Pukul delapan pagi, brankar Pak Hasan di dorong ke ruang operasi. Aku, Meisa, dan Umi menunggu di depan ruangan. Mulut kami tak pernah berhenti melafalkan doa agar operasi Pak Hasan berjalan dengan lancar dan dia dapat sembuh seperti sedia kala lagi.
“Umi.” Aku menatap wanita dengan mata sendu yang duduk di sampingku. “Rei, ijin untuk Salat Dhuha dulu, ya.” Umi menganggukkan kepala.“Aku ikut, Rei. Aku juga ingin mendoakan Kak Hasan.” Aku dan Meisa berjalan menuju ke Mushola yang terletak berdekatan dengan ruang Operasi. Aku menuju tempat bersuci untuk mengambil wudu. Rasa dingin air mampu membuatku yang tadinya lesu, menjadi kembali segar. Usai wudu, gegas aku mengambil mukena yang berada di dalam sebuah lemari kaca dan memakainya untuk menunaikan Salat Dhuha. Usai salat, aku berdoa agar operasinya berhasil dan Pak Hasan bisa kembali berkumpul bersama kami.Aku melihat Meisa berdoa dengan air mata yang berurai. Pasti, dia begitu terluka melihat saudarAku dan Meisa masuk ke dalam. Kami sudah tidak sabar untuk kembali melihat kondisi Pak Hasan. Aku melihat Umi tengah berdiri di samping Pak Hasan, sedang Pria itu sudah duduk bersandar ranjang.“Rei.” Pak Hasan memanggilku. Aku merasa lega, bisa melihatnya tersenyum kembali.Umi memandang ke arah kami. Dia menganggukkan kepala, memberiku isyarat agar mendekat. Umi lantas berjalan meninggalkan Pak Hasan. Saat kami berpapasan, dia tersenyum seraya berkata, “Terima kasih.” Wanita itu pun duduk di sofa. Aku dan Meisa menghampiri Pak Hasan.“Iya, aku ada di sini.” Aku berdiri di sampingnya.“Tetaplah di sampingku, Rei,” pintanya.Aku memandang Umi, untuk meminta persetujuan darinya. Aku takut Umi tidak mengizinkan untuk tetap bersama Pak Hasan. Ternyata, Umi membalas dengan menganggukkan kepala. Seketika hatiku rasanya lega.Aku pun menganggukkan kepala dengan air mata terurai. “Iya ... a-aku akan selalu ada di sampingmu dan tidak akan pernah meninggalka
Aku duduk di ruang keluarga, menemani anak-anak yang sedang menggambar. Nela menggambar rumah, sedang Neli menggambar sebuah keluarga. Ada empat orang yang di gambar oleh Neli. “Neli, gambar apa?” Aku mendekati Neli dan menatap gambar yang sedang dibuatnya.“Neli, gambar Bunda, Ayah, Nela, dan Neli,” terangnya.“Kenapa gambar Ayah, berbeda sendiri?” tanyaku saat melihat tiga gambar orang yang tangannya saling bertautan, sedang salah satu gambar orang sedikit berjauhan.“Karena Ayah jahat, sudah pergi ninggalin kita!” sebegitu terlukanya mereka, dengan perpisahan kami. Aku bergegas memeluk Neli.“Ayah tidak jahat, Nak. Dia tidak meninggalkan Nela dan Neli. Buktinya, ayah sering datang mengunjungi kalian, tapi kalian yang tidak mau sama Ayah.” Aku mencoba menjelaskan pada mereka. “Kalau Ayah jahat, tidak mungkin Ayah mau ke sini buat mengunjungi kalian. Ayah itu sayang, sama Nela dan Neli.”“Iyakah, Bunda. Kalau Ayah sayang, kenapa tidak tinggal di sini
“Siapa, Mei?” Aku mendekati Meisa yang masih berdiri di ambang pintu. Di hadapan Meisa berdiri seorang pemuda. Dia memakai kemeja berwarna abu-abu dengan bawahan soft jeans. Pemuda sangat tampan. Dia membawa buah tangan di tangannya.Melihat kehadiranku, pemuda itu membungkukkan sedikit badannya. “Selamat sore, Kak.”“Selamat sore.” Aku menangkupkan kedua tangan di dada.“Siapa, Mei?” Aku kembali bertanya.“Fahmi, Rei. Dia temanku,” ucap Meisa memperkenalkan.“Kenapa tidak diajak masuk ke dalam, Mei?” tanyaku memandangnya.Meisa menarikku sedikit menjauh dari pemuda tersebut. “Mei, belum siap, memperkenalkannya pada Umi dan Kak Hasan. Mei takut mereka tidak setuju dengan hubungan kami,” terang Meisa.Aku terbelalak tak percaya, ternyata Meisa sudah mempunyai tambatan hati. “Mei, kalau tidak mencoba, bagaimana kamu bisa tahu! Ajak saja pemuda itu ke dalam. Kasihan kan, dia sudah jauh-jauh ke sini, masak tidak diajak masuk.” Meisa tampak berpikir keras, mendengar perkataanku.
