Beranda / Horor / 40 Hari Setelah Kematian Bapak / Bab 120. Kutukan Desa Pocong

Share

Bab 120. Kutukan Desa Pocong

Penulis: Yasmin_imaji
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-05 07:22:09

Cerita ini adalah sequel alias session 2 dari cerita sebelumnya. Semoga tidak mengecewakan, ya... Terima kasih untuk pembaca semua yang masih selalu setia mengikuti cerita ini.

BLURB

Ketika Damar, dan beberapa kawan jurnalisnya, dikirim ke desa terpencil Karangwungu untuk mendokumentasikan kisah-kisah mistis, mereka sama sekali tidak menyangka akan terjebak dalam mimpi buruk. Pertama kali mereka menginjakkan kaki di sana, desa itu terlihat seperti sebuah desa mati. Tanpa penghuni, tanpa cahaya kehidupan. Namun, saat malam tiba, sesuatu yang mengerikan tiba-tiba muncul dari kegelapan. Pocong-pocong melompat-lompat, memenuhi seluruh desa, menuntut sesuatu yang telah lama hilang. Bisakah Damar dan teman-temannya bertahan dan menemukan kebenaran sebelum fajar tiba? Atau akankah ia menjadi bagian dari "Kutukan Desa Pocong"?

***

BAB 1 - DESA MATI

Damar menghela napas panjang, merapatkan jaketnya saat udara malam mulai menusuk kulit. Bersama tiga rekannya—Laras, Rani, dan Joni—ia berdiri
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (31)
goodnovel comment avatar
Gadis Bar bar
asli nyeremin.. ampun damar balik aja napa
goodnovel comment avatar
Ugik Kph
Damar ngeyel banget sih di bilangin
goodnovel comment avatar
Ratih Fitriya
damar ngeyel di suruh pergi malah nekat nggk mau pergi,apa itu beneran desa mati ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak    Bab 121. Pocong

    Damar langsung menyorotkan senter ke arah jendela itu, tapi… Kosong. Tak ada siapa pun di sana. "Apa sih? Nggak ada apa-apa, Ras," ucap Damar. Joni mencengkram bahu Damar. "Mar, dengar! ini mulai nggak beres!" Damar menghembuskan napas kasar. "Sudahlah, jangan paranoid. Kita butuh tempat untuk bermalam." "Tapi, Mar—" "Nggak ada tapi-tapian!" potong Damar tegas. "Kita ke sini buat kerja, loh." Laras mendecak kesal, tapi ia tak membantah lagi. Joni dan Rani hanya bisa saling berpandangan sebelum akhirnya mengikuti Damar yang kembali berjalan di jalanan desa yang gelap dan sunyi itu. Mereka melewati beberapa rumah lain, tapi kebanyakan terlalu kecil dan terlihat lebih rapuh daripada yang pertama. Beberapa rumah bahkan hanya tersisa kerangka, dengan atap yang runtuh dan dinding yang hampir roboh. Udara semakin dingin. Angin bertiup membawa aroma tanah basah yang bercampur bau apak, seperti sesuatu yang telah lama membusuk. Setelah berjalan beberapa menit, akhirnya mereka

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-05
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 122. Tak Berkesudahan

    Damar menahan napas. Suara jeritan itu seperti menembus kepalanya, menggema di setiap sudut ruangan. Jendela yang terbuka lebar kini hanya menampilkan pemandangan yang lebih mengerikan—pocong-pocong itu mulai bergerak. Perlahan. Gemetar. Seperti mayat hidup yang baru bangkit dari kubur."Joni! Cepat buka pintunya!" Laras menangis histeris, tubuhnya bergetar ketakutan.Joni terus menarik-narik gagang pintu, bahkan menendangnya dengan sisa tenaga yang ia miliki. "Sial! Kenapa nggak bisa dibuka?!"Di tengah kepanikan itu, Damar mencoba mengatur napas. Ia melangkah mundur, menyorotkan senter ke setiap sudut ruangan. Bayangan berkelebat di dinding, seolah ada sesuatu yang bergerak cepat di dalam rumah.Lalu…PRAK!Rak kayu di sudut ruangan tiba-tiba ambruk, menimbulkan debu yang mengepul. Dari balik tumpukan buku tua, sesuatu merayap keluar.Rani menjerit. "A-Apa itu?!"Damar membeku. Matanya membelalak saat melihat tangan kotor berlumuran tanah merangkak keluar dari balik rak. Tangan itu

