Home / Horor / Tumbal Bulan Suro / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of Tumbal Bulan Suro: Chapter 1 - Chapter 10

51 Chapters

1. Jangan Sholat di Rumah!

"Haah! Akhirnya sampai juga," desisku begitu melihat gapura selamat datang menuju kampungku.Segera kupercepat laju motor. Tak sabar rasanya ingin segera sampai di rumah setelah beberapa bulan tak pulang. Rindu pada rumah pun sudah menumpuk dalam dada.Namun di tengah perjalanan fokusku teralih saat melihat ada keramaian di salah satu rumah warga. Dari bendera yang disematkan di depan rumah tersebut dapat ditebak bahwa ada yang meninggal dunia."Ada yang meninggal, Sat," ujar Fatih dari belakangku. Ternyata ia juga sama, sedang memperhatikan ke titik yang sama denganku."Iya. Tapi bukannya itu rumah Roni ya?" Tanyaku yang baru sadar jika itu adalah rumah Roni, teman sekelas kami semasa sekolah dasar."Iya, bener. Siapa yang meninggal ya? Apa jangan-jangan orang tua Roni?" Fatih balik bertanya."Ya mana aku tahu sih, Tih. Kan kita sama-sama baru dateng."Fatih terdengar terkekeh di belakangku."Mau mampir dulu?" Tawar Fatih akhirnya.Jujur aku sudah penat sekali setelah menempuh tiga j
Read more

2. Arwah Gentayangan

Kenapa lagi ini? Kenapa tiba-tiba Ibu melarang aku sholat di rumah? Padahal selama ini Ibu tak pernah berkomentar aku mau sholat di mana pun."Kamu itu laki-laki, sholat itu di mesjid, bukan di rumah! Masa sudah bertahun-tahun di pesantren gak ngerti juga!" Ujar Ibu begitu sinis.Kuhela napas kasar begitu mendengar alasan Ibu. Kenapa aku merasa Ibu sekarang berubah? Padahal belum terlalu lama aku tinggal di kost. Tapi perubahan Ibu dan kampung ini sudah begitu kentara."Di luar kan hujan, Bu. Gimana aku mau pergi ke masjid?" Ujarku lembut namun penuh penekanan."Ibu gak mau tahu! Apapun alasannya dan bagaimanapun keadaannya, kamu harus tetap sholat di masjid!" Tegas Ibu lagi seraya mendorongku keluar dari rumah."Kalau kamu gak nuruti perintah Ibu, lebih baik kamu gak usah sholat sekalian!" Aku tersentak demi mendengar perkataan Ibu itu. Sampai sebegitunya Ibu ingin aku sholat di Masjid. Ya, memang bagus sih. Tapi kan lihat situasi dan kondisi juga. Sesaat kupandangi rintik hujan y
Read more

3. Gelagat Aneh Ayah dan Ibu

Namun tiba-tiba keadaan kembali seperti semula. Bau anyir darah perlahan menghilang, bersamaan dengan itu sebuah tepukan di pundak sukses mengagetkanku."Aaaaa ... Setaaan!" Pekikku masih dengan menutup mata."Hei, Satria! Apa-apaan kau ini? Ini aku Ibnu."Spontan aku membuka mata saat mendengar suara anak Ustadz Arif yang sepantaran denganku itu."I--ibnu? Kau benar Ibnu?" Tanyaku ragu-ragu sembari menyentuh lengannya. Sekadar mengecek ia benar manusia atau setan yang sedang menyamar."Kau ini kenapa sih?" Ibnu bertanya balik dengan wajah heran menatapku."Kok lama sekali, Nu?" Tiba-tiba salah seorang jamaah muncul dari luar membuat aku bisa bernapas lega karena yakin sosok Ibnu di hadapanku ini benar-benar manusia."Ta--tadi aku mau wudhu, tapi tiba-tiba ada--." Aku langsung terdiam tak melanjutkan perkataanku saat Ibnu memberi isyarat agar aku diam."Kalau sudah wudhu, cepat sholat, Sat. Sebelum waktu Maghrib habis," titah Ibnu seraya hendak melangkah keluar dari kamar mandi."Tung
Read more