Pertunangan Meisa dan Fahmi dilaksanakan sebulan setelah kedatangan Fahmi ke rumah Pak Hasan. Pertunanganku dengan Pak Hasan akan dilaksanakan setelah kondisi Pak Hasan sudah membaik.Siang itu persiapan pertunangan sudah delapan puluh persen. Segala persiapan diurus oleh WO yang dikelola oleh Mira—sahabat Meisa. Segala persiapan dari pertunangan sampai pernikahan dia dan timnya yang menghandle.Acara pertunangan kali ini Meisa memilih tema bunga. Bagi Meisa bunga melambangkan cinta. Cinta dilambangkan dengan bunga, karena cinta itu indah seperti bunga. Semakin sering bunga diberi pupuk, maka bunga akan semakin tumbuh mekar. Begitu pula dengan cinta, apabila semakin dipupuk dengan kasih sayang maka cinta akan semakin mekar. Rumah Meisa sudah tertapa rapi. Berbagai jenis bunga sudah menghias setiap sudut Rumah. Acara pertunangan Meisa kebetulan di lakukan di ruang tamu. Ada mimbar yang sudah tertata apik di tengah-tengah ruangan. Di atas mimbar ada latar belakang b
“Hentikan!” teriak Humaira.Dia menghancurkan bunga-bunga yang sudah tertata dengan rapi di pintu masuk. Semua orang yang datang dalam acara pertunangan memandang ke arah Humaira. Humaira berjalan menuju ke arah kami. “Kalian tidak boleh bertunangan! Hasan hanya milikku dan selamanya akan menjadi milikku!” Humaira melempar cincin pertunangan kami.“Apa yang kamu lakukan Humaira!” teriak Meisa.“Aku tidak ingin Hasan bertunangan dengan wanita ini!” Humaira menarik jilbab bahkan rambutku juga ikut tertarik. Hingga badanku limbung ke belakang. Pak Hasan mendekati kami. “Lepaskan Humaira!” Pak Hasan mencoba menarik tangan Humaira dari rambutku. “Aku merasa beruntung, karena tidak jadi menikah dengan wanita seperti kamu! Setelah mengetahui sifat aslimu.” Pak Hasan menunjuk wajah Humaira. “Lepaskan, Reina!” pintanya.“Aku tidak akan melepaskannya! Aku ingin memberinya pelajaran karena telah merebutmu dariku!” kekeh Humaira.Melihat keributan Nel
“Mas.” Aku menyambut Mas Hasan, mencium tangannya, yang baru pulang bekerja.“Bunda!” Nela dan Neli pulang bersama Mas Hasan.“Sayang!” Mereka berdua mencium tangan dan pipiku bergantian.Tujuh bulan usia pernikahan kami dan. Sekarang aku sedang hamil empat bulan. Walau aku sudah menikah dengan Mas Hasan. Namun, Aku masih bekerja di butik Meisa. Mas Hasan pernah meminta untuk berhenti bekerja dan cukup di rumah saja. Namun, aku menolaknya dengan alasan, tidak betah bila harus di rumah sendirian. Kami tinggal terpisah dari Umi. Mas Hasan membeli sebuah rumah sederhana yang terletak tak jauh dari rumah Umi. Dia juga tidak mau tinggal di rumahku, menurut Mas Hasan tidak pantas seorang laki-laki hidup menumpang di rumah istrinya. Akhirnya rumahku pun dikontrakan.“Bagaimana sekolahnya tadi, Sayang?” tanyaku memandang mereka.“Nela dapat nila seratus, Bunda.” Neli membuka tasnya, mengambil kertas ulangannya, dan memperlihatkannya padaku.
