“Kak Duta di mana?” tanya Cita sembari mendongak, menatap gedung Antasena yang menjulang tinggi di hadapan. Setelah usai mengikuti rapat redaksi dan sebelum pergi liputan, ia menyempatkan diri menelepon Duta guna menyampaikan sesuatu.“Di jalan, Cit,” jawab Duta. “Otewe Ambasador. Kenapa?”Cita menghela panjang, lalu berbalik. Kembali melangkah menuju Antariksa dan segera pergi menuju warehouse.“Pak Restu nelpon pemredku, Kak,” terang Cita kemudian menyampaikan obrolannya dengan Hanan pagi tadi pada Duta.Bagi Cita, Duta termasuk pria yang cukup bijak dan sangat baik. Karena itulah, Cita tidak ragu menceritakan permasalahan yang dihadapinya. Terlebih lagi, Restu masih ada hubungan keluarga dengan pria itu.“Kalau gitu, aku ke Antasena sekarang,” ujar Duta mengambil keputusan dengan cepat. “Kamu di mana?”“Aku di Antariksa, tapi ini mau pergi liputan,” jawab Cita lalu duduk pada kursi kayu panjang di depan warehouse. “Barusan juga sempat nelpon resepsionis Antasena, Kak, tapi pak Restu
“Aku, jadi pindah ke Surabaya.” Cita mengutarakan keinginannya saat berada di meja makan.Setelah melihat foto rumah yang dikirimkan Arya dan memikirkan beberapa hal semalaman, Cita akhirnya mengambil satu keputusan. Ada hal yang memang harus dihadapi dan ada masalah yang memang harus diabaikan, seperti pertikaiannya dengan Rinai.“Mas Arya sudah dapat rumah, terus ... aku juga bisa langsung kerja di Metro Surabaya,” tambah Cita lalu menerima sepiring nasi goreng dari Sandra yang baru menghampiri meja makan.“Antara setuju dan nggak setuju,” ujar Sandra sambil mengitari meja makan, lalu duduk di samping Harry yang sedang menyantap sarapannya lebih dulu. “Mami setuju, karena dengan begitu kalian nggak LDR-an lagi. Tapi Mami nggak setuju, karena kalian belum resmi nikah tapi sudah ada rumah sendiri. Ngerti maksud Mami, Cita?”“Mami nggak percaya sama Cita?” tanya Harry menoleh pelan pada Sandra. “Mereka berdua sudah dewasa—"“Justru karena mereka sudah dewasa,” potong Sandra tidak jadi
“Sarapan, Ar!”Arya yang baru keluar kamar, lantas berbelok mengikuti Duta yang melewatinya. Mereka menuju dapur, dengan posisi Arya tetap berada di belakang Duta yang sudah terlihat rapi.“Mau pergi, Mas?” tanya Arya lalu menggaruk kepala ketika Duta membuka tudung saji di meja makan. Melihat menu sarapan yang tersaji di meja, cukup membuat Arya bengong untuk sesaat. Meskipun menu tersebut tidak akan cocok dengan lidahnya, tetapi Arya akan tetap menghormati pria yang sudah sering menolongnya.“Iya.” Duta segera duduk dan mengambil sarapan yang memang sudah disiapkannya lebih dulu sebelum mandi. “Disuruh ke rumah bunda. Makanya, pagi ini kita sarapan yang simple aja.”“Besok-besok, nggak usah bikinin aku sarapan, Mas.” Arya belum duduk, karena masih ada hal yang harus dilakukannya lebih dulu. Namun, ia mengambil satu buah pancake dari piring lain dan langsung menyantapnya begitu saja, tanpa menuang madu yang sudah disiapkan di meja. “Aku nggak enak ngerepotin terus.Duta menggeleng. “