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-06
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 123. Sosok

    "Ini nggak mungkin… KITA TERJEBAK!" Rani mulai menangis, tubuhnya melemas hingga hampir jatuh terduduk di lantai. Laras pun semakin panik, matanya liar mencari celah untuk kabur, tapi tidak ada satu pun jalan yang terlihat aman. Tak lama kemudian, mulai terdengar suara langkah berat di lantai atas. Duk… Duk… Langkah-langkah itu terdengar lamban, seolah sesuatu yang besar sedang berjalan di lantai kayu yang sudah rapuh. Damar meneguk ludah. Dengan senter di tangannya, ia menyorotkan cahaya ke arah tangga kayu tua yang mengarah ke lantai dua. Bayangannya bergetar di dinding, membuat suasana semakin menyeramkan. Lalu, sesuatu muncul di ujung tangga. Sesosok wanita dengan gaun putih panjang, beberapa bagiannya robek, dan tampak lusuh. Wajahnya begitu pucat dan hanya menyisakan dua lubang mata yang kosong dan hitam. Tangannya panjang dengan jari-jari kurus seperti akar pohon, menggantung lemas di sisi tubuhnya. Dan yang paling menyeramkan… tubuhnya tidak sepenuhnya menyentuh lant

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-07
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 124. Belum Selamat

    “Damar!!” Laras menjerit, mencoba menariknya. Pria yang tadi bersuara, segera berlari mendekat. Tanpa ragu, ia mengayunkan benda di tangannya—sebuah golok tajam untuk memutus jeratan sulur. Sepertinya, pria itu sudah menyiapkannya, dan akhirnya kaki Damar bisa terlepas dari lilitan. Setelah Damar mampu berdiri kembali, kembali pria itu mengangkat obor dengan nyala api berwarna biru. Api itu menyala aneh, berdesir seolah hidup. “Sialan kalian! Pergi!” pria itu mengayunkan obor ke udara, dan seketika, suara jeritan panjang terdengar. Damar tak menunggu lebih lama. Ia berdiri, menarik Rani dan Laras, lalu berlari menjauh bersama pria itu. Begitu melewati ambang pintu, hawa dingin yang menusuk langsung menghilang, digantikan oleh udara malam yang jauh lebih segar. BRAK! Pintu rumah tertutup sendiri dengan keras di belakang mereka. Hening... Pocong-pocong yang tadi memenuhi halaman kini menghilang, seolah tak pernah ada. Rumah itu kembali sunyi, gelap, berdiri di antara pep

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-08
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 1. Kematian Bapak

    “Bapak! Bangun, Pak!” Murni masih memeluk tubuh Raharjo yang kini telah terbujur kaku. Beberapa kali ia menggoyangkan tubuh bapaknya, berharap agar laki-laki yang begitu ia cintai dapat membuka kedua matanya kembali. “Bu, ini ndak mungkin. Bapak belum meninggal kan, Bu?” tanya Murni yang kemudian beralih memeluk sang ibu yang juga duduk di samping jenazah suaminya. Memang sulit untuk dipercaya, tak ada angin tak ada hujan, Raharjo meninggal begitu saja. Dia yang lebih dikenal sebagai Juragan Harjo sama sekali tak sakit. Bahkan, pagi harinya Juragan Harjo masih mampu pergi menagih utang dari para warga yang kerap kali meminjam uang padanya. Raharjo merupakan seorang tuan tanah yang sangat disegani. Luasnya area lahan yang dia miliki, serta kekayaan yang mungkin tak akan habis untuk tujuh turunan membuatnya begitu berkuasa di desa itu, Desa Juwono namanya. “Murni … ikhlaskan bapakmu, Nduk,” ucap Lasmi seraya mengusap punggung putrinya itu dengan lembut. “Tapi, Bu. Murni ndak

