“Karena aku sudah menerima cinta Pak Hasan,” terangku.Selain telah memilih Pak Hasan, aku juga tidak memiliki perasaan apa pun terhadap Pak Herman.“Pria, tadi?” Mila memandangku tak percaya. “Iya, Mil,” jawabku menganggukkan kepala.Mila berhambur memelukku. “Selamat ya Rei, semoga kalian bahagia dan dapat selalu bersama selamanya, hingga maut memisahkan.”Mila melepaskan pelukan, dia memandangku dengan mata yang berkaca-kaca, mungkin dia juga merasakan kebahagiaan yang sedang aku rasakan. “Amin.” Aku menengadahkan kedua tangan.Mila berjalan menghampiri anak-anak. “Ayo anak-anak kita mandi, dulu.” Mila menggandeng Nela dan Neli ke kamar mandi.Merasa tidak enak, karena meninggalkan Pak Herman terlalu lama, aku keluar untuk menemui Pria itu. Namun, sebelum menemuinya, aku terlebih dahulu ke belakang untuk membuat secangkir kopi dan dua cangkir teh, tak lupa mengambilk camilan dari dalam kulkas.***“Silakan diminum, Pak.” Aku meletakan kopi dan camilan di hadapannya.
“Baiklah, hari ini kita di rumah saja.” Pak Hasan duduk di teras.Aku juga duduk menemaninya. “Kamu kenapa diam saja?” tanya Pak Hasan memandangku.Aku menggelengkan kepala. “Aku tidak apa-apa, hanya lelah saja.”“Oh ... lelaki semalam, itu yang tempo dulu pernah ketemu dan beradu mulut denganku itu, ya? Siapa namanya?” Pak Hasan tampak berpikir.Pak Hasan dan Pak Herman memang dulu sudah pernah bertemu. “Dia Pak Herman, manajer kafe tempatku bekerja dulu,” jelasku.“Oh, iya. Pria itu juga menaruh hati padamu, kan?” Pak Hasan memandangku.“Entahlah.” Aku mengangkat kedua bahuku. “Aku tidak ingin membahas dia.”“Ok, aku paham. Rencana lusa aku ingin memperkenalkanmu sebagai calon istriku pada Umi.” Entah aku harus bahagia atau bersedih. Baru saja Humaira memintaku untuk meninggalkan Pak Hasan dan sekarang pria di hadapanku ini, ingin memperkenalkanku dengan Umi sebagai calon istrinya. Akan tetapi, dilihat kesungguhannya, tidak mungkin pria itu masih mencintai Humaira. “K
“Kak.” Suara pemuda itu mengagetkanku yang terlalu hanyut dalam lagu yang dibawakannya. Hingga tanpa sadar pemuda itu telah mengulurkan gelas plastik di hadapanku. “Terima kasih, Kak.” Aku memberikan sedikit rezeki untuk pengamen muda itu. Setelah mendengar lagu tersebut, aku mengambil HP dari dalam tas dan bergegas menghubungi Pak Hasan. Niat baik tidak boleh ditunda-tunda, walau nanti hasilnya akan baik atau buruk yang penting sudah berusaha.“[Assalamualaikum, Rei.”] terdengar suara Pak Hasan dari seberang.“Wa’allaikum salam. Pak Hasan, saya bersedia diperkenalkan dengan Umi secepatnya,” ucapku tanpa berbasa-basi.[Benarkah!]“Iya,” ucapku mantap.[Besok, usai pulang dari butik. Aku akan mengajakmu dan anak-anak ke rumah.]“Iya, Pak ... eh , Mas.”Perasaanku begitu lega setelah mengutarakannya. Semoga Umi mau merestui hubungan kami. Aku lantas kembali menikmati makanan yang aku pesan.Lelah setelah bermain, anak-anak berlari menghampiriku.“Haus, Bunda.” Nela meng