“Segini aja apa, ya?” Cita berdecak setelah menghela panjang, karena jumlah daftar nama yang diketik menurutnya tidak sedikit.Setelah memberikan jawaban terkait masalah pernikahan kepada Arya beberapa waktu lalu, Cita kemudian sibuk mempersiapkan beberapa hal. Meskipun masih diselimuti keraguan, tetapi Cita tidak menolak ketika tanggal pernikahan sudah ditetapkan kedua keluarga. Ia setuju-setuju saja dan berharap ini akan menjadi pernikahan terakhir baginya.Melihat bagaimana perjuangan Arya selama ini, Cita akhirnya berani memutuskan untuk menikah segera dengan pria itu.“Coba lihat,” pinta Arya mengambil alih laptop di hadapan Cita. “Keluarga pak Pras, om Lex, pak Dewa ... ini bahkan nggak nyampe 50 orang. Yakin nggak ada lagi?”“Justru kalau bisa kurang dari itu. Tapi ... aku nggak enak kalau nggak ngundang orang-orang “penting” itu.” Cita mengerucutkan bibirnya ke arah laptop. “Pak Pras sekeluarga itu sudah paling utama, om Lex sama tante Elok juga. Terus, aku pasti nggak enak ka
“Sayang! Sakit, sakit!” seru Arya hanya bisa meringis ketika Cita memukulnya. Baru saja ia masuk ke dalam mobil, tetapi langsung disambut dengan amarah oleh Cita.“Makanya! Hih!” Cita geram sendiri dengan Arya. Bagaimana tidak, jika Sandra terus membeo sepanjang jalan, karena wanita itu memergoki Arya mencium pipi Cita beberapa waktu lalu. “Kalau mau ngapa-ngapain itu lihat situasi dulu!”“Aku cuma—”“Apanya yang cuma!” Cita menarik sabuk pengaman sambil melihat Sandra dan Harry yang baru masuk ke dalam kediaman Lukito. Rumah masa kecil Cita, yang penuh dengan kesedihan, tanpa kebahagiaan sedikit pun. Karena itulah, Cita tidak ingin lagi tinggal di rumah yang penuh dengan kenangan buruk itu. “Kamu itu sudah kegep mami tadi, Mas! Tambah panjang, kan, omelannya Mami. Sampe nggak berhenti ngoceh sepanjang jalan.”“Khilaf, Sayang.” Lebih baik segera menjalan mobil dan mengganti topik pembicaraan, agar calon istrinya itu tidak melanjutkan omelan Sandra. “Jadi, kita mau ke mana dulu?”“Pake
Cita tersenyum kecil, ketika membaca sebuah pesan dari Mai. Wanita itu mengabarkan, ganti rugi dari keluarga Atmawijaya tahap kedua sudah ditransfer ke rekeningnya. Cita sengaja tidak datang ke bank, karena sudah tidak mau lagi bertemu dengan orang-orang dari keluarga Atmawijaya. Karena itulah, ia memberi kuasa sepenuhnya pada Mai, untuk mengurus hal tersebut.“Kenapa Papa setuju dengan rencana kak Kasih?” Cita memasukkan ponselnya ke tas ransel, sembari menghampiri Harry yang duduk santai di ruang keluarga. Pria itu sedang menonton berita sore, yang disiarkan oleh seorang presenter cantik. “Kenapa harus mas Arya yang handle Sagara Citra? Bukannya di sana masih ada orang yang kompeten? Tapi, kenapa harus mas Arya?”“Memang ada yang sangat kompeten, tapi semua orang di sana posisinya nggak akan bisa sebanding dengan pak Pras.”“Memang mas Arya sebanding?” tanyanya lalu duduk di samping Harry.Jika diingat lagi, Arya justru merasa “takut” jika berhadapan dengan Pras. Karena itu, Cita be
“Baru mau pulang?” Cita tersenyum ramah pada Rashi, ketika melihat gadis itu berada di lift yang akan ia masuki. Sebelum beranjak dari kubikelnya, Cita sempat melihat jam dinding di ruang redaksi yang menunjukkan pukul tujuh malam. “Lembur?”“Dikit.” Rashi mengangguk lelah.Sejak pembicaraan singkatnya dengan Cita tempo hari, hubungan mereka sudah jauh lebih baik. Meskipun, keduanya sama-sama belum memiliki waktu kosong, untuk sekadar pergi makan berdua pada jam kantor. Jadwal mereka selalu saja bentrok, sehingga belum bisa melakukan sesuatu yang pernah mereka rencanakan.“Oia, kamu besok sudah nggak kerja, ya?” lanjut Rashi setelah mengingat isi surat pengunduran diri Cita minggu lalu. “Persiapan buat nikah.”“Iya,” jawab Cita setelah masuk ke dalam lift dan berdiri di samping Rashi. “Tapi persiapannya nggak ribet, karena aku nggak ngundang orang banyak. Nggak nyampe 50 sepertinya. Itu kalau nggak ditambahin lagi sama papa atau mami.”“Sekali lagi selamat, ya,” ucap Rashi tulus dan s
