“Kalau sampai setahun aku dianggap belum mumpuni, apa aku nggak boleh balik ke Singapur?”Cita duduk di karpet, sambil menekuk kedua kakinya ke atas. Menatap Harry yang duduk bersandar di tempat tidur. Sementara Sandra, masih sibuk di depan meja rias dengan skincare-nya.“Kenapa harus pesimis begitu?” Sandra melihat Cita lewat pantulan cermin meja riasnya.“Karena, aku ngerasa kak Kasih nantinya ...” Cita menggeleng cepat. “Emang bang Awan masih ngasih izin kak Kasih kerja, kalau mereka sudah punya anak? Mami ngerti maksudku, kan?”“Masih,” jawab Harry. “Tapi itu tadi, Kasih nggak akan bisa full ngurus perusahaan seperti kemarin-kemarin.”“Kan, aku sudah curiga dari awal.” Cita berpikir, dirinya akan stuck di Jakarta dan tidak akan kembali ke Singapura. Harry menginginkan Kasih dan Cita bekerja sama, untuk mengurus perusahaan inti keluarga Lukito di Jakarta. “Mas Nando mendadak diutus ke Singapur, terus kita ada rapat di Palace High. Jangan-jangan, Papa sama pak Pras sudah rencanain s
Mata Cita terbuka perlahan, ketika mendengar namanya dipanggil hingga berkali-kali. Ia mengerjap pelan, guna menjernihkan pandangan yang sempat mengabur dan memastikan sosok pria yang berada di hadapannya.“Kak ... Duta?” gumam Cita sambil berusaha bangkit, tetapi kedua bahunya ditahan oleh pria itu.“Baring aja,” titah Duta lalu menoleh pada security yang masih berdiri di sebelahnya. “Pak, tolong ambilin air putih di belakang. Kalau ada yang hangat.”“Oke, Mas, Oke.”“Itu, Pak ... kena—”“Kamu pingsan di gudang,” sela Duta akhirnya bisa bernapas lega. Ia akhirnya bersila di karpet di samping Cita, lalu menggeletakkan kapas dan minyak kayu putih begitu saja.“Kok ...” Cita memegang kepalanya sambil mengingat-ingat. Yang Cita tahu, hal terakhir yang ia lakukan adalah membaca surat Arya dan ... menangis.“Aku ke sini mau ngantar amplang dari ayah.” Lebih baik Duta menjelaskan kronologi yang membuat Cita bingung. “Aku sudah pencet bel, ketuk pintu, telpon kamu, tapi nggak ada respons. Te
“Papa ... aku mau bicara.” Cita melirik Sandra sebentar, lalu kembali menatap Harry yang baru saja duduk di meja makan. Pria itu meletakkan sebuah cangkir di meja, tetapi Cita tidak tahu apa isinya.“Hm, bicaralah.” Harry menebak, Cita pasti akan membahas perihal kemarin.“Aku ... aku setuju, berhenti kerja.” Meskipun masih ragu, tetapi Cita sudah mengambil keputusan.Harry menarik napas pelan, sambil melihat Sandra yang baru saja meletakkan piring di hadapannya. Dua buah roti panggang dengan olesan alpukat dan tambahan telur orak-arik, menjadi pilihan menu western yang dipilih Sandra pagi ini.“Apa kegiatanmu setelah berhenti bekerja.” Harry meraih garpu dan pisau yang berada di piring secara bersamaan. Sambil memotong rotinya, ia menunggu jawaban Cita. “Mau balik ke Singapur?”Cita menggeleng sambil menerima sepiring nasi goreng dari Sandra. Sudah dua tahun lebih hidup bersama dengan Harry, Cita masih tidak bisa sarapan dengan menu yang sama seperti pria itu. Papanya itu benar-benar