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-18
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 2. Pemakaman

    Murni terkesiap. Matanya membelalak, tak percaya dengan apa yang dilihatnya kini. Kain kafan bapaknya bergerak semakin nyata, seolah ada yang berusaha keluar dari dalam sana. Para pelayat pun saling berbisik, beberapa bahkan berlari menjauh, sementara yang lain masih terpaku di tempat, tak mampu mengalihkan pandangan mereka. "Mundur, Nduk! Mundur!" seru Lasmi dengan panik, menarik Murni menjauh dari jenazah Raharjo. Namun, Murni seperti tak mendengar teriakan ibunya, kedua matanya masih terpaku pada kain kafan yang perlahan tergerak ke kanan, seakan mengisyaratkan sesuatu. "Murniii ...." Murni menoleh, ke sana kemari mencari suara bisikan yang baru saja menelusup ke dalam telinganya. "Ba-Bapak ...," terbata Murni menyebut nama bapaknya. Iya, Murni sangat mengenali suara itu, suara sang ayah. "Kalian kenapa masih berdiri di sana? Tolong angkat Bapak," pinta Murni bersungguh-sungguh. Kasnan yang memang bekerja pada Juragan Raharjo pun lantas maju, dengan menyeret lengan Paim

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-24
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 3. Ketegangan

    Lasmi masih berdiri terdiam di ruang tamu, sorot matanya waspada dan napasnya terengah. Ketukan itu semakin keras, menggema, seolah-olah memaksa masuk. “Ji… kamu dengar itu?” bisik Murni, suaranya gemetar. Aji mengangguk, tangannya meremas lengan kakaknya untuk memberikan sedikit ketenangan. "Mbak, tunggu di sini. Biar aku lihat," katanya berusaha tenang, meski hatinya diliputi kegelisahan. Aji perlahan melangkah keluar kamar dan menuju pintu depan, setiap langkahnya terasa berat. Lasmi menunggu di ujung ruang tamu, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ketukan itu semakin kencang, nyaris seperti dobrakan. BRAK! BRAK! BRAK! Aji menggenggam pegangan pintu dengan tangan bergetar. Dengan satu tarikan napas panjang, ia membuka pintu itu perlahan, menahan rasa takut yang kian mencengkram. Namun, di luar hanya ada kegelapan yang pekat, tidak ada tanda-tanda siapa pun. “Aji, siapa itu?” tanya Lasmi dari belakang. Aji menatap ke luar dengan ragu, mencoba menembus kegelapan dengan mat

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-25
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 4. Teror

    Malam semakin larut, suasana dalam rumah terasa semakin menegangkan. Ketiga anggota keluarga itu hanya bisa duduk terdiam, mendengarkan suara-suara aneh yang datang dari luar, disertai dengan derap langkah yang membuat jantung mereka berdegup kencang. Setiap detik terasa seperti satu jam. Ketika ketegangan semakin tak terkendali, Murni merasakan hawa mistis di sekelilingnya. "Bu, bagaimana jika itu benar-benar Bapak?" tanyanya, suaranya bergetar. "Aku... aku ndak mau percaya kalau Bapak sudah pergi." Lasmi mengusap punggung Murni, berusaha menenangkannya. "Kita harus percaya, Murni. Yang kita lihat barusan adalah sesuatu yang lain. Kekuatan jahat sedang berusaha memanfaatkan kerinduanmu kepada Bapak." "Lalu, apa yang harus kita lakukan, Bu?" tanya Aji kemudian. Dia merasa perlu melakukan sesuatu untuk melindungi keluarganya, karena memang dirinyalah kini yang menjadi satu-satunya lelaki di keluarga Raharjo. “Jangan berpikir macam-macam!" jawab Lasmi tegas. "Kita tidak bisa mem