Suara langkah kaki terdengar jelas, dari arah luar, berjalan menuju ke arah kami. Suara langkah kaki terdengar pelan, sepertinya tamu yang di undang oleh Umi adalah wanita. Semakin, mendekat suara langkah kaki terdengar semakin keras.Benar saja, seorang wanita berjalan, beriringan dengan Umi. Tangan kanan Umi, mengamit tangan wanita di sampingnya. Senyum merekah tampak menghias wajah wanita yang masih kelihatan cantik walau usianya sudah tak muda itu. Umi tampak bahagia sekali dengan kehadiran Humaira.“Humaira, kami sudah menunggumu. Ayo silakan duduk.” Humaira duduk di hadapan Pak Hasan. Dia duduk di sebelah kanan, Umi. Sedangkan, aku berada di sisi kiri Umi.“Humaira, kenalkan ini Reina dan anak-anaknya. Dia karyawan di butik Meisa.” Umi memperkenalkan kami.“Kami sudah saling kenal, Umi,” jawabnya.“Iya, Umi. Kami sudah beberapa kali bertemu,” timpalku.“Wah, benarkah?” tanya Umi tak percaya.“Iya, Umi,” jawabku. Andai Umi tahu, kami tidak Cuma saling mengenal. Akan tetap
“Rei ... tunggu!” Pak Hasan mengejarku yang sudah berada di halaman rumah. Dia berhenti tepat di hadapanku, seketika langkah kaki terhenti. “Rei, biar aku antar pulang.” “Kembalilah ke dalam, Pak. Umi pasti menunggu, Anda. Biarlah kami pulang sendiri. Terima kasih untuk segalanya yang telah kau berikan untuk kami.” Aku melangkahkan kaki dengan Nela dan Neli dalam gandengan.Alam seperti ikut berduka. Dia seakan mengetahui isi hatiku yang sedang bermuram durja. Langit tampak begitu gelap, tak ada bintang yang menghiasinya. Tak berbeda dengan diri yang hina ini, tak ada pelita yang menerangi hati. Angin juga bertiup kencang, seakan ingin membawa diri ini ikut terbang bersamanya dan melupakan segala yang menimpa. Alam pun ikut menjerit, suara gemuruh petir terdengar saling bersahutan dan memekakkan telinga. Awan hitam tampak berjalan cepat, sepertinya dia sudah tidak sabar untuk menumpahkan segala yang ada pada dirinya, memalui tetesan hujan. Pria itu masih saja
“Rei, kamu enggak kerja.” Mila menghampiriku yang sedang memilah-milah sayuran di tukang sayur keliling yang biasa mangkal di kompleks.“Aku ijin hari ini.” Aku memandang Mila. Dia mulai memilah-milah sayuran.“Pak, saya bawangnya setengah kilo ya!” pintaku pada tukang sayur.“Ya, Bu.” Tukang sayur , mengambilkan satu kantong bawang dari gerobaknya. “Ini, Bu.” Dia meletakannya di hadapanku.“Bu Reina, semakin cantik aja!” ucap Bu Mirna dan Bu Anna yang berjalan menghampiri kami. Mereka merupakan ibu-ibu biang gosip di kompleks.“Iya, cowoknya juga, sudah ganteng, kaya lagi,” timpal Bu Anna.“Iyakah, Bu? Bu Anna tahu dari mana memangnya?” tanya Bu Marni.Aku tahu mereka sedang memainkan drama untuk mengorek informasi. Setelah mendapatnya, mereka akan menyebarnya dari satu mulut ke mulut yang lainnya.“Iya, tempo hari saya lihat, Bu Reina diantar pulang pakai mobil mewah. Hampir tiap hari loh, Bu Reina diantar bambang tampan,” jawab Bu Anna.
“Rei, aku pamit pulang dulu, ya. Sampai berjumpa besok.” Meisa mencium pipi kanan dan kiriku. Dia berjalan menuju mobilnya. Sebelum melajukan mobilnya gadis itu melambaikan tangan. Aku sedikit lega, mendengar ucapan Meisa. Semoga Pak Hasan bisa memperjuangkan cinta kami. Cuaca sangat panas, siang ini, membuat bunga mawar di halaman rumah telah layu. Aku duduk di teras rumah, bersantai sejenak, seraya menikmati semilir angin yang berembus, walau tak begitu menyegarkan. Di dalam rumah seharian, membuat engap. “Bu Reina, tumben duduk sendirian, cowoknya enggak datang, ya?” tanya Bu Anna yang kebetulan lewat, menghentikan langkahnya. “Bu Anna, panas-panas gini mau ke mana?” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. “Mau ke depan ni Bu Reina, mau beli es buah.” Bu Anna menunjuk ke arah jalan raya. “Oh ... pas banget tuh Bu, sama cuacanya.” “Iya, Bu. Bu Reina kenapa enggak berangkat kerja? Lagi marahan ya sama pacarnya?” Bu Anna berjalan mendekat ke rumah.
