"Suamimu pergi?" tanya Naren.
"Hm, dia tidak akan pulang beberapa hari ke depan," jelas Marissa dingin."Kenapa? Kalian bertengkar lagi?" Naren ingin tahu.Marissa beranjak dari depan kompor, dia beralih setelah telur yang dia goreng sudah matang. Wanita itu duduk di seberang Naren dan mulai memasukkan makanan yang memiliki kandungan utama protein itu ke dalam mulutnya."Aku memintanya membelikanku rumah." Jawaban yang cukup membuat Naren menjadi tercenggang.Keadaannya sangat pelik sekarang, Marissa terus membuat desakan pada suaminya sebagai kode rahasia akan apa yang sebenarnya dia ketahui terkait hubungan Tristan dengan Naomi."Rumah?" tanya Naren setengah tak percaya. "Kamu pasti bercanda," lanjutnya."Tentu saja, untuk apa aku minta rumah jika di sini saja menyediakan banyak kenyamanan untukku," balas Marissa menggoda.Naren menatap dengan sorot mata yang berbeda setelah Marissa menyelesaikan kalimMarissa begitu gembira dengan rencana makan malamnya bersama Naren. Sehingga tanpa sadar dia bersiap dengan sangat matang. Wanita itu bersolek dengan sempurna hingga membuat wajahnya menjadi semakin cantik. Gaun indah juga dia persiapkan, walau tertutup dan terkesan sopan, tapi gaun itu tidak mengurangi kesempurnaan tubuh Marissa yang memang sangat proporsional. "Pa, aku ada janji makan di luar." Naren sudah lebih awal berpamitan pada ayahnya. "Kalian berdua akan makan di luar?" Tuan Baruna curiga. "Tidak," jawab keduanya serentak. "Aku ada janji dengan papaku, Pa. Sudah lama setelah nenek meninggal kami tidak saling bertemu," balas Marissa. Tuan Baruna mempercayai keduanya dan membiarkan mereka makan malam keluar. Dia yang sedari pagi menaruh curiga pada dua manusia itu sama sekali tak berprasangka buruk lagi. Marissa dan Naren beranjak dengan wajah sumringah. "Hotel Celostone," kata Marissa membaca pesan dari kakak iparny
Malam itu, Tristan benar-benar tak pulang. Dia berada di rumah Naomi. Baginya berbagi cerita bersama wanita itu sudah cukup membuatnya merasa senang. Sesekali dia memang merasa tertekan dan sifat buruknya tak bisa ditahan, tapi Naomi selalu tahu cara untuk menenangkan pria arogan itu. Tak heran jika Tristan tergila-gila padanya."Jika orang memiliki wanita lain dalam kehidupan pernikahannya, tentu saja karena ada masalah besar dalam diri pasangannya." Dalih itu Tristan gunakan untuk membuat hubungannya dengan Naomi menjadi sah.Naomi adalah wanita yang mengerti masa lalu Tristan, dia bahkan hidup lebih lama bersama Tristan sebagai seorang teman daripada Marissa yang hidup sebagai istrinya. Jika dibandingkan dengan Marissa, Naomi jauh lebih tahu berbagai hal tentang Tristan."Hanya aku yang mengerti dirimu, Tan. Kamu aman bersamaku," ujar Naomi.Tujuan utama wanita itu bukan kepuasan hatinya, dia hanya berusaha menempel erat pada pria itu untuk men
Tristan berhenti menyentuh istrinya, dia menepis Marissa dari atas pangkuannya dan segera mimik wajahnya berubah menjadi sangat marah. "Kamu meragukan aku? Kamu pikir di luar aku seperti apa?" desak Tristan dengan nada bicara yang cukup ketus. "Aku hanya menerka, Tan? Kenapa kamu berpikir aku menuduhmu selingkuh?" jawab Marissa seakan dia tak tahu apa pun. Kemarahan Tristan mereda, dia berusaha menekan amarah yang hampir saja keluar dari mulutnya. Bagaimana juga saat ini waktunya sama sekali tak tepat untuk membuat Marissa semakin memojokkannya. Setelah berbagai dugaan, Tristan memang merasa istrinya itu mengetahui sesuatu perihal hubungannya dengan Naomi. Hanya saja semua tak dia tunjukkan dan tak juga dia konfirmasi. Segalanya masih menjadi dugaan dan prasangka. "Aku ini suamimu, bukankag seharusnya aku bebas menjamahmu?" ujar Tristan. "Benar, kamu suamiku. Kamu berhak atas diriku dan aku bersedia kamu menyentuhku." Marissa menjaw
