“Bukannya hari ini kamu izin?” Kasih segera beranjak dari kursi kebesarannya, ketika Cita masuk ke ruangan dengan wajah masam. “Jadi pindahan hari ini, kan?”“Jadi.” Cita menghempaskan bokongnya di salah satu sofa tunggal di ruangan Kasih. “Tapi aku males! Ada Arya tahu-tahu datang bantu-bantu. Jadinya, ya, aku tinggal aja. Biar Mami yang ngatur.”“Cita.” Kasih duduk di kursi tunggal yang berada di samping sang adik. “Aku tahu, mungkin sulit buat kamu maafin Arya. Tapi, coba, deh, berdamai.”“Nah, itu! Ini juga rencananya mau nemui psikolog,” jawab Cita malas. “Aku, tuh, pengen hidup tenang, Kak. Aku capek kalau harus marah, harus ... aku tiap lihat Arya bawaannya pasti sakit hati. Pasti pengen hiiih! Aku pengen baik sama dia, tapi ... nggak bisa.”“Karena ingat Almira?” tebak Kasih.Cita mengangguk. “Ingat Arya, pasti ingat Almira.”“Aku nggak bisa komen lagi kalau gitu.” Kasih bersandar pelan, lalu menepuk perutnya yang mulai terasa lapar. “Karena semua itu tergantung kamunya. Mau o
Baca selengkapnya