“Sudahlah, lupakanlah aku dan turuti perkataan Umi. Kita jalani hidup masing-masing.” Aku menatapnya dengan air mata yang berlinang.Pak Hasan mengacak rambutnya kasar. “Tidak, aku tidak akan melepaskanmu. Tunggu saja aku akan datang bersama Umi ke rumah untuk meminangmu.” Pak Hasan keluar meninggalkanku.Sejak hari itu, Pak Hasan tak pernah lagi ke butik atau menemuiku. Mungkin, dia sudah putus asa dengan hubungan kami.** “Hai, melamun aja!” Sifa mengagetkanku yang sedang memasang gamis pada sebuah manekin.“Bukan melamun, Sayang.” Aku menoel pipi Sifa. ”Tapi ... Lagi konsen aja, biar rapi.” Aku memandang Sifa, lalu beralih memakaikan jilbab pada kepala manekin.“Rei, akhir-akhir ini kamu kelihatan murung, kenapa?” Sifa memandangku.Aku berjalan beralih ke manekin satunya. “Enggak apa-apa, aku cuma kecepekan akhir-akhir ini,” ucapku. “Eh ada pelanggan tuh!” Aku menunjuk seorang wanita yang baru saja masuk ke dalam butik. “Sana layani.” Aku mendo
POV HASANPOV HASAN“Maaf, Pak, anak-anak hari ini tidak masuk sekolah.”Sore itu, seperti biasa, sepulang kerja, aku menjemput anak-anak di sekolah mereka. Namun, saat tiba di sana aku tidak melihat mereka di sekolah.Aku lantas menghampiri wali kelas mereka untuk bertanya apakah mereka sudah di jemput oleh Reina. “Nela dan Neli hari ini tidak berangkat sekolah, Pak,” kata Bu Septa—Wali kelas mereka.“Tidak berangkat ya, Bu?” aku kembali bertanya untuk memastikan.“Iya, Pak.” Bu Septa menganggukkan kepala.‘Apa mereka sakit?’ pikirku.Merasa khawatir, aku pun bergegas pulang ke rumah. ***Setibanya di rumah. Suasana tampak sepi, pintu pagar juga terkunci. Aku pun turun dari mobil untuk membukanya sendiri. Saat memasuki halaman rumah, mobil Reina juga tak terlihat di halaman. Aku bergegas turun, memutar gagang pintu. Ternyata pintu rumah masih dalam keadaan terkunci. Untung aku selalu membawa cadangannya di dal
Pada saat pertama Hasan memperkenalkan Reina sebagai calon istrinya. Aku merasa kecewa. Dia tidak seperti menantu yang aku idam-idamkan. Reina memang wanita yang baik dan santun. Namun, sayangnya dia seorang janda dengan dua orang anak. Tidak ada yang salah dengan statusnya. Namun, sebagai seorang ibu aku ingin wanita yang terbaik untuk putranya.Malam itu, Hasan memohon kepadaku. Namun, aku tetap kekeh tidak mau merestui hubungan mereka.“Umi, hanya Reina yang Hasan cinta. Kalau Umi tidak mau merestui hubungan kami. Hasan memilih pergi dari rumah ini.” Putraku satu-satunya itu benar-benar pergi dari rumah.“Hasan!” Dia bahkan tidak mau mendengar panggilanku. Hasan berlari menuju ke mobilnya yang terparkir di halaman. Dia melajukannya dengan asal. Bahkan, sebelum keluar halaman, mobil Hasan sempat menabrak pot bunga yang berjajar di pinggir pagar rumah.Hasan marah dan pergi, semua karena Reina. Wanita itu yang membuat putraku marah. Sebelumnya
