All Chapters of Hantaran Lebaran: Chapter 11 - Chapter 20
24 Chapters
Bab 11
"Bapak siapa ya? Kenapa mencari suami saya?""Saya ayahnya Bima."Ayah... bukankah ayah Mas Bima sudah meninggal sejak dia masih bayi? "Ayah Mas Bima?" tanyaku memastikan. "Iya, saya ayah kandung Bima.""Maaf, ayah suami saya sudah lama meninggal. Mungkin bapak salah orang."Aku menjawab sepengatahuanku. Memang kenyataannya kedua orang tua Mas Bima sudah meninggal dunia. Ibu Mas Bima meninggal beberapa bulan setelah kami menikah, sedang ayahnya saat Mas Bima masih bayi. "Bima yang mengatakan ayahnya sudah meninggal, Nak?"Nak? Kata panggilan itu terdengar aneh di telingaku. Umumnya kata nak digunakan saat memanggil putri atau orang terdekat yang umurnya jauh lebih muda. Aku saja tak mengenal lelaki itu, tapi kenapa dia memanggilku dengan sebutan Nak? "Iya, Pak."Lelaki di hadapanku nampak begitu sedih. Gurat-gurat kekecewaan tak dapat ia sembunyikan. Entah karena ucapanku yang salah atau jawaban yang tidak memuaskannya. Lebih dari satu menit kami mematung. Tenggelam dalam kebisua
Read more
Bab 12
Aku tercengang melihat halaman rumah yang telah dipenuhi dengan barang-barang elektronik dan berbagai perabot rumah. Ada sofa, kulkas, mesin cuci dan lain sebagainya. Entah siapa yang membeli barang sebanyak itu? "Kembalikan pada orang itu. Saya tidak mau menerima semua ini!" pekik Mas Bima. Aku pun melangkah mendekati sumber suara. Mas Bima tengah berada di dekat pagar masuk, tatapannya tajam kepada lelaki yang berdiri di hadapannya. Dapat kulihat kemarahan di sorot netranya. "Kamu kenapa, Mas?" Aku sentuh pundaknya yang bergerak naik dan turun. Sebisa mungkin aku hilangkan amarah yang bersemayam dalam rongga dadanya. Aku belum tahu pasti pokok permasalahan sehingga Mas Bima marah besar. Satu hal yang dapat kucerna, kemarahan Mas Bima ada sangkut pautnya dengan barang-barang ini. Sebenarnya siapa orang yang mengirim benda-benda mewah ini? "Sekali tolong masukkan barang-barang ini ke dalam mobil lalu bawa pergi.""Tapi, Mas... barang-barang ini sudah dibayar lunas. Bahkan tiap o
Read more
Bab 13
"Kamu ke sini mau ngapain, Ratna? Di sini tidak bisa ngutang lho, Rat!" ucapnya dengan suara sedikit keras. Seketika semua mata tertuju padaku. Bisik-bisik tak terelakkan. Semua orang yang ada di sekitarku menatap ke arahku. Lagi-lagi tatapan mengejek dan menghina mereka layangkan padaku. Apa orang sepertiku tak boleh berada di sini? Seketika tangan mengepal ke samping. Bahkan amarah mulai naik hingga ke pucuk kepala. Namun untuk kesekian kali aku memilih diam. Aku tidak ingin terjadi pertengkaran. "Kenapa diem, Rat? Bener ya, kamu mau ngutang?" Mbak Dita menutup mulutnya, ada tawa di balik telapak tangannya. "Mbaknya tahu saja di sini gak bisa ngutang. Jangan-jangan Mbak sudah pernah nyoba ngutang, ya?"Seketika wajah Mbak Dita memerah, tangannya mengepal, dan pundaknya naik turun. Tanpa mengatakan sesuatu dia pergi meninggalkan tempat ini. Ucapan Bu Susan mampu membungkam mulut julid Mbak Dita. "Makasih, Bu.""Sama-sama,Mbak. Sekali-kali lawan jika ada yang menyakiti kamu. Gak
Read more
Bab 14