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 124. Belum Selamat

    “Damar!!” Laras menjerit, mencoba menariknya. Pria yang tadi bersuara, segera berlari mendekat. Tanpa ragu, ia mengayunkan benda di tangannya—sebuah golok tajam untuk memutus jeratan sulur. Sepertinya, pria itu sudah menyiapkannya, dan akhirnya kaki Damar bisa terlepas dari lilitan. Setelah Damar mampu berdiri kembali, kembali pria itu mengangkat obor dengan nyala api berwarna biru. Api itu menyala aneh, berdesir seolah hidup. “Sialan kalian! Pergi!” pria itu mengayunkan obor ke udara, dan seketika, suara jeritan panjang terdengar. Damar tak menunggu lebih lama. Ia berdiri, menarik Rani dan Laras, lalu berlari menjauh bersama pria itu. Begitu melewati ambang pintu, hawa dingin yang menusuk langsung menghilang, digantikan oleh udara malam yang jauh lebih segar. BRAK! Pintu rumah tertutup sendiri dengan keras di belakang mereka. Hening... Pocong-pocong yang tadi memenuhi halaman kini menghilang, seolah tak pernah ada. Rumah itu kembali sunyi, gelap, berdiri di antara pep

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 123. Sosok

    "Ini nggak mungkin… KITA TERJEBAK!" Rani mulai menangis, tubuhnya melemas hingga hampir jatuh terduduk di lantai. Laras pun semakin panik, matanya liar mencari celah untuk kabur, tapi tidak ada satu pun jalan yang terlihat aman. Tak lama kemudian, mulai terdengar suara langkah berat di lantai atas. Duk… Duk… Langkah-langkah itu terdengar lamban, seolah sesuatu yang besar sedang berjalan di lantai kayu yang sudah rapuh. Damar meneguk ludah. Dengan senter di tangannya, ia menyorotkan cahaya ke arah tangga kayu tua yang mengarah ke lantai dua. Bayangannya bergetar di dinding, membuat suasana semakin menyeramkan. Lalu, sesuatu muncul di ujung tangga. Sesosok wanita dengan gaun putih panjang, beberapa bagiannya robek, dan tampak lusuh. Wajahnya begitu pucat dan hanya menyisakan dua lubang mata yang kosong dan hitam. Tangannya panjang dengan jari-jari kurus seperti akar pohon, menggantung lemas di sisi tubuhnya. Dan yang paling menyeramkan… tubuhnya tidak sepenuhnya menyentuh lant

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 122. Tak Berkesudahan

    Damar menahan napas. Suara jeritan itu seperti menembus kepalanya, menggema di setiap sudut ruangan. Jendela yang terbuka lebar kini hanya menampilkan pemandangan yang lebih mengerikan—pocong-pocong itu mulai bergerak. Perlahan. Gemetar. Seperti mayat hidup yang baru bangkit dari kubur."Joni! Cepat buka pintunya!" Laras menangis histeris, tubuhnya bergetar ketakutan.Joni terus menarik-narik gagang pintu, bahkan menendangnya dengan sisa tenaga yang ia miliki. "Sial! Kenapa nggak bisa dibuka?!"Di tengah kepanikan itu, Damar mencoba mengatur napas. Ia melangkah mundur, menyorotkan senter ke setiap sudut ruangan. Bayangan berkelebat di dinding, seolah ada sesuatu yang bergerak cepat di dalam rumah.Lalu…PRAK!Rak kayu di sudut ruangan tiba-tiba ambruk, menimbulkan debu yang mengepul. Dari balik tumpukan buku tua, sesuatu merayap keluar.Rani menjerit. "A-Apa itu?!"Damar membeku. Matanya membelalak saat melihat tangan kotor berlumuran tanah merangkak keluar dari balik rak. Tangan itu

