Duta menahan napas, ketika baru saja membuka pintu. Belum sempat ia membuka mulut, tubuhnya langsung bergeser paksa karena Rinai masuk sambil menabrak sisi tubuhnya. Jadi, orang yang menekan belnya tanpa henti, adalah sepupunya sendiri.“Mas! Kenapa kamu nggak pernah ngomong kalau si Cita itu tetanggamu?” oceh Rinai kemudian bersedekap di tengah ruang tamu, tanpa duduk di salah satu kursi. “Jadi, yang beli rumah di depan itu orang tuanya?”“Ngontrak, bukan beli,” ralat Duta dengan nada malas. Ia berbalik dan ikut bersedekap tanpa menutup pintu rumahnya. Kedatangan Rinai ke rumah Duta, pasti karena Arya. Namun, jika sepupunya itu sudah mengetahui Cita tinggal di depan rumah Duta, itu artinya Rinai sudah bertemu dengan gadis itu.Rinai berdecih. “Masih ngontrak? Tapi ... mobil yang parkir di rumahnya itu sama dengan mobilnya Satria ... harganya berkali-kali lipat dari harga rumah di kompleks ini.”“Nai, nggak usah ngurusin hidup orang lain.”“Siapa yang ngurusin hidup orang lain?” Rin
“Arya ngajak nikah, Mi ...” Cita mondar mandir di rooftop, dengan earbuds yang menempel di telinga. Sebelum mengadakan rapat kecil dengan timnya, Cita menyempatkan diri menghubungi Sandra terlebih dahulu.Cita memang tidak bisa menceritakan secara detail, karena Sandra belum tahu masalahnya dengan Rinai. Cita juga tidak mungkin menceritakan hal tersebut melalui telepon.“Kok, mendadak?” tanya Sandra di seberang sana. “Terus, kamu ngasih jawaban apa?”“Aku masih butuh waktu,” jawab Cita masih saja mondar mandir. Ia juga tidak bisa memberi jawaban pada Arya, ketika pria itu mengajaknya menikah dan pindah ke Surabaya. Bagaimana Cita bisa memberi jawaban, jika ia saja tidak yakin dengan banyak hal.Bagi wanita normal, dilamar oleh pria yang dicintai adalah hal yang paling membahagiakan. Namun, tidak bagi Cita yang masih berkutat dengan luka di masa lalu.“Kalau memang kamu belum siap, ya, tinggal bilang ke Arya.”“Aku sudah bilang itu, Mamiii.” Cita geregetan dengan dirinya sendiri. “Tapi
“Mas! Kamu serius mau nikah sama Cita?”Duta yang baru duduk selama lima menit bersama Arya di ruangan, langsung terantuk mendengar pertanyaan Rinai. Sepupunya itu, ternyata tidak juga mendengarkan nasihat Duta.“Nai—”“Kenapa mau nikah sama Cita?” Rinai menghampiri Arya. Menarik satu kursi beroda yang kosong, lalu berhenti di samping pria itu. Setelah duduk, Rinai menunggu Arya memberi jawaban padanya. “Eh, bentar-bentar! Emang beneran kamu pernah nikah sama dia, tapi sudah cerai? Terummp—”Duta mencapit bibir Rinai dengan cepat. “Sudah kubilang, jangan suka ngurusin urusan orang lain. Mau Arya pernah nikah, kek. Terus mau nikah lagi dengan Cita, kek. Itu bukan urusanmu.”Rinai menyingkirkan tangan Duta, lalu memukul pria itu berkali-kali.“Nai, Nai! Sakit, Nai!” seru Duta sembari menghalau tangan sepupunya.“Biarin!” Rinai kembali beralih pada Arya yang hanya memberi kekehan. “Mas, gimana tadi? Emang bener kamu pernah nikah sama Cita?”“Bener.” Arya mengangguk dan kembali melihat lay
