Delia. Kau bisa mengatasinya.” Dengan napas yang dalam, Delia akhirnya menggeser tombol hijau. Suara ibunya langsung terdengar, tajam dan penuh emosi. “Delia, kau di mana sekarang? Sudah malam begini belum juga pulang!” Delia menggigit bibirnya, mencoba meredam rasa gugup. Namun, suaranya tetap terdengar tenang ketika ia menjawab, “Aku… sedang di tempat Paman Wastin, Bu. Dia kurang enak badan.” Jawaban itu membuat Willy dan Ben menatap Delia dengan rasa kagum. Keputusan yang cepat, tepat, dan masuk akal. Tapi bagaimana tanggapan Mira? Wastin, yang duduk di seberang meja, menyadari tanggung jawabnya untuk mendukung cerita Delia. Dengan cepat, ia memberi isyarat agar Delia menyalakan mode speaker. “Delia, pasang loudspeaker,” bisik Wastin dengan suara pelan namun tegas. Delia segera menekan tombol, dan kini sua
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-10
Baca selengkapnya

XXII. Acara sederhana

Wastin mendekati Delia dengan perlahan, mengabaikan semua mata yang menatapnya dengan penuh tanda tanya. Ketika ia akhirnya berdiri di hadapan keponakannya, ia meletakkan kedua tangannya di bahu Delia. Matanya penuh dengan ketulusan dan kasih sayang seorang paman yang mengerti betapa beratnya beban di hati gadis muda ini. “Delia,” katanya dengan suara yang lembut namun tegas, “kau jangan berkecil hati meski Haldi dan Mira tidak ada di sini. Aku tahu betapa inginnya kau mendapatkan restu mereka, tapi kau harus tahu bahwa aku ada di sini sebagai pengganti mereka. Anggaplah aku sebagai ayahmu, orangtuamu. Jangan bersedih ya, sayang.” Mata Delia berkaca-kaca, tapi ia menahan air matanya agar tidak mengalir. “Terima kasih, Paman. Itu sangat berarti bagiku.” Willy, yang berdiri beberapa langkah di belakang, merasa hatinya tergetar melihat bagaimana Wastin memberikan dukungannya sepenuh hati. Ia tahu bahwa pernikahan ini adalah awal dari perjalanan panjang, dan Wastin telah memberikan
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-10
Baca selengkapnya

XXIII. Kamar Pengantin

Semua mata terpaku pada ponsel di tangan Delia, yang terus bergetar dengan panggilan dari Mira. Suasana tegang menguasai ruangan, terutama karena Delia terlihat bingung dan gemetar. Namun, sebelum ia sempat memutuskan apa yang harus dilakukan, Wastin dengan cekatan merebut ponsel dari tangannya. Dengan tenang namun percaya diri, Wastin menekan tombol hijau dan menjawab panggilan itu. “Ya, kak Mira, ini Wastin,” katanya, suaranya terdengar ramah namun penuh kendali. “Kau tahu ini sudah hampir tengah malam, kan?” suara Mira terdengar di seberang, nada suaranya tajam. “Kenapa Delia belum juga pulang? Apa yang sebenarnya kau lakukan dengannya?” Wastin tertawa kecil, begitu alami hingga semua yang berada di ruangan terkesima melihat aktingnya. “Kak Mira, Delia bersamaku. Apa yang perlu dikhawatirkan? Di akhir pekan, apa salahnya seorang keponakan mengunjungi pamannya dan menghabiskan waktu bersama?” Ada keheningan sejenak di seberang. Mira mendecak pelan, seperti menahan amarah. “A
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-11
Baca selengkapnya

