Semua Bab 40 Hari Setelah Kematian Bapak: Bab 111 - Bab 120

138 Bab

Bab 111. Napas Terkahir

Murni berteriak histeris, suaranya menggema di tengah malam yang sunyi, "Pakde! Pakde! Jangan tinggalkan kami!" Tubuhnya bergetar hebat, tangannya meraba-raba batu besar yang berjatuhan daei atas sana. Banyaknya bebatuan yang kini menutup rapat pintu gua. "Aji! Bantu aku, cepat! Kita harus keluarkan Pakde Prawiro. Dia masih terjebak di dalam sana, Ji." Murni menoleh ke arah Aji, air matanya mengalir deras, sementara ia terus memukul batu dengan tangannya yang mulai memerah. "Kita tidak boleh menyerah dan meninggalkan dia begitu saja. Dia butuh kita, Aji." Aji, meskipun tubuhnya penuh luka karena ledakan energi tadi, segera maju membantu Murni. "Pakde! Apa pakde mendengar suara kami?!" seru Aji. Beberapa kali Aji berteriak, berharap ada balasan dari dalam sana. "Pakde, kami di sini! Jangan menyerah!" teriaknya sambil memukul batu dengan kepalan tangannya. Joko yang masih terpaku oleh kejadian tersebut akhirnya tersadar dan b
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-27
Baca selengkapnya

Bab 112. Ketenangan

Di luar, Kyai Hasan menatap Murni dengan penuh kasih. "Apa yang bisa kita lakukan dengan tangan kita yang lemah ini, Murni? Terkadang, doa lebih kuat daripada kekuatan fisik. Percayalah, jika takdir mengizinkan, batu ini akan terbuka." Murni terisak. Ia memandang batu-batu besar yang tidak bergeming meski sudah dipukul berkali-kali. Tangannya gemetar, darah menetes dari jari-jarinya. Dengan berat hati, ia akhirnya berlutut di depan batu itu, menangkupkan tangan, dan mulai berdoa dengan suara yang pecah-pecah. "Ya Allah... kumohon, selamatkan Pakde. Jangan biarkan dia terjebak dalam kegelapan. Bawa dia kembali kepada kami..." Aji mengikuti jejak Murni, menunduk sambil berdoa dengan mata tertutup rapat. Joko akhirnya melakukan hal yang sama, meskipun hatinya masih bergulat dengan rasa tak berdaya. Tiba-tiba, angin dingin bertiup kencang di sekitar mereka, membawa suara samar yang terdengar seperti bisikan. "Kalian... masih memanggilku?" Suara itu terdenga
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-28
Baca selengkapnya

Bab 113. Masih Misteri

Murni masih menggenggam cangkir teh hangat di tangannya. Uapnya perlahan menghilang, seperti harapannya yang ikut memudar sejak kepergian Prawiro. Namun, di balik kesedihannya, ada keinginan kuat untuk tidak mengecewakan Pakdenya. Ia mengusap wajahnya, menarik napas dalam-dalam, lalu mengangkat kepalanya. "Aku akan mencoba, Mas," ucapnya dengan suara yang masih bergetar. "Aku tidak ingin pengorbanan Pakde menjadi sia-sia." Joko tersenyum tipis, meski matanya masih menyiratkan kesedihan. "Aku tahu kamu pasti bisa, Dek. Kita semua akan mendukungmu, kita akan selalu bersama." Malam itu, Murni akhirnya mencoba tidur meski pikirannya masih dipenuhi bayangan Pakdenya— Prawiro. Saat kedua matanya sudah mulai terpejam, ia terbangun oleh suara aneh dari luar rumah. Suara gemerisik, seperti langkah kaki yang menyeret di tanah. Sreeek.... "Suara apa itu?" ucap Murni lirih. Murni menajamkan pendengarannya. Joko masih terlelap di sampingnya, begitu juga Aji yang tidur di kamar sebelah.
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-29
Baca selengkapnya

