Semua Bab Perkataan Tetangga yang Kadang Ada Benarnya: Bab 11 - Bab 20

49 Bab

Penggemar Rahasia

“Terima kasih, Pak,” ucapku saat kami tiba di depan Paud Bunda untuk menjemput anak-anakku.“Aku tunggu di sini, nanti aku antar kalian pulang,” ucap Pak Hasan saat aku akan turun dari mobil.“Terima kasih, Pak. Biar kami pulang sendiri. Nanti. Bapak telat lagi pertemuannya,” tolakku.“Pertemuan dibatalkan.” Pak Hasan membuka pintu, dia turun terlebih dahulu. Aku pun mengikutinya. Kami masuk ke dalam sekolah untuk menjemput anak-anak. Seperti biasa, Nela dan Neli sudah dalam keadaan bersih dan harum. “Bunda ....” Mereka berlari kecil menghampiriku. Aku berjongkok dan memeluk mereka.“Yuk pulang,” ajakku. Pada saat melihat Pak Hasan, mereka memandang pria itu heran. “Siapa, Bunda?” tanya Neli.“Teman kerja, Bunda.” Aku mengusap rambut Neli.“Sama kaya Om Herman ya, Bunda?” tanya Nela.Aku menoleh ke belakang, memandang Pak Hasan yang berdiri di belakangku.“Beda, Sayang. Om Herman itu teman Bunda waktu bekerja di tempat yang dulu. Kalau Pak. Hasan ini, atasan Bunda di tempat kerja y
Baca selengkapnya

Penggemar Rahasia 2

Setelah dua bulan akhirnya aku resmi bercerai dengan Mas Randi. Hak asuh kedua putri kami, jatuh ke tanganku. Aku merasa lega, sedih, dan kecewa.Kebersamaan selama delapan tahun kini harus berakhir tragis karena kehadiran orang ketiga. Akan tetapi aku harus tetap bangkit demi kebahagiaan kedua putriku.***Hari ini begitu melelahkan, banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Kerja sama dengan perusahaan Ekspo yang diterima Meisa membuat butiknya semakin maju, gaun produksinya diekspor keluar negeri.“Rei, masih kurang berapa gaun lagi?” tanya Meisa mendekatiku.“Masih kurang lima lagi, Mei,” jawabku.Setiap model gaun yang diproduksi, Meisa hanya dibuat tiga potong dengan varian warna dan hiasan yang berbeda.“Mbak ada paket.” Tampak seorang kurir masuk ke dalam butik membawa sebuah paper bag berwarna merah muda di tangannya.“Paket untuk siapa ya, Pak?” tanya Sifa—karyawan yang paling lama bekerja di butik Meisa.“Reina Atmaja,” ucapnya.Aku menghampiri kurir saat dia menyebut namak
Baca selengkapnya

Derit Malam

Malam begitu sunyi, tinggal aku yang masih terjaga seorang diri. Aku mengambil sebuah mushaf, membuka dan membacanya perlahan untuk mengusir rasa sepi. Srek ... srek ...Terdengar suara langkah kaki di seret dari luar rumah. Aku tetap melanjutkan membaca mushaf di tangan. Suara langkah kaki terdengar kembali. Kali ini disertai suara derit benda yang digesekkan pada dinding rumah.Aku begitu khawatir, bila ada orang yang ingin menyakiti kami. Aku bergegas mengambil HP yang berada di atas nakas, mencari nomor Mila, lalu menghubunginya.Satu-dua kali tidak ada jawaban. Aku kembali menekan nomornya. “Halo, Assalamualaikum, Mil.”[Ada apa Rei, malam-malam gini telepon?”]“Ada orang di luar rumah. Aku takut orang itu akan mencelakai kami.” Suara derit itu kembali terdengar, tepat di samping kamar.[Maaf Rei, aku sedang liburan bersama anak-anak kafe ....]Panggilan telepon tiba-tiba terputus. Suara derit terputus, berganti suara ketukan keras di jendela.Aku semakin ketakutan, apalagi
Baca selengkapnya

