“Aku nggak bisa lama-lama.” Cita duduk lebih dulu, kemudian Arya memilih duduk berhadapan dengannya. “Ada tugas yang harus aku cek ulang.”“Pulang jam berapa?” Karena pekerjaan Arya sudah selesai, sepertinya ia bisa menunggu dan mengantar Cita pulang ke rumah. “Biar aku antar.”“Nggak usah, ada pak Aiman,” tolak Cita. “Lagian kamu pasti capek.”“Aku senang kalau diperhatikan gini.”“Aku nggak lagi perhatian,” sanggah Cita buru-buru mengklarifikasi ucapannya.Saat ini, Arya sudah mulai berani bersikap dan tidak lagi terlihat muram. Ini pasti gara-gara mereka sempat satu pesawat dan pria itu melihat Cita membawa boneka kelincinya.Andai waktu bisa diulang, Cita pasti tidak akan membawa boneka itu pergi dengannya. Kalau begini, Arya semakin besar kepala.“Terus tadi, emangnya kamu sama Rashi belum baikan juga dari dulu?” selidik Cita mengingat betapa canggungnya, sikap kedua orang yang pernah saling mencinta itu.“Yaaa, seperti itu tadi.” Arya menjeda percakapannya, karena seorang pelaya
Dua panggilan tidak terjawab dan sebuah pesan masuk sekitar satu jam yang lalu. Cita hanya melihat hal tersebut pada pop up notifikasi yang ada di layar ponsel dan membiarkannya.Yang menjadi perhatian Cita saat ini, justru pesan dari Kasih. Ibu hamil itu mengiriminya pesan dengan huruf kapital dan banyak tanda seru di belakangnya.“AYO KETEMUAN!!!!!”Cita terkekeh sendiri, lalu segera menelepon kakak perempuan yang hampir tidak pernah ditemuinya belakangan ini. Kesibukannya yang padat, membuat Cita tidak ingin pergi ke mana-mana jika sudah berada di rumah, atau ketika hari liburnya tiba.“Napa, Kak?” todong Cita menjauh dari keramaian setelah selesai melakukan sedikit wawancara di sebuah gedung pertemuan.“Aku bedrest! Bosan nggak bisa ke—”“Hah? Kenapa bisa sampe bedrest? Kecapean, atau kenapa?” cecar Cita baru mengetahui hal tersebut. “Dari kapan? Kok, papa nggak ada ngabarin?”“Baru hari ini,” jawab Kasih dengan helaan panjang setelahnya. “Tadi pagi ke dokter, karena aku ngflek da
“Tante ...” Dengan terpaksa, Cita harus mengganggu obrolan Elok dan sang suami, yang sedang duduk santai di tepi kolam renang.“Loh!” Elok menoleh dan segera beranjak menghampiri. “Sudah mau pulang?”“Bukan.” Cita terkekeh pelan dengan menggeleng. “Maaf kalau ganggu, tapi, apa bisa bicara sebentar?”“Sama Om Lex?” Elok menoleh pada suaminya sekilas. “Atau sama Tante?”“Sama Tante.”“Oke, oke.” Elok mengangguk-angguk lalu kembali menatap Lex. “Mas, aku tinggal bentar.”Saat Lex mengangguk, Elok segera merangkul Cita kembali masuk ke dalam rumah. Merasa ada hal pribadi yang ingin dibicarakan Cita, maka Elok mengajak gadis itu menuju ruang kerja Lex.“Arya masih di atas?” tanya Elok sambil membukakan pintu ruang kerja dan masuk lebih dulu ke ruang kerja.“Iya, masih sama bang Awan, sama kak Kasih.” Cita melihat Elok lebih dulu duduk di sofa panjang. Wanita itu memintanya menutup pintu, lalu segera duduk di sampingnya.“Kamu balikan sama Arya?” tanya Elok setelah pintu ruang kerja Lex ter