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak    Bab 121. Pocong

    Damar langsung menyorotkan senter ke arah jendela itu, tapi… Kosong. Tak ada siapa pun di sana. "Apa sih? Nggak ada apa-apa, Ras," ucap Damar. Joni mencengkram bahu Damar. "Mar, dengar! ini mulai nggak beres!" Damar menghembuskan napas kasar. "Sudahlah, jangan paranoid. Kita butuh tempat untuk bermalam." "Tapi, Mar—" "Nggak ada tapi-tapian!" potong Damar tegas. "Kita ke sini buat kerja, loh." Laras mendecak kesal, tapi ia tak membantah lagi. Joni dan Rani hanya bisa saling berpandangan sebelum akhirnya mengikuti Damar yang kembali berjalan di jalanan desa yang gelap dan sunyi itu. Mereka melewati beberapa rumah lain, tapi kebanyakan terlalu kecil dan terlihat lebih rapuh daripada yang pertama. Beberapa rumah bahkan hanya tersisa kerangka, dengan atap yang runtuh dan dinding yang hampir roboh. Udara semakin dingin. Angin bertiup membawa aroma tanah basah yang bercampur bau apak, seperti sesuatu yang telah lama membusuk. Setelah berjalan beberapa menit, akhirnya mereka

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 120. Kutukan Desa Pocong

    Cerita ini adalah sequel alias session 2 dari cerita sebelumnya. Semoga tidak mengecewakan, ya... Terima kasih untuk pembaca semua yang masih selalu setia mengikuti cerita ini. BLURB Ketika Damar, dan beberapa kawan jurnalisnya, dikirim ke desa terpencil Karangwungu untuk mendokumentasikan kisah-kisah mistis, mereka sama sekali tidak menyangka akan terjebak dalam mimpi buruk. Pertama kali mereka menginjakkan kaki di sana, desa itu terlihat seperti sebuah desa mati. Tanpa penghuni, tanpa cahaya kehidupan. Namun, saat malam tiba, sesuatu yang mengerikan tiba-tiba muncul dari kegelapan. Pocong-pocong melompat-lompat, memenuhi seluruh desa, menuntut sesuatu yang telah lama hilang. Bisakah Damar dan teman-temannya bertahan dan menemukan kebenaran sebelum fajar tiba? Atau akankah ia menjadi bagian dari "Kutukan Desa Pocong"?***BAB 1 - DESA MATIDamar menghela napas panjang, merapatkan jaketnya saat udara malam mulai menusuk kulit. Bersama tiga rekannya—Laras, Rani, dan Joni—ia berdiri

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 119. Akhir

    Suasana di pemakaman desa masih mencekam. Warga berdiri melingkar, wajah-wajah mereka tegang dan cemas. Beberapa orang berbisik lirih, sementara yang lain hanya diam, berusaha memahami apa yang baru saja terjadi.Murni masih berlutut di depan makam ayahnya, tangannya gemetar dan tubuhnya terasa lemas. Ia menatap tanah yang baru saja ia timbun, berharap segalanya telah selesai.Kyai Hasan mendekatinya, tangannya terangkat untuk menenangkan. “Semoga dengan ini, sudah cukup semuanya. Kita semua harus berdoa agar arwahnya tenang dan tidak kembali mengganggu.”Pak Karim mengangguk, lalu menoleh ke arah warga lainnya. “Kita semua bisa pulang sekarang. Biarkan Murni beristirahat.”Perlahan, warga mulai meninggalkan pemakaman. Hanya Murni, Joko—suaminya, Aji, Kyai Hasan, dan beberapa orang yang masih tetap berada di sana.Namun, sebelum mereka benar-benar pergi, suara gemerisik terdengar dari balik pepohonan. Suara langkah kaki yang berat, seperti sesuatu sedang mendekat.Murni menelan ludah.

