Semua Bab SATU MALAM BERSAMA IPARKU: Bab 11 - Bab 20

60 Bab

11. Suami KDRT

Marissa cukup terkejut dengan apa yang Tristan katakan, dia tak menyangka jika suaminya itu mengetahui makan siangnya dengan Naren. Hanya saja tak ingin dipojokkan, Marissa segara menangkis dengan kalimat, "bukankah kamu terus menolakku untuk makan siang bersama?" Pertanyaan yang menjadi pernyataan tegas itu cukup membuat Tristan bungkam. Benar adanya jika dia beberapa kali menolak ajakan makan siang Marissa dengan berbagai alasan yang sebenarnya tidak terjadi. "Lalu? Kamu berhak makan siang di luar dengan pria lain?" sentak Tristan. "Dia bukan pria lain, Tan. Dia kakakmu," sahut Marissa membela dirinya. Jawaban Marissa sepertinya sangat tepat, sangat tidak adil jika Naren dia curigai macam-macam dengan istrinya. Tristan mematung dan tak memberikan argumen lagi. "Siapkan air mandiku," perintah pria itu pada istrinya yang baru saja sampai dari bekerja. Tanpa basa-basi, Marissa segera menaruh tasnya dan beranjak ke kamar mand
Baca selengkapnya

12. Salah Dibela

Sekali lagi, tubuh wanita itu remuk redam oleh suaminya. Marissa hanya bisa menahan semuanya sendiri karena dia sadar benar jika sampai ayah mertuanya tahu akan membuat masalah menjadi rumit. Tuan Baruna akan mendesak Tristan lagi dan menimbulkan kekacauan yang pasti lebih dari saat ini. "Apa salahku?" tanya Marissa. "Salahmu? Kamu tanya apa salahmu?" tiru Tristan dengan sangat ketus. "Jelas banyak, kamu salah saat kamu menjadi wanita karir yang sukses, kamu salah saat datang ke perusahaan dan menjadi pengkritis proposal proyek, kamu salah saat kamu sibuk di perusahaan dan mengokohkan dirimu sebagai CEO sukses," jelas Tristan. Segala hal menjadi kesalahan di mata pria itu. Dia dengan lantang menyerukan apa yang tak dia sukai dari sang istri. Pada dasarnya, Tristan tak menyukai jika Marissa berada satu langkah saja di depannya. Pernikahan yang dimulai atas dasar perjodohan itu menjadi semakin buruk tatkala Tristan memupuk rasa irinya pada sang istri. 
Baca selengkapnya

13. Ponsel Selingkuh

Tak ada kesempatan apa pun antara Marissa dan Tristan. Wanita itu merelakan karirnya dan membiarkan jabatan tertingginya di perusahaan dialihkan pada yang lain. Marissa mencoba menuruti keinginan suaminya dan berharap rumah tangganya membaik setelah berbagai keadaan yang membuat mereka berdua selalu berkonflik. "Kamu pulang?" tanya Marissa pada kakak iparnya. Setelah beberapa hari lengser dari jabatan itu, Marissa masih setia berada di rumah. Dia berusaha memberikan waktu sepenuhnya untuk Tristan. Walau belum memperlihatkan sikap yang mengarah lebih baik, tapi setidaknya tak ada lagi cekcok yang diakibatkan oleh keinginan Tristan agar Marissa berhenti dari pekerjaannya itu. "Makan siang denganku, apa kamu tidak bosan? Sejak berhenti bekerja sama sekali tak keluar rumah," sahut Naren."Sedikit, tapi bukan masalah, kok." Marissa memberi alasan. Naren mengajak adik iparnya itu makan siang di luar. Tanpa banyak berpikir, Marissa mengikuti
Baca selengkapnya