“Oia, jangan juga kasih tahu Duta kalau aku bedrest.”Permintaan Kasih tersebut, membuat Cita yang masih betah berada di tempat tidur mengangguk-angguk. Ia sedang melakukan panggilan video dengan Kasih, karena wanita itu tengah dilanda kebosanan yang teramat sangat. Hari masih pagi, tetapi obrolan mereka hampir tidak pernah terputus.“Tapi, tante Kiya sama om Gilang, emang nggak tahu kalau kamu bedrest, Kak?”Kasih menggeleng. “Mama nggak ngomong ke siapa-siapa, biar nggak rame yang jenguk. Nanti aku capek katanya.”“Semalam sudah ngasih tahu Arya juga nggak?” Karena Arya sedang mengerjakan proyek dengan Duta, pastilah kedua pria itu akan sering berkomunikasi.“Nah! Itu dia!” Kasih lagi-lagi menggeleng. “Kamu yang telpon Arya, ya! Eh, udah dulu, ya, Cit. Mama udah bawain makanan. Nanti kita ghibah lagi. Jangan lupa telpon Arya! Babay!”Cita menahan napas, ketika wajah Kasih hilang dalam sekejap dari pandangannya. Wanita itu, memang selalu mengakhiri panggilan, tanpa menunggu jawaban l
Cita mengakhiri panggilannya ketika sudah melihat Arya melambai dan berjalan ke arahnya. Yang mengejutkan ialah, pria itu tengah menggendong sebuah boneka kelinci, yang besarnya hampir menutup tubuh Arya.Semakin Arya mendekat, debaran jantung Cita semakin cepat. Perasaan seperti ini, membuat Cita semakin yakin, perasaannya ternyata hanya untuk Arya seorang.“Udah check-in?” tanya Cita sambil menahan luapan emosi dan rasa gugup yang mendera. Kedua tangannya mengerat memegang tali ras yang menyilang di depan dada dan berusaha tersenyum seformal mungkin.Arya mengangguk, lalu menyerahkan boneka kelinci yang dibawanya pada Cita. “Yang ini bu Kelinci.”“Kok, bu Kelinci?” Akhirnya, Cita terkekeh geli. Namun, ia belum mengambil boneka tersebut dari Arya. “Buat siapa?”“Buat bidadariku.” Arya meraih tangan Cita, lalu menyerahkan boneka tersebut pada gadis itu. “Karena warnanya pink dan lagi megang botol susu, jadi kita panggil dia ibu kelinci.”Tawa Cita semakin keras. “Kenapa gedean bu keli
“Mas.” Rinai menunjuk seorang gadis yang baru saja keluar dari mobil sedan hitam, yang berhenti di depan gedung Antariksa. “Tahu nggak, dia itu siapanya mas Arya? Cewek yang pake ransel abu-abu itu, tu!”Sembari mencari tempat parkir, Duta menoleh sebentar ke arah telunjuk sepupunya tertuju. Tanpa harus memicingkan mata, Duta sudah tahu siapa yang dimaksud oleh Rinai.“Kenapa tanya-tanya?” Duta harus mengetahui maksud Rinai terlebih dahulu.“Kemarin, dia ada di mobil mas Arya,” jawab Rinai tidak melepas tatapannya, pada gadis yang berjalan masuk ke gedung Antariksa. “Terus, aku juga lihat mas Arya video call-an sama dia? Ceweknya, ya?”“Kenapa nggak tanya sama Arya langsung?” Duta berbelok pelan, ketika sudah menemukan tempat parkir yang kosong.“Aku sudah tanya, tapi, dia nggak pernah jawab.” Rinai beralih pada Duta, setelah sosok gadis yang dilihatnya sudah menghilang dari jangkauan. “Mas Arya paling senyum. Kalau nggak, langsung ngomongin kerjaan. Kayak menghindar gitu.”“Kamu suda
“Sarapan dulu, Ar,” tawar Duta yang baru meletakkan semangkuk sup di meja bar. “Tapi kamu sendiri aja, karena jam makanku masih tiga jam lagi.”Karena Duta melakukan intermittent fasting, maka ia memiliki waktu tertentu jika harus menyantap makanan berat.“Aku jadi nggak enak.” Rencana pergi ke rumah Cita, akhirnya Arya urungkan karena Duta sudah membuat sarapan sepagi ini. “Sudah numpang, dikasih makan gratis pula.”“Halah.” Duta meraih gelas yang berisi teh hijau tanpa gulanya, lalu berjalan menuju meja makan. Di atas sana, sudah ada laptop yang terbuka sejak tadi dan Duta kembali duduk untuk melanjutkan pekerjaannya. “Nyante, Ar! Eia, jadi, kamu sama Cita gimana? Sudah baikan, kan?”“Sudah.” Arya tersenyum sambil mengambil mangkuk dan sendok di rak piring. Setelahnya, ia berbalik menuju meja bar, untuk mengambil nasi dan sup yang sudah disediakan Duta di sana. “Tapi, aku nggak tahu sampai kapan harus kayak gini, Mas. Kita itu, kayak HTS-an gitu. Dia minta berteman, tapi hubungan ki