“Kamu datang ke sini mau pamer?” Nando berdecih. Menarik kasar kursi yang berseberangan dengan Arya, lalu menjatuhkan tubuhnya di sana. “Kamu menang, Ar. Me-nang.”Arya menggaruk kepala. Tidak menduga, jika reaksi Nando akan seperti ini.“Mas—”“Waktuku nggak banyak,” sela Nando sambil menggeleng dan mengangkat telapak tangannya, pada pelayan yang sigap menghampirinya. Meskipun kedatangan Arya tepat di jam makan siang, tetapi Nando tidak tertarik makan satu meja dengan pria itu. “Cepat bicara.”“Kenapa kamu emosi, Mas?” tanya Arya bingung. “Bukan salahku kalau Cita lebih memilih balik sama aku, daripada sama kamu.”“Jangan sombong.”“Aku ke sini datang baik-baik,” balas Arya berusaha bersabar. “Aku mau ngajak kamu makan siang dan bicara.”“Nggak ada yang perlu kita bicarakan.”“Mas, jangan seperti anak kecil.”Nando menarik napas panjang. Arya mungkin benar, sikap Nando kali ini agak kekanakan. “Bicaralah, tapi aku nggak akan makan siang denganmu.”“Aku ada janji sama pak Pras jam satu
Cita memicing saat menatap batita yang sibuk memindahkan mainan dari kamarnya ke kamar Harry. Bocah berusia dua tahun itu mondar mandir dan membiarkan beberapa mainan kecilnya berjatuhan, tanpa memungutnya kembali.Gusti melakukan itu semua untuk menyelundupkan mainannya di koper Harry atau Sandra, karena Cita hanya mengizinkan putranya membawa dua buah mainan saja ke Jakarta.“Gus—”“Sudah, biarin,” sela Arya setelah memastikan kelengkapan berkas yang akan dibawanya ke Jakarta. “Biarkan dia sibuk dengan mainannya. Daripada nanti di Jakarta dia rewel, karena mainannya ditinggal seperti waktu itu. Lagian kita lumayan lama di Jakarta sama Surabaya, jadi sudahlah.”Napas Cita terbuang pelan sembari mengusap perut buncitnya. Saat ini, ia tengah mengandung anak kedua dengan kondisi kehamilan yang benar-benar sehat. Tidak ada keluhan apa pun, seperti ketika mengandung Gusti dahulu kala. Untuk itulah, Arya tidak ragu mengajak Cita terbang ke Jakarta, sekaligus berkunjung ke Surabaya dalam wak
“Itu tadi ... Mas Nando kapan datangnya?”“Ha?” Setengah mengantuk, Arya membuka mata. Ia melihat Cita meletakkan Gusti di boks bayi yang berada tepat di samping tempat tidur. Satu sisinya terbuka, sehingga memudahkan Cita untuk meng-ASI-hi jika bayi tampan itu terbangun sewaktu-waktu. “Akhirnya dia tidur juga.”“Hem, digendong Mami baru dia tidur.” Tanpa mematikan lampu kamar, Cita merebahkan tubuh yang penat karena hampir seharian menemui tamu tanpa henti. Ia memang sempat beristirahat, tetapi tetap saja terasa sungkan berlama-lama jika ada keluarga jauh yang datang berkunjung. “Anaknya Kak Kasih malah tidur sama papa. Padahal jarang ketemu, tapi mau-mau aja.”“Enak banget mereka.” Arya merapatkan diri, lalu memeluk erat tubuh sang istri. “Ke sini malah bulan madu.”Cita menepuk lengan Arya karena pertanyaannya belum juga terjawab. “Itu tadi, Mas Nando kapan datangnya? Terus, siapa yang ngasih tahu dia kalau kita lagi ada acara keluarga?”Arya menarik napas panjang. “Mantan penggemar