"Rissa!' Naren berseru dengan nada terkejut. Dia tak menyangka jika Marissa akan menjawab pertanyaan itu dengan pernyataan yang bisa saja menjadikan Tristan semakin salah paham. "Biar saja, Naren. Biarkan dia menaruh curiga padaku, biarkan dia menganggap kita berdua memiliki hubungan selain hubungan ipar. Biar dia tahu, bagaimana rasanya curiga. Biar dia tahu bagaimana rasanya hidup dalam pengkhianatan," beber Marissa dengan cukup lantang. "Cukup, Rissa." Naren menghentikan kalimat-kalimat yang terus mengalir dari mulut wanita itu. Segala caci maki yang Marissa katakan dihempas begitu saja oleh Tristan. Dia kembali ke sebuah kepercayaan jika istrinya tak melakukan apa pun berkat kalimat-kalimat yang seakan memojokkannya tadi. "Aku butuh bicara denganmu, Naren." Tristan menaruh tas kerjanya dan dia berjalan ke arah pintu belakang. Naren menganggukkan kepalanya pada Marissa dan berjalan mengikuti adiknya. Dia cukup penasaran apa yang s
"Dia tak curiga apa pun, Marissa." Naren mengirim pesan pada adik iparnya itu. Dia ingin Marissa menenangkan dirinya setelah perdebatan sengit antara dirinya dan juga Tristan. Naren merasa harus tahu lebih jelas atas apa yang terjadi pada Tristan sebenarnya. Sehingga di pagi hari setelah malam itu, Naren memutuskan pergi lebih awal untuk mencari tahu. "Di mana Naren?" tanya Tuan Baruna. "Mobilnya sudah pergi, Pa. Mungkin dia ada pekerjaan yang harus diselesaikan pagi ini," jawab Marissa. "Sejak kapan kamu tahu segalanya tentang Naren?" sela Tristan. Marissa memandang sinis ke arah suaminya, dia tahu jika Tristan sedang mencari kesempatan untuk membuatnya tergelincir. "Sejak aku tak mendapatkan perhatian dan kasih sayang darimu," celetuk Marissa. Kalimat yang keduanya lontarkan cukup mengelitik, hal itu juga terdengar sangat menjijikan di telinga Tuan Baruna yang sudah lulus tentang perkara cinta selama 60 tahun hi
"Mau kemana kita, Tan?" desak Marissa setelah sekian lama. "Tidak ke mana-mana, hanya sebuah tempat yang bisa membuat pikiran menjadi segar saja," balas Tristan. Mobil membawa mereka berdua berbelok ke sebuah tempat yang berada di tepian sebuah danau. Air yang biru terhampar begitu luas di depan mata keduanya. "Dia membawaku piknik?" batin Marissa sedikit terkejut. Tristan nampak berjalan santai, angin danau yang sejuk menyergap dan mengayun rambut Marissa yang tergerai panjang. Begitu juga dengan Tristan, dia terlihat sangat menikmati hembusan angin itu untuk mengisi paru-parunya yang hampir delapan bulan hanya terisi polisi udara keramaian kota. "Aku belum pernah membawamu ke manapun setelah kita menikah. Bahkan, kita membiarkan tiket bukan madu ke Swiss kita hangus begitu saja." Tristan terlihat tak biasa. Pria yang biasanya bicara dengan nada tinggi dan juga amarah, kini bicara dengan penuh kehati-hatian dan kelembutan.