Duta menahan napas, ketika baru saja membuka pintu. Belum sempat ia membuka mulut, tubuhnya langsung bergeser paksa karena Rinai masuk sambil menabrak sisi tubuhnya. Jadi, orang yang menekan belnya tanpa henti, adalah sepupunya sendiri.“Mas! Kenapa kamu nggak pernah ngomong kalau si Cita itu tetanggamu?” oceh Rinai kemudian bersedekap di tengah ruang tamu, tanpa duduk di salah satu kursi. “Jadi, yang beli rumah di depan itu orang tuanya?”“Ngontrak, bukan beli,” ralat Duta dengan nada malas. Ia berbalik dan ikut bersedekap tanpa menutup pintu rumahnya. Kedatangan Rinai ke rumah Duta, pasti karena Arya. Namun, jika sepupunya itu sudah mengetahui Cita tinggal di depan rumah Duta, itu artinya Rinai sudah bertemu dengan gadis itu.Rinai berdecih. “Masih ngontrak? Tapi ... mobil yang parkir di rumahnya itu sama dengan mobilnya Satria ... harganya berkali-kali lipat dari harga rumah di kompleks ini.”“Nai, nggak usah ngurusin hidup orang lain.”“Siapa yang ngurusin hidup orang lain?” Rin
Cita memicing saat menatap batita yang sibuk memindahkan mainan dari kamarnya ke kamar Harry. Bocah berusia dua tahun itu mondar mandir dan membiarkan beberapa mainan kecilnya berjatuhan, tanpa memungutnya kembali.Gusti melakukan itu semua untuk menyelundupkan mainannya di koper Harry atau Sandra, karena Cita hanya mengizinkan putranya membawa dua buah mainan saja ke Jakarta.“Gus—”“Sudah, biarin,” sela Arya setelah memastikan kelengkapan berkas yang akan dibawanya ke Jakarta. “Biarkan dia sibuk dengan mainannya. Daripada nanti di Jakarta dia rewel, karena mainannya ditinggal seperti waktu itu. Lagian kita lumayan lama di Jakarta sama Surabaya, jadi sudahlah.”Napas Cita terbuang pelan sembari mengusap perut buncitnya. Saat ini, ia tengah mengandung anak kedua dengan kondisi kehamilan yang benar-benar sehat. Tidak ada keluhan apa pun, seperti ketika mengandung Gusti dahulu kala. Untuk itulah, Arya tidak ragu mengajak Cita terbang ke Jakarta, sekaligus berkunjung ke Surabaya dalam wak
“Itu tadi ... Mas Nando kapan datangnya?”“Ha?” Setengah mengantuk, Arya membuka mata. Ia melihat Cita meletakkan Gusti di boks bayi yang berada tepat di samping tempat tidur. Satu sisinya terbuka, sehingga memudahkan Cita untuk meng-ASI-hi jika bayi tampan itu terbangun sewaktu-waktu. “Akhirnya dia tidur juga.”“Hem, digendong Mami baru dia tidur.” Tanpa mematikan lampu kamar, Cita merebahkan tubuh yang penat karena hampir seharian menemui tamu tanpa henti. Ia memang sempat beristirahat, tetapi tetap saja terasa sungkan berlama-lama jika ada keluarga jauh yang datang berkunjung. “Anaknya Kak Kasih malah tidur sama papa. Padahal jarang ketemu, tapi mau-mau aja.”“Enak banget mereka.” Arya merapatkan diri, lalu memeluk erat tubuh sang istri. “Ke sini malah bulan madu.”Cita menepuk lengan Arya karena pertanyaannya belum juga terjawab. “Itu tadi, Mas Nando kapan datangnya? Terus, siapa yang ngasih tahu dia kalau kita lagi ada acara keluarga?”Arya menarik napas panjang. “Mantan penggemar