“Senang tinggal di sini?” tanya Kasih sambil terus menyantap es krimnya sedikit demi sedikit. Setelah membeli es krim di sebuah kafe yang berada tepat di samping gedung apartemen, mereka duduk santai lebih dulu menikmati waktu senggang dengan damai.“Senang.” Cita mengangguk sambil menoleh pada Kasih yang duduk di sampingnya.“Bahagia?”“Bahagia,” jawab Cita tanpa ragu, karena memang seperti itulah kenyataannya. Ia bahagia bisa bersama suami dan kedua orang tuanya, lalu ditambah dengan bayi mungil yang semakin melengkapi kehidupan Cita saat ini.“Syukurlah.” Kasih menghela panjang. Kendati ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya karena kepindahan Harry, tetapi Kasih sudah mengikhlaskan itu semua demi kebahagiaan keluarga mereka.Lagipula, Kasih juga menyadari bagaimana kerasnya kehidupan yang dilalui Cita sejak kecil. Karena itulah, Kasih tidak mencegah kepergian Harry ke Singapura agar bisa bersama Cita. Biarlah Harry menebus semua hal yang tidak pernah dilakukannya di sisa usianya, a
“Siapa lagi yang mau ditelpon?”Cita menggeleng pelan melihat sikap Arya yang berubah 180 derajat. Hampir semalaman tidak tidur, ditambah dengan ketegangan yang mereka hadapi di siang harinya di ruang bersalin, ternyata tidak membuat tenaga Arya terkuras. Suaminya itu benar-benar tampak bersemangat menghubungi semua keluarganya, untuk mengabarkan perihal kelahiran putra pertamanya.Dari sini pula, Cita semakin menyadari bahwa sifat dasar Arya yang periang, agak konyol, dan terlalu baik memang tidak bisa diubah. Setiap kali Arya menelepon keluarganya, mereka selalu menghabiskan waktu yang cukup lama untuk berbicara dengan banyak gurauan yang seakan tidak pernah ada habisnya.“Sudah semua sepertinya.” Arya terkekeh kemudian beranjak menghampiri bayi mungilnya yang tengah tertidur lelap di boks bayi.Setelah melihat perjuangan Cita yang luar biasa di ruang persalinan, membuatnya merasa belum siap menambah anak dalam waktu dekat. Mereka memang pernah berencana untuk memiliki tiga atau emp
Pelan dan pasti, Cita mulai menaruh rasa percayanya pada Arya. Setiap perhatian dan kesungguhan sikap yang ditunjukkan pria itu, benar-benar membuat Cita semakin nyaman dan menumbuhkan rasa cinta yang semakin besar. Arya tidak pernah menutupi apa pun darinya dan mereka selalu membicarakan semua hal agar tidak terjadi kesalahpahaman.“Hamil di negeri orang itu, susahnya kalau lagi ngidam gini.” Cita kembali mengeluh, karena tidak bisa memakan makanan yang diinginkannya. Sebenarnya, Sandra juga bisa membuatkan makanan yang diinginkan Cita, tetapi tetap saja ada sesuatu yang terasa kurang. Di lain sisi, Cita juga tidak enak jika meminta sang mami terus-terusan membuatkan makanan yang diinginkannya.“Kamu sendiri yang minta pindah ke Singapur, loh, ya,” balas Arya yang malam ini memenuhi keinginan sang istri untuk pergi ke salah satu sentra kuliner yang ada di tengah kota. “Kamu nyalahin aku, Mas?” Cita mulai merengut. Menunduk menyantap nasi hainannya. “Nggak.” Arya buru-buru berujar a
“Awan nelpon,” ujar Harry terburu setelah keluar kamar. “Kasih kontraksi.”Sandra berhenti mengupas jeruk dan meletakkannya di meja. “Maju berarti,” ucapnya sembari berdiri lalu mengusap pundak Cita yang duduk di sebelahnya. Mereka memang sudah berencana kembali ke Jakarta minggu depan, tetapi sepertinya harus dimajukan karena perkiraan hari lahir Kasih ternyata di luar prediksi. “Kita balik hari ini?”“Kalau dapat tiket, iya.” Harry mengangguk dan menoleh pada Arya yang baru menutup pintu kamar. Menantunya itu sudah terlihat rapi dan akan bersiap pergi karena ada meeting direksi di pagi hari. “Ar, bisa tolong lihatkan tiket ke Jakarta hari ini? Kasih kontraksi dari subuh tadi.”“Sudah kontraksi?” Arya mengangguk-angguk dan segera mengeluarkan ponsel untuk mencari tiket. Tanpa beranjak ke mana-mana, Arya segera membuka aplikasi pemesanan tiket dan mencari jadwal penerbangan yang ada. “Mau sore atau malam, Pa?”“Sore ada?”“Ada, emm ...” Arya melihat ketersediaan kursi di pesawat. “Bus