"Apa yang kamu katakan, Naren? Dari mana kamu tahu semua itu?" Tuan Baruna terkejut dengan pertanyaan Naren. Rahasia besar itu hanya diketahui olehnya dengan mendiang sang istri. Dia merasa terkejut dengan pertanyaan Naren. Putranya itu beranjak pergi dari ruangan sang ayah. Tanpa dijawab pun, Naren sudah tahu jika kabar itu benar adanya. Dia sekarang tahu jika sikap Tuan Baruna yang sangat berbeda pada Tristan memiliki alasan yang cukup membuatnya kecewa. Naren mencoba menghubungi Marissa, dia menelepon wanita itu berulang kali tapi tidak ada jawaban. Naren tak tahu jika Marissa sedang bersama suaminya. "Kemana dia? Kenapa tak menjawab telepon?" tanya Naren pada dirinya sendiri. Pria itu kemudian menuju ruangan Tristan. Dia ingin memastikan pria itu sudah berada di ruangannya. Langkah kakinya begitu memburu, dia ingin segera bertemu adiknya itu. "Maaf, Tuan. Tuan Tristan tidak ke perusahaan hari ini," kata Laras menginformasikan.
"Aku juga mencintaimu, Tan. Kamu tidak salah dengar, kok. Tidak perlu merasa bingung," ujar Marissa dan dia berjalan mendekati suaminya.Tristan nampak sangat canggung, dia yakin jika Marissa mendengarnya mengucapkan kata cinta untuk seseorang di seberang ponselnya tadi, hanya saja tak ada yang bisa dia lakukan. Sehingga tak ada reaksi apa pun yang Tristan lakukan saat itu. Dia hanya terdiam tanpa kata seperti tak terjadi apa pun."Kamu mau kemana?" tanya Tristan pada istrinya yang tiba-tiba berjalan ke arah pintu.Marissa menghentikan langkah kakinya, dia tak menyangka suaminya akan menegurnya di saat dia memergoki pria itu mengatakan cinta untuk orang lain. Hanya saja dia harus bersikap seperti orang bodoh yang tak tahu apa pun. Dia tak ingin membuat keadaan terlihat jelas sementara dirinya sendiri masih belum bisa menyingkirkan perasaan gundah gulananya karena memikirkan Naren."Ada sesuatu yang harus aku periksa," jawab Marissa tak beralasan.
Mobil Marissa sampai di halaman keluarga Baruna. Dia merasa jantungnya berdegup kencang, hanya saja dia kemudian teringat apa yang Naren katakan. Dia hanya perlu pulang seperti biasanya layaknya yang Naren katakan sebelum mereka berpisah. "Tenang, Rissa. Semua baik-baik saja," ujarnya dalam hati dan Marissa segera membuka pintu utama rumah itu. "Bagaimana pestamu, Rissa? Apa menyenangkan?" tanya Tristan begitu wanita itu masuk rumah. Marissa terkejut, dia tak menyangka jika suaminya menunggunya di balik pintu. Pertanyaan itu bagai serangan mendadak saat Rissa tak siap. "Sudah pulang, Nak?" sapa Tuan Baruna memecah kecanggungan. "Suamimu mengatakan jika kamu menginap di rumah temanmu untuk merayakan pesta," jelasnya kemudian. "Ah, i-itu. I-iya, Pa. Ada pesta di rumah temanku, teman dekatku," ujarnya ragu dan terbata.Hal itu cukup membuat Tristan terkecoh, dia merasa ada yang Marissa sembunyikan. Sesuatu terasa janggal dan tak bisa diterima oleh nalarnya. "Masuk dan istirahatlah
"Pa," panggil Naren lembut. Dia segera menyadari jika ayah kandungnya itu mengetahui sesuatu. "Bawa Marissa pulang sekarang atau aku akan menyuruh Tristan menjemput istrinya," ancam pria paruh baya yang baru saja pulih dari sakitnya itu. "Tunggu, Pa. Aku tak mengerti dengan apa yang Papa katakan." Naren mengulur waktu. "Kamu putraku, Naren. Kamu bukan pria bodoh yang harus dijelaskan sesuatunya dengan detail. Ikuti apa yang Papa katakan atau Papa yang akan bertindak!" sahut Tuan Baruna menggertak sang putra. Panggilan telepon itu berakhir tanpa ada negosiasi dan penjelasan detail. Walau mengerti arah pembicaraan ayahnya, tapi Naren belum ingin percaya. Otaknya berpikir menuju hubungan yang sudah terendus oleh sang ayah, tapi hatinya masih tak bisa menerima apa yang terjadi. Cintanya pada Marissa terlalu besar untuk dikorbankan dan dilepaskan. Marissa adalah satu-satunya yang bisa membuat Maren bahagia. Dia seperti memiliki dunia seisinya saat Marissa berada di sisinya seperti saa