“Senang tinggal di sini?” tanya Kasih sambil terus menyantap es krimnya sedikit demi sedikit. Setelah membeli es krim di sebuah kafe yang berada tepat di samping gedung apartemen, mereka duduk santai lebih dulu menikmati waktu senggang dengan damai.“Senang.” Cita mengangguk sambil menoleh pada Kasih yang duduk di sampingnya.“Bahagia?”“Bahagia,” jawab Cita tanpa ragu, karena memang seperti itulah kenyataannya. Ia bahagia bisa bersama suami dan kedua orang tuanya, lalu ditambah dengan bayi mungil yang semakin melengkapi kehidupan Cita saat ini.“Syukurlah.” Kasih menghela panjang. Kendati ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya karena kepindahan Harry, tetapi Kasih sudah mengikhlaskan itu semua demi kebahagiaan keluarga mereka.Lagipula, Kasih juga menyadari bagaimana kerasnya kehidupan yang dilalui Cita sejak kecil. Karena itulah, Kasih tidak mencegah kepergian Harry ke Singapura agar bisa bersama Cita. Biarlah Harry menebus semua hal yang tidak pernah dilakukannya di sisa usianya, a
“Siapa lagi yang mau ditelpon?”Cita menggeleng pelan melihat sikap Arya yang berubah 180 derajat. Hampir semalaman tidak tidur, ditambah dengan ketegangan yang mereka hadapi di siang harinya di ruang bersalin, ternyata tidak membuat tenaga Arya terkuras. Suaminya itu benar-benar tampak bersemangat menghubungi semua keluarganya, untuk mengabarkan perihal kelahiran putra pertamanya.Dari sini pula, Cita semakin menyadari bahwa sifat dasar Arya yang periang, agak konyol, dan terlalu baik memang tidak bisa diubah. Setiap kali Arya menelepon keluarganya, mereka selalu menghabiskan waktu yang cukup lama untuk berbicara dengan banyak gurauan yang seakan tidak pernah ada habisnya.“Sudah semua sepertinya.” Arya terkekeh kemudian beranjak menghampiri bayi mungilnya yang tengah tertidur lelap di boks bayi.Setelah melihat perjuangan Cita yang luar biasa di ruang persalinan, membuatnya merasa belum siap menambah anak dalam waktu dekat. Mereka memang pernah berencana untuk memiliki tiga atau emp
Pelan dan pasti, Cita mulai menaruh rasa percayanya pada Arya. Setiap perhatian dan kesungguhan sikap yang ditunjukkan pria itu, benar-benar membuat Cita semakin nyaman dan menumbuhkan rasa cinta yang semakin besar. Arya tidak pernah menutupi apa pun darinya dan mereka selalu membicarakan semua hal agar tidak terjadi kesalahpahaman.“Hamil di negeri orang itu, susahnya kalau lagi ngidam gini.” Cita kembali mengeluh, karena tidak bisa memakan makanan yang diinginkannya. Sebenarnya, Sandra juga bisa membuatkan makanan yang diinginkan Cita, tetapi tetap saja ada sesuatu yang terasa kurang. Di lain sisi, Cita juga tidak enak jika meminta sang mami terus-terusan membuatkan makanan yang diinginkannya.“Kamu sendiri yang minta pindah ke Singapur, loh, ya,” balas Arya yang malam ini memenuhi keinginan sang istri untuk pergi ke salah satu sentra kuliner yang ada di tengah kota. “Kamu nyalahin aku, Mas?” Cita mulai merengut. Menunduk menyantap nasi hainannya. “Nggak.” Arya buru-buru berujar a
“Awan nelpon,” ujar Harry terburu setelah keluar kamar. “Kasih kontraksi.”Sandra berhenti mengupas jeruk dan meletakkannya di meja. “Maju berarti,” ucapnya sembari berdiri lalu mengusap pundak Cita yang duduk di sebelahnya. Mereka memang sudah berencana kembali ke Jakarta minggu depan, tetapi sepertinya harus dimajukan karena perkiraan hari lahir Kasih ternyata di luar prediksi. “Kita balik hari ini?”“Kalau dapat tiket, iya.” Harry mengangguk dan menoleh pada Arya yang baru menutup pintu kamar. Menantunya itu sudah terlihat rapi dan akan bersiap pergi karena ada meeting direksi di pagi hari. “Ar, bisa tolong lihatkan tiket ke Jakarta hari ini? Kasih kontraksi dari subuh tadi.”“Sudah kontraksi?” Arya mengangguk-angguk dan segera mengeluarkan ponsel untuk mencari tiket. Tanpa beranjak ke mana-mana, Arya segera membuka aplikasi pemesanan tiket dan mencari jadwal penerbangan yang ada. “Mau sore atau malam, Pa?”“Sore ada?”“Ada, emm ...” Arya melihat ketersediaan kursi di pesawat. “Bus