“Maaf kalau aku ngerepotin.”Walaupun bahagia tidak terkira, tetapi Cita masih memiliki perasaan tidak enak hati karena Harry dan Sandra tiba-tiba harus terbang ke Singapura. Setelah hasil general check up tidak ada masalah, kedua orang tua Cita segera memesan tiket karena khawatir dengan keadaannya.“Siapa yang bilang kalau kamu ngerepotin.” Sandra mengusap kepala Cita yang berbaring di tempat tidur. Kondisi kehamilan Cita yang kedua ternyata sangat berbeda dengan yang pertama dahulu kala. Putrinya terlihat pucat dan tidak bertenaga.“Kamu nggak pernah ngerepotin,” timpal Harry yang duduk di tengah tempat tidur menemani Cita. “Justru Papa sama mami senang, karena kamu lagi hamil.”“Kak Kasih ... nggak papa?” tanya Cita kembali merasa tidak nyaman. Cita merasa seperti telah merebut Harry dari kakak perempuannya.Kasih memang sudah menelepon Cita dan wanita itu ikut berbahagia atas kehamilannya. Namun, Cita tetap saja memiliki perasaan tidak enak karena telah menjauhkan Harry dari putr
Arya mengernyit dan membuka mata ketika mendengar suara yang tidak biasa. Sambil mengumpulkan kesadarannya, ia melihat pada sisi tempat tidur yang sudah terlihat kosong. Menyadari hal tersebut, Arya bangkit perlahan lalu berjalan menuju kamar mandi.Saat melihat Cita terduduk lemas di samping kloset kamar mandi, di situlah kesadaran Arya kembali sepenuhnya.“Sayang! Kamu kenapa?” Arya bergegas menghampiri Cita dan bejongkok di samping sang istri. Arya menempelkan punggung tangan ke dahi Cita untuk mengecek suhu tubuhnya. “Ayo ke rumah sakit, kamu lemas gini. Habis muntah?” tanya Arya segera menekan tombol flush untuk membersihkan cairan yang baru saja Cita muntahkan. “Kepalaku tambah pusing,” ujar Cita pelan. Merasa tidak memiliki tenaga untuk bangkit. “Perutku mendadak mual pagi-pagi.”“Kamu nggak telat makan, kan?” Arya mengingat-ingat, selama menghabiskan akhir minggu kemarin mereka sama sekali tidak telat makan. Bahkan, mereka berdua justru lebih banyak menyantap makanan dari bia
“Nikahan mbak Chandi dulu, nggak kayak gini.” Arya cukup takjub dengan semua dekorasi mewah yang ada di pernikahan Duta dan adiknya. “Kamu ... nggak iri, kan?”Arya khawatir jika sang istri memiliki rasa cemburu yang terpendam, karena pernikahan mereka tidak semewah dan semegah resepsi Duta dan Leoni. Setelah melakukan banyak pembicaraan dengan Sandra, Arya baru menyadari istrinya itu kerap memendam semua sakitnya sendiri. Cita enggan berbagi, karena tidak ingin menyusahkan dan merepotkan orang lain.“Mas, resepsi begini ini capeeek banget,” ungkap Cita mengingatkan Arya akan alasannya meminta intimate wedding kala itu. “Aku sudah pernah sekali sama Pandu, kan? Jadi, aku nggak mau lagi. Enakan kayak kita kemarin. Singkat, padat, dan nggak terlalu capek.”“Kalau—”“Titip Kasih bentar,” sela Awan sambil menarik kursi kosong di samping Cita. Kursi tersebut memang sengaja Cita kosongkan untuk Kasih yang mengabarkan akan terlambat datang. “Aku mau ambilin makan.”“Oh!” Saat melihat Awan, A