Semua Bab Perkataan Tetangga yang Kadang Ada Benarnya: Bab 21 - Bab 30

49 Bab

Kedekatan dengan Hasan

Sayang.” Nela dan Neli berhambur memelukku saat aku tiba di sekolahnya.“Siapa yang mau es krim?” Hari ini rencana aku akan berbelanja kebutuhan rumah. Baru jam lima sore masih ada waktu sebelum magrib, apalagi letak mini market tak jauh dari sekolah anak-anak.“Aku, Bu.” Nela dan Neli berteriak kegirangan mendengarnya.“Tapi jangan terlalu sering ya!”“Siap, Bunda!” Mereka berteriak-teriak kegirangan.***“Bun, itu ada Om Hasan.” Pada saat kami tiba di depan mini market, Nela menunjuk sebuah kafe and resto yang berada di seberang jalan. “Samperin yuk!” ajaknya.“Jangan sayang, Om Hasan lagi kerja.” Aku terpaksa berbohong sama mereka.Pak Hasan sedang duduk berdua dengan wanita yang baru saja aku kenal. Mereka tampak serius saat berbicara.Aku bergegas masuk ke dalam mini market membeli barang-barang yang dibutuhkan.Nela dan Neli tampak cemberut. Pada saat aku menawari mereka es krim. Mereka hanya diam saja, dengan wajah yang
Baca selengkapnya

Tangis Bahagia

Aku begitu terharu melihat kedekatan anak-anak dengan Pak Hasan. Pria itu berbeda sekali dengan Mas Randi, yang jarang sekali bermain, bercanda, ataupun memerhatikan anak-anak.Dulu ketika pulang kerja, dia lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah dengan bermain HP. Segala urusan rumah dan anak-anak aku sendiri yang mengurus.“Om, ayo mampir dulu,” ajak Neli.“Terima kasih, Sayang. Nanti lain kali aja, Om mampirnya.Nela dan Neli masuk ke dalam rumah. Aku pun membalikkan badan untuk menyusul mereka.“Rei.” Pak Hasan memanggilku, seketika aku menoleh ke arahnya.Pak Hasan berdiri menatapku. Entah mengapa seketika jantungku berdegup kencang setiap kali pria itu memandangku seperti itu. “Aku akan segera membicarakan hubungan kita dengan, Umi.” Aku begitu terkejut dengan perkataannya. Seserius itukah dia terhadapku.“Pak, tolong pertimbangkanlah dulu perkataan Bapak. Apa tidak terlalu cepat? Aku takut, Umi tidak menerimaku.” “Aku yakin, Umi akan merestui hubungan kita,” ucap
Baca selengkapnya

Cinta Datang, Cinta Pergi

Dia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah yang terbuat dari bahan beludru, dari saku jasnya. Pak Hasan mengulurkan kotak tersebut di hadapanku. Dia membukanya. Ada sebuah cincin emas bermata putih di dalamnya.Aku menutup mulut dengan satu tangan karena terharu, melihat kesungguhan Pak Hasan untuk menikahiku. Dia pun tak segan menyatakan perasaannya di hadapan orang banyak.Pengunjung restoran memandang ke arah kami. Kebetulan, siang itu, restoran ramai karena merupakan jam makan siang. Aku memandang ke seluruh ruangan restoran yang tak terlalu luas.“Terima ... terima ....” ucap beberapa pengunjung restoran.Aku merasakan jantungku berdegup kencang diikuti tubuh yang ikut bergetar. Walau hampir setiap hari kami bertemu. Namun, aku selalu merasakannya saat dipandang oleh Pak Hasan. Apalagi pada saat ini seluruh mata tertuju pada kami.Aku menundukkan pandangan, berharap dapat menghilangkan sedikit rasa grogi dalam diri. Aku membaca bismillah dalam hati. Semoga keputusan
Baca selengkapnya