“Maaf kalau aku ngerepotin.”Walaupun bahagia tidak terkira, tetapi Cita masih memiliki perasaan tidak enak hati karena Harry dan Sandra tiba-tiba harus terbang ke Singapura. Setelah hasil general check up tidak ada masalah, kedua orang tua Cita segera memesan tiket karena khawatir dengan keadaannya.“Siapa yang bilang kalau kamu ngerepotin.” Sandra mengusap kepala Cita yang berbaring di tempat tidur. Kondisi kehamilan Cita yang kedua ternyata sangat berbeda dengan yang pertama dahulu kala. Putrinya terlihat pucat dan tidak bertenaga.“Kamu nggak pernah ngerepotin,” timpal Harry yang duduk di tengah tempat tidur menemani Cita. “Justru Papa sama mami senang, karena kamu lagi hamil.”“Kak Kasih ... nggak papa?” tanya Cita kembali merasa tidak nyaman. Cita merasa seperti telah merebut Harry dari kakak perempuannya.Kasih memang sudah menelepon Cita dan wanita itu ikut berbahagia atas kehamilannya. Namun, Cita tetap saja memiliki perasaan tidak enak karena telah menjauhkan Harry dari putr
Arya mengernyit dan membuka mata ketika mendengar suara yang tidak biasa. Sambil mengumpulkan kesadarannya, ia melihat pada sisi tempat tidur yang sudah terlihat kosong. Menyadari hal tersebut, Arya bangkit perlahan lalu berjalan menuju kamar mandi.Saat melihat Cita terduduk lemas di samping kloset kamar mandi, di situlah kesadaran Arya kembali sepenuhnya.“Sayang! Kamu kenapa?” Arya bergegas menghampiri Cita dan bejongkok di samping sang istri. Arya menempelkan punggung tangan ke dahi Cita untuk mengecek suhu tubuhnya. “Ayo ke rumah sakit, kamu lemas gini. Habis muntah?” tanya Arya segera menekan tombol flush untuk membersihkan cairan yang baru saja Cita muntahkan. “Kepalaku tambah pusing,” ujar Cita pelan. Merasa tidak memiliki tenaga untuk bangkit. “Perutku mendadak mual pagi-pagi.”“Kamu nggak telat makan, kan?” Arya mengingat-ingat, selama menghabiskan akhir minggu kemarin mereka sama sekali tidak telat makan. Bahkan, mereka berdua justru lebih banyak menyantap makanan dari bia
“Nikahan mbak Chandi dulu, nggak kayak gini.” Arya cukup takjub dengan semua dekorasi mewah yang ada di pernikahan Duta dan adiknya. “Kamu ... nggak iri, kan?”Arya khawatir jika sang istri memiliki rasa cemburu yang terpendam, karena pernikahan mereka tidak semewah dan semegah resepsi Duta dan Leoni. Setelah melakukan banyak pembicaraan dengan Sandra, Arya baru menyadari istrinya itu kerap memendam semua sakitnya sendiri. Cita enggan berbagi, karena tidak ingin menyusahkan dan merepotkan orang lain.“Mas, resepsi begini ini capeeek banget,” ungkap Cita mengingatkan Arya akan alasannya meminta intimate wedding kala itu. “Aku sudah pernah sekali sama Pandu, kan? Jadi, aku nggak mau lagi. Enakan kayak kita kemarin. Singkat, padat, dan nggak terlalu capek.”“Kalau—”“Titip Kasih bentar,” sela Awan sambil menarik kursi kosong di samping Cita. Kursi tersebut memang sengaja Cita kosongkan untuk Kasih yang mengabarkan akan terlambat datang. “Aku mau ambilin makan.”“Oh!” Saat melihat Awan, A