“Aku nggak ngerti, kenapa acaranya mendadak jadi formal kayak gini?”Cita menatap aneka contoh dekorasi private room, yang diperlihatkan Sandra pada ponselnya. Yang mengejutkan, private room tersebut ternyata ada di restoran Duta. Itu berarti, Sandra telah bicara dengan Duta dan menyewa sebuah ruangan khusus untuk pertemuan dua keluarga sabtu malam nanti.“Itu karena ... Arya bilang, dia mau menjalani proses seperti orang-orang,” terang Sandra mengutip kalimat Arya. “Dan ternyata, isi kepalanya sama dengan omongan Mami waktu itu, kan?”Cita mengembalikan ponsel Sandra pada wanita itu, lalu menjatuhkan diri ke pangkuan sang mami. Cita menjadikan paha Sandra yang bersandar di headboard tempat tidurnya, sebagai bantal.Beberapa waktu lalu, Cita baru pulang dari Yogyakarta. Seperti biasa, tanpa lelah Sandra masih membuatkan susu dan menemani Cita untuk bercerita.“Kenapa Mami sama papa setuju aku balik lagi sama Arya?” tanya Cita. Tubuhnya memang merasa lelah, tetapi matanya tidak kunjung
“Habis riwayatmu.” Cita terkekeh saat mengingat ucapan Lee. Ia berjalan pelan menuruni tangga dengan Arya dan meninggalkan orang tua mereka yang masih ngobrol di dalam ruang.“Olok aja terus.” Arya meraih tangan kiri Cita, lalu melihat jari manis gadis itu. “Yang penting, cincinnya sudah nempel di sini, nih!”Cita menahan senyum bahagianya. Sebuah cincin emas dengan desain sederhana, yang bertahtakan berlian di tengah, sudah melingkar begitu manis di jarinya. Kendati begitu, Cita belum bisa menyingkirkan rasa was-was yang sudah bersarang di lubuk hati.Cita bisa percaya dengan semua ucapan Lee dan Gemi yang terdengar manis dan begitu menjanjikan. Namun, bagaimana dengan Arya?Bisakah, Cita menaruh kepercayaan pada pria itu seutuhnya?“Tapi, kenapa aku masih belum bisa yakin kalau—”“Kamu masih konseling, kan?” Arya memotong cepat, karena tidak mau lagi mendengar ucapan pesimis dari Cita.“Masih.”“Yang rajin konselingnya.” Arya merangkul Cita, ketika mereka sudah berada di lantai satu
“Hi, Kak,” sapa Cita sudah berdiri di samping Duta, sambil melipat kedua tangannya di atas meja bar.“Hei!” Duta berseru, karena terkejut dengan kemunculan Cita. Ia sudah tahu gadis itu akan datang ke restorannya, tetapi Duta tidak tahu pasti mengenai waktunya. “Hampir aja kena sikut, kan.”Cita terkekeh dan sedikit menjauh dari Duta yang duduk di stool bar. “Arya belum selesai, ya?”“Masih di kitchen,” Duta menunjuk dinding yang berseberangan dengan meja bar. “Masuk aja. Mereka masih pemotretan. Bentar lagi juga selesai.”“Oh ...”Sulit sekali rasanya untuk tersenyum. Mengingat, pagi ini Arya melakukan pemotretan dengan Rinai, yang tidak tahu malu itu.“Hei.” Duta segera merentangkan satu tangannya, sebelum Cita pergi menuju dapur. “Aku tahu masalahmu sama Rinai. Dan aku cuma mau bilang, anak itu memang harus ditegasin kalau mulai kurang ajar. Dia itu, cuma terlalu di manja sama pak Restu, jadinya begitu.”Akhirnya, Cita bisa menyematkan senyum dengan kekehan kecil. Sepertinya, Cita
“Kenapa harus nunggu sampai satu tahun lagi?” Geeta mempertanyakan perihal waktu pernikahan Arya dan Cita, yang menurutnya cukup lama.“Biarlah, Bun,” ujar Aries yang duduk bersebelahan dengan sang istri dan berseberangan dengan Arya. “Mereka masih harus belajar menyesuaikan diri. Asal, jangan keluar dari jalur,” pesan Aries tegas. “Ngerti, Ar?”Mengingat bagaimana masa mudanya bersama Gemi dahulu kala, Aries tidak menginginkan hal seperti itu terjadi pada kedua anaknya. Terutama dengan Rashi. Aries benar-benar menjaga putri satu-satunya itu, agar tidak salah jalan. Ia harus tahu benar, dengan siapa saja Rashi berhubungan dan bagaimana latar belakang teman-temannya.Untuk perihal Arya, Aries menyerahkan sepenuhnya pada Gemi dan Lee. Ia tidak ingin ada lagi pergesekan, agar mereka bisa hidup tenang dan damai seperti sekarang. Meskipun, hubungan mereka harus renggang karena semua rahasia telah terungkap, tetapi semua itu justru membuat kelegaan bagi semua orang.“Ngerti, Yah,” angguk Ar