XXIV. Tameng

Delia melangkah menuju lemari pakaian, niatnya hanya untuk mengambil baju tidur. Tapi sebelum tangannya sempat membuka gagang lemari, Willy menghentikannya dengan lembut. “Untuk apa mengambil baju tidur kalau nanti akan dilepaskan lagi?” kata Willy dengan suara yang dalam, namun penuh kelembutan. Delia terdiam. Wajahnya langsung memerah, tak tahu harus merespon bagaimana. Perkataan Willy yang begitu lugas membuatnya canggung. Ia hanya berdiri di sana, menunduk sambil memegang handuk yang melilit tubuhnya erat-erat. Willy mendekat, perlahan tapi pasti. Ia menyentuh bahu Delia dengan lembut dan memutar tubuhnya hingga mereka saling berhadapan. Mata mereka bertemu, dan waktu seakan berhenti sejenak. “Bidadariku,” ucap Willy pelan, suaranya seperti bisikan lembut angin malam. “Kau begitu cantik. Aku benar-benar beruntung bisa memperistrimu.” Delia mengerutkan hidung kecilnya sambil mencebik, wajahnya semakin memerah. “Baru beberapa jam menikah sudah bisa membual dan menggombal s
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-11
Baca selengkapnya

XXV. Peluang Wastin

Delia berjalan perlahan menuju jendela kamar, membiarkan angin malam menyapa wajahnya. Dari sini, ia bisa melihat taman rumah Ben Dino yang luas, dengan lampu-lampu taman yang memberikan suasana tenang. Ini adalah malam pertamanya sebagai istri Willy, dan ia berusaha menenangkan pikirannya yang masih dipenuhi campuran emosi antara malu, bahagia, dan sedikit cemas tentang apa yang akan mereka lakukan. Sambil menyentuh tirai lembut di tepi jendela, Delia memikirkan perjalanannya hingga ke titik ini. Siapa sangka seorang gadis dari keluarga terpandang seperti dirinya akhirnya menikah dengan pria sederhana seperti Willy? Namun, ia merasa pilihan ini benar, meski harus menghadapi tantangan besar. “Delia...” Suara Willy tiba-tiba memecah keheningan. Delia menoleh, terkejut. Willy berdiri di belakangnya dengan rambut basah dan tubuh tanpa sehelai pakaian. Wajah Delia langsung memerah, tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa, Willy dengan santai berkata, “Aku lupa membawa handuk ke kamar m
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-12
Baca selengkapnya

XXVI. Undangan makan

Willy memandang kunci Lamborghini Centenario di tangannya sebelum menyerahkannya kepada Sano. “Tolong simpan mobil ini di rumah, Kak. Aku tak ingin membawa sesuatu yang mencolok ke rumah keluarga Haldi,” ucap Willy dengan nada tegas. Sano mengangguk setuju. “Kau benar, Willy. Itu akan menarik perhatian yang tidak diinginkan. Mobil ini aman di sini.” Setelah berpamitan dengan Ben, Wastin, Sano, dan Sisca, Willy dan Delia melanjutkan perjalanan pulang menggunakan Mini Cooper biru milik Delia. Di sepanjang perjalanan, Willy menyusun rencana. “Delia,” kata Willy sambil melirik istrinya yang sedang menyetir, “untuk sementara waktu, kita harus merahasiakan pernikahan ini dari siapa pun di rumah. Aku tidak ingin mereka mengetahui hal ini, terutama ibumu.” Delia mengangguk pelan. “Aku mengerti. Tapi sampai kapan kita harus merahasiakannya?” “Rahasia ini hanya akan kita buka jika kau benar-benar terpojok dan tidak bisa menghindari tekanan untuk menikah dengan Tomey,” jelas Willy. D
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-12
Baca selengkapnya

XXVII. Amarah keluarga

Willy menghampiri dan duduk di tepi ranjang, menatap wajah istrinya yang terlihat letih. Ia menyentuh pipi Delia yang masih memerah. “Apa yang terjadi? Siapa yang melukaimu?” Delia terisak pelan, lalu menceritakan semuanya, bagaimana Mira memaksanya menerima undangan makan malam bersama keluarga Roman, orang tua Tomey, pria yang ingin dijodohkan dengannya. Willy mendengarkan dengan serius. Setelah Delia selesai bercerita, ia menarik napas panjang. “Delia, aku rasa sudah waktunya kita memberitahu mereka. Kita tidak bisa terus merahasiakan pernikahan kita.” Delia memandang Willy dengan mata berkaca-kaca. “Tapi, Willy, aku takut. Ibu pasti akan mengamuk, dan ayah mungkin akan kecewa.” Willy menggenggam tangan Delia. “Aku akan melindungimu. Apapun yang terjadi, aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu lagi. Besok malam, kita akan mengatakannya.” Delia mengangguk pelan, meski hatinya masih diliputi ketakutan. --- Keesokan malamnya, Delia dan Willy berdiri di depa
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-13
Baca selengkapnya