Sesuai rencana, kami menginap di sebuah hotel yang terletak tak jauh dari pantai kuta. Rencana besok kami ingin mengunjungi pantai kuta untuk menyaksikan keindahan matahari terbenam di pantai berpasir putih itu.Setibanya di hotel, Mas Hasan gegas menuju ke resepsionis untuk memesan dua kamar satu dengan tipe family room untuk keluarga kecilku dan yang satu bertipe single room untuk Fahmi dan Meisa.Untuk sampai ke lantai lima, kami menaiki lift. Sesampainya di lima, tidak sulit untuk mencari kamar kami. Kamarku berada tepat di sisi kiri lift, sedang kamar Fahmi dan Meisa berada paling ujung. Nela dan Neli yang sudah tertidur sejak di perjalanan digendong Mas Hasan, sedangkan Neli digendong Fahmi. Setibanya di depan kamar, aku gegas membuka pintu. Mas Hasan yang pertama masuk ke dalam dan menidurkan Nela di atas tempat tidur. Fahmi pun ikut masuk ke dalam untuk menidurkan Neli di tempat tidur yang berada di sebelah Nela.Kami memesan kamar yang lumanyan besar dengan tiga te
“Ibu Reina,” Panggil seorang pria yang berdiri di sampingku. Dia memandangku lalu beralih memandang HP-nya dan kembali memandangku.“Iya, siapa, ya?” Aku memandang pria itu dengan saksama. Aku belum pernah melihat atau mengenalnya sebelumnya, kenapa dia bisa tahu namaku?“Saya, Alzam, temannya Dayu. Suami ibu tadi meminta saya untuk mencari, Bu Reina,” terang pria itu. “Sekarang suami saya ada di mana?” tanyaku. “Di sana.” Alzam menunjuk ke arah luar pantai. Alzam memasukkan HP yang dibawanya ke dalam tas. “Mari Bu, saya antar ke keluarganya.” Alzam mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri. Namun, aku menolak uluran tangan Alzam.“Iya, terima kasih.” Aku menangkupkan sedua tangan sejajar dengan dada. Seketika aku merasa lega, mendengar keberadaan Mas Hasan dan anak-anak. Aku pun bangun dan mengikuti langkah pria berwajah putih bersih itu. Pada saat itu matahari juga sudah mulai tenggelam di ufuk barat.Tak lama berjalan, tampak Mas Hasan dan anak-anak sedang duduk di pin
POV HASANPOV HASAN“Maaf, Pak, anak-anak hari ini tidak masuk sekolah.”Sore itu, seperti biasa, sepulang kerja, aku menjemput anak-anak di sekolah mereka. Namun, saat tiba di sana aku tidak melihat mereka di sekolah.Aku lantas menghampiri wali kelas mereka untuk bertanya apakah mereka sudah di jemput oleh Reina. “Nela dan Neli hari ini tidak berangkat sekolah, Pak,” kata Bu Septa—Wali kelas mereka.“Tidak berangkat ya, Bu?” aku kembali bertanya untuk memastikan.“Iya, Pak.” Bu Septa menganggukkan kepala.‘Apa mereka sakit?’ pikirku.Merasa khawatir, aku pun bergegas pulang ke rumah. ***Setibanya di rumah. Suasana tampak sepi, pintu pagar juga terkunci. Aku pun turun dari mobil untuk membukanya sendiri. Saat memasuki halaman rumah, mobil Reina juga tak terlihat di halaman. Aku bergegas turun, memutar gagang pintu. Ternyata pintu rumah masih dalam keadaan terkunci. Untung aku selalu membawa cadangannya di dal
Pada saat pertama Hasan memperkenalkan Reina sebagai calon istrinya. Aku merasa kecewa. Dia tidak seperti menantu yang aku idam-idamkan. Reina memang wanita yang baik dan santun. Namun, sayangnya dia seorang janda dengan dua orang anak. Tidak ada yang salah dengan statusnya. Namun, sebagai seorang ibu aku ingin wanita yang terbaik untuk putranya.Malam itu, Hasan memohon kepadaku. Namun, aku tetap kekeh tidak mau merestui hubungan mereka.“Umi, hanya Reina yang Hasan cinta. Kalau Umi tidak mau merestui hubungan kami. Hasan memilih pergi dari rumah ini.” Putraku satu-satunya itu benar-benar pergi dari rumah.“Hasan!” Dia bahkan tidak mau mendengar panggilanku. Hasan berlari menuju ke mobilnya yang terparkir di halaman. Dia melajukannya dengan asal. Bahkan, sebelum keluar halaman, mobil Hasan sempat menabrak pot bunga yang berjajar di pinggir pagar rumah.Hasan marah dan pergi, semua karena Reina. Wanita itu yang membuat putraku marah. Sebelumnya