4. Kecelakaan Maut

"Maksud Ayah apa?" Tanyaku pura-pura bodoh."Tak ada. Cepatlah masuk kamar, dan besok pagi cepat-cepatlah kembali ke kost-anmu," tukas Ayah begitu tegas, lalu pergi begitu saja tanpa memberi kesempatan aku untuk membantahnya.***Kupikir perintah Ayah tadi malam hanya sekedar candaan saja. Tapi ternyata aku salah, pagi-pagi sekali Ibu sudah sibuk terus mendesakku untuk berkemas dan kembali ke kost. Benar-benar aneh. Akibat terlalu percaya mitos di bulan Suro ini mereka sampai tega mengusirku yang baru saja datang."Bu, bukannya Ibu pernah bilang tak boleh bepergian jauh saat bulan suro? Kenapa sekarang malah memintaku pergi? Apa Ibu tak takut aku bernasib sama dengan Roni?" Tanyaku sedikit bergidik saat menyebutkan nama Roni.Ibu yang sedang sibuk mengemas bekal untukku langsung menghentikan gerakannya."Sudahlah! Kali ini patuhi saja semua permintaan Ayah dan Ibu. Ini semua juga demi kebaikanmu," tegas Ibu.Aku yang tak lagi dapat membantah, lantas kembali masuk ke kamar. Kuraih pon
Read more

5. Pelayat Berpakaian Hitam

Tanpa banyak berpikir, aku langsung bangkit dari pembaringan, membuat Ibu yang sedari tadi menatap sendu langsung menahanku."Kamu mau kemana?""Aku mau ke rumah Mas Seno."Mendengar jawabanku, Ibu makin kuat menahan tubuhku."Jangan! Lebih baik kamu istirahat saja dulu, Nak. Kamu juga baru kecelakaan.""Enggak, Bu! Aku udah baikan. Jadi Ibu jangan coba-coba menahanku. Lagi pula Mas Evan meninggal juga gara-gara nyelamatin aku. Gak etis saja rasanya kalau aku tak hadir di pemakamannya," tegasku sembari menepis pelan lengan Ibu."Ayahmu sudah ada di sana, Satria. Tolonglah turuti Ibu kali ini." Ibu kembali memohon saat aku berusaha melepaskan selang infus.Namun tetap saja aku tak bisa menuruti perkataannya lagi kali ini. Karena penting untukku menyaksikan langsung pemakaman Mas Evan. Kalau bukan karena dia, mungkin kini aku hanya tinggal nama.***Dengan diikuti Ibu yang masih terus melarangku, akhirnya aku tiba di kediaman Mas Seno yang sudah ramai oleh pelayat itu. Mas Seno dan Mas
Read more

6. Ada Apa dengan Rumah Ini?

"Bapakmu tahu siapa orangnya?"Fatih menggeleng."Bapak hanya tahu hal tersebut dari gosip mulut ke mulut."Aku langsung membuang napas kasar mendengar itu."Berarti belum tentu juga kebenarannya kan? Lalu kenapa harus takut?" Ujarku kembali tak percaya."Aku awalnya juga begitu, Sat. Untuk apa juga percaya dengan gosip yang gak jelas. Tapi setelah kejadian seperti ini menimpamu, aku jadi mulai percaya.""Tih, percayalah. Semua yang terjadi itu hanya kebetulan. Jangan semua kemalangan dikaitkan dengan mitos. Kalau pun harus meninggal di bulan suro, mungkin sudah takdirnya begitu," ucapku berusaha meyakinkan Fatih, walau sebenarnya hatiku sendiri pun tak yakin.Sepertinya lebih baik untuk saat ini aku urungkan saja bercerita tentang keanehan yang kualami. Daripada Fatih jadi semakin ketakutan tak karuan."Tapi tetap berhati-hatilah, Sat. Kalau memang semua itu benar. Karena manusia yang biasanya sudah terpengaruh iblis akan buta mata hatinya hingga bisa saja melakukan perbuatan keji ap
Read more