Hadirmu

Terdengar suara Mas Randi di seberang telepon.“Mas, apakah anak-anak ada di sana bersamamu?”[Mereka tidak ada di sini. Emang mereka ke mana?] Mas Randi justru berbalik bertanya.[Siapa, Mas?] Terdengar suara Raya di seberang.[Reina,] jawab Mas Randi. [Coba sini in HP-nya. Heh! Dengar ya! kamu jangan pernah menghubungi Mas Randi lagi.] Seketika Raya mematikan sambungan telepon. Wanita memang tidak punya hati. Dia hanya mementingkan dirinya sendiri. Nela dan Neli itu anak, Mas Randi. Di saat seperti ini aku juga membutuhkannya untuk membantu mencari mereka. Yang namanya bekas istri itu ada, tapi yang namanya bekas anak itu tidak ada.Aku bingung harus mencari anak-anak ke mana lagi. Aku sudah berjalan ke sana ke sini, tapi belum juga menemukan mereka. Akhirnya, aku putuskan untuk menghubungi Pak Hasan, meminta bantuan padanya untuk mencari anak-anak, hanya dia harapan satu-satunya saat ini.Aku menghapus air mata di pipi dan membuka HP, mencari nama Pak Hasan di daftar kon
Baca selengkapnya

Permintaan Humaira

“Karena aku sudah menerima cinta Pak Hasan,” terangku.Selain telah memilih Pak Hasan, aku juga tidak memiliki perasaan apa pun terhadap Pak Herman.“Pria, tadi?” Mila memandangku tak percaya. “Iya, Mil,” jawabku menganggukkan kepala.Mila berhambur memelukku. “Selamat ya Rei, semoga kalian bahagia dan dapat selalu bersama selamanya, hingga maut memisahkan.”Mila melepaskan pelukan, dia memandangku dengan mata yang berkaca-kaca, mungkin dia juga merasakan kebahagiaan yang sedang aku rasakan. “Amin.” Aku menengadahkan kedua tangan.Mila berjalan menghampiri anak-anak. “Ayo anak-anak kita mandi, dulu.” Mila menggandeng Nela dan Neli ke kamar mandi.Merasa tidak enak, karena meninggalkan Pak Herman terlalu lama, aku keluar untuk menemui Pria itu. Namun, sebelum menemuinya, aku terlebih dahulu ke belakang untuk membuat secangkir kopi dan dua cangkir teh, tak lupa mengambilk camilan dari dalam kulkas.***“Silakan diminum, Pak.” Aku meletakan kopi dan camilan di hadapannya.
Baca selengkapnya

Dealova

“Baiklah, hari ini kita di rumah saja.” Pak Hasan duduk di teras.Aku juga duduk menemaninya. “Kamu kenapa diam saja?” tanya Pak Hasan memandangku.Aku menggelengkan kepala. “Aku tidak apa-apa, hanya lelah saja.”“Oh ... lelaki semalam, itu yang tempo dulu pernah ketemu dan beradu mulut denganku itu, ya? Siapa namanya?” Pak Hasan tampak berpikir.Pak Hasan dan Pak Herman memang dulu sudah pernah bertemu. “Dia Pak Herman, manajer kafe tempatku bekerja dulu,” jelasku.“Oh, iya. Pria itu juga menaruh hati padamu, kan?” Pak Hasan memandangku.“Entahlah.” Aku mengangkat kedua bahuku. “Aku tidak ingin membahas dia.”“Ok, aku paham. Rencana lusa aku ingin memperkenalkanmu sebagai calon istriku pada Umi.” Entah aku harus bahagia atau bersedih. Baru saja Humaira memintaku untuk meninggalkan Pak Hasan dan sekarang pria di hadapanku ini, ingin memperkenalkanku dengan Umi sebagai calon istrinya. Akan tetapi, dilihat kesungguhannya, tidak mungkin pria itu masih mencintai Humaira. “K
Baca selengkapnya

Makan Bersama Umi

“Kak.” Suara pemuda itu mengagetkanku yang terlalu hanyut dalam lagu yang dibawakannya. Hingga tanpa sadar pemuda itu telah mengulurkan gelas plastik di hadapanku. “Terima kasih, Kak.” Aku memberikan sedikit rezeki untuk pengamen muda itu. Setelah mendengar lagu tersebut, aku mengambil HP dari dalam tas dan bergegas menghubungi Pak Hasan. Niat baik tidak boleh ditunda-tunda, walau nanti hasilnya akan baik atau buruk yang penting sudah berusaha.“[Assalamualaikum, Rei.”] terdengar suara Pak Hasan dari seberang.“Wa’allaikum salam. Pak Hasan, saya bersedia diperkenalkan dengan Umi secepatnya,” ucapku tanpa berbasa-basi.[Benarkah!]“Iya,” ucapku mantap.[Besok, usai pulang dari butik. Aku akan mengajakmu dan anak-anak ke rumah.]“Iya, Pak ... eh , Mas.”Perasaanku begitu lega setelah mengutarakannya. Semoga Umi mau merestui hubungan kami. Aku lantas kembali menikmati makanan yang aku pesan.Lelah setelah bermain, anak-anak berlari menghampiriku.“Haus, Bunda.” Nela meng
Baca selengkapnya