XXVIII. Hindari dia

Setelah beberapa saat hening, Willy akhirnya berbicara dengan tenang namun penuh keyakinan. “Saya mengerti kekhawatiran Nyonya Mira dan keluarga Haldi. Tapi saya percaya pada kemampuan saya. Saya akan membuktikan bahwa saya bisa sukses dan memberikan kehidupan yang layak untuk Delia.” Mira menyilangkan tangan di dada, memandang Willy dengan tatapan meremehkan. “Oh, kau yakin bisa sukses? Berapa banyak anak muda seperti kau yang berkata begitu tapi akhirnya tetap miskin? Kau hanya pemuda biasa yang tak punya apa-apa. Lalu kau pikir bisa memenuhi kebutuhan Delia?” Willy mengangguk. “Saya memang tidak punya banyak sekarang, tapi saya punya tekad. Delia adalah istri saya, dan saya akan melakukan apapun untuk membahagiakannya.” Delia yang duduk di sebelah Willy menggenggam tangannya erat. “Aku percaya pada Willy, Bu. Dia bukan orang yang mudah menyerah.” Namun, Mira tampak tidak tergerak oleh keyakinan Willy. Ia justru berdiri dari kursinya, menatap Willy dengan tajam. “Kalau begit
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-13
Baca selengkapnya

XXIX. Salah tetap salah

"Halo, Nyonya Mira?” suara Willy terdengar tenang. Namun, balasan dari Mira langsung menusuk telinga. “Willy, pulang dulu! Aku merasa ada yang tidak beres dengan tubuhku. Perutku sakit sekali. Aku butuh diantar ke rumah sakit.” Willy segera menegakkan tubuhnya. “Baik, Nyonya. Saya segera...” “Tapi ingat, jangan lambat seperti siput. Kau selalu terlihat lelet. Kalau aku sampai mati, itu semua salahmu. Mengerti?” Mira memotong dengan nada tajam, seperti biasa. “Baik, Nyonya. Saya akan segera ke sana,” Willy menjawab dengan nada sabar, lalu menutup telepon. Wastin dan Sano memperhatikan ekspresi Willy yang berubah. “Ada apa lagi?” tanya Wastin. “Nyonya Mira sakit. Saya harus pulang sekarang,” Willy menjelaskan singkat. Sano mengangguk. “Hati-hati di jalan. Semoga bukan hal serius.”Wastin tersenyum miring, "Wanita sadis itu selalu saja membebani orang lain." ---Willy segera masuk ke Mini Cooper biru milik Delia dan memacu kendaraan menuju rumah keluarga Haldi. Sepanjang p
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-14
Baca selengkapnya

XXX. Bapakku

Keenan berdiri di ambang pintu dengan wajah panik. “Ibu!” panggilnya keras. “Pak Dany bilang kau tadi sakit dan pingsan. Apa yang sudah dilakukan anak bodoh ini padamu?” Keenan menuding Willy dengan mata menyala-nyala. Willy hanya berdiri diam, menundukkan kepala, mencoba menahan diri agar tidak terpancing emosi. Keenan tidak berhenti. “Jangan-jangan dia menganiaya Ibu sampai pingsan? Dasar bajingan tak tahu diri! Kau pikir kau bisa seenaknya di rumah ini hanya karena menikahi Delia?” Mira, yang masih lemah, mengangkat tangannya perlahan. “Bukan begitu, Keenan,” katanya, suaranya sedikit bergetar. “Ibu tadi memang sakit perut hingga pingsan. Tapi sekarang sudah sembuh… sendiri.” Keenan mengernyit. “Sendiri? Apa maksud Ibu?” Mira menghindari tatapan Willy, lalu melanjutkan, “Willy tadi sok-sokan mau mengobati Ibu. Dia mencoba memijat perut Ibu, seolah dia tahu apa yang dia lakukan. Jelas itu cuma upaya coba-coba yang bisa merugikan Ibu, dong.” Mata Keenan menyipit, menata
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-15
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status