14. Tuntutan

Marissa sudah cukup yakin atas hubungan Tristan dengan wanita lain yang tinggal di kompleks perumahan mewah itu. Tuhan menunjukkan semuanya dengan jelas hari itu, kemudian menambahkan bukti pada hari ini. Hati Marissa yang memang sudah rapuh, menjadi semakin sakit. Hanya saja kali ini dia tak ingin menyerah. "Aku sudah di rumah sesuai keinginanmu, Tan. Tidakkah kamu ingin membawaku makan malam di luar?" tanya Marissa. "Apa ini? Mengapa kamu terus menuntut balasan atas apa yang kamu korbankan?" desak Tristan. "Bukan menuntut, Tan. Bukankah kamu ingin aku di rumah dan memberikan seluruh waktuku untukmu?" ujarnya keras. Tristan menatap sinis ke arah istrinya, dia mendalami kalimat yang Marissa ucapkan. Tak ada yang bisa membuat pria itu mengerti tentang apa yang dia lakukan selama ini. Nyatanya meminta Marissa berhenti dari perusahaan tak membuatnya puas juga. Tekanan di perusahaan masih saja terus membuat Tristan merasa dirinya kalah. 
Baca selengkapnya

15. Terlalu Nyaman

Malam itu dihabiskan Marissa dengan membayangkan apa yang terjadi antara Tristan dan Naomi. Bayangan keduanya sedang beradu kemesaraan tak henti-hentinya membuat hatinya terkoyak. Tak bisa dipungkiri jika semua terjadi begitu saja tanpa diminta. "Tuhan terlalu cepat menunjukkan ini semua. Aku sampai tak memiliki kesempatan untuk sekedar bernapas." Marissa meratapi kepedihan kisah hidupnya. Belum juga segala duka dan kepedihannya beranjak, sudah ditambah lagi dengan kesedihan yang datang bertubi-tubi. Keputusan yang dia harapkan bisa memperbaiki segalanya justru berbalik menghancurkan semua yang dia miliki. Hingga tengah malam menjelang, tak ada tanda-tanda kepulangan Tristan. Suasana masih nampak sunyi sepi tanpa ada yang berlalu lalang. Para pegawai dan pembantu rumah itu juga nampaknya sudah menuju peraduan masing-masing untuk beristirahat. Hingga saat jam dinding menunjukkan pukul tiga dini hari, suara gerbang dibuka membuat mata Marissa tiba-tiba te
Baca selengkapnya

16. Menutupi Tanda Merah

"Apa sopan pergi ke perusahaan dengan pakaian seperti itu?" tanya Marissa."Ini bukan apa-apa, kenapa mengoceh?" balas Tristan ketus."Bukankah hari ini kamu berjanji untuk menyelesaikan pekerjaanmu? Mengapa tak berpakaian seperti biasa?" Marissa masih belum puas dengan jawaban suaminya."Cukup, Rissa. Kenapa cara berpakaian menjadi masalah untukmu?" protes Tristan.Marissa diam sesaat, dia membuat suaminya marah dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak ada akhirnya. Toh, itu juga hanya sekedar gaya berpakaian. Tak layak untuk menjadikan itu sebagai alasan untuk berdebat. Hanya saja, Marissa merasa ada sesuatu yang sedang disembunyikan Tristan darinya."Sungguh kamu sangat aneh, pakai kaos saja kamu permasalahkan," umpat Tristan dan meraih tas kerjanya.Saat pria itu mengambil pegangan tas itu, Tiba-tiba seisi tas tumpah ke lantai. Rupanya Tristan lupa menutupnya saat mencari ponselnya semalam. Pria itu membiarkan tas kerjanya ter
Baca selengkapnya

17. Ciuman Kakak Ipar

Naren berjalan ke arah Tristan yang sedang menikmati kopi dan kudapan khas coffee shop itu. Keduanya nampak sangat mesra dan hangat. Sangat berbeda dengan apa yang biasa Naren lihat di rumah. "Kamu sengaja?" tanya Naren. Tristan kelabakan, dia kelihatan sekali panik dan bingung. Coffee shop itu dia pilih karena letaknya yang cukup jauh dari rumah atau perusahaan, tapi ternyata justru Naren menangkap basah dirinya yang sedang bermesraan dengan Naomi. "Ada istrimu di depan," ujar Naren dengan nada yang sangat dingin dan mata yang mengarah pada seorang wanita yang duduk di bangku depan coffee shop itu. Seketika Tristan mengikuti arah pandang kakaknya dan juga menangkap dari balik kaca sosok istrinya itu. "Marissa," lirih Tristan. "Siapa kamu? Apa kamu tidak tahu jika Tristan sudah beristri?" tanya Naren pada Naomi. Tak ada jawaban apa pun dari wanita simpanan Tristan itu, dia nampak gelagapan juga. Kemudian meringsek ke tubuh
Baca selengkapnya

