All Chapters of Perkataan Tetangga yang Kadang Ada Benarnya: Chapter 31 - Chapter 40

49 Chapters

Kehadiran Mas Randi Kembali

“Rei, aku pamit pulang dulu, ya. Sampai berjumpa besok.” Meisa mencium pipi kanan dan kiriku. Dia berjalan menuju mobilnya. Sebelum melajukan mobilnya gadis itu melambaikan tangan. Aku sedikit lega, mendengar ucapan Meisa. Semoga Pak Hasan bisa memperjuangkan cinta kami. Cuaca sangat panas, siang ini, membuat bunga mawar di halaman rumah telah layu. Aku duduk di teras rumah, bersantai sejenak, seraya menikmati semilir angin yang berembus, walau tak begitu menyegarkan. Di dalam rumah seharian, membuat engap. “Bu Reina, tumben duduk sendirian, cowoknya enggak datang, ya?” tanya Bu Anna yang kebetulan lewat, menghentikan langkahnya. “Bu Anna, panas-panas gini mau ke mana?” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. “Mau ke depan ni Bu Reina, mau beli es buah.” Bu Anna menunjuk ke arah jalan raya. “Oh ... pas banget tuh Bu, sama cuacanya.” “Iya, Bu. Bu Reina kenapa enggak berangkat kerja? Lagi marahan ya sama pacarnya?” Bu Anna berjalan mendekat ke rumah.
Read more

Koma

“Sudahlah, lupakanlah aku dan turuti perkataan Umi. Kita jalani hidup masing-masing.” Aku menatapnya dengan air mata yang berlinang.Pak Hasan mengacak rambutnya kasar. “Tidak, aku tidak akan melepaskanmu. Tunggu saja aku akan datang bersama Umi ke rumah untuk meminangmu.” Pak Hasan keluar meninggalkanku.Sejak hari itu, Pak Hasan tak pernah lagi ke butik atau menemuiku. Mungkin, dia sudah putus asa dengan hubungan kami.** “Hai, melamun aja!” Sifa mengagetkanku yang sedang memasang gamis pada sebuah manekin.“Bukan melamun, Sayang.” Aku menoel pipi Sifa. ”Tapi ... Lagi konsen aja, biar rapi.” Aku memandang Sifa, lalu beralih memakaikan jilbab pada kepala manekin.“Rei, akhir-akhir ini kamu kelihatan murung, kenapa?” Sifa memandangku.Aku berjalan beralih ke manekin satunya. “Enggak apa-apa, aku cuma kecepekan akhir-akhir ini,” ucapku. “Eh ada pelanggan tuh!” Aku menunjuk seorang wanita yang baru saja masuk ke dalam butik. “Sana layani.” Aku mendo
Read more

Kenapa?

Pukul delapan pagi, brankar Pak Hasan di dorong ke ruang operasi. Aku, Meisa, dan Umi menunggu di depan ruangan. Mulut kami tak pernah berhenti melafalkan doa agar operasi Pak Hasan berjalan dengan lancar dan dia dapat sembuh seperti sedia kala lagi.“Umi.” Aku menatap wanita dengan mata sendu yang duduk di sampingku. “Rei, ijin untuk Salat Dhuha dulu, ya.” Umi menganggukkan kepala.“Aku ikut, Rei. Aku juga ingin mendoakan Kak Hasan.” Aku dan Meisa berjalan menuju ke Mushola yang terletak berdekatan dengan ruang Operasi. Aku menuju tempat bersuci untuk mengambil wudu. Rasa dingin air mampu membuatku yang tadinya lesu, menjadi kembali segar. Usai wudu, gegas aku mengambil mukena yang berada di dalam sebuah lemari kaca dan memakainya untuk menunaikan Salat Dhuha. Usai salat, aku berdoa agar operasinya berhasil dan Pak Hasan bisa kembali berkumpul bersama kami. Aku melihat Meisa berdoa dengan air mata yang berurai. Pasti, dia begitu terluka melihat saudar
Read more