“Cita!”Kedua mata Cita melebar saat mendengar suara yang memanggilnya. Ia menoleh dan ternganga melihat Nando menghampirinya dengan cepat. Apa yang dilakukan pria itu di kompleks gedung perkantoran Antasena?Apakah ini suatu kebetulan? Atau, Nando memang sengaja menemuinya?“Mas ... Nando? Ngapain ke sini?”“Kenapa kamu kerja di sini?” Nando berhenti dan menatap lobi Antariksa sebentar. “Kenapa nggak balik ke Metro?”“Mas Nando ngapain ke sini?” ulang Cita menunggu jawaban pria itu.“Aku ada pertemuan di sebelah.” Nando menunjuk sekilas pada Antasena Tower. Gedung utama yang berseberangan dengan kantor Antariksa dan kepemilikannya masih berada di tangan keluarga Antasena. Sementara Antariksa sendiri, sudah jatuh sepenuhnya ke tangan keluarga Lee, tanpa ada campur tangan dari pemilik atau pewaris sebelumnya. “Tapi aku sengaja datang pagi-pagi, supaya bisa ketemu kamu.”“Mas—”“Kenapa kamu nggak bilang, kalau mamiku sudah bicara sama kamu?”“Mas.” Cita menunduk sebentar, sembari memija
“Pembayaran selanjutnya akan dibayar dua bulan lagi.”Cita mengangguk dan tidak melontarkan protes atas ucapan Pasha. Di akhir negosiasi, keluarga Atmawijaya akhirnya setuju dengan nominal akhir kesepakatan. Yakni Rp18 Miliar, dari kenaikan tuntutan Cita sebesar Rp30 Miliar ketika bicara dengan Pasha tempo hari.Nominal tersebut akan dibayar bertahap, dengan tiga kali pembayaran dalam jangka waktu enam bulan.“Kalau pembayaran dari pihak Atmawijaya telat, segera laporkan ke saya,” sahut Mai datar, sembari memasukkan semua berkas ke tas kerjanya. “Klien saya sudah berbaik hati sampai sejauh ini, jadi tolong, jangan ngelunjak. Tepati pembayaran sesuai perjanjian, makan semua urusan hukum tetap aman.”Mai kemudian berdiri setelah semua berkasnya beres, lalu mengulurkan tangan pada Cita. “Saya pergi dulu, Bu Cita. Kalau ada apa-apa, segera hubungi saya.”“Terima kasih, Mbak.” Cita menyambut uluran tangan Mai dengan segera. “Terima kasih banyak.”“My pleasure.” Tidak lupa, Mai juga berjaba
“Ehm! Hai.”Cita membalas singkat dan tidak ingin banyak bicara. Andai bisa keluar dan mengganti jadwal penerbangan, maka Cita pasti akan langsung pergi dari sana. Namun, ia tidak mungkin melakukan hal tersebut, karena jadwal pekerjaan di luar kota sudah memburunya.“Kalian kenal?” Salsa dengan cepat mencondongkan tubuh dan menengok ke arah Arya dan Cita bergantian.“Ka—”“Gue ngantuk, Sal.” Cita mengulang ucapannya beberapa saat lalu, untuk memotong ucapan Arya. Ia semakin menarik ujung hoodienya hingga menutup mata. “Mau tidur dulu.”Arya tersenyum pada Salsa dengan mengangguk. Memilih diam dan tidak lagi bersuara. Arya paham dengan situasi canggung, yang sedang dihadapinya dengan Cita saat ini. Karena itulah, tidak perlu lagi memaksakan kehendaknya daripada hubungan mereka semakin panas.Setidaknya, ada setitik harapan dan rasa bahagia ketika melihat boneka pemberiannya ada di pelukan Cita. Meskipun gadis itu bersikeras menolak dan menghindarinya, tetapi akhirnya Arya tahu bagaiman
“Mantan, lo, kan? Iya, kan?” buru Salsa masih penasaran karena Cita masih saja bungkam. Jika bukan mantan, kenapa Cita terdengar akrab ketika bicara di telepon dengan ibunya Arya siang tadi.Sembari menyusuri garbarata, Salsa tetap memasang telinga guna mendengar percakapan Cita di telepon dengan seseorang yang dipanggilnya tante. Kendati hanya bisa mendengar dari satu pihak, Salsa sudah benar-benar yakin dan bisa menyimpulkan Arya adalah mantan kekasih Cita dahulu kala.“Kepo.”Salsa yang bersila di lantai kamar setelah mengambil baju di koper, lantas menoleh. Memindai penampilan Cita yang sudah rapi, setelah keluar dari kamar mandi.“Nggak bawa baju, lo, Cit?”“Lo nggak lihat isi koper gue?” tunjuk Cita pada kopernya yang masih terbuka, di sebelah pintu kamar mandi.“Maksud gue, nggak ada baju lain?” tanya Salsa lagi. “Lo makan malam sama camer pake kaos sama celana jeans?”“Camer apaan?” Cita menghempas bokòngnya di sudut tempat tidur. Ia menyisir rambut, sambil menunduk melihat ka