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 118. Buku

    Warga yang hadir semakin panik saat melihat pria yang kejang-kejang tadi mengerang kesakitan. Tubuhnya bergetar hebat, urat-urat di lehernya menonjol, dan napasnya tersengal. Beberapa orang mencoba menenangkannya, tapi setiap kali mereka menyentuh kulitnya, panas menyengat terasa, seolah mereka menyentuh bara api. "Pak...! Pak! Sadarlah!" seru istrinya yang menangis di sampingnya. Pak Karim segera mendekat, wajahnya pucat. "Kyai, tolong dia! Dia tidak bisa terus begini!" Kyai Hasan mengangguk cepat, lalu berjongkok di samping Pak Darto. Dengan sigap, ia menempelkan tangannya ke dahi pria itu dan mulai melantunkan ayat-ayat suci. Suaranya menggema di tengah suasana yang mencekam. Namun, seiring lantunan doa yang semakin kencang, tubuh Pak Darto malah semakin berontak. Tangannya mencakar tanah, kakinya menghentak-hentak seperti hendak berlari dari sesuatu. Tiba-tiba, dari mulutnya keluar suara yang bukan miliknya—suara berat dan serak, penuh kebencian. "Kalian semua bodoh! Jangan c

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 117. Protes

    Pagi itu, Desa Juwono diliputi kegelisahan. Udara dingin yang biasanya menenangkan kini terasa menekan dada, seakan menyimpan rahasia kelam yang siap meledak kapan saja. Warga mulai berdatangan ke rumah Pak Karim, kepala desa yang dihormati, dengan wajah tegang. Beberapa membawa sesajen berupa bunga tujuh rupa dan dupa yang masih mengepulkan asap tipis, sementara yang lain menggenggam kendi berisi air putih.Tujuan mereka jelas—mendesak Murni dan Aji untuk segera mengadakan selamatan dan pengajian guna menenangkan arwah yang berkeliaran di sekitar makam Raharjo.Bu Sarmi, seorang wanita paruh baya yang dikenal memiliki kepekaan terhadap hal-hal gaib, melangkah ke depan dengan raut wajah penuh kecemasan. "Kami semua merasa tidak tenang sejak semalam," katanya, suaranya bergetar.Beberapa warga mengangguk, membenarkan ucapan Bu Sarmi."Anakku yang baru berusia enam tahun terus menangis tanpa sebab," tambah lagi, suamiku bilang, kalau ada seseorang yang berdiri di pojok kamarnya, menatap

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 116. Belum Selesai

    Bayangan hitam itu bergeming, seolah ragu untuk menerima perintah Murni. Angin bertiup lebih kencang, mengguncang dahan-dahan pohon yang tersisa. Udara di pemakaman terasa semakin dingin, menusuk hingga ke tulang.Murni mengeratkan genggamannya pada tangan Joko. "Prana, aku mohon... jangan tinggal di sini," suaranya lirih, namun tegas.Meskipun Murni sudah memohon sedemikian rupa, nyatanya bayangan Prana tidak segera menghilang. Ia justru melayang lebih dekat, bergetar seperti api yang diterpa angin. Bisikan yang semula hanya sayup kini terdengar lebih jelas, seolah langsung menyusup ke dalam pikiran Murni."Aku tidak bisa..."Murni tersentak. Ia menggeleng, air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya jatuh. "Kenapa? Apa yang membuatmu bertahan di tempat ini, Prana?"Pak Karim, Aji, dan Kyai Hasan hanya bisa menyaksikan dengan cemas. Mereka tahu, ini bukan sekadar gangguan gaib biasa. Ada sesuatu yang belum selesai, sesuatu yang menahan roh itu di dunia ini.Kyai Hasan mendekat, suaran

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status