All Chapters of Suami Dadakanku Seorang Miliarder : Chapter 41 - Chapter 50

Samira meninggalkan ruangannya, gegas menuju ruang direksi sebelum pak Baroto datang menghampirinya ke sana. Seperti yang sudah beberapa kali dilakukan pria terhormat tersebut."Samira, duduklah. Maaf, mengganggu kesibukan kamu, tapi ada hal yang harus saya sampaikan sekarang," sambut pak Baroto sesaat melihatnya masuk. Kemudian pria tua yang tengah sibuk memasangkan jam tangannya, berpindah memeriksa ponselnya. Sesaat terdiam dengan mata terpaku pada layar ponselnya.Sepertinya memang tengah menerima pesan, karena beberapa detik kemudian pak Baroto langsung mengetik sesuatu sebelum meletakkan ponselnya kembali.Samira sedikit heran dengan nada bicara pak Baroto yang tidak biasanya meminta maaf.Bukankah dia berhak memerintahkan apapun kepada bawahannya? Jadi, buat apa harus meminta maaf? "Tidak apa-apa, Pak," ucap Samira menghenyakkan duduknya di kursi depan meja pak Baroto."Kamu tahu ini bulan berapa?"Dahi Samira mengernyit kebingungan. Untuk apa pak Baroto menanyainya bulan ber

Perubahan sikapnya tersebut menarik atensi Timothy, dia kebingungan dengan perubahan sikap Samira yang tidak biasanya. Pria tersebut menatap dalam-dalam wajah Samira. Namun perasaan wanita di depannya itu sangat sulit ditebak. Bahkan melihatnya seperti orang yang berbeda sekarang."Kamu kenapa?" tanya Timothy kemudian matanya kembali terpaku pada berkas di depannya. Dia butuh mengetahui isi hati dan pikiran yang mengganggu mood Samira. Samira sedikit ragu harus to the point. Ia ragu mengungkapkan apa yang mengganjal di hati yang membuat dirinya tidak bisa bersikap seperti biasanya. Samira cuma mau mendengar langsung dari Timothy, keperluan apa sahabatnya ini mendatangi Morgan semalam ke apartemen mereka. Tapi, pertanyaan itu seolah-olah terjebak di dalam pikirannya saja. Bibirnya terasa kaku dan sangat sulit digerakkan. Ada hal yang sangat ia takutkan, kalau sebenarnya Timothy sudah mengetahui dirinya tinggal bersama dengan Morgan. Atau, mungkin Morgan sudah memberitahunya tentang

Dahi Morgan mengkerut seolah memikirkan hal yang sulit. Kemudian dia bertanya kepada Pierre yang masih menunggu di ujung telepon."Benda apa yang kamu butuhkan?" tanyanya sedikit kebingungan."Mungkin gadis itu meninggalkan sesuatu yang bisa saya gunakan sebagai petunjuk bisa mencarinya, Tuan Muda!""Benda!" Morgan bergumam. "Kenapa bertanya padaku? Bukankah kamu dan Timothy yang merapikan kamarnya waktu itu?"Mendengar kata benda dan namanya, itu menarik atensi Timothy segera menoleh cepat ke arah Morgan."Benda?" gumamnya dengan tatapan matanya terpaku pada wajah Morgan. Yang semakin lama kedua mata Timothy terlihat menyipit seperti mengingat-ingat sesuatu."Saya tahu," ujar Timothy sesaat setelah Morgan menyudahi obrolannya dengan Pierre dan mengembalikan ponselnya.Morgan menaikkan salah satu alisnya dan bertanya, "tahu apa?" Wajahnya tampak menegang menunggu."Benda itu! Apa anda masih menyimpannya, Tuan Muda?" "Benda?" Kembali kening Morgan mengernyit, dia berpikir keras benda

Bisa merasakan telapak tangannya sudah banjir keringat. Samira tergugu dalam kebingungannya. Ia takut harus mengungkapkan semuanya sekarang. Namun, semakin lama semuanya akan semakin menjadi rumit."Samira! Katakan!" desak Morgan tidak sabar. Didesak seperti itu Samira cuma bisa menjauhkan wajahnya. Dalam hati ia belum benar-benar siap, dan akhirnya menjawab asal, "aku harus mengingat usiaku!" "Hahh! Itu terdengar kekanakan, Samira! Sebelumnya itu sudah kamu pikirkan matang-matang sebelum menandatangani perjanjian kita. Atau, benar yang aku katakan tadi?"Samira menelan liur. Andai semuanya bisa begitu mudah ia ungkapkan, ia tidak perlu mencari-cari alasan menutupi kehamilannya ini."Aku ... lupakan saja! Tidak ada lagi yang perlu dibahas. Aku mau tidur sekarang!" Samira meninggalkan Morgan di ruang tamu."Tunggu!" panggil Morgan. "Ini pembahasan penting, Samira. Aku butuh kamu kejujuranmu!" Samira berhenti di depan pintu kamar. Tanpa menoleh ia menjawab, "Lupakan saja. Sekarang la

"Aku sangat paham dan tidak akan pernah lupa. Sekarang kamu hanya perlu menjawab pertanyaanku tadi, Samira!"Rasanya, ia ingin berteriak keras, menyadarkan pria bodoh yang sedari tadi hanya memutar-mutar ucapannya. Samira mendesah dalam kekecewaannya. Menggeser bola matanya ke jam dinding."Aku mau tidur," ucapnya mengakhiri pembicaraan mereka."Tapi kamu belum menjawabnya, Samira!" Tidak ada sahutan, seiring suara pintu kamar yang sengaja di tutup keras. Beberapa detik setelahnya terjadi keheningan dalam apartemen. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing.Samira duduk dengan memeluk kedua lututnya di atas ranjangnya. Sementara Morgan duduk dengan meremas rambutnya. Sesekali mengumpat dan bergumam tidak jelas.***Tiga bulan sejak hari itu."Sial! Ini tidak bisa ditutupi lagi!" desis Samira menatap dirinya di dalam cermin. Perutnya yang membuncit semakin kelihatan jelas.Entah sudah berapa banyak membuat alasan agar bisa tidak masuk ke kantor. Bahkan, ia juga sudah mendapat tegu