Kebersamaan

“Rei, selamat ulang tahun.” Pak Hasan menjabat tanganku. “Maaf, aku tidak tahu kalau kamu ulang tahun hari ini, jadi aku tidak bawa kado. Sebagai gantinya besok aku akan mengajak kalian liburan ke pantai.”“Benarkah, Kak!” Meisa tampak berbinar, mendengar pernyataan kakaknya.“Aku mengajak Reina bukan kamu!” Pak Hasan menoel hidung mancung Meisa.“Katanya kalian, berarti aku juga dong!” Meisa memandang kakaknya dengan mata manja.“Maaf, Pak. Saya tidak bisa karena hari minggu biasanya waktu saya bersama anak-anak,” tolakku. Mana mungkin aku pergi liburan dan meninggalkan anak-anak sendiri di rumah.“Ajak mereka. Kita akan liburan bersama besok. Ajak Sifa dan karyawan lain juga,” ucapnya memandang Meisa.Aku merasa tidak enak hati pada Pak Hasan dan Meisa. Tidak ada hubungan apa-apa diantara kami. Akan tetapi, mereka sangat begitu baik padaku. Bahkan, mereka menganggapku seperti keluarga.Setelah memotong kue, aku melanjutkan menjahit gaun pengantin Raya. Gaun berwarna putih gading d
Baca selengkapnya

Liburan Bersama

Liburan Bersama Pak Hasan Benar saja Pak Hasan begitu sulit melupakannya. Dia begitu cantik dan anggun. Aku tidak ada apa-apanya dibandingkan dia. Pak Hasan dan Humaira berjalan meninggalkan kami.Aku pun mendekati anak-anak, menghentikan permainan mereka. Kami lantas menuju kamar bilas untuk mandi dan berganti pakaian. Waktu juga sudah sore, rombongan kami, sudah berkumpul semua. Kami siap untuk kembali. Namun, Pak Hasan belum kembali, entah ada di mana dia saat ini dan entah apa yang mereka bicarakan.Tiba-tiba hatiku rasanya cemas dan gelisah entah mengapa, dadaku juga rasanya begitu sesak.“Rei, Kak Hasan ke mana?” tanya Meisa mendekatiku.“Tadi dia pergi dengan seorang wanita. Dia memanggilnya Humaira,” terangku.“Humaira!” ucapnya terbelalak kaget. Aku menggelengkan kepala, karena tidak tahu pasti siapa perempuan itu. Meisa tampak kecewa mendengar Pak Hasan bersama dengan Humaira. Aku tidak tahu betul bagaimana hubungan Humaira dan Pak Hasan. Akan tetapi pria itu tampak masi
Baca selengkapnya

Baju Pengantin

Aku hanya diam, ‘tak menimpali perkataannya. Aku bergegas menuju kamar untuk menidurkan Neli, lalu kembali ke depan, mengambil alih Nela yang berada dalam gendongan Pak Hasan.“Terima kasih, Pak. Terima kasih juga untuk liburan hari ini.”  Aku tidak mempersilakan Pak Hasan masuk ke dalam. Aku takut akan timbul fitnah kalau ada tetangga yang melihat.“Jangan berterima kasih. Justru aku bahagia saat bersama kalian. Rei, pertimbangkanlah permintaanku. Aku akan menunggumu, hingga kau siap untuk kembali menikah. Aku pulang dulu. Assalamualaikum.”Tanpa menunggu jawabanku, Pak Hasan berjalan menuju mobilnya. Aku pun masuk ke dalam.***Selesai mandi dan Salat Isya, aku merebahkan diri di samping Nela dan Neli.Pernyataan Pak Hasan terus saja berputar di pikiranku. Aku bingung harus memberi jawaban apa padanya. Dia memang pria yang baik dan penuh tanggung jawab. Namun, hatiku masih ragu untuk memulai cinta yang baru.***
Baca selengkapnya

Pak Hasan VS Mas Randi

Setelah mengantarkanku pagi tadi, Pak Hasan seharian tidak kembali ke kantor. Ada perasaan lega karena tidak perlu mencari alasan untuk menghindari pria itu. Jam menunjukkan pukul empat sore. Sudah saatnya aku bersiap untuk pulang. Sifa dan karyawan lain yang bertugas di depan pun sudah menutup butik.“Mei, aku pulang dulu ya!” pamitku pada Meisa. “Hati-hati, Rei.” Perlahan aku membuka pintu kaca butik, keluar dari sana. Aku merasa ada yang hilang saat ini.Selama berjalan menuju jalan raya, aku merasakan ada yang menganjal perasaanku. Apakah aku merindukan kehadiran Pak Hasan. Hampir setiap hari pria itu datang di sela-sela waktunya ke butik. Setiap hari pula aku menggantikan Meisa untuk membuatkannya kopi.“Awas!” Sebuah tangan kekar menarikku saat aku akan menyeberang jalan. Tanpa sengaja badanku jatuh ke pelukannya. Aku bangun dan menghindarinya.“Kalau mau menyeberang jalan itu jangan melamun. Apa yang ada di otakmu, ha!” Pria
Baca selengkapnya