“Berasa rugi, nggak, sih?” Salsa menghempas tubuh lelahnya di tempat tidur, tanpa melepas kedua sepatunya terlebih dahulu. “Check out hotel jam 12 tapi kita subuh-subuh harus pergi dari sini.”Karena ada perubahan rencana liputan hingga malam, maka pihak redaksi Antariksa, mengubah jadwal penerbangan menjadi keesokan paginya.“Kalau aku bukan masalah ruginya, Sal.” Cita juga melakukan hal yang sama dengan Salsa, di tempat tidur berukuran single yang berbeda. “Tapi capeknya.” Cita melihat jam tangannya. “Kita baru nyampe hotel jam 11 malam, tapi jam 3 harus ke bandara.”“Mana langsung kerja,” sambung Salsa lalu menguap dan memiringkan tubuhnya memunggungi Cita. “Pasang alarm, Cit. Aku sudah nggak sanggup mau ngambil hape di tas. Ngantuk!”Tubuh Cita pun sama lelahnya, tetapi pikirannya seolah tidak bisa diajak kerja sama. Lantas, ia melepas tas selempang yang masih mengalung di tubuhnya, tanpa bangkit dari tidur. Cita mengeluarkan ponsel, lalu memasang alarm pukul 2.30 dini hari. Denga
Cita memicing saat menatap batita yang sibuk memindahkan mainan dari kamarnya ke kamar Harry. Bocah berusia dua tahun itu mondar mandir dan membiarkan beberapa mainan kecilnya berjatuhan, tanpa memungutnya kembali.Gusti melakukan itu semua untuk menyelundupkan mainannya di koper Harry atau Sandra, karena Cita hanya mengizinkan putranya membawa dua buah mainan saja ke Jakarta.“Gus—”“Sudah, biarin,” sela Arya setelah memastikan kelengkapan berkas yang akan dibawanya ke Jakarta. “Biarkan dia sibuk dengan mainannya. Daripada nanti di Jakarta dia rewel, karena mainannya ditinggal seperti waktu itu. Lagian kita lumayan lama di Jakarta sama Surabaya, jadi sudahlah.”Napas Cita terbuang pelan sembari mengusap perut buncitnya. Saat ini, ia tengah mengandung anak kedua dengan kondisi kehamilan yang benar-benar sehat. Tidak ada keluhan apa pun, seperti ketika mengandung Gusti dahulu kala. Untuk itulah, Arya tidak ragu mengajak Cita terbang ke Jakarta, sekaligus berkunjung ke Surabaya dalam wak
“Itu tadi ... Mas Nando kapan datangnya?”“Ha?” Setengah mengantuk, Arya membuka mata. Ia melihat Cita meletakkan Gusti di boks bayi yang berada tepat di samping tempat tidur. Satu sisinya terbuka, sehingga memudahkan Cita untuk meng-ASI-hi jika bayi tampan itu terbangun sewaktu-waktu. “Akhirnya dia tidur juga.”“Hem, digendong Mami baru dia tidur.” Tanpa mematikan lampu kamar, Cita merebahkan tubuh yang penat karena hampir seharian menemui tamu tanpa henti. Ia memang sempat beristirahat, tetapi tetap saja terasa sungkan berlama-lama jika ada keluarga jauh yang datang berkunjung. “Anaknya Kak Kasih malah tidur sama papa. Padahal jarang ketemu, tapi mau-mau aja.”“Enak banget mereka.” Arya merapatkan diri, lalu memeluk erat tubuh sang istri. “Ke sini malah bulan madu.”Cita menepuk lengan Arya karena pertanyaannya belum juga terjawab. “Itu tadi, Mas Nando kapan datangnya? Terus, siapa yang ngasih tahu dia kalau kita lagi ada acara keluarga?”Arya menarik napas panjang. “Mantan penggemar