"Kenapa kamu marah, Tan? Aku tak pernah memintamu pulang saat kamu sedang di luar. Aku bahkan tidak melakukan ancaman apa pun," ujar Marissa yang mendengar suaminya mengamuk."Rissa, kamu tahu bagaimana hubungan kita setelah Papa sakit? Kamu harus menjaga itu," balas Tristan."Aku tidak berjanji apa pun tentang itu, ini hanya kesepakatan sepihak yang terus kamu gaungkan dan kamu paksakan padaku, Tan. Jadi, jangan mengatur apa yang aku inginkan," jelas Marissa sengaja membuat suasana menjadi panas.Tristan semakin hilang kendali, dia meninju cermin meja rias istrinya dan sedetik kemudian terdengar suara kaca yang pecah."Lakukan apa yang kamu inginkan, itu hanya akan membuatku semakin liar," imbuh Marissa dan dia memutuskan sambungan telepon itu."Rissa! Tunggu, Rissa," kata Tristan yang sia-sia karena Marissa sudah lebih dahulu mematikan sambungan teleponnya.Pria itu sudah tak waras lagi, dia baru saja merasa khawatir pada apa yang akan terjadi pada ayahnya jika mengetahui hubunganny
Permintaan Naren itu agaknya cukup membuat Marissa lega. Pria itu melonggarkan apa yang dia inginka darinya. Kali ini bukan saja tentang apa yang seharusnya terjadi, tapi juga tentang apa yang menjadi ego Naren."Bagus dia menyadari ini semua," batin Marissa."Aku tak boleh serakah, aku tidak bisa kehilanganmu dengan alasan apa pun. Aku harus mengikuti alur yang kamu inginkan," monolog hati Naren berbicara.Mereka berdua jauh lebih nyaman saat ini. Tak bisa dipungkiri jika apa yang dilakukan Naren membuat Marissa menjadi semakin dihargai. Walau latar belakang hubungan mereka sama sekali tak bisa ditorelir tapi tak ada yang bisa Marissa lakukan selain menurut dengan apa yang Naren inginkan.Malam semakin larut, dua pasangan yang saling mengkhianati itu tak lagi ingat bagaimana mereka berdua berdiri saling memunggungi. Marissa menganggap apa yang dia lakukan adalah sebuah pembalasan walau pada akhirnya menimbulkan kenyamanan dan keinginan untuk seng
Di sisi lain, Tristan dalam perjalanan menemui Naomi. Dia juga harus berbagi waktu dengan wanita itu setelah beberapa hari menghabiskan waktu bersama Marissa. Tak ada yang bisa dilakukan selain tetap menuruti apa yang wanita itu inginkan agar semua menjadi mudah baginya. Walau selama ini Marissa sudah mengetahui apa yang terjadi pada dirinya dan Naomi, tapi Tristan sudah terlanjur berjanji jika dia akan menyudahi segalanya."Selamat datang, Sayang." Naomi menyambut kekasihnya dengan nada manja nan romantis.Kemudian mereka berdua masuk rumah dan segera menuju meja makan, seperti biasanya mereka akan makan bersama dan menghabiskan malam dengan bercanda serta mengobrol hangat seperti layaknya pasangan yang ingin saling menumpahkan segala isi hatinya."Aku sudah siapkan yang special untukmu," kata Naomi."Special?" tanya Tristan.Begitu melihat meja makan yang tersaji banyak sekali makanan, Tristan lagi-lagi merasa takjub. Wanita itu memang