Trauma

           “Mas, sudahlah. Mereka takut kepadamu. Nanti aku akan menjelaskan semua pada mereka, agar mereka mau kembali menerimamu,” terangku.“Baiklah, tapi ingat kata-kataku, kalian tidak akan mungkin bisa bersama,” ancam Mas Randi sebelum pergi meninggalkan kami.Mas Randi itu sungguh jahat. Dia telah menghianatiku, tapi sekarang di kembali hadir menjadi bayang-bayang kehidupanku.Aku juga ingin seperti wanita lain, yang memiliki seorang pria yang mampu mengayomi dan imam terbaik bagi keluarganya.“Jangan dengarkan dia. Yakinlah jika kita berjodoh, Allah pasti akan menyatukan kita.” Pak Hasan meraih Neli dan menggendongnya.Kami akhirnya memutuskan untuk pulang setelah membayar makanan dan minuman yang kami pesan. Selama di perjalanan Nela dan Neli tampak diam. Mereka sepertinya ketakutan melihat keributan tadi.“Bunda, apa ayah akan menyakiti, Bunda lagi?” ucap Nela.Aku menggelengkan kepala. “Tidak sa
Baca selengkapnya

Kehadiran Humaira

“Maaf, kalau aku menyinggung perasaanmu.” Pak Hasan memandangku.“Oh iya, dari mana Bapak kenal Mila?” tanyaku.“Dia janda kaya, kafenya ada dimana-mana, siapa yang tidak kenal dengannya. Aku juga terkadang meetting bersama klien di kafenya.”“Oh begitu, ya.” Aku memandangnya.“Aku kira ....”“Kamu kira aku suka sama dia.” Belum selesai berbicara Pak Hasan menyela. “Bukan begitu.”“Kamu cemburu?” tanya Pak Hasan.“Ehem ....” Pak Mahmud melirikku. Walaupun kau ada bersamaku Ku takkan berhenti menunggumu Katakan padaku katakanlah cintaUntukku untukkuKatakan padaku katakalah cinta untukkuKu dengar kau bicaraPak Mahmud menyanyikan lagu Ipang yang berjudul ‘Kalau Cinta Harus Bicara’ aku tahu pria itu sedang menyindir kami berdua. “Suara Pak Mahmud merdu ya, kenapa tidak jadi penyanyi saja,” godaku.“Iya Kek, suara Kakek bagus. Enggak kaya suara Bunda.”Pak Mahmud dan Pak Hasan tertawa.“Emang suara Bunda jelek ya, kalau nyanyi?,” tanya Pak Hasan.“Bukanya jelek lagi. Suaranya bisa
Baca selengkapnya

Umi dan Reina

“Reina, single parent, Umi.” Pak Hasan mewakiliku menjawab pertanyaan Umi.“Pasti tidak mudah untukmu menjadi single parent. Tetap semangat Rei.”Aku hanya tersenyum mendengar ucapan Umi. Memang benar kata Umi. Menjadi single parent itu tak mudah. Aku tak hanya berperan sebagai ibu. Akan tetapi, aku juga berperan sebagai ayah, mencari nafkah untuk mereka.Terkadang aku malu dengan statusku sebagai seorang janda. Tidak sedikit orang yang mencemooh dan menilai rendah diriku.“Terima kasih, Umi.” Aku sedikit membukukan badan.“Umi akan mendoakanmu, semoga Allah memberimu kemudahan, kesehatan, dan kelak Allah juga akan mengirimkan jodoh terbaik untukmu.” Wanita itu menatapku. Melihatnya aku menjadi rindu pada ibu yang telah tiada lima tahun silam.“Kamu di sini tinggal sama siapa?” tanya wanita itu.“Saya hanya tinggal bersama dua putri kembar saya,” terangku.“Kembar!” ucap Umi terkejut. “Pasti mereka cantik dan lucu-lucu. Umur berapa?” Umi begitu antusias saat aku menceritaka
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status