Kebahagiaan

Aku dan Meisa masuk ke dalam. Kami sudah tidak sabar untuk kembali melihat kondisi Pak Hasan. Aku melihat Umi tengah berdiri di samping Pak Hasan, sedang Pria itu sudah duduk bersandar ranjang.“Rei.” Pak Hasan memanggilku. Aku merasa lega, bisa melihatnya tersenyum kembali.Umi memandang ke arah kami. Dia menganggukkan kepala, memberiku isyarat agar mendekat. Umi lantas berjalan meninggalkan Pak Hasan. Saat kami berpapasan, dia tersenyum seraya berkata, “Terima kasih.” Wanita itu pun duduk di sofa. Aku dan Meisa menghampiri Pak Hasan.“Iya, aku ada di sini.” Aku berdiri di sampingnya.“Tetaplah di sampingku, Rei,” pintanya.Aku memandang Umi, untuk meminta persetujuan darinya. Aku takut Umi tidak mengizinkan untuk tetap bersama Pak Hasan. Ternyata, Umi membalas dengan menganggukkan kepala. Seketika hatiku rasanya lega.Aku pun menganggukkan kepala dengan air mata terurai. “Iya ... a-aku akan selalu ada di sampingmu dan tidak akan pernah meninggalka
Read more

Alhamdulillah

Aku duduk di ruang keluarga, menemani anak-anak yang sedang menggambar. Nela menggambar rumah, sedang Neli menggambar sebuah keluarga. Ada empat orang yang di gambar oleh Neli. “Neli, gambar apa?” Aku mendekati Neli dan menatap gambar yang sedang dibuatnya.“Neli, gambar Bunda, Ayah, Nela, dan Neli,” terangnya.“Kenapa gambar Ayah, berbeda sendiri?” tanyaku saat melihat tiga gambar orang yang tangannya saling bertautan, sedang salah satu gambar orang sedikit berjauhan.“Karena Ayah jahat, sudah pergi ninggalin kita!” sebegitu terlukanya mereka, dengan perpisahan kami. Aku bergegas memeluk Neli.“Ayah tidak jahat, Nak. Dia tidak meninggalkan Nela dan Neli. Buktinya, ayah sering datang mengunjungi kalian, tapi kalian yang tidak mau sama Ayah.” Aku mencoba menjelaskan pada mereka. “Kalau Ayah jahat, tidak mungkin Ayah mau ke sini buat mengunjungi kalian. Ayah itu sayang, sama Nela dan Neli.”“Iyakah, Bunda. Kalau Ayah sayang, kenapa tidak tinggal di sini
Read more

Dua Kebahagiaan

“Siapa, Mei?” Aku mendekati Meisa yang masih berdiri di ambang pintu. Di hadapan Meisa berdiri seorang pemuda. Dia memakai kemeja berwarna abu-abu dengan bawahan soft jeans. Pemuda sangat tampan. Dia membawa buah tangan di tangannya.Melihat kehadiranku, pemuda itu membungkukkan sedikit badannya. “Selamat sore, Kak.”“Selamat sore.” Aku menangkupkan kedua tangan di dada.“Siapa, Mei?” Aku kembali bertanya.“Fahmi, Rei. Dia temanku,” ucap Meisa memperkenalkan.“Kenapa tidak diajak masuk ke dalam, Mei?” tanyaku memandangnya.Meisa menarikku sedikit menjauh dari pemuda tersebut. “Mei, belum siap, memperkenalkannya pada Umi dan Kak Hasan. Mei takut mereka tidak setuju dengan hubungan kami,” terang Meisa.Aku terbelalak tak percaya, ternyata Meisa sudah mempunyai tambatan hati. “Mei, kalau tidak mencoba, bagaimana kamu bisa tahu! Ajak saja pemuda itu ke dalam. Kasihan kan, dia sudah jauh-jauh ke sini, masak tidak diajak masuk.” Meisa tampak berpikir keras, mendengar perkataanku.
Read more

Akhir Sebuah Cerita

Pertunangan Meisa dan Fahmi dilaksanakan sebulan setelah kedatangan Fahmi ke rumah Pak Hasan. Pertunanganku dengan Pak Hasan akan dilaksanakan setelah kondisi Pak Hasan sudah membaik.Siang itu persiapan pertunangan sudah delapan puluh persen. Segala persiapan diurus oleh WO yang dikelola oleh Mira—sahabat Meisa. Segala persiapan dari pertunangan sampai pernikahan dia dan timnya yang menghandle.Acara pertunangan kali ini Meisa memilih tema bunga. Bagi Meisa bunga melambangkan cinta. Cinta dilambangkan dengan bunga, karena cinta itu indah seperti bunga. Semakin sering bunga diberi pupuk, maka bunga akan semakin tumbuh mekar. Begitu pula dengan cinta, apabila semakin dipupuk dengan kasih sayang maka cinta akan semakin mekar. Rumah Meisa sudah tertapa rapi. Berbagai jenis bunga sudah menghias setiap sudut Rumah. Acara pertunangan Meisa kebetulan di lakukan di ruang tamu. Ada mimbar yang sudah tertata apik di tengah-tengah ruangan. Di atas mimbar ada latar belakang b
Read more