Bab 114. Ditemukan

Malam itu, angin berembus dingin, membawa aroma lembap dari tanah yang baru diguyur hujan sore tadi. Murni dan Joko berdiri di bawah cahaya rembulan yang samar, tubuh mereka membeku dalam ketakutan. Di hadapan mereka, sosok pocong Raharjo berdiri dengan kain kafan yang sudah lusuh dan kotor. Wajahnya pucat, sorot matanya kosong, tetapi bibirnya bergerak seakan ingin berbicara. Joko mundur selangkah, refleks meraih tangan Murni. "Dek... ini bukan main-main," bisiknya, suaranya gemetar. Namun, Murni justru melangkah maju. Jantungnya berdetak kencang, napasnya memburu. Ketakutan masih mencengkeramnya, tetapi ada sesuatu yang lebih kuat dari rasa takut itu—dorongan untuk mengetahui kebenaran. Sosok pocong Raharjo mengangkat tangannya perlahan, lalu menunjuk ke tanah tempat Murni berdiri. Suaranya parau, seakan berasal dari dunia lain. "Gali... tanah ini...." Suara Raharjo terdengar serak dan memberi perintah. Murni menelan ludah, tubuhnya gemetar. "Kenapa aku harus menggali, Pak?
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-30
Baca selengkapnya

Bab 115. Pergi

Pagi itu, langit tampak mendung, seolah ikut berkabung. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, membuat bulu kuduk berdiri meski matahari mulai muncul di ufuk timur. Warga desa telah berkumpul di pemakaman baru, tempat yang telah disiapkan untuk jenazah Raharjo. Murni berdiri di samping Joko, matanya sembab karena kurang tidur dan tangisan semalam. Di hadapannya, liang lahat telah digali dengan rapi. Aji, Pak Karim, dan beberapa warga lain menggotong jenazah yang sudah dibungkus kain kafan baru. Mereka meletakkannya perlahan ke dalam kubur, diiringi lantunan doa yang lirih dari mulut warga. Saat tanah mulai ditimbun, angin bertiup lebih kencang. Suara dedaunan berdesir aneh, seakan ada bisikan samar di antara pepohonan di tepi pemakaman. Beberapa warga saling pandang, merasa ada sesuatu yang janggal, tetapi tetap melanjutkan prosesi pemakaman. Ketika tanah sudah tertutup sempurna dan doa terakhir diucapkan, Murni melangkah maju. Tangannya gemetar saat ia menaburkan bunga di atas m
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-31
Baca selengkapnya

Bab 116. Belum Selesai

Bayangan hitam itu bergeming, seolah ragu untuk menerima perintah Murni. Angin bertiup lebih kencang, mengguncang dahan-dahan pohon yang tersisa. Udara di pemakaman terasa semakin dingin, menusuk hingga ke tulang.Murni mengeratkan genggamannya pada tangan Joko. "Prana, aku mohon... jangan tinggal di sini," suaranya lirih, namun tegas.Meskipun Murni sudah memohon sedemikian rupa, nyatanya bayangan Prana tidak segera menghilang. Ia justru melayang lebih dekat, bergetar seperti api yang diterpa angin. Bisikan yang semula hanya sayup kini terdengar lebih jelas, seolah langsung menyusup ke dalam pikiran Murni."Aku tidak bisa..."Murni tersentak. Ia menggeleng, air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya jatuh. "Kenapa? Apa yang membuatmu bertahan di tempat ini, Prana?"Pak Karim, Aji, dan Kyai Hasan hanya bisa menyaksikan dengan cemas. Mereka tahu, ini bukan sekadar gangguan gaib biasa. Ada sesuatu yang belum selesai, sesuatu yang menahan roh itu di dunia ini.Kyai Hasan mendekat, suaran
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-01
Baca selengkapnya

Bab 117. Protes

Pagi itu, Desa Juwono diliputi kegelisahan. Udara dingin yang biasanya menenangkan kini terasa menekan dada, seakan menyimpan rahasia kelam yang siap meledak kapan saja. Warga mulai berdatangan ke rumah Pak Karim, kepala desa yang dihormati, dengan wajah tegang. Beberapa membawa sesajen berupa bunga tujuh rupa dan dupa yang masih mengepulkan asap tipis, sementara yang lain menggenggam kendi berisi air putih.Tujuan mereka jelas—mendesak Murni dan Aji untuk segera mengadakan selamatan dan pengajian guna menenangkan arwah yang berkeliaran di sekitar makam Raharjo.Bu Sarmi, seorang wanita paruh baya yang dikenal memiliki kepekaan terhadap hal-hal gaib, melangkah ke depan dengan raut wajah penuh kecemasan. "Kami semua merasa tidak tenang sejak semalam," katanya, suaranya bergetar.Beberapa warga mengangguk, membenarkan ucapan Bu Sarmi."Anakku yang baru berusia enam tahun terus menangis tanpa sebab," tambah lagi, suamiku bilang, kalau ada seseorang yang berdiri di pojok kamarnya, menatap
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-02
Baca selengkapnya