“Senang tinggal di sini?” tanya Kasih sambil terus menyantap es krimnya sedikit demi sedikit. Setelah membeli es krim di sebuah kafe yang berada tepat di samping gedung apartemen, mereka duduk santai lebih dulu menikmati waktu senggang dengan damai.“Senang.” Cita mengangguk sambil menoleh pada Kasih yang duduk di sampingnya.“Bahagia?”“Bahagia,” jawab Cita tanpa ragu, karena memang seperti itulah kenyataannya. Ia bahagia bisa bersama suami dan kedua orang tuanya, lalu ditambah dengan bayi mungil yang semakin melengkapi kehidupan Cita saat ini.“Syukurlah.” Kasih menghela panjang. Kendati ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya karena kepindahan Harry, tetapi Kasih sudah mengikhlaskan itu semua demi kebahagiaan keluarga mereka.Lagipula, Kasih juga menyadari bagaimana kerasnya kehidupan yang dilalui Cita sejak kecil. Karena itulah, Kasih tidak mencegah kepergian Harry ke Singapura agar bisa bersama Cita. Biarlah Harry menebus semua hal yang tidak pernah dilakukannya di sisa usianya, a
“Siapa lagi yang mau ditelpon?”Cita menggeleng pelan melihat sikap Arya yang berubah 180 derajat. Hampir semalaman tidak tidur, ditambah dengan ketegangan yang mereka hadapi di siang harinya di ruang bersalin, ternyata tidak membuat tenaga Arya terkuras. Suaminya itu benar-benar tampak bersemangat menghubungi semua keluarganya, untuk mengabarkan perihal kelahiran putra pertamanya.Dari sini pula, Cita semakin menyadari bahwa sifat dasar Arya yang periang, agak konyol, dan terlalu baik memang tidak bisa diubah. Setiap kali Arya menelepon keluarganya, mereka selalu menghabiskan waktu yang cukup lama untuk berbicara dengan banyak gurauan yang seakan tidak pernah ada habisnya.“Sudah semua sepertinya.” Arya terkekeh kemudian beranjak menghampiri bayi mungilnya yang tengah tertidur lelap di boks bayi.Setelah melihat perjuangan Cita yang luar biasa di ruang persalinan, membuatnya merasa belum siap menambah anak dalam waktu dekat. Mereka memang pernah berencana untuk memiliki tiga atau emp
Pelan dan pasti, Cita mulai menaruh rasa percayanya pada Arya. Setiap perhatian dan kesungguhan sikap yang ditunjukkan pria itu, benar-benar membuat Cita semakin nyaman dan menumbuhkan rasa cinta yang semakin besar. Arya tidak pernah menutupi apa pun darinya dan mereka selalu membicarakan semua hal agar tidak terjadi kesalahpahaman.“Hamil di negeri orang itu, susahnya kalau lagi ngidam gini.” Cita kembali mengeluh, karena tidak bisa memakan makanan yang diinginkannya. Sebenarnya, Sandra juga bisa membuatkan makanan yang diinginkan Cita, tetapi tetap saja ada sesuatu yang terasa kurang. Di lain sisi, Cita juga tidak enak jika meminta sang mami terus-terusan membuatkan makanan yang diinginkannya.“Kamu sendiri yang minta pindah ke Singapur, loh, ya,” balas Arya yang malam ini memenuhi keinginan sang istri untuk pergi ke salah satu sentra kuliner yang ada di tengah kota. “Kamu nyalahin aku, Mas?” Cita mulai merengut. Menunduk menyantap nasi hainannya. “Nggak.” Arya buru-buru berujar a
“Awan nelpon,” ujar Harry terburu setelah keluar kamar. “Kasih kontraksi.”Sandra berhenti mengupas jeruk dan meletakkannya di meja. “Maju berarti,” ucapnya sembari berdiri lalu mengusap pundak Cita yang duduk di sebelahnya. Mereka memang sudah berencana kembali ke Jakarta minggu depan, tetapi sepertinya harus dimajukan karena perkiraan hari lahir Kasih ternyata di luar prediksi. “Kita balik hari ini?”“Kalau dapat tiket, iya.” Harry mengangguk dan menoleh pada Arya yang baru menutup pintu kamar. Menantunya itu sudah terlihat rapi dan akan bersiap pergi karena ada meeting direksi di pagi hari. “Ar, bisa tolong lihatkan tiket ke Jakarta hari ini? Kasih kontraksi dari subuh tadi.”“Sudah kontraksi?” Arya mengangguk-angguk dan segera mengeluarkan ponsel untuk mencari tiket. Tanpa beranjak ke mana-mana, Arya segera membuka aplikasi pemesanan tiket dan mencari jadwal penerbangan yang ada. “Mau sore atau malam, Pa?”“Sore ada?”“Ada, emm ...” Arya melihat ketersediaan kursi di pesawat. “Bus