Penusukan

“Hentikan!” teriak Humaira.Dia menghancurkan bunga-bunga yang sudah tertata dengan rapi di pintu masuk. Semua orang yang datang dalam acara pertunangan memandang ke arah Humaira. Humaira berjalan menuju ke arah kami. “Kalian tidak boleh bertunangan! Hasan hanya milikku dan selamanya akan menjadi milikku!” Humaira melempar cincin pertunangan kami.“Apa yang kamu lakukan Humaira!” teriak Meisa.“Aku tidak ingin Hasan bertunangan dengan wanita ini!” Humaira menarik jilbab bahkan rambutku juga ikut tertarik. Hingga badanku limbung ke belakang. Pak Hasan mendekati kami. “Lepaskan Humaira!” Pak Hasan mencoba menarik tangan Humaira dari rambutku. “Aku merasa beruntung, karena tidak jadi menikah dengan wanita seperti kamu! Setelah mengetahui sifat aslimu.” Pak Hasan menunjuk wajah Humaira. “Lepaskan, Reina!” pintanya.“Aku tidak akan melepaskannya! Aku ingin memberinya pelajaran karena telah merebutmu dariku!” kekeh Humaira.Melihat keributan Nel
Read more

Baby Moon

“Mas.” Aku menyambut Mas Hasan, mencium tangannya, yang baru pulang bekerja.“Bunda!” Nela dan Neli pulang bersama Mas Hasan.“Sayang!” Mereka berdua mencium tangan dan pipiku bergantian.Tujuh bulan usia pernikahan kami dan. Sekarang aku sedang hamil empat bulan. Walau aku sudah menikah dengan Mas Hasan. Namun, Aku masih bekerja di butik Meisa. Mas Hasan pernah meminta untuk berhenti bekerja dan cukup di rumah saja. Namun, aku menolaknya dengan alasan, tidak betah bila harus di rumah sendirian. Kami tinggal terpisah dari Umi. Mas Hasan membeli sebuah rumah sederhana yang terletak tak jauh dari rumah Umi. Dia juga tidak mau tinggal di rumahku, menurut Mas Hasan tidak pantas seorang laki-laki hidup menumpang di rumah istrinya. Akhirnya rumahku pun dikontrakan.“Bagaimana sekolahnya tadi, Sayang?” tanyaku memandang mereka.“Nela dapat nila seratus, Bunda.” Neli membuka tasnya, mengambil kertas ulangannya, dan memperlihatkannya padaku.
Read more

Hilang

Sesuai rencana, kami menginap di sebuah hotel yang terletak tak jauh dari pantai kuta. Rencana besok kami ingin mengunjungi pantai kuta untuk menyaksikan keindahan matahari terbenam di pantai berpasir putih itu.Setibanya di hotel, Mas Hasan gegas menuju ke resepsionis untuk memesan dua kamar satu dengan tipe family room untuk keluarga kecilku dan yang satu bertipe single room untuk Fahmi dan Meisa.Untuk sampai ke lantai lima, kami menaiki lift. Sesampainya di lima, tidak sulit untuk mencari kamar kami. Kamarku berada tepat di sisi kiri lift, sedang kamar Fahmi dan Meisa berada paling ujung. Nela dan Neli yang sudah tertidur sejak di perjalanan digendong Mas Hasan, sedangkan Neli digendong Fahmi. Setibanya di depan kamar, aku gegas membuka pintu. Mas Hasan yang pertama masuk ke dalam dan menidurkan Nela di atas tempat tidur. Fahmi pun ikut masuk ke dalam untuk menidurkan Neli di tempat tidur yang berada di sebelah Nela.Kami memesan kamar yang lumanyan besar dengan tiga te
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status