“Kenapa dia masih ada di Antariksa?”Duta mematung. Mengurungkan niatnya mendorong pintu ruang kerja Restu yang sedikit terbuka, setelah mendengar suara Rinai. Kendati bisa menebak “dia” yang dimaksud Rinai, tetapi Duta tetap tidak mengerti dengan maksud perkataan sepupunya itu.Karenanya, Duta tetap berdiri di tempat dan ingin mendengar semua percakapan ayah dan anak itu.“Karena perempuan itu, titipan Dewa,” jawab Restu. “Karena dia karyawan titipan langsung dari owner, jadi nggak ada yang berani mecat dia.”“Titipan? Si Cita itu titipan pak Dewa? Kok, bisa?”“Nai—”“Oh, bentar, Pa, bentar,” sela Rinai. “Jangan-jangan, Cita itu selingkuhannya pak Dewa. Dia, kan, tiap hari diantar sama mobil mewah. Atau, saudaranya pasti sopir yang kerja di keluarga Lee, jadi—”“Sayang, sudah,” pinta Restu menghentikan ucapan Rinai. “Papa nggak mau berurusan dengan keluarga Lee. Mereka punya banyak preman di belakang dan itu nggak main-main. Papa sudah bilang dari dulu, kan, jangan pernah dekat dan c
Cita memicing saat menatap batita yang sibuk memindahkan mainan dari kamarnya ke kamar Harry. Bocah berusia dua tahun itu mondar mandir dan membiarkan beberapa mainan kecilnya berjatuhan, tanpa memungutnya kembali.Gusti melakukan itu semua untuk menyelundupkan mainannya di koper Harry atau Sandra, karena Cita hanya mengizinkan putranya membawa dua buah mainan saja ke Jakarta.“Gus—”“Sudah, biarin,” sela Arya setelah memastikan kelengkapan berkas yang akan dibawanya ke Jakarta. “Biarkan dia sibuk dengan mainannya. Daripada nanti di Jakarta dia rewel, karena mainannya ditinggal seperti waktu itu. Lagian kita lumayan lama di Jakarta sama Surabaya, jadi sudahlah.”Napas Cita terbuang pelan sembari mengusap perut buncitnya. Saat ini, ia tengah mengandung anak kedua dengan kondisi kehamilan yang benar-benar sehat. Tidak ada keluhan apa pun, seperti ketika mengandung Gusti dahulu kala. Untuk itulah, Arya tidak ragu mengajak Cita terbang ke Jakarta, sekaligus berkunjung ke Surabaya dalam wak
“Itu tadi ... Mas Nando kapan datangnya?”“Ha?” Setengah mengantuk, Arya membuka mata. Ia melihat Cita meletakkan Gusti di boks bayi yang berada tepat di samping tempat tidur. Satu sisinya terbuka, sehingga memudahkan Cita untuk meng-ASI-hi jika bayi tampan itu terbangun sewaktu-waktu. “Akhirnya dia tidur juga.”“Hem, digendong Mami baru dia tidur.” Tanpa mematikan lampu kamar, Cita merebahkan tubuh yang penat karena hampir seharian menemui tamu tanpa henti. Ia memang sempat beristirahat, tetapi tetap saja terasa sungkan berlama-lama jika ada keluarga jauh yang datang berkunjung. “Anaknya Kak Kasih malah tidur sama papa. Padahal jarang ketemu, tapi mau-mau aja.”“Enak banget mereka.” Arya merapatkan diri, lalu memeluk erat tubuh sang istri. “Ke sini malah bulan madu.”Cita menepuk lengan Arya karena pertanyaannya belum juga terjawab. “Itu tadi, Mas Nando kapan datangnya? Terus, siapa yang ngasih tahu dia kalau kita lagi ada acara keluarga?”Arya menarik napas panjang. “Mantan penggemar
