Home / Pernikahan / Hantaran Lebaran / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of Hantaran Lebaran: Chapter 21 - Chapter 30

33 Chapters

Bab 21

"Pa! Papa!" pekik Dita seraya berlari menuju teras. Perempuan yang mengenakan setelan rayon itu tengah mencari suaminya. Dia hendak memberikan kabar bahagia untuk mereka. Dia menoleh kanan dan kiri. Namun lelaki yang ia cari belum jua ia temukan. "Di mana sih?" Dita menghentakkan kaki, kesal karena tak menemukan seseorang yang dicari. "Papa!" panggil Dita untuk kesekian kalinya. Namun lagi-lagi ia harus menelan kekecewaan karena Seno tak jua mendengar panggilannya. Dita melangkah meninggalkan teras depan. Sembari memanggil nama Seno, ia berjalan menuju teras belakang. Dia berharap dapat menemukan suaminya di sana. Perempuan itu tak sabar untuk menceritakan kabar bahagia pada suaminya. "Ya ampun, dari tadi aku manggil, tapi kamu gak denger?" Dita menyilangkan kedua tangan di dada. Netranya menetap tajam lelaki yang tengah duduk sambil membaca koran. Seno memang lebih menyukai membaca koran dari pada berselancar di media sosial. Baginya membaca koran sambil menikmati segelas kopi
last updateLast Updated : 2024-06-27
Read more

Bab 22

"Ratna, ngapain kamu ke sini? Jadi pelayan kamu?" tanya Dita dengan mata menata tajam ke arahku. "Bu Dita, kenal dengan menantu saya?"Seketika kami menoleh ke arah yang sama. Ayah melangkah mendekat dengan senyum yang tak pernah pudar. Ya, semenjak kami tinggal di sini, ayah terlihat bahagia. Tidak ada sorot kekecewaan yang pernah nampak di netranya. "Me--menantu, maksud Bapak bagaimana ya?" tanya Mbak Dita terbata. Raut wajah kakak iparku mendadak pucat. Keangkuhan yang sejak tadi nampak hilang dalam sekejap. Kini hanya tersisa ketakutan. "Bima itu anak kandung saya. Dan Ratna menantu saya.""A--apa!"Mbak Dita terdiam seketika. Dia terus menatapku dan Mas Bima bergantian. Seolah tak percaya dengan ucapan ayah. "Bapak yakin? Setahu saya Bima itu yatim piatu?""Yakin. Itu hanya kesalahpahaman saja.""Pa ...." Mbak Dita menarik tangan Mas Seno yang sedari diam membisu. "Kenapa jadi begini?" Mas Seno diam, hanya gelengan kepala yang menggambarkan jawaban dari pertanyaan itu. Mbak
last updateLast Updated : 2024-06-29
Read more

Bab 23

"Adik ipar? Aku gak salah dengar kan, Mbak?" Aku melepas tangan yang melingkar di perut. "Ya enggaklah. Kamu kan adiknya Mas Seno. Jelas adikku juga."Aku tersenyum datar lalu menggeleng pelan. Bahkan aku ingin tertawa mendengar perkataannya. Dulu saat aku tak punya jangankan peluk, memanggil dengan intonasi lembut saja tak pernah. Namun sekarang sikapnya berubah 180 derajat. Harta dan kekayaan dapat mengubah watak dan sifat seseorang, seperti Mbak Dita. "Kamu dari mana, Rat?" tanyanya dengan mata fokus menatap katung plastik di tangan kiriku. "Dari toko alat dan bahan jahit." Aku melangkah menuju sofa berwarna merah bata yang terletak tak jauh dari pintu utama. "Duduk, Mbak!" pintaku pada perempuan yang masih mematung di dekat pintu. Mbak Dita segera menjatuhkan bobot di sofa panjang tak jauh dari tempatku duduk. Perempuan yang seumuran denganku itu terus mengawasi setiap inci rumah ini. Dia begitu kagum dengan interior rumah ayah. "Ada perlu apa Mbak Dita datang kemari?" tanyak
last updateLast Updated : 2024-06-30
Read more