Mas Hasan sangat lega, mendengar Aisyah juga menolak perjodohan. Jadi, tidak perlu mencari alasan untuk membatalkannya, karena Mas Hasan juga tidak ingin menikah lagi.Tinggal berbicara dengan Umi. Semoga Umi bisa menerima keputusan Mas Hasan.“Yang ini salah, Sayang,” ucap Mas Hasan menunjuk ke buku yang ada di hadapan mereka. Mas Hasan begitu telaten dalam mendidik dan menjaga anak-anak, walau mereka bukan anak kandung Mas Hasan.“Papa, kapan ke Bali lagi?” tanya Nela memandang Mas Hasan.“Insya Allah, Sayang,” jawab Mas Hasan.“Reina, ibu mau bicara.” Pada saat kami sedang asyik belajar, tiba-tiba Umi datang.Dari raut wajahnya sepertinya Umi sedang kesal.“Ya, Umi.” Gegas aku mendekati wanita itu.Kami pun akhirnya memutuskan untuk berbicara di teras.“Reina, orang tua Aisyah ke rumah,” ucapnya.“Terus mereka bilang apa?” Aku pura-pura tidak tahu, walau sebenarnya beberapa hari yang lalu kami bertemu.“Aisyah menolak perjodohan dengan Hasan.”Umi menceritakan, jika A
“Apa kamu menyukai Aisyah, Reina?” tanya Umi saat kami tiba di rumahnya.“Bagaimana menurutmu dengan gadis itu?”Aku lantas menceritakan pada Umi, seperti Aisyah. Walau belum lama kami saling mengenal. Namun, aku merasa senang dan nyaman saat bersama Aisyah. Aku seperti memiliki seorang teman dan adik perempuan.“Bagaimana caranya memberitahu Mas Hasan tentang perjodohan ini, Umi?” Aku memandang Umi yang duduk di sampingku.Kami pun membahas bagaimana cara untuk memberi tahu Mas Hasan tentang rencana perjodohannya dengan Aisyah.“Kamu coba yang membujuk Hasan untuk menerima Aisyah,” pinta Umi.Umi juga memintaku untuk memberitahukan rencana perjodohan ini secara perlahan padan Mas Hasan.Aku pun mengiyakan. Dulu aku memang tidak menyukai kehadiran orang ketiga dalam rumah tanggaku. Sekarang pun, aku masih sama. Namun, keadaan yang memaksa untuk menerima hal itu. Sebenarnya aku juga lebih senang hidup sendiri, dari pada memiliki seorang madu. Namun, entah apa yang ada di pikir
Seorang gadis berpenampilan seksi berjalan menuruni tangga secara perlahan. Dia memakai celana di atas lutut dengan tank top berwarna merah. Rambut gadis itu tergerai panjang dan berwarna merah. Dia berjalan menghampiriku dan Umi. Tanpa memberi salam, gadis itu langsung duduk di kursi yang terletak berhadapan dengan kami.“Sinta, perkenalkan ini Reina.” Bu Anis menunjukku. Aku tersenyum dan menangkupkan kedua tangan di dada. “Beliau uminya Hasan.” Bu Anis menunjuk Umi.Umi memandang gadis itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dia duduk dengan satu kaki berada di atas kaki yang lainnya. Aku sangat risi melihat kulit pahanya yang terlihat jelas. Aku lantas memandang Umi, tak percaya dengan gadis pilihannya.“Umi, apa enggak salah ini?” bisikku.“Umi tidak tahu juga, teman Umi yang merekomendasikannya,” jawab Umi.Bu Anis pun menjelaskan kedatangan kami pada anaknya.“Untuk mahar saya mau seratus juta. Pesta harus diselenggarakan di gedung yang mewah,” ucap gadis itu. Bu Anis yang