“Senang tinggal di sini?” tanya Kasih sambil terus menyantap es krimnya sedikit demi sedikit. Setelah membeli es krim di sebuah kafe yang berada tepat di samping gedung apartemen, mereka duduk santai lebih dulu menikmati waktu senggang dengan damai.“Senang.” Cita mengangguk sambil menoleh pada Kasih yang duduk di sampingnya.“Bahagia?”“Bahagia,” jawab Cita tanpa ragu, karena memang seperti itulah kenyataannya. Ia bahagia bisa bersama suami dan kedua orang tuanya, lalu ditambah dengan bayi mungil yang semakin melengkapi kehidupan Cita saat ini.“Syukurlah.” Kasih menghela panjang. Kendati ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya karena kepindahan Harry, tetapi Kasih sudah mengikhlaskan itu semua demi kebahagiaan keluarga mereka.Lagipula, Kasih juga menyadari bagaimana kerasnya kehidupan yang dilalui Cita sejak kecil. Karena itulah, Kasih tidak mencegah kepergian Harry ke Singapura agar bisa bersama Cita. Biarlah Harry menebus semua hal yang tidak pernah dilakukannya di sisa usianya, a
“Siapa lagi yang mau ditelpon?”Cita menggeleng pelan melihat sikap Arya yang berubah 180 derajat. Hampir semalaman tidak tidur, ditambah dengan ketegangan yang mereka hadapi di siang harinya di ruang bersalin, ternyata tidak membuat tenaga Arya terkuras. Suaminya itu benar-benar tampak bersemangat menghubungi semua keluarganya, untuk mengabarkan perihal kelahiran putra pertamanya.Dari sini pula, Cita semakin menyadari bahwa sifat dasar Arya yang periang, agak konyol, dan terlalu baik memang tidak bisa diubah. Setiap kali Arya menelepon keluarganya, mereka selalu menghabiskan waktu yang cukup lama untuk berbicara dengan banyak gurauan yang seakan tidak pernah ada habisnya.“Sudah semua sepertinya.” Arya terkekeh kemudian beranjak menghampiri bayi mungilnya yang tengah tertidur lelap di boks bayi.Setelah melihat perjuangan Cita yang luar biasa di ruang persalinan, membuatnya merasa belum siap menambah anak dalam waktu dekat. Mereka memang pernah berencana untuk memiliki tiga atau emp
Pelan dan pasti, Cita mulai menaruh rasa percayanya pada Arya. Setiap perhatian dan kesungguhan sikap yang ditunjukkan pria itu, benar-benar membuat Cita semakin nyaman dan menumbuhkan rasa cinta yang semakin besar. Arya tidak pernah menutupi apa pun darinya dan mereka selalu membicarakan semua hal agar tidak terjadi kesalahpahaman.“Hamil di negeri orang itu, susahnya kalau lagi ngidam gini.” Cita kembali mengeluh, karena tidak bisa memakan makanan yang diinginkannya. Sebenarnya, Sandra juga bisa membuatkan makanan yang diinginkan Cita, tetapi tetap saja ada sesuatu yang terasa kurang. Di lain sisi, Cita juga tidak enak jika meminta sang mami terus-terusan membuatkan makanan yang diinginkannya.“Kamu sendiri yang minta pindah ke Singapur, loh, ya,” balas Arya yang malam ini memenuhi keinginan sang istri untuk pergi ke salah satu sentra kuliner yang ada di tengah kota. “Kamu nyalahin aku, Mas?” Cita mulai merengut. Menunduk menyantap nasi hainannya. “Nggak.” Arya buru-buru berujar a
“Awan nelpon,” ujar Harry terburu setelah keluar kamar. “Kasih kontraksi.”Sandra berhenti mengupas jeruk dan meletakkannya di meja. “Maju berarti,” ucapnya sembari berdiri lalu mengusap pundak Cita yang duduk di sebelahnya. Mereka memang sudah berencana kembali ke Jakarta minggu depan, tetapi sepertinya harus dimajukan karena perkiraan hari lahir Kasih ternyata di luar prediksi. “Kita balik hari ini?”“Kalau dapat tiket, iya.” Harry mengangguk dan menoleh pada Arya yang baru menutup pintu kamar. Menantunya itu sudah terlihat rapi dan akan bersiap pergi karena ada meeting direksi di pagi hari. “Ar, bisa tolong lihatkan tiket ke Jakarta hari ini? Kasih kontraksi dari subuh tadi.”“Sudah kontraksi?” Arya mengangguk-angguk dan segera mengeluarkan ponsel untuk mencari tiket. Tanpa beranjak ke mana-mana, Arya segera membuka aplikasi pemesanan tiket dan mencari jadwal penerbangan yang ada. “Mau sore atau malam, Pa?”“Sore ada?”“Ada, emm ...” Arya melihat ketersediaan kursi di pesawat. “Bus