18. Merengek Hadiah Rumah

Bibir mereka saling bersentuhan di rembang gelap malam, semua terjadi begitu saja tanpa niat dan aba-aba. Yang Naren inginkan hanya ingin membuat Marissa merasa jika masih ada dirinya di sana yang akan melakukan apa yang wanita itu inginkan. Bak gayung bersambut, Marissa membalas ciuman itu dengan dekapan hangat. Marissa mendekatkan tubuhnya hingga mereka berdua berpaut semakin dalam dan lebih dalam lagi.Jarak mereka sudah habis, keduanya saling menyentuh dan memberi kehangatan. Naren menarik mundur wajahnya dan mendekap erat tubuh wanita itu. Marissa terbenam dalam pelukan kakak iparnya."Saat itu, aku merasa bersalah pada suamiku. Untuk kali ini, tidak sama sekali," ujar Marissa dalam hati.Dia mengingat malam panas yang dia lalui bersama Naren saat itu. Walau semua terjadi di alam bawah sadarnya, tapi semua menimbulkan kekacauan yang cukup besar. Hati wanita itu terus gelisah dan dikejar rasa bersalah yang teramat besar. Hingga berpuncak pada kerelaann
Baca selengkapnya

19. Jerat Naomi

"Suamimu pergi?" tanya Naren. "Hm, dia tidak akan pulang beberapa hari ke depan," jelas Marissa dingin. "Kenapa? Kalian bertengkar lagi?" Naren ingin tahu. Marissa beranjak dari depan kompor, dia beralih setelah telur yang dia goreng sudah matang. Wanita itu duduk di seberang Naren dan mulai memasukkan makanan yang memiliki kandungan utama protein itu ke dalam mulutnya. "Aku memintanya membelikanku rumah." Jawaban yang cukup membuat Naren menjadi tercenggang. Keadaannya sangat pelik sekarang, Marissa terus membuat desakan pada suaminya sebagai kode rahasia akan apa yang sebenarnya dia ketahui terkait hubungan Tristan dengan Naomi. "Rumah?" tanya Naren setengah tak percaya. "Kamu pasti bercanda," lanjutnya. "Tentu saja, untuk apa aku minta rumah jika di sini saja menyediakan banyak kenyamanan untukku," balas Marissa menggoda. Naren menatap dengan sorot mata yang berbeda setelah Marissa menyelesaikan kalim
Baca selengkapnya

20. Pesan Kamar Hotel

Marissa begitu gembira dengan rencana makan malamnya bersama Naren. Sehingga tanpa sadar dia bersiap dengan sangat matang. Wanita itu bersolek dengan sempurna hingga membuat wajahnya menjadi semakin cantik. Gaun indah juga dia persiapkan, walau tertutup dan terkesan sopan, tapi gaun itu tidak mengurangi kesempurnaan tubuh Marissa yang memang sangat proporsional. "Pa, aku ada janji makan di luar." Naren sudah lebih awal berpamitan pada ayahnya. "Kalian berdua akan makan di luar?" Tuan Baruna curiga. "Tidak," jawab keduanya serentak. "Aku ada janji dengan papaku, Pa. Sudah lama setelah nenek meninggal kami tidak saling bertemu," balas Marissa. Tuan Baruna mempercayai keduanya dan membiarkan mereka makan malam keluar. Dia yang sedari pagi menaruh curiga pada dua manusia itu sama sekali tak berprasangka buruk lagi. Marissa dan Naren beranjak dengan wajah sumringah. "Hotel Celostone," kata Marissa membaca pesan dari kakak iparny
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status