Permohonan Hasan

Suara langkah kaki terdengar jelas, dari arah luar, berjalan menuju ke arah kami. Suara langkah kaki terdengar pelan, sepertinya tamu yang di undang oleh Umi adalah wanita. Semakin, mendekat suara langkah kaki terdengar semakin keras.Benar saja, seorang wanita berjalan, beriringan dengan Umi. Tangan kanan Umi, mengamit tangan wanita di sampingnya. Senyum merekah tampak menghias wajah wanita yang masih kelihatan cantik walau usianya sudah tak muda itu. Umi tampak bahagia sekali dengan kehadiran Humaira.“Humaira, kami sudah menunggumu. Ayo silakan duduk.” Humaira duduk di hadapan Pak Hasan. Dia duduk di sebelah kanan, Umi. Sedangkan, aku berada di sisi kiri Umi.“Humaira, kenalkan ini Reina dan anak-anaknya. Dia karyawan di butik Meisa.” Umi memperkenalkan kami.“Kami sudah saling kenal, Umi,” jawabnya.“Iya, Umi. Kami sudah beberapa kali bertemu,” timpalku.“Wah, benarkah?” tanya Umi tak percaya.“Iya, Umi,” jawabku. Andai Umi tahu, kami tidak Cuma saling mengenal. Akan tetap
Baca selengkapnya

Bimbang

“Rei ... tunggu!” Pak Hasan mengejarku yang sudah berada di halaman rumah. Dia berhenti tepat di hadapanku, seketika langkah kaki terhenti. “Rei, biar aku antar pulang.” “Kembalilah ke dalam, Pak. Umi pasti menunggu, Anda. Biarlah kami pulang sendiri. Terima kasih untuk segalanya yang telah kau berikan untuk kami.” Aku melangkahkan kaki dengan Nela dan Neli dalam gandengan.Alam seperti ikut berduka. Dia seakan mengetahui isi hatiku yang sedang bermuram durja. Langit tampak begitu gelap, tak ada bintang yang menghiasinya. Tak berbeda dengan diri yang hina ini, tak ada pelita yang menerangi hati. Angin juga bertiup kencang, seakan ingin membawa diri ini ikut terbang bersamanya dan melupakan segala yang menimpa. Alam pun ikut menjerit, suara gemuruh petir terdengar saling bersahutan dan memekakkan telinga. Awan hitam tampak berjalan cepat, sepertinya dia sudah tidak sabar untuk menumpahkan segala yang ada pada dirinya, memalui tetesan hujan. Pria itu masih saja
Baca selengkapnya

Sendiri

“Rei, kamu enggak kerja.” Mila menghampiriku yang sedang memilah-milah sayuran di tukang sayur keliling yang biasa mangkal di kompleks.“Aku ijin hari ini.” Aku memandang Mila. Dia mulai memilah-milah sayuran.“Pak, saya bawangnya setengah kilo ya!” pintaku pada tukang sayur.“Ya, Bu.” Tukang sayur , mengambilkan satu kantong bawang dari gerobaknya. “Ini, Bu.” Dia meletakannya di hadapanku.“Bu Reina, semakin cantik aja!” ucap Bu Mirna dan Bu Anna yang berjalan menghampiri kami. Mereka merupakan ibu-ibu biang gosip di kompleks.“Iya, cowoknya juga, sudah ganteng, kaya lagi,” timpal Bu Anna.“Iyakah, Bu? Bu Anna tahu dari mana memangnya?” tanya Bu Marni.Aku tahu mereka sedang memainkan drama untuk mengorek informasi. Setelah mendapatnya, mereka akan menyebarnya dari satu mulut ke mulut yang lainnya.“Iya, tempo hari saya lihat, Bu Reina diantar pulang pakai mobil mewah. Hampir tiap hari loh, Bu Reina diantar bambang tampan,” jawab Bu Anna.
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status