7. Mimpi Aneh

"Jadi tadi kamu sholat Maghrib di rumah, Nak?" Tanya Ibu masih menatapku dengan tegang.Aku berusaha sesantai mungkin menanggapi mereka."Iya, kenapa, Bu? Apa karena hal itu Ibu melarangku sholat di rumah?""Karena hal apa?"Kali ini aku yang dibuat heran dengan pertanyaan Ayah. Harusnya Ayah peka apa maksudku jika ia pun mengalami hal yang serupa."Lho memangnya Ayah atau Ibu tak pernah mengalami keganjilan saat sholat di rumah?"Terlihat kedua orang tuaku saling bertukar pandang. "Ya sama, Sat. Tapi kan keganjilan yang didapat itu berbeda-beda," sahut Ayah setelahnya. Tapi entah mengapa aku merasa Ayah tak sepenuhnya berkata jujur."Memangnya tadi kamu mengalami keganjilan yang bagaimana, Nak?" Ibu kembali bertanya dengan nada khawatir."Oh cuma sekedar dengar suara-suara aneh saat sholat saja kok, Bu."Terdengar Ibu menghela napas berat mendengar jawabanku."Sekarang kamu tahu kan alasan kenapa ibumu melarang kamu sholat di rumah?" Ayah kembali bersuara."Memangnya sejak kapan rum
Read more

8. Kakek Misterius

Membuang rasa takut, aku bangkit dari tempat tidur untuk mencari dari mana asal bau kemenyan tersebut.Perlahan kuputar handle pintu dan membuka pintu sedikit untuk mengintip keadaan di luar kamar.Tak ada siapapun, tapi kenapa bau kemenyan ini begitu menyengat, bahkan sangking terasanya di indera penciuman sampai membuatku sesak.Karena merasa keadaan di luar aman, aku pun memutuskan untuk mencari asal bau tersebut.Aku menuju ruang depan tapi tak menemukan apapun. Namun saat melewati kamar Ayah dan Ibu, bau kemenyan tersebut makin terasa.Sayangnya pintu kamar orang tuaku itu tertutup begitu rapat. Hingga aku tak memiliki akses untuk mengintip ke dalam.Tak hilang akal, aku langsung merebahkan diri di lantai depan pintu kamar untuk mengintip melalui celah bawah pintu.Benar saja. Sepertinya asal bau kemenyan tersebut berasal dari dalam kamar orang tuaku. Namun sialnya lagi-lagi aku tak dapat melihat dengan jelas melalu
Read more

9. Perginya Orang-orang Baik

"Nak Satria ...."Aku langsung tersadar dari lamunan saat mendengar panggilan dari Pak Muhsin.Pandangan langsung kuedarkan ke sekitar tapi sama sekali tak nampak jejak dari Kakek tadi."Tadi saya hampir menabrak seorang kakek-kakek, Pak. Tapi sepertinya orangnya sudah pergi," ujarku berusaha setenang mungkin, walau sesungguhnya hatiku kini dipenuhi rasa tak enak."Oh begitu. Ya sudah, kalau begitu mari kita ke rumah Ustadz Arif sekarang."Aku langsung menyetujui ajakan Pak Muhsin.Kembali menyalakan motor mataku masih sesekali melihat sekeliling mencari keberadaan Kakek tadi, tapi ternyata benar-benar sudah tak nampak lagi, bahkan bayangannya sekalipun.Berusaha membuang segala kejanggalan barusan, aku kembali fokus pada tujuan awal mengunjungi Ustadz Arif.Semakin dekat menuju rumah Ustadz Arif, semakin terlihat jelas kerumunan warga yang ada di sana."Usir saja, usir! Kita tak butuh orang seperti mer
Read more

10. Uang Pembawa Petaka

"Bu, itu benar Mas Danu yang  meninggal?" Masih tak percaya dengan pendengaran sendiri, aku berlari ke warung menemui Ibu."Iya, Nak."Tubuhku seketika lemas mendengar jawaban Ibu. Baru tadi pagi Mas Danu memperlihatkan senyum sumringah padaku karena diberi uang oleh Lek Sutar. Tapi kini ...."Kamu gak apa-apa, Nak?" Ibu langsung menghampiriku yang begitu syok mendengar kabar duka tersebut."Bu, baru tadi pagi lho, aku bertemu dengan Mas Danu. Dia pun terlihat baik-baik saja," gumamku masih tak menyangka.Ibu mengelus bahuku berusaha menguatkan."Sekarang kamu percaya kan kalau tumbal bulan suro di kampung ini nyata?"Refleks aku menatap wajah Ibu."Tapi tumbal itu dipersembahkan oleh siapa dan untuk siapa, Bu? Kenapa hanya di desa kita saja yang seperti ini?"Ibu hanya menggeleng lemah tanpa menatapku, lalu bangkit berdiri karena ada pembeli datang.Tak mau membuang waktu, aku langsu
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status