Mas Hasan sangat lega, mendengar Aisyah juga menolak perjodohan. Jadi, tidak perlu mencari alasan untuk membatalkannya, karena Mas Hasan juga tidak ingin menikah lagi.Tinggal berbicara dengan Umi. Semoga Umi bisa menerima keputusan Mas Hasan.“Yang ini salah, Sayang,” ucap Mas Hasan menunjuk ke buku yang ada di hadapan mereka. Mas Hasan begitu telaten dalam mendidik dan menjaga anak-anak, walau mereka bukan anak kandung Mas Hasan.“Papa, kapan ke Bali lagi?” tanya Nela memandang Mas Hasan.“Insya Allah, Sayang,” jawab Mas Hasan.“Reina, ibu mau bicara.” Pada saat kami sedang asyik belajar, tiba-tiba Umi datang.Dari raut wajahnya sepertinya Umi sedang kesal.“Ya, Umi.” Gegas aku mendekati wanita itu.Kami pun akhirnya memutuskan untuk berbicara di teras.“Reina, orang tua Aisyah ke rumah,” ucapnya.“Terus mereka bilang apa?” Aku pura-pura tidak tahu, walau sebenarnya beberapa hari yang lalu kami bertemu.“Aisyah menolak perjodohan dengan Hasan.”Umi menceritakan, jika A
“Apa kamu menyukai Aisyah, Reina?” tanya Umi saat kami tiba di rumahnya.“Bagaimana menurutmu dengan gadis itu?”Aku lantas menceritakan pada Umi, seperti Aisyah. Walau belum lama kami saling mengenal. Namun, aku merasa senang dan nyaman saat bersama Aisyah. Aku seperti memiliki seorang teman dan adik perempuan.“Bagaimana caranya memberitahu Mas Hasan tentang perjodohan ini, Umi?” Aku memandang Umi yang duduk di sampingku.Kami pun membahas bagaimana cara untuk memberi tahu Mas Hasan tentang rencana perjodohannya dengan Aisyah.“Kamu coba yang membujuk Hasan untuk menerima Aisyah,” pinta Umi.Umi juga memintaku untuk memberitahukan rencana perjodohan ini secara perlahan padan Mas Hasan.Aku pun mengiyakan. Dulu aku memang tidak menyukai kehadiran orang ketiga dalam rumah tanggaku. Sekarang pun, aku masih sama. Namun, keadaan yang memaksa untuk menerima hal itu. Sebenarnya aku juga lebih senang hidup sendiri, dari pada memiliki seorang madu. Namun, entah apa yang ada di pikir
Seorang gadis berpenampilan seksi berjalan menuruni tangga secara perlahan. Dia memakai celana di atas lutut dengan tank top berwarna merah. Rambut gadis itu tergerai panjang dan berwarna merah. Dia berjalan menghampiriku dan Umi. Tanpa memberi salam, gadis itu langsung duduk di kursi yang terletak berhadapan dengan kami.“Sinta, perkenalkan ini Reina.” Bu Anis menunjukku. Aku tersenyum dan menangkupkan kedua tangan di dada. “Beliau uminya Hasan.” Bu Anis menunjuk Umi.Umi memandang gadis itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dia duduk dengan satu kaki berada di atas kaki yang lainnya. Aku sangat risi melihat kulit pahanya yang terlihat jelas. Aku lantas memandang Umi, tak percaya dengan gadis pilihannya.“Umi, apa enggak salah ini?” bisikku.“Umi tidak tahu juga, teman Umi yang merekomendasikannya,” jawab Umi.Bu Anis pun menjelaskan kedatangan kami pada anaknya.“Untuk mahar saya mau seratus juta. Pesta harus diselenggarakan di gedung yang mewah,” ucap gadis itu. Bu Anis yang
Dua minggu setelah kedatangan Umi. Umi kembali menghubungiku. Dia bilang sudah menemukan calon istri kedua untuk Mas Hasan. Aku dan Umi pun janji untuk bertemu dengan gadis itu usai pulang kerja.“Mas, nanti sore aku ada keperluan sebentar. Aku pulangnya agak telat, ya.” Izinku pada Mas Hasan saat kami sedang sarapan di meja makan.“Mau ke mana?” tanyanya memandangku yang sedang menyendokkan nasi ke dalam piringnya.“Umi memintaku untuk mengantarkan ke rumah temannya,” ucapku bohong.Aku takut Mas Hasan marah, jika aku berterus terang. “Oh, baiklah. Nanti biar anak-anak bersamaku,” ucapnya. “Terima kasih, Mas.” Aku lega dia mengizinkan untuk pergi bersama Umi. Sejak Umi meminta Mas Hasan untuk menikah kembali, dia jarang sekali ke rumah Umi. Berbeda denganku yang sering berkunjung ke rumahnya. Selesai sarapan kami pun bersiap untuk berangkat kerja. “Aku berangkat dulu, ya.” Pamit Mas Hasan. Sebelum berangkat, dia mencium keningku.“Hati-hati, Mas.” Aku mengulurkan tangan dan menc