Bab 24

"Siapa, Mas?"Mas Bima menghela napas lalu menggeleng pelan. "Adalah salah satu karyawan ayah." Mas Bima kembali melangkah menuju kamar. "Aku mandi dulu, Dek."Aku mengangguk, membiarkan dia masuk ke dalam kamar mandi. Aku tidak terlalu menanggapi ucapannya tadi. Dalam bisnis akan selalu ada masalah, entah dari dalam atau luar. Aku duduk di kursi yang ada di balkon. Menatap ribuan bintang ada di langit. Malam ini cuaca cerah hingga aku dapat melihat indahnya malam yang berhiaskan bulan dan bintang. "Sedang apa, Dek?" Aku menoleh, menatap Mas Bima yang tengah menengok ke arahku. Kepalanya sedikit menyembul di pintu. "Lihat bintang, Mas. Indah, ya?" Aku kembali menatap atas, melihat malam yang dihiasi jutaan bintang. "Keluar yuk, Dek. Cari angin malam."Tanpa menjawab aku segera beranjak dari kursi. Dengan cepat aku masuk kamar. Tak lupa aku kunci pintu dan menutup gorden berwarna abu tersebut. Aku begitu antusias menerima ajakan Mas Bima. Gamis hitam dan hijab instan warna soft p
last updateLast Updated : 2024-07-02
Read more

Bab 25

"Makasih, Pak.""Saya ikut atau di parkiran saja?" tanyanya setelah membuka pintu mobil bagian belakang."Bapak tunggu di tempat parkir saja. Nanti saya hubungi jika mau pulang."Lelaki yang menjadi sopir kepercayaan ayah itu mengangguk, kemudian kembali masuk ke mobil. Perlahan mobil berjalan meninggalkan halaman depan lobi IGD rumah sakit. "Mau periksa, Mbak? Pendaftarannya, lewat sana!" ucap satpam yang berjaga di depan IGD. Pintu yang menuju ke IGD dan pendaftaran memang berbeda. Semua dirancang agar jalannya proses pendaftaran dan pengobatan tidak terhambat atau terkendala. "Bukan, Pak. Ibu saya ada di ruang IGD. Boleh saya masuk?""Oe, silakan Mbak. Maaf saya tidak mengetahuinya."Aku melangkah menuju tempat duduk suster dan dokter yang ada di ruang IGD. Sesekali melirik tempat evaluasi yang tertutup gorden berwarna biru muda. "Maaf, Mbak. Saya cari pasien atas nama Endang. Tadi pihak rumah sakit menghubungi saya.""Putrinya Bu Endang ya?"Aku mengangguk seraya tersenyum. "
last updateLast Updated : 2024-07-03
Read more

Bab 26

"Tadi ada pihak rumah sakit yang meneleponku, Mas. Ibu pingsan saat menunggu obat. Ratna ke sana dan mengantar ibu pulang.""Lalu kenapa kamu tidak ikut pulang bersama Pak Agung?""Ratna tidak tega melihat ibu, Mas. Rumah berantakan, cucian segunung tapi ibu sendirian di rumah." Aku menunduk, memilin ujung hijab instan yang aku kenakan. Kali ini aku tak berani beradu pandang dengan suamiku. Helaan napas terdengar di telinga, meski tak terlalu jelas. Namun aku yakin, suara itu dari Mas Bima. Mungkin dia kecewa dengan sikapku yang tak tegaan. "Setelah apa yang mereka perbuat padamu? Kamu tetap mau membantunya, Dek?"Aku diam, tak mampu merangkai kata hanya untuk memberikan jawaban atas pertanyaannya. Bahkan aku sendiri tak tahu... kenapa masih memantu setalah berulang kali ibu menyakiti hatiku? Aku hanya membayangkan, sepi yang ibu rasakan karena orang yang kita sayang memilih pergi atau mengabaikan keberadaannya. Padahal keadaan ibu sedang tidak baik-baik saja. Ah, itu sangat menyak
last updateLast Updated : 2024-07-04
Read more

Bab 27

"Ngapain kamu di sini, Ratna?"Seketika aku dan ibu menoleh ke arah pintu. Mas Seno sudah berdiri sambil menatapku tajam. "Aku... aku.""Ratna merawat ibu," jawab ibu. Ibu menjawab seperti itu. Apa aku tidak salah dengar? "Ibu..." Mas Seno menatap penuh tanda tanya. Bahkan terkesan marah dengan sikap ibu terhadapku. Apa aku tak boleh dekat dengan ibu? Meski ibu bukan ibu kandungku. "Kenapa? Kamu kaget ibu bilang begitu?"Mas Seno mendekat, lalu duduk di ranjang, tepat di sebelah ibu. Aku sendiri berdiri dekat nakas. Lagi, kedua jemari saling terpaut karena rasa gugup dan takut yang tiba-tiba menelusup. "Bu, dia itu anak kandung wanita yang telah merebut bapak dari kita? Dia anak istri kedua bapak. Wanita yang ibu benci seumur hidup." Mas Seno menatap lekat netra ibu. "Apa ibu lupa itu? Hem!"Detik ini hatiku bak diremas. Begitu bencikah Mas Seno terhadapku? Sehingga apa yang kulakukan selalu salah di matanya? "Iya memang benar anak kandung ibu itu kamu dan Jaka. Anak yang selal
last updateLast Updated : 2024-07-05
Read more