"Kami antar, Mas Bima dan Mbak Ratna," ucap seorang lelaki yang mengantar suamiku ke klinik. Aku dan Mas Bima saling pandang, lalu mengangguk bersamaan. Meski ada keraguan karena terhalang biaya. Namun kesehatan Mas Bima jauh lebih penting. Dengan sepeda motor kami menuju rumah sakit terdekat. Sepanjang jalan aku terus menatap Mas Bima yang terus menahan tangan kirinya. Terlihat jelas ia berusaha menahan rasa sakit. Dari klinik ke rumah sakit membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Maklum klinik berada di perbatasan kampung sementara rumah sakit sedikit ke pusat kabupaten. Rumah sakit dipenuhi para pasien yang hendak berobat. Karena kebanyakan praktek dokter spesialis sore hati. Entah rumah sakit lain. "Saya hanya bisa mengantar sampai sini, Mas. Untuk biaya kami tidak bisa membantu.""Tidak apa-apa, Mas. Terima kasih sudah mengantar kami."Dua lelaki itu pun pergi meninggalkan aku dan Mas Bima di lobi rumah sakit. Sedikit ragu kami melangkah masuk. Setibanya di depan pendaftaran sem
Read more
Bab 15
"Saya tidak bisa memakai uang ini, Pak." Aku kembali memberikan amplop uang tersebut. "Karena Bima melarang kamu memakai atau menerima pemberianku?"Aku mengangguk pelan. Mas Bima memang kekeh melarangku menerima apa pun pemberian ayahnya. Sebagai istri aku harus mematuhi perintah suami. Meski aku berharap hubungan mereka membaik seiring berjalannya waktu. "Kalau kamu gak mau terima, dengan apa kamu membayar biaya rumah sakit Bima? Bukankah uang ini sudah ditunggu suami kamu, Ratna?"Aku membisu, tak ada kata yang mampu menjawab runtutan pertanyaan ayah Mas Bima. Bagaimana caranya aku membayar biaya rumah sakit, sedang uang dalam dompet hanya tersisa Rp. 200.000,-.Apa aku ambil saja amplop itu? Tapi kalau Mas Bima tahu bagaimana? Dia pasti akan marah dan kecewa karena aku melanggar perintahnya. Dua pilihan yang membuatku kebingungan. Tiap pilihan memiliki konsekuensi masing-masing. Dan aku tidak tahu harus memilih apa. "Ambilan Ratna, jangan bilang uang ini dariku.""Tapi ...."
Read more
Bab 16
"Lha sudah sepantasnya to." Budhe Tinah melirik ke arah ibu. "Kamu sudah jenguk Bima to, Bu Endang?""Em... itu anu."Ibu terlihat gelagapan. Mendadak butiran kristal memenuhi kening dan mungkin sekujur tubuhnya. Nah, bingung kan, Bu mau jawab apa? Malu jika semua orang tahu bagaimana sikap ibu padaku? Jangankan menjenguk, aku meminjam uang untuk membayar biaya rumah sakit saja ibu tak mau memberi. "Jangan-jangan kamu belum jenguk Bima, ya?""Sudah kok." Ibu melirik ke arahku. "Iya, kan Rat? Kemarin ibu dari rumahmu?"Aku mencebik, bisa-bisanya ibu berkata demikian. Aku lupa, ibu hanya ingin nama baiknya tak tercoret meski kenyataan berkata lain. "Ini kembaliannya, Mbak."Aku bernapas lega. Kedatangan penjual ayam bagai angin di bawah terik mentari. Akhirnya aku terbebas dari pertanyaan yang penuh dengan jebakan. "Saya pulang dulu, Bu, Budhe," ucapku setelah mendapatkan uang kembalian. Segera aku melangkah meninggalkan mereka. Setelah selesai berbelanja aku segera pulang. Motor ke
Read more
Bab 17
"Terima kasih sudah meminjamkan uang untuk biaya rumah sakit tempo hari. Saya berjanji akan mengembalikan uang itu secepatnya, Bu.""Uang untuk biaya rumah sakit?""Iya, kata Ratna ibu yang meminjamkan uang."Ibu menatap ke arahku. Sejuta pertanyaan nampak jelas di sorot netranya. Aku mengedipkan mata, berharap kali ini ibu mengatakan iya. Ya... kali ini saja aku berharap dia mau membantuku. Selama ini bisa dihitung dengan jari ibu membantuku. Hanya bapak yang ada saat aku membutuhkan. Lainnya hanya mengganggapku beban. Kenyataannya memang benar, aku beban untuk mereka. "Eh... iya, Bim. Ibu kok lupa. Ibu yang meminjamkan uangnya. Pakai saja dulu, gak masalah kok."Seketika aku dapat bernapas lega. Meski ada kekecewaan dengan sikap ibu. Dia membanggakan apa yang sebenarnya tak ia lakukan. Tak ingatkan dia dengan penolakan dan pengusiran beberapa hari yang lalu. "Sekali lagi terima kasih, Bu."Ibu mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Setelah cukup puas berbincang dengan M