Bab 118. Buku

Warga yang hadir semakin panik saat melihat pria yang kejang-kejang tadi mengerang kesakitan. Tubuhnya bergetar hebat, urat-urat di lehernya menonjol, dan napasnya tersengal. Beberapa orang mencoba menenangkannya, tapi setiap kali mereka menyentuh kulitnya, panas menyengat terasa, seolah mereka menyentuh bara api. "Pak...! Pak! Sadarlah!" seru istrinya yang menangis di sampingnya. Pak Karim segera mendekat, wajahnya pucat. "Kyai, tolong dia! Dia tidak bisa terus begini!" Kyai Hasan mengangguk cepat, lalu berjongkok di samping Pak Darto. Dengan sigap, ia menempelkan tangannya ke dahi pria itu dan mulai melantunkan ayat-ayat suci. Suaranya menggema di tengah suasana yang mencekam. Namun, seiring lantunan doa yang semakin kencang, tubuh Pak Darto malah semakin berontak. Tangannya mencakar tanah, kakinya menghentak-hentak seperti hendak berlari dari sesuatu. Tiba-tiba, dari mulutnya keluar suara yang bukan miliknya—suara berat dan serak, penuh kebencian. "Kalian semua bodoh! Jangan c
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-03
Baca selengkapnya

Bab 119. Akhir

Suasana di pemakaman desa masih mencekam. Warga berdiri melingkar, wajah-wajah mereka tegang dan cemas. Beberapa orang berbisik lirih, sementara yang lain hanya diam, berusaha memahami apa yang baru saja terjadi.Murni masih berlutut di depan makam ayahnya, tangannya gemetar dan tubuhnya terasa lemas. Ia menatap tanah yang baru saja ia timbun, berharap segalanya telah selesai.Kyai Hasan mendekatinya, tangannya terangkat untuk menenangkan. “Semoga dengan ini, sudah cukup semuanya. Kita semua harus berdoa agar arwahnya tenang dan tidak kembali mengganggu.”Pak Karim mengangguk, lalu menoleh ke arah warga lainnya. “Kita semua bisa pulang sekarang. Biarkan Murni beristirahat.”Perlahan, warga mulai meninggalkan pemakaman. Hanya Murni, Joko—suaminya, Aji, Kyai Hasan, dan beberapa orang yang masih tetap berada di sana.Namun, sebelum mereka benar-benar pergi, suara gemerisik terdengar dari balik pepohonan. Suara langkah kaki yang berat, seperti sesuatu sedang mendekat.Murni menelan ludah.
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-04
Baca selengkapnya

Bab 120. Kutukan Desa Pocong

Cerita ini adalah sequel alias session 2 dari cerita sebelumnya. Semoga tidak mengecewakan, ya... Terima kasih untuk pembaca semua yang masih selalu setia mengikuti cerita ini. BLURB Ketika Damar, dan beberapa kawan jurnalisnya, dikirim ke desa terpencil Karangwungu untuk mendokumentasikan kisah-kisah mistis, mereka sama sekali tidak menyangka akan terjebak dalam mimpi buruk. Pertama kali mereka menginjakkan kaki di sana, desa itu terlihat seperti sebuah desa mati. Tanpa penghuni, tanpa cahaya kehidupan. Namun, saat malam tiba, sesuatu yang mengerikan tiba-tiba muncul dari kegelapan. Pocong-pocong melompat-lompat, memenuhi seluruh desa, menuntut sesuatu yang telah lama hilang. Bisakah Damar dan teman-temannya bertahan dan menemukan kebenaran sebelum fajar tiba? Atau akankah ia menjadi bagian dari "Kutukan Desa Pocong"?***BAB 1 - DESA MATIDamar menghela napas panjang, merapatkan jaketnya saat udara malam mulai menusuk kulit. Bersama tiga rekannya—Laras, Rani, dan Joni—ia berdiri
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-05
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
91011121314
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status