“Maaf kalau aku ngerepotin.”Walaupun bahagia tidak terkira, tetapi Cita masih memiliki perasaan tidak enak hati karena Harry dan Sandra tiba-tiba harus terbang ke Singapura. Setelah hasil general check up tidak ada masalah, kedua orang tua Cita segera memesan tiket karena khawatir dengan keadaannya.“Siapa yang bilang kalau kamu ngerepotin.” Sandra mengusap kepala Cita yang berbaring di tempat tidur. Kondisi kehamilan Cita yang kedua ternyata sangat berbeda dengan yang pertama dahulu kala. Putrinya terlihat pucat dan tidak bertenaga.“Kamu nggak pernah ngerepotin,” timpal Harry yang duduk di tengah tempat tidur menemani Cita. “Justru Papa sama mami senang, karena kamu lagi hamil.”“Kak Kasih ... nggak papa?” tanya Cita kembali merasa tidak nyaman. Cita merasa seperti telah merebut Harry dari kakak perempuannya.Kasih memang sudah menelepon Cita dan wanita itu ikut berbahagia atas kehamilannya. Namun, Cita tetap saja memiliki perasaan tidak enak karena telah menjauhkan Harry dari putr
Arya mengernyit dan membuka mata ketika mendengar suara yang tidak biasa. Sambil mengumpulkan kesadarannya, ia melihat pada sisi tempat tidur yang sudah terlihat kosong. Menyadari hal tersebut, Arya bangkit perlahan lalu berjalan menuju kamar mandi.Saat melihat Cita terduduk lemas di samping kloset kamar mandi, di situlah kesadaran Arya kembali sepenuhnya.“Sayang! Kamu kenapa?” Arya bergegas menghampiri Cita dan bejongkok di samping sang istri. Arya menempelkan punggung tangan ke dahi Cita untuk mengecek suhu tubuhnya. “Ayo ke rumah sakit, kamu lemas gini. Habis muntah?” tanya Arya segera menekan tombol flush untuk membersihkan cairan yang baru saja Cita muntahkan. “Kepalaku tambah pusing,” ujar Cita pelan. Merasa tidak memiliki tenaga untuk bangkit. “Perutku mendadak mual pagi-pagi.”“Kamu nggak telat makan, kan?” Arya mengingat-ingat, selama menghabiskan akhir minggu kemarin mereka sama sekali tidak telat makan. Bahkan, mereka berdua justru lebih banyak menyantap makanan dari bia
“Nikahan mbak Chandi dulu, nggak kayak gini.” Arya cukup takjub dengan semua dekorasi mewah yang ada di pernikahan Duta dan adiknya. “Kamu ... nggak iri, kan?”Arya khawatir jika sang istri memiliki rasa cemburu yang terpendam, karena pernikahan mereka tidak semewah dan semegah resepsi Duta dan Leoni. Setelah melakukan banyak pembicaraan dengan Sandra, Arya baru menyadari istrinya itu kerap memendam semua sakitnya sendiri. Cita enggan berbagi, karena tidak ingin menyusahkan dan merepotkan orang lain.“Mas, resepsi begini ini capeeek banget,” ungkap Cita mengingatkan Arya akan alasannya meminta intimate wedding kala itu. “Aku sudah pernah sekali sama Pandu, kan? Jadi, aku nggak mau lagi. Enakan kayak kita kemarin. Singkat, padat, dan nggak terlalu capek.”“Kalau—”“Titip Kasih bentar,” sela Awan sambil menarik kursi kosong di samping Cita. Kursi tersebut memang sengaja Cita kosongkan untuk Kasih yang mengabarkan akan terlambat datang. “Aku mau ambilin makan.”“Oh!” Saat melihat Awan, A