Read more
Bab 18
"Selingkuh?""Iya, kamu selingkuh, kan? Dari mana kamu mendapatkan uang banyak? Aku tadi ke rumah ibu, aku tidak sengaja mendengar dia berbicara dengan Mbak Dita di telepon. Dia bilang tidak pernah meminjamkan uang padamu."Aku menghirup oksigen lalu menghembuskannya perlahan. Sekuat tenaga aku atur emosi agar tak semakin tersulut dan menghancurkan segalanya. Selingkuh... bisa-bisanya dia menuduhku menduakan cintanya? "Apa benar, kamu memiliki pria idaman lain dan uang yang kamu gunakan untuk membayar rumah sakit itu dari dia?""Aku gak pernah selingkuh, Mas. Gak pernah!" "Lalu dari siapa uang itu, Ratna? Kenapa teman Mas melihat kamu berbicara dengan seorang lelaki di dekat warung Bu Arini?""Kamu ingin tahu siapa dia, Mas? Dia itu ayah kamu. Ayah kandung kamu, Mas Bima. Dia datang kemari untuk mendengar kabar tentang kamu. Dan uang yang aku gunakan ... uang itu dari ayah kamu, Mas!"Lepas semua beban yang menempel di pundak beberapa bulan ini. Memang lebih baik berkata jujur mesk
Read more
Bab 19
Aku menggeleng pelan setelah membaca pesan dari Mbak Dita. Entah apa alasan hingga ia begitu membenciku? Hingga selalu mendoakan hal buruk atas apa yang kami capai. Sejak ia masuk ke dalam keluarga kami, tak sekali pun Mbak Dita menganggapku ada. Dia hanya memanggilku saat membutuhkan tenagaku, selebihnya dia hanya membisu. Aku tak heran dan sadar diri, di dunia ini bukan persaudaraan yang dicari, melainkan banyaknya materi. "Udah salat belum, Dek?"Aku menoleh, menatap lelaki yang kini berdiri di mulut pintu. Seketika kenangan bersama mbak Dita lenyap begitu saja. "Eh, belum, Mas." Aku letakkan ponsel di atas meja. "Lihat apa sih? Kok sampai lupa belum salat ashar?" Mas Bima mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja. Dia menghela napas ketika membaca pesan dari Mbak Dita. Aku memang belum keluar dari aplikasi berwarna hijau itu, ponsel hanya kututup. "Mikirin omongan Mbak Dita?" tanyanya seraya menatap lekat netra ini. "Motornya dikembaliin ke ayah saja kalau begitu.""Jang
Read more
Bab 20
"Atas bukti apa, Bapak menuduh istri saya?" tanya Mas Bima penuh penekanan. Aku tahu, dia tengah berusaha menahan gejolak amarah dalam dada. "Kalau bukan Ratna siapa lagi? Hanya dia yang ada di rumah tadi?""Anda yakin jika kehilangan jam tangan hari ini? Bukan kemarin atau lusa?"Lelaki yang duduk di samping Bu Susan itu terdiam. Pasti dia tengah berpikir sejak kapan ia kehilangan benda berharga itu. "Papa yakin menaruhnya di laci? Jangan-jangan gak papa bawa pulang lagi?""Papa ingat kok, Ma. Em... aku taruh di laci.""Coba diingat-ingat lagi, Pa. Gak baik menuduh orang tanpa bukti."Suami Bu Susan kembali diam. Lagi-lagi dia berusaha mengingat benda penting yang menjadi perdebatan. "Papa yakin, Ma. Ada di dalam laci kok.""Sudah dicari di rumah, Bu? Barang kali terjatuh atau lupa menaruhnya." Aku mencoba memberi usul. Karena aku sendiri tak pernah melihat benda mahal yang baru saja lelaki itu katakan. Bagaimana aku mengambil jika barangnya saja tidak tahu. Tuduhan itu benar-ben
Read more
PREV
123
DMCA.com Protection Status