“Maaf kalau aku ngerepotin.”Walaupun bahagia tidak terkira, tetapi Cita masih memiliki perasaan tidak enak hati karena Harry dan Sandra tiba-tiba harus terbang ke Singapura. Setelah hasil general check up tidak ada masalah, kedua orang tua Cita segera memesan tiket karena khawatir dengan keadaannya.“Siapa yang bilang kalau kamu ngerepotin.” Sandra mengusap kepala Cita yang berbaring di tempat tidur. Kondisi kehamilan Cita yang kedua ternyata sangat berbeda dengan yang pertama dahulu kala. Putrinya terlihat pucat dan tidak bertenaga.“Kamu nggak pernah ngerepotin,” timpal Harry yang duduk di tengah tempat tidur menemani Cita. “Justru Papa sama mami senang, karena kamu lagi hamil.”“Kak Kasih ... nggak papa?” tanya Cita kembali merasa tidak nyaman. Cita merasa seperti telah merebut Harry dari kakak perempuannya.Kasih memang sudah menelepon Cita dan wanita itu ikut berbahagia atas kehamilannya. Namun, Cita tetap saja memiliki perasaan tidak enak karena telah menjauhkan Harry dari putr
Arya mengernyit dan membuka mata ketika mendengar suara yang tidak biasa. Sambil mengumpulkan kesadarannya, ia melihat pada sisi tempat tidur yang sudah terlihat kosong. Menyadari hal tersebut, Arya bangkit perlahan lalu berjalan menuju kamar mandi.Saat melihat Cita terduduk lemas di samping kloset kamar mandi, di situlah kesadaran Arya kembali sepenuhnya.“Sayang! Kamu kenapa?” Arya bergegas menghampiri Cita dan bejongkok di samping sang istri. Arya menempelkan punggung tangan ke dahi Cita untuk mengecek suhu tubuhnya. “Ayo ke rumah sakit, kamu lemas gini. Habis muntah?” tanya Arya segera menekan tombol flush untuk membersihkan cairan yang baru saja Cita muntahkan. “Kepalaku tambah pusing,” ujar Cita pelan. Merasa tidak memiliki tenaga untuk bangkit. “Perutku mendadak mual pagi-pagi.”“Kamu nggak telat makan, kan?” Arya mengingat-ingat, selama menghabiskan akhir minggu kemarin mereka sama sekali tidak telat makan. Bahkan, mereka berdua justru lebih banyak menyantap makanan dari bia
“Nikahan mbak Chandi dulu, nggak kayak gini.” Arya cukup takjub dengan semua dekorasi mewah yang ada di pernikahan Duta dan adiknya. “Kamu ... nggak iri, kan?”Arya khawatir jika sang istri memiliki rasa cemburu yang terpendam, karena pernikahan mereka tidak semewah dan semegah resepsi Duta dan Leoni. Setelah melakukan banyak pembicaraan dengan Sandra, Arya baru menyadari istrinya itu kerap memendam semua sakitnya sendiri. Cita enggan berbagi, karena tidak ingin menyusahkan dan merepotkan orang lain.“Mas, resepsi begini ini capeeek banget,” ungkap Cita mengingatkan Arya akan alasannya meminta intimate wedding kala itu. “Aku sudah pernah sekali sama Pandu, kan? Jadi, aku nggak mau lagi. Enakan kayak kita kemarin. Singkat, padat, dan nggak terlalu capek.”“Kalau—”“Titip Kasih bentar,” sela Awan sambil menarik kursi kosong di samping Cita. Kursi tersebut memang sengaja Cita kosongkan untuk Kasih yang mengabarkan akan terlambat datang. “Aku mau ambilin makan.”“Oh!” Saat melihat Awan, A