"Aku pergi sekarang," ujar Tristan berpamitan.Marissa tak mengindahkan apa yang suaminya katakan, dia membiarkan Tristan pergi tanpa menjawab kalimat sang suami. Bahkan Marissa tak melihat ke arah Tristan sama sekali."Kamu hanya berusaha membalasku, kan?" Tristan berlalu tanpa curiga apa pun pada Marissa yang sebenarnya juga memiliki janji dengan Naren.Pria itu keluar dengan langkah pasti tanpa kekhawatiran apa pun. Dia menganggap apa yang Marissa katakan siang hari tadi adalah sebuah kecaman saja. Dia tak tahu jika setelah kepergiannya sang istri berdandan untuk bertemu dengan Naren seperti yang sudah keduanya rencanakan sebelumnya."Malam ini aku adalah miliknya," kata Mariss sembari memoles make-up ke wajahnya.Bisa dikatakan dia sangat ragu untuk pergi, dia juga begitu malas melakukan apa pun yang berhubungan dengan Naren sebenarnya, tapi semua terpaksa dia lakukan karena Naren terus saja mengintimidasinya sehingga banyak sekali ke
Tristan dan Marissa berjalan dari tempat parkir. Mereka menuju lift untuk naik ke lantai yang menyediakan segala furnitur rumah. Beberapa langkah setelah keluar lift, Tristan menarik tangan Marissa dan menggandengnya dengan cukup erat. Dia bahkan tak perlu melihat ke arah wanita itu untuk melakukan hal tersebut. "Tan, apa ini?" Batin Marissa bermonolog bingung. Tristan tak mengatakan apa pun dan hanya berjalan menuju tempat tujuan mereka. Begitu masuk, seorang wanita datang mendekat. Dia adalah seorang seles yang menunggu kedatangan mereka berdua.. "Nyonya Marissa Baruna?" tanyanya. "Iya," balas Tristan lembut dan kemudian mereka diarahkan ke sebuah ruangan. Mereka akan bertemu dengan seorang designer yang bergelut dalam bidang furnitur. Tristan dan Marissa melihat beberapa katalog furnitur bersamaan. Mereka larut dalam diskusi panjang hingga lupa mereka berdua sedang dalam keadaan yang canggung. Sesekali Tristan nampak memperhatikan
Pagi menjelang dengan suasana hati Marissa yang masih begitu kelabu. Bukan lagi karena Naren yang tak mau dia putuskan, tapi karena rencana berbenlanja perabot dengan Tristan yang akan mereka lakukan pagi ini. Hal itu memang kesepakatan keduanya, tapi tentu saja menjadi sebuah hal yang begitu buruk saat jadi kenyataan. Bagi Marissa dia sama sekali tak bersemangat tentang itu."Selamat pagi, Sayang." Tristan menyapa Marissa dengan sangat manis begitu mengetahui wanita yang berbaring di sisinya itu sudah membuka mata.Marissa hanya membalas dengan senyum tipis tanpa arti. Walau masih tersisa banyak cinta untuk pria itu, tapi logikanya lebuh sering menolak keberadaan sang suami. Marissa masih mengedepankan akal sehatnya setelah semua yang terjadi."Aku mandi duluan," kata Marissa yang jelas tahu apa yang akan mereka berdua lakukan mulai dari pagi ini."Kenapa tidak bersama saja?" jawab Tristan. Kalimat itu menghentikan kaki Marissa yang sudah hampir
Mereka berdua tenggelam dalam suasana yang tak terkendali. Masing-masing dari mereka memliki alasan tepat untuk bertahan dan berpisah. Naren memang sudah bulat dengan keputusannya saat itu. Dia tak akan dengan mudah melepaskan Marissa dengan berjuta alasan yang wanita itu miliki hingga saat ini. "Jangan pernah mengubah apa pun jika kamu ingin selamat dariku," ujar Naren dan dia membiarkan Marissa pergi meninggalkan kamar hotel itu.Naren sengaja karena dia tahu jika Marissa dalam keadaan tertekan, walau suara dan nada bicaranya begitu mengancam tapi di dasar hati Naren masih tersimpan banyak sekali cinta dan kasih sayang untuk wanita itu. Keadaan yang Marissa ciptakan saat itu membuat Naren terpaksa mengintimidasi sang adik ipar karena dia tak mau kehilangan Marissa sedetikpun. "Aku mempertahankanmu dan aku dengan sadar harus menerima jika harus berbagi. Terkesan menjijikkan tapi aku tahu benar ini adalah yang aku inginkan," batin Naren.Dia memang tampak frustasi,