Bab 28

"Kita ke proyek dulu ya, Dek," ucap Mas Bima. "Iya, Mas."Setelah sampai di Bandara, aku dan Mas Bima segera menaiki taksi. Kali ini bukan rumah yang kaki tuju, melainkan sebuah tempat di pusat kota. Lebih tepatnya sebuah gedung yang kini ditangani suamiku. Kami memutuskan mengakhiri liburan karena keadaan mendesak. Proyek yang ditangani Mas Bima mengalami masalah. Bangunan yang baru 60 % selesai itu tiba-tiba roboh. Ada beberapa korban luka-luka. Beruntung tidak tidak ada korban meninggal dunia. Namun kerugian ditaksir mencapai ratusan juta. Keheningan kembali tercipta di dalam mobil, seperti ketika kami berada di dalam pesawat. Mas Bima tenggelam dalam masalah proyek. Aku sendiri memilih diam, membiarkan dia dengan pikirannya sendiri. Karena sejujurnya aku tak tahu harus bagaimana. Aku tidak tahu menahu bagaimana proyek bisa berjalan. Pikiranku tak mampu mencerna proses pembangunan gedung itu. Dari mulai desain hingga menjadi bangunan bertingkat. Herannya Mas Bima bisa mengert
last updateLast Updated : 2024-07-07
Read more

Bab 29

"Mana Bima! Tak becus mengurus pembangunan gedung. Harusnya Seno yang handle semuanya."Aku diam sesaat, mengatur kesal yang tiba-tiba hadir tanpa permisi. Lelaki itu tak mengerti arti adab dalam bertamu. Kata salam saja belum terucap, tapi justru makin yang keluar dari bibirnya. "Mari masuk, Pak. Kita selesaikan di dalam."Aku memutar badan, kembali melangkah masuk ke dalam rumah. Ruang tamu dengan sofa yang berjajar rapi menjadi tujuanku kini. "Silakan duduk, Pak!"Lelaki itu pun duduk tepat di hadapanku. Tak ada senyum ramah layaknya seorang tamu. Hanya tatapan tajam dan kemarahan yang dia berikan kepadaku, tuan rumah. "Mana Bima!""Maaf ada perlu apa Bapak datang kemari?""Bukan urusan kamu! Panggilkan Bima SE-KA-RANG!"Aku menghela napas. "Baiklah, tunggu sebentar."Aku beranjak dari sofa. Dengan sedikit kesal aku melangkah meninggalkan ruang tamu. Satu persatu anak tangga aku pijak hingga akhirnya sampai di kamar kami. Perlahan aku dorong gagang pintu. Tatapan pertama tertuj
last updateLast Updated : 2024-07-09
Read more

Bab 30

"Kenapa, Mbak?""Gak, Mbak gak kenapa-napa," jawabnya sedikit gugup. Paper bag ibu yang hendak ia ambil ia kembalikan lagi. "Mbak pulang dulu, Bu, Rat.""Kenapa buru-buru, Mbak?""Itu ... Mbak ada acara lagi."Mbak Dita berjalan sedikit cepat meninggalkan ruang keluarga. Aku sedikit heran dengan tingkahnya hari ini. Kenapa dia begitu tergesa-gesa meninggalkan rumah ibu setelah membahas gedung yang roboh. "Mbakmu kenapa, Rat?"Aku mengangkat bahu. "Ratna juga tidak tahu, Bu."BRUG! "Aduh... sakit!"Seketika aku berlari menuju sumber suara. Aku terbelalak melihat pemandangan di depan mata. Dalam sekejap tawa menggema hingga memancing ibu keluar dari singgasana. "Malah diketawain! Ditolongin dulu kek!"Seketika mulut ini bungkam. Tawa yang menggema hilang, menjelma keheningan. Dalam hitungan detik perasaan tak enak menelusup di dalam sini, sanubari. Aku segera mendekat, kemudian mengangkat pot yang sempat ia peluk seraya tiduran di lantai. Entah kejadian apa yang membuat Mbak Dita te
last updateLast Updated : 2024-07-10
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status