“Tidak, Umi, hanya Reina istri Hasan, tidak akan pernah ada yang lain.” Pernyataan Mas Hasan begitu mengejutkanku. Umi menyerahkan Haikal pada Meisa. Dia lantas memandang Mas Hasan. “Hasan, kamu itu anak laki-laki satu-satunya di keluarga kita. Kamu harus memiliki keturunan untuk meneruskan perusahaanmu!” “Umi. Tolong mengertilah, hargai setiap keputusan yang diambil oleh Kak Hasan, karena dia pasti lebih tahu yang terbaik untuk dirinya.” Meisa menyentuh bahu Umi. “Bayangkan jika Meisa yang berada di posisi Reina, apakah Umi tidak merasa terluka? Meisa memandang wajah uminya yang sudah mulai mengeriput.Meisa memang sangat baik dia selalu berpihak pada kami. Dulu dia yang juga ikut andil dalam hubunganku dengan Mas Hasan.“Tidak, Umi tetap menginginkan Hasan untuk menikah kembali. Jika Reina tidak mau di madu, dia bisa meminta cerai dari Hasan!” Umi memandangku.Aku hanya bisa diam mendengarkan semuanya. Sakit, tapi mau bagaimana lagi aku memang wanita yang tidak sempurna, ka
Saat aku sadar, aku melihat Mas Hasan tertidur bersandar ranjang dengan tangan sebagai tumpuan kepala.“Mas,” lirihku memanggilnya. Mas Hasan tidak mendengar panggilanku. Aku pun meraih tangan Mas Hasan. “Mas.”Mas Hasan pun terbangun dan memandangku. “Kamu sudah sadar, Sayang.” Aku menganggukkan kepala. Merasa lelah berbaring, aku beringsut untuk bangun. “Ah ...!” pekikku saat merasakan sakit dan nyeri di bagian bawah perut.Masa Hasan cepat-cepat bangun dan membantuku kembali berbaring. “Kamu jangan bangun dulu,” perintahnya.“Mas, memangnya apa yang terjadi dan kenapa perutku sakit sekali.” Aku memandang perutku yang sudah rata, tapi aku tidak melihat keberadaan bayiku.“Ketubanmu pecah dan mengalami pendarahan hebat saat terjatuh, terpaksa dokter, melakukan tindakan operasi sesar untuk mengeluarkan bayi kita.” Mas Hasan menggenggam erat tanganku. “Usai operasi, kamu juga sempat kritis karena HB kamu yang sangat rendah,” terang Mas Hasan. “Terus bagaimana dengan keadaan
“Ibu Reina,” Panggil seorang pria yang berdiri di sampingku. Dia memandangku lalu beralih memandang HP-nya dan kembali memandangku.“Iya, siapa, ya?” Aku memandang pria itu dengan saksama. Aku belum pernah melihat atau mengenalnya sebelumnya, kenapa dia bisa tahu namaku?“Saya, Alzam, temannya Dayu. Suami ibu tadi meminta saya untuk mencari, Bu Reina,” terang pria itu. “Sekarang suami saya ada di mana?” tanyaku. “Di sana.” Alzam menunjuk ke arah luar pantai. Alzam memasukkan HP yang dibawanya ke dalam tas. “Mari Bu, saya antar ke keluarganya.” Alzam mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri. Namun, aku menolak uluran tangan Alzam.“Iya, terima kasih.” Aku menangkupkan sedua tangan sejajar dengan dada. Seketika aku merasa lega, mendengar keberadaan Mas Hasan dan anak-anak. Aku pun bangun dan mengikuti langkah pria berwajah putih bersih itu. Pada saat itu matahari juga sudah mulai tenggelam di ufuk barat.Tak lama berjalan, tampak Mas Hasan dan anak-anak sedang duduk di pin