Dua minggu setelah kedatangan Umi. Umi kembali menghubungiku. Dia bilang sudah menemukan calon istri kedua untuk Mas Hasan. Aku dan Umi pun janji untuk bertemu dengan gadis itu usai pulang kerja.“Mas, nanti sore aku ada keperluan sebentar. Aku pulangnya agak telat, ya.” Izinku pada Mas Hasan saat kami sedang sarapan di meja makan.“Mau ke mana?” tanyanya memandangku yang sedang menyendokkan nasi ke dalam piringnya.“Umi memintaku untuk mengantarkan ke rumah temannya,” ucapku bohong.Aku takut Mas Hasan marah, jika aku berterus terang. “Oh, baiklah. Nanti biar anak-anak bersamaku,” ucapnya. “Terima kasih, Mas.” Aku lega dia mengizinkan untuk pergi bersama Umi. Sejak Umi meminta Mas Hasan untuk menikah kembali, dia jarang sekali ke rumah Umi. Berbeda denganku yang sering berkunjung ke rumahnya. Selesai sarapan kami pun bersiap untuk berangkat kerja. “Aku berangkat dulu, ya.” Pamit Mas Hasan. Sebelum berangkat, dia mencium keningku.“Hati-hati, Mas.” Aku mengulurkan tangan dan menc
“Tidak, Umi, hanya Reina istri Hasan, tidak akan pernah ada yang lain.” Pernyataan Mas Hasan begitu mengejutkanku. Umi menyerahkan Haikal pada Meisa. Dia lantas memandang Mas Hasan. “Hasan, kamu itu anak laki-laki satu-satunya di keluarga kita. Kamu harus memiliki keturunan untuk meneruskan perusahaanmu!” “Umi. Tolong mengertilah, hargai setiap keputusan yang diambil oleh Kak Hasan, karena dia pasti lebih tahu yang terbaik untuk dirinya.” Meisa menyentuh bahu Umi. “Bayangkan jika Meisa yang berada di posisi Reina, apakah Umi tidak merasa terluka? Meisa memandang wajah uminya yang sudah mulai mengeriput.Meisa memang sangat baik dia selalu berpihak pada kami. Dulu dia yang juga ikut andil dalam hubunganku dengan Mas Hasan.“Tidak, Umi tetap menginginkan Hasan untuk menikah kembali. Jika Reina tidak mau di madu, dia bisa meminta cerai dari Hasan!” Umi memandangku.Aku hanya bisa diam mendengarkan semuanya. Sakit, tapi mau bagaimana lagi aku memang wanita yang tidak sempurna, ka
Saat aku sadar, aku melihat Mas Hasan tertidur bersandar ranjang dengan tangan sebagai tumpuan kepala.“Mas,” lirihku memanggilnya. Mas Hasan tidak mendengar panggilanku. Aku pun meraih tangan Mas Hasan. “Mas.”Mas Hasan pun terbangun dan memandangku. “Kamu sudah sadar, Sayang.” Aku menganggukkan kepala. Merasa lelah berbaring, aku beringsut untuk bangun. “Ah ...!” pekikku saat merasakan sakit dan nyeri di bagian bawah perut.Masa Hasan cepat-cepat bangun dan membantuku kembali berbaring. “Kamu jangan bangun dulu,” perintahnya.“Mas, memangnya apa yang terjadi dan kenapa perutku sakit sekali.” Aku memandang perutku yang sudah rata, tapi aku tidak melihat keberadaan bayiku.“Ketubanmu pecah dan mengalami pendarahan hebat saat terjatuh, terpaksa dokter, melakukan tindakan operasi sesar untuk mengeluarkan bayi kita.” Mas Hasan menggenggam erat tanganku. “Usai operasi, kamu juga sempat kritis karena HB kamu yang sangat rendah,” terang Mas Hasan. “Terus bagaimana dengan keadaan
“Ibu Reina,” Panggil seorang pria yang berdiri di sampingku. Dia memandangku lalu beralih memandang HP-nya dan kembali memandangku.“Iya, siapa, ya?” Aku memandang pria itu dengan saksama. Aku belum pernah melihat atau mengenalnya sebelumnya, kenapa dia bisa tahu namaku?“Saya, Alzam, temannya Dayu. Suami ibu tadi meminta saya untuk mencari, Bu Reina,” terang pria itu. “Sekarang suami saya ada di mana?” tanyaku. “Di sana.” Alzam menunjuk ke arah luar pantai. Alzam memasukkan HP yang dibawanya ke dalam tas. “Mari Bu, saya antar ke keluarganya.” Alzam mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri. Namun, aku menolak uluran tangan Alzam.“Iya, terima kasih.” Aku menangkupkan sedua tangan sejajar dengan dada. Seketika aku merasa lega, mendengar keberadaan Mas Hasan dan anak-anak. Aku pun bangun dan mengikuti langkah pria berwajah putih bersih itu. Pada saat itu matahari juga sudah mulai tenggelam di ufuk barat.Tak lama berjalan, tampak Mas Hasan